Dexter tidak datang menemui Gendis hari ini. Lelaki itu mengatakan padanya harus menghadiri acara syukuran kehamilan palsu Catherine.Sejujurnya, Gendis juga ingin sekali berada di posisi itu. Namun ia tahu hal tersebut tidak akan pernah terjadi. Cukup dengan segala perhatian Dexter dan sikap manis lelaki itu sudah membuatnya sangat bersyukur.Terbersit dalam pikirannya untuk menelepon Dexter, sekadar bertanya apa acaranya lancar. Tapi sesuatu menghalangi Gendis.'Aku nggak boleh egois. Dexter juga punya istri. Istri yang sesungguhnya. Istri yang juga membutuhkan perhatiannya. Jadi biarkan dia menikmati acara itu,' batinnya.Gendis tidak pernah tahu bahwa di kediamannya saat ini Dexter sama sekali tidak menikmati acara tersebut.Hari ini hunian mewah Dexter dan Catherine sudah ramai oleh orang-orang yang Catherine undang untuk menghadiri acara syukuran kehamilan palsu perempuan itu yang memasuki usia delapan belas minggu. Atau lebih tepatnya empat bulanan menuju lima.Di antara para
Mobil yang dikendarai Dexter memasuki komplek apartemen Gendis. Dengan cepat lelaki itu melesat menuju unit istrinya. "Dex?" Gendis terkejut setelah membuka pintu dan melihat Dexter berdiri tegak di hadapannya. "Kamu kok ke sini?" "Nggak boleh memangnya?" tanya Dexter balik. "Bukan nggak boleh, tapi kamu kan lagi ada acara." "Acaranya sudah selesai dari tadi. Dan aku kangen sama kamu. Aku nggak bisa menunggu sampai besok," ungkap Dexter jujur. Lelaki itu tidak bisa menahan perasaannya. Lalu ditariknya Gendis ke dalam pelukannya. Perkataan dan sikap Dexter membuat Gendis tak kuasa menahan senyum bahagia. "Masuk yuk," ajak Gendis setelah pelukan mereka terurai. Keduanya masih berdiri di depan pintu. Dexter mengikuti Gendis yang menggandeng tangannya. "Gimana acaranya?" tanya Gendis setelah mereka berdua duduk. "Biasa," jawab Dexter datar sembari membaringkan kepalanya di atas pangkuan Gendis. Itu adalah kebiasaannya. Caranya bermanja-manja dengan istri keduanya. "Masa
Gendis tertegun sepersekian detik lamanya ketika tahu bukan Dexter yang datang, melainkan ... Catherine."Bu Catherine ...," lafal Gendis lirih.Catherine menatap Gendis dengan tajam. Tanpa dipersilakan perempuan itu menerobos masuk. Kedua matanya memindai seisi ruangan dengan nyalang. Seakan sedang memperkirakan apa saja yang pernah terjadi antara Gendis dan Dexter di tempat tersebut.Gendis berdiri kaku di belakang Catherine tanpa mampu mengatakan sepatah kata pun. Semua ini sangat mengejutkan. Tidak ada dalam prediksinya bahwa Catherine akan datang padanya. Dan Gendis juga tidak tahu apa maksud perempuan itu mengunjunginya."Bu Catherine, ada yang bisa saya bantu?" Akhirnya Gendis memberanikan diri untuk bicara.Catherine memutar tubuhnya. Memberi Gendis tatapan yang sangat menusuk."Kenapa kamu melanggar janjimu?""Jan-janji yang mana, Bu?" ucap Gendis terbata-bata."Janji bahwa kamu nggak akan menggoda suami saya!!!" Catherine menghardik dengan keras hingga membuat Gendis berjeng
Jarum jam bergerak menuju angka dua belas siang. Biasanya pada pukul segini Gendis sudah siap memasak dan menata hidangan di meja makan. Ia juga memotret hasil olahan tangannya lalu mengirimkan pada Dexter yang membuat lelaki itu tidak sabar untuk pulang mencicipi masakannya.Tapi hari ini berbeda. Tidak ada hidangan lezat yang tersaji di atas meja makan ataupun foto makanan yang dikirimkannya pada Dexter.Gendis tidak menyediakan apa pun. Rencana memasak iga bakar juga gagal total. Semuanya ambyar.Bel yang ditekan mengejutkan Gendis dari lamunannya. Ia baru saja selesai mengumpulkan seluruh pakaian Dexter dan memasukkannya ke dalam kantong besar.Gendis menarik langkah berat dan tubuh lunglainya ketika bel berikutnya kembali terdengar. Ia sangat yakin itu Dexter yang datang. Dugaan Gendis terbukti benar ketika pintu tersingkap. Suaminya ada di sana. Dexter akan menciumnya seperti kebiasaannya selama ini yang akan mencium Gendis setiap akan pergi dan pulang. Dengan cepat Gendis men
Mata Dexter terpaku pada kantong besar yang diberikan Gendis padanya. Tidak percaya kalau saat ini Gendis sedang mengusirnya. Sama dengan tidak percayanya pada alasan perempuan itu."Oke, aku akan pergi, tapi jawab dulu pertanyaanku.""Silakan, Dex.""Apa Catherine datang ke sini lalu mengancam kamu?"Gendis jelas saja kaget lantaran bidikan Dexter yang tepat sasaran. Dengan cepat perempuan itu mengganti ekspresinya agar Dexter tidak semakin curiga."Bukan. Bu Catherine nggak pernah ke sini. Dia juga nggak mengancam aku.""Lalu kenapa kamu mendadak berubah?" pandang Dexter curiga atas kejanggalan sikap Gendis yang begitu tiba-tiba."Mungkin ini terkesan mendadak, tapi tadi pacarku menelepon dan menanyakan keadaanku. Dia juga menanyakan mengenai hubungan kami. Dia akan melamarku. Aku menjanjikan padanya empat bulan lagi. Setelahnya aku akan pulang."Dexter mematung mendengar ucapan Gendis. Entah ia harus percaya atau tidak karena setahunya Gendis adalah perempuan polos dan tidak perna
Gendis memainkan handphonenya sambil membaca ulang percakapan lama dengan Dexter. Kadang senyum tersungging di bibirnya. Di saat yang lain tawanya lepas. Lalu ketika semua pesan itu sudah selesai ia baca, wajahnya mendadak muram.Sepi. Tidak ada Dexter malam ini. Biasanya pada jam segini mereka akan makan malam bersama diselingi canda dan tawa. Gendis baru tahu kalau Dexter bisa melawak. Semua penilaiannya dulu tentang Dexter yang dingin dan pemarah pupus begitu saja. Semakin mengenal lelaki itu Gendis semakin tahu bahwa Dexter adalah sosok lelaki yang baik dan hangat.Ingat kejadian tadi siang, perasaan bersalah semakin melingkupi hati Gendis. Rasanya Gendis ingin cepat melahirkan agar ia bisa pergi dari kehidupan Dexter. Supaya ia bisa terbebas dari amukan Catherine yang semakin membencinya.Gendis baru akan melepaskan handphone dari tangannya ketika benda itu berbunyi.Nama Dexter tertera di layar. Pria itu meneleponnya. Mendadak jantung Gendis bertalu-talu. Ia ingin sekali bicara
Dexter sadar betul atas tindakan yang dilakukannya. Ia sudah memikirkan matang-matang segala risiko dan konsekuensinya. Dengan membawa Gendis ke rumah ia bisa mengawasinya walau tidak dua puluh empat jam. Sedangkan jika memindahkan ke apartemen lain Catherine berkemungkinan masih bisa melacaknya.Dexter masih ingat kelanjutan pertengkarannya dengan Catherine. Perempuan itu mempermasalahkan sikap Dexter yang menurutnya terlalu berlebihan pada Gendis. Namun Dexter menjelaskan bahwa ia bersikap demikian karena perempuan itu sedang mengandung anak mereka berdua. Dan wanita hamil harus mendapat perlakuan yang istimewa demi calon bayi dalam kandungannya. Barulah Catherine mengerti.Gendis duduk dengan tegang di sebelah Dexter. Banyak kekhawatiran menghantui kepalanya. Ia takut Catherine kembali memperlakukannya dengan buruk. Apalagi Dexter jarang di rumah. Jangan sampai Catherine lepas kontrol lalu membunuhnya atau mencekiknya hidup-hidup.Dexter yang sedang menyetir menoleh ke arah Gendi
Sudah hampir satu bulan Gendis berada di rumah Dexter. Sampai sejauh ini Catherine bersikap baik padanya. Entah itu di depan atau pun di belakang Dexter. Gendis bersyukur atas perubahan Catherine tersebut. Yang Gendis tidak tahu adalah bahwa Catherine mengetahui bahwa Dexter memasang CCTV di setiap sudut rumah sehingga tidak memberi celah pada Catherine untuk berbuat jahat.Setiap hari Dexter meninjaunya. Tidak ada yang aneh terjadi di rumah itu. Sikap Catherine juga biasa pada Gendis. Dexter tidak menyesali keputusannya membawa Gendis ke rumahnya.Hari-hari berlalu tanpa terasa. Bulan ini kandungan Gendis sudah berada di bulan ke sembilan. Gendis sudah merasakan sakit-sakit yang dirasakan ibu hamil seperti sakit pinggang, punggung dan perut. Serta pegal di mana-mana.Semakin dekat dengan due date-nya Gendis merasa sedih. Artinya sebentar lagi ia akan berpisah dengan anak yang sembilan bulan ini tumbuh di dalam rahimnya. Tiba-tiba rasa tidak rela itu datang.Gendis yang mengandung den
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen