Pukul delapan malam Dexter, Catherine, serta Gendis tiba di kediaman Rexa. Mobil Josh terparkir rapi di depan rumah megah itu. Ternyata Josh, Rosa serta dua orang anaknya sudah tiba lebih dulu.Saat masuk ke dalam rumah Catherine melihat Rosa sedang membantu asisten rumah tangga menata hidangan.Dasar penjilat. Catherine benci melihatnya. Pasti Rosa sengaja melakukan hal tersebut untuk mengambil hati Martha, mertua mereka."Bu Rosa, Ibu duduk saja, biar saya yang bantu Eci." Gendis yang tahu diri segera turun tangan. Eci adalah nama pembantu di rumah Martha."Nggak apa-apa, ini sudah hampir selesai kok," jawab Rosa. "Oh iya, kamu tolong potong-potong pudingnya ya," sambungnya memberi titah."Baik, Bu." Dengan segera Gendis melakukannya.Selagi Gendis, Rosa, dan Eci sibuk menata makanan untuk hidangan dinner, Catherine tidak melakukan apa-apa. Perempuan itu duduk santai sambil bermain ponsel."Tante Keket!" Andrew dan Kelly datang mendekat. "Adek bayinya kapan lahir?" tanya anak-anak i
Gendis memegang foto hasil USG tersebut dengan tangan gemetar. Kemudian dilangkahkannya kaki dengan lunglai ke arah Catherine. Apa maksud Catherine mengedit foto hasil USG itu? Kenapa menukar nama Gendis dengan namanya? Dan bagaimana cara melakukannya? "Ini, Bu." Gendis memberikan hasil foto USG itu dengan sopan kepada Catherine. "Terima kasih ya." Gendis menjawab ucapan terima kasih Catherine dengan seulas senyum tipis dan anggukan kepala kemudian undur diri ke tempatnya tadi. "Mi, Pi, coba lihat ini foto hasil USG aku," pamer Catherine bangga kemudian menyodorkan pada Martha. Mertua perempuannya itu mengamati dengan saksama. Sebuah senyum membingkai bibirnya, pertanda ia merasa bahagia. "Akhirnya kamu hamil juga, Cat. Mami ikut bahagia. Kesabaran kamu berbuah manis." "Iya, Mi. Aku nggak menyangka di tahun kelima pernikahanku dan Dexter kami dikaruniai anugerah yang sangat luar biasa. Iya kan, Dex?" tatap Catherine mesra pada Dexter yang duduk di sebelahnya. Dexter m
"Maksudnya mengasingkan gimana?" Dexter ingin lebih jelas."Kita tempatkan dia di tempat lain.""Di tempat lain mana?""Terserah. Yang penting nggak tinggal di sini."Dexter menatap Catherine dengan lekat sembari menganalisa ide istrinya. Dexter khawatir kalau Gendis tinggal sendiri bisakah perempuan itu mengatasinya kalau terjadi sesuatu?"Kita carikan rumah untuk dia dan suruh dia tinggal di sana. Kita penuhi kebutuhannya agar dia nggak perlu lagi berkeliaran di luar. Gampang kan?" tutur Catherine enteng."Kalau terjadi sesuatu dengan dia gimana, Cat?" Dexter masih merasa bimbang."Nggak akan ada apa-apa. Lagian dia masih bisa menelepon kita kalau terjadi sesuatu. Gimana menurutmu?" Catherine meminta pendapat Dexter.Dexter tidak langsung menjawab. Pria itu memikirkan segala sesuatunya karena setiap tindakan pasti memiliki risiko."Udahlah, Dex, nggak usah kebanyakan mikir. Terima saja ideku. Lagian ini semua demi kebaikan kita juga." Catherine terus memaksa agar Dexter menjalankan
Air mata Gendis hampir saja berderai. Ke mana ia akan melangkah setelah Catherine mengusirnya?Bukannya tidak suka. Justru pergi dari rumah itu membuat Gendis bisa memiliki anak di dalam kandungannya. Masalahnya, Gendis tidak punya pegangan. Ia tidak tahu arah dan tujuan. Gendis tidak mungkin kembali ke kampung dalam keadaan hamil. Orang tuanya bisa malu. Apa bedanya ia dengan para TKW yang pulang dalam keadaan hamil atau membawa anak namun tanpa memiliki suami?"Sudah siap?" Tiba-tiba terdengar suara Dexter. Lelaki itu heran lantaran Gendis bersimpuh di lantai sedangkan Catherine di sofa. Selama ini Catherine selalu memperlakukan Gendis dengan baik."Dex, kamu sudah pulang? Astaga, Gendis, saya kan sudah suruh duduk sama saya di sini. Nggak usah duduk di lantai." Catherine pura-pura terkejut. Perempuan itu bangkit dari sofa kemudian menarik tangan Gendis agar berdiri.Catherine mulai lagi dengan dramanya. Gendis tahu itu.Gendis berdiri. Ia mengikuti permainan Catherine."Dex, benta
Catherine terus memberengut selama perjalanan pulang. Istrinya yang biasanya cerewet membuat Dexter bertanya-tanya apa yang terjadi pada Catherine."Kamu kenapa, Cat?" tanya Dexter setelah menoleh pada perempuan itu. "Dari tadi kuperhatiin kamu cemberut terus. Ada masalah?"Catherine mendengkus lantas membuang pandang ke luar jendela mobil."Ayolah, Cat, aku nggak ngerti kalau kamu hanya diam kayak gini. Kamu marah sama aku?""Iya!" ketus Catherine setelah membalas tatapan Dexter."Kamu marah kenapa?""Kenapa kamu nggak bilang dulu ke aku kalau Gendis bakal ditempatin di apartemen? Udah gitu semua peralatannya lengkap. Kamu terlalu berlebihan, Dex." Catherine yang selama ini terbiasa berpura-pura tidak sanggup lagi menahan kekesalannya lalu menumpahkan pada Dexter."Lho, bukannya kamu sendiri yang bilang agar kita melengkapi peralatannya agar dia nggak perlu susah-susah keluar?" kata Dexter mengingatkan.Catherine meneguk ludah. Ia memang pernah bilang begitu. Tapi nggak selengkap itu
Gendis berdiri di depan cermin memandangi presensinya di sana. Semua pakaiannya sudah berada di dalam tas. Ia hanya tinggal pergi.'Maafin saya, Pak Dexter. Saya sangat menyayangi anak ini. Saya tidak sanggup memberikannya pada Bapak jika dia sudah lahir,' bisiknya di dalam hati.Gendis sadar tindakannya adalah hal yang tidak benar. Dirinya akan menjadi seorang pecundang yang kabur dari tanggung jawab. Tapi bolehkah untuk kali ini saja Gendis mempertahankan miliknya?Saat akan membalikkan tubuh refleksi seseorang tertangkap di dalam cermin tempatnya berkaca.Gendis terkejut bukan main. Dexter sudah berada di belakangnya."P-Pak Dexter?" lafal Gendis tergagap. Ia tidak tahu kenapa lelaki itu tiba-tiba datang di saat dirinya hendak pergi."Kamu mau ke mana?" tanya Dexter dengan tatapannya yang tegas melihat Gendis menggunakan pakaian bepergian yaitu salah satu baju yang pernah dibelikannya dulu.Gendis takut untuk mengaku. Ia menutupi tas kain yang berada di belakangnya dengan kedua kak
"Gimana, Dex? Nggak keliatan banget kan?" Dexter memandang Catherine yang saat ini tengah memasang perut palsu. Perut palsu berbahan silikon itu berhasil ia dapatkan dengan membelinya di e-commerce luar negeri. Memang ada yang menjualnya di Indonesia tapi kurang meyakinkan. Sedangkan perut palsu yang dibeli Catherine benar-benar terlihat nyata sehingga orang-orang yang melihatnya akan mengira Catherine hamil betulan. "Nggak," jawab Dexter sekenanya sambil memasang dasi di lehernya. Perut palsu itu berhasil didapatkan Catherine lebih kurang dua bulan yang lalu atau lebih tepatnya sejak mereka mengasingkan Gendis. Rencana awal untuk mencari pembantu dan supir juga gagal terlaksana lantaran tidak mungkin Catherine memasang perut palsu itu sepanjang hari. Sejak ada perut palsu itu Catherine bebas melenggang-lenggok keluar rumah. Ia tidak perlu khawatir ada yang mengetahuinya. Ia juga bebas memamerkannya pada Rosa. Pada akhirnya ia berhasil membungkam mulut perempuan itu. "Cat,
Gendis berjalan ke ruang belakang bagaikan sedang melayang. Selaras dengan perasaannya yang saat ini sedang melambung.Memangnya siapa yang tidak akan bahagia jika mengalami kondisi seperti Gendis?Gendis yang pada awalnya rendah diri dan mengira dirinya hanya dianggap sebagai pembantu ternyata bagi Dexter adalah seorang istri. Seluruh kupu-kupu dalam perutnya mengepakkan sayap. Perasaannya pecah dan membuncah.Saking bahagianya Gendis membuatkan teh untuk Dexter dengan tangan gemetar. Begitu pun ketika mengoleskan selai strawberry ke roti tawar untuk laki-laki itu. Selagi menunggu Gendis menyiapkan sarapan untuknya Dexter menyalakan televisi lalu menonton siaran berita pagi. Ia mendengar penyiar menyampaikan berita tentang kenaikan cukai rokok. Sebagai pengusaha yang membidangi usaha itu spontan membuat Dexter sakit kepala. Apalagi belakangan ini banyak konsumen yang beralih pada rokok ilegal yang harganya hanya seperlima dari rokok produksi Sapphire Group."Silakan diminum, Pak,