Catherine merasa sakit hati atas cara Dexter memperlakukannya. Sebelumnya Dexter tidak pernah begini. Dexter selalu peduli padanya, mendengarkan kata-katanya dengan baik dan tidak pernah mengabaikannya walau hanya satu kali. Bagi Dexter, Catherine adalah wanita teristimewa yang sudah biasa diperlakukan seperti ratu. Namun lihatlah apa yang dilakukannya tadi. Sampai suara Catherine serak karena terus memanggil nama Dexter, lelaki itu terus berlalu pergi. Seakan Catherine tidak pernah ada di dekatnya. Catherine yang sakit hati kemudian masuk ke dalam rumah. Diambilnya handphone. Ia menelepon ke kantor Dexter. "Halo, selamat pagi," sapa suara di seberang sana setelah beberapa kali nada masuk. "Pagi. Ini saya Catherine." "Oh, Bu Catherine. Ada yang bisa saya bantu, Bu?" Jantung Sania berdetak kencang mendapat telepon dari istri bosnya. "Bapak sudah datang?" "Kelihatannya belum, Bu. Saya nggak melihat Bapak dari tadi. Apa Ibu ada pesan? Nanti saya akan sampaikan," ucap Sania sop
Dexter ikut memandang ke atas meja, tepat pada wadah makanan yang saat ini dipegang Catherine.Haruskah ia jujur?Ah, tidak. Keterusterangannya hanya akan menyulitkan dirinya sendiri. Jika dulu Dexter merasa bersalah karena menyakiti Catherine,sekarang perasaan itu sudah berubah. Sebenarnya Dexter bisa saja jujur mengatakannya. Tapi ia tidak ingin Catherine membayang-bayangi pergerakannya. Maka diputuskannya untuk berbohong."Aku beli di luar.""Di luar mana? Kenapa pake kotak makanan kayak gini?" Catherine yang belum puas terus menginterogasi Dexter."Di drive thru. Puas?" Catherine terkejut mendengar cara Dexter menjawab pertanyaannya yang terkesan kasar. Lelaki itu seolah tidak suka dirinya berada di sana."Pergilah, Cat, aku ingin kerja dengan tenang.""Jadi kamu mengusirku?" Nada suara Catherine meningkat beberapa oktaf. "Padahal aku ke sini hanya ingin membicarakan acara syukuran kehamilanku lusa besok.""Aku nggak bilang begitu. Aku cuma ingin sendiri agar bisa fokus.""You'
Dexter tidak datang menemui Gendis hari ini. Lelaki itu mengatakan padanya harus menghadiri acara syukuran kehamilan palsu Catherine.Sejujurnya, Gendis juga ingin sekali berada di posisi itu. Namun ia tahu hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Cukup dengan segala perhatian Dexter dan sikap manis lelaki itu sudah membuatnya sangat bersyukur.Terbersit dalam pikirannya untuk menelepon Dexter, sekadar bertanya apa acaranya lancar. Tapi sesuatu menghalangi Gendis.'Aku nggak boleh egois. Dexter juga punya istri. Istri yang sesungguhnya. Istri yang juga membutuhkan perhatiannya. Jadi biarkan dia menikmati acara itu,' batinnya.Gendis tidak pernah tahu bahwa di kediamannya saat ini Dexter sama sekali tidak menikmati acara tersebut.Hari ini hunian mewah Dexter dan Catherine sudah ramai oleh orang-orang yang Catherine undang untuk menghadiri acara syukuran kehamilan palsu perempuan itu yang memasuki usia delapan belas minggu. Atau lebih tepatnya empat bulanan menuju lima.Di antara para
Mobil yang dikendarai Dexter memasuki komplek apartemen Gendis. Dengan cepat lelaki itu melesat menuju unit istrinya. "Dex?" Gendis terkejut setelah membuka pintu dan melihat Dexter berdiri tegak di hadapannya. "Kamu kok ke sini?" "Nggak boleh memangnya?" tanya Dexter balik. "Bukan nggak boleh, tapi kamu kan lagi ada acara." "Acaranya sudah selesai dari tadi. Dan aku kangen sama kamu. Aku nggak bisa menunggu sampai besok," ungkap Dexter jujur. Lelaki itu tidak bisa menahan perasaannya. Lalu ditariknya Gendis ke dalam pelukannya. Perkataan dan sikap Dexter membuat Gendis tak kuasa menahan senyum bahagia. "Masuk yuk," ajak Gendis setelah pelukan mereka terurai. Keduanya masih berdiri di depan pintu. Dexter mengikuti Gendis yang menggandeng tangannya. "Gimana acaranya?" tanya Gendis setelah mereka berdua duduk. "Biasa," jawab Dexter datar sembari membaringkan kepalanya di atas pangkuan Gendis. Itu adalah kebiasaannya. Caranya bermanja-manja dengan istri keduanya. "Masa
Gendis tertegun sepersekian detik lamanya ketika tahu bukan Dexter yang datang, melainkan ... Catherine."Bu Catherine ...," lafal Gendis lirih.Catherine menatap Gendis dengan tajam. Tanpa dipersilakan perempuan itu menerobos masuk. Kedua matanya memindai seisi ruangan dengan nyalang. Seakan sedang memperkirakan apa saja yang pernah terjadi antara Gendis dan Dexter di tempat tersebut.Gendis berdiri kaku di belakang Catherine tanpa mampu mengatakan sepatah kata pun. Semua ini sangat mengejutkan. Tidak ada dalam prediksinya bahwa Catherine akan datang padanya. Dan Gendis juga tidak tahu apa maksud perempuan itu mengunjunginya."Bu Catherine, ada yang bisa saya bantu?" Akhirnya Gendis memberanikan diri untuk bicara.Catherine memutar tubuhnya. Memberi Gendis tatapan yang sangat menusuk."Kenapa kamu melanggar janjimu?""Jan-janji yang mana, Bu?" ucap Gendis terbata-bata."Janji bahwa kamu nggak akan menggoda suami saya!!!" Catherine menghardik dengan keras hingga membuat Gendis berjeng
Jarum jam bergerak menuju angka dua belas siang. Biasanya pada pukul segini Gendis sudah siap memasak dan menata hidangan di meja makan. Ia juga memotret hasil olahan tangannya lalu mengirimkan pada Dexter yang membuat lelaki itu tidak sabar untuk pulang mencicipi masakannya.Tapi hari ini berbeda. Tidak ada hidangan lezat yang tersaji di atas meja makan ataupun foto makanan yang dikirimkannya pada Dexter.Gendis tidak menyediakan apa pun. Rencana memasak iga bakar juga gagal total. Semuanya ambyar.Bel yang ditekan mengejutkan Gendis dari lamunannya. Ia baru saja selesai mengumpulkan seluruh pakaian Dexter dan memasukkannya ke dalam kantong besar.Gendis menarik langkah berat dan tubuh lunglainya ketika bel berikutnya kembali terdengar. Ia sangat yakin itu Dexter yang datang. Dugaan Gendis terbukti benar ketika pintu tersingkap. Suaminya ada di sana. Dexter akan menciumnya seperti kebiasaannya selama ini yang akan mencium Gendis setiap akan pergi dan pulang. Dengan cepat Gendis men
Mata Dexter terpaku pada kantong besar yang diberikan Gendis padanya. Tidak percaya kalau saat ini Gendis sedang mengusirnya. Sama dengan tidak percayanya pada alasan perempuan itu."Oke, aku akan pergi, tapi jawab dulu pertanyaanku.""Silakan, Dex.""Apa Catherine datang ke sini lalu mengancam kamu?"Gendis jelas saja kaget lantaran bidikan Dexter yang tepat sasaran. Dengan cepat perempuan itu mengganti ekspresinya agar Dexter tidak semakin curiga."Bukan. Bu Catherine nggak pernah ke sini. Dia juga nggak mengancam aku.""Lalu kenapa kamu mendadak berubah?" pandang Dexter curiga atas kejanggalan sikap Gendis yang begitu tiba-tiba."Mungkin ini terkesan mendadak, tapi tadi pacarku menelepon dan menanyakan keadaanku. Dia juga menanyakan mengenai hubungan kami. Dia akan melamarku. Aku menjanjikan padanya empat bulan lagi. Setelahnya aku akan pulang."Dexter mematung mendengar ucapan Gendis. Entah ia harus percaya atau tidak karena setahunya Gendis adalah perempuan polos dan tidak perna
Gendis memainkan handphonenya sambil membaca ulang percakapan lama dengan Dexter. Kadang senyum tersungging di bibirnya. Di saat yang lain tawanya lepas. Lalu ketika semua pesan itu sudah selesai ia baca, wajahnya mendadak muram.Sepi. Tidak ada Dexter malam ini. Biasanya pada jam segini mereka akan makan malam bersama diselingi canda dan tawa. Gendis baru tahu kalau Dexter bisa melawak. Semua penilaiannya dulu tentang Dexter yang dingin dan pemarah pupus begitu saja. Semakin mengenal lelaki itu Gendis semakin tahu bahwa Dexter adalah sosok lelaki yang baik dan hangat.Ingat kejadian tadi siang, perasaan bersalah semakin melingkupi hati Gendis. Rasanya Gendis ingin cepat melahirkan agar ia bisa pergi dari kehidupan Dexter. Supaya ia bisa terbebas dari amukan Catherine yang semakin membencinya.Gendis baru akan melepaskan handphone dari tangannya ketika benda itu berbunyi.Nama Dexter tertera di layar. Pria itu meneleponnya. Mendadak jantung Gendis bertalu-talu. Ia ingin sekali bicara