Pemilih tubuh mungil itu terbaring lemah di atas tempat tidur. Wajahnya pucat. Jelas sekali kalau ia masih merasa ketakutan. Sudah dua kali ia mengalami kejadian buruk. Sudah dua kali juga ia selamat dari maut."Apa Bapak yang menyelamatkan saya?" tanyanya lirih sambil menatap Dexter yang berdiri di dekatnya."Bukan saya, tapi Tuhan. Saya hanya perantara," jawab pemilik suara bariton itu.Jawaban Dexter yang menyiratkan kerendahan hatinya membuat Gendis semakin mengagumi lelaki itu di dalam hati. Selama ini Gendis pikir Dexter adalah pria yang dingin karena sikap yang ditunjukkannya. Dexter juga jarang bicara dengan Gendis. Kalaupun mereka berinteraksi itu pun terpaksa karena ada hal yang penting."Terima kasih, Pak." suara Gendis masih selirih tadi."Sekarang gimana keadaan kamu? Apa yang kamu rasakan?""Saya sudah merasa baikan, Pak. Bisakah kita kembali ke hotel sekarang?" Gendis merasa tidak nyaman berada di tempat itu. Apalagi saat melihat Catherine baru saja masuk ke ruangan la
Gendis memandangi langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Banyak pikiran berseliweran di kepalanya. Ia teringat pada ancaman Catherine saat di rumah sakit tadi. Bahwa ia harus hamil paling lambat akhir bulan ini. Tapi bagaimana caranya? Semua itu di luar kuasanya. Andai saja bisa Gendis akan membuat dirinya hamil secepat mungkin agar ia bisa lepas dari tekanan Catherine.Lalu setelahnya apa? Ke mana dirinya akan pergi setelah anak itu lahir dan Dexter menceraikannya?Gendis tidak mungkin kembali ke kampungnya. Tidak ada harapan di sana. Malahan para gadis seusianya banyak yang mencari kerja ke kota atau menjadi TKW di luar negeri. Sayangnya kebanyakan dari mereka bukannya sukses melainkan pulang dalam keadaan menyedihkan. Ada yang diperkosa majikannya lalu pulang dengan membawa anak. Ada juga yang menjadi korban kekerasan atau malah tidak digaji sama sekali.'Apa bedanya mereka denganku?' pikir Gendis. Ia juga harus mengandung anak majikannya. Mungkin yang membedakannya adalah Gend
Cukup lama Dexter berdiri di depan pintu kamar Gendis sampai ia memiliki keberanian untuk mengetuknya. Dexter sudah membulatkan tekad. Ia harus membuat Gendis hamil secepatnya. Ia tidak mau menyakiti perasaan Catherine lebih lama lagi. Kasihan Catherine. Walau istri pertamanya itu tampak bahagia-bahagia saja, boleh jadi di dalam hatinya ia menyimpan perasaan sedih. Tok tok tok ... Ketukan di pintu kamarnya membuat Gendis terkesiap. Hanya ada dua kemungkinan yang datang. Dexter atau Catherine. Dengan hati-hati Gendis turun dari tempat tidur yang ditempatinya lalu melangkah pelan untuk membuka pintu. Sosok tinggi menjulang itu berdiri di hadapannya. "Pak Dexter ..." Jantung Gendis berdebar kencang saat tahu Dexterlah yang datang menemuinya. "Boleh saya masuk?" tanya lelaki itu. Tumben Dexter bertanya. Biasanya setelah mengetuk pintu lelaki itu akan langsung menerobos begitu saja. "Bo-boleh, Pak." Lagi-lagi Gendis tergagap seperti biasa. Dexter melangkahkan kakinya ma
Tiga minggu telah berlalu sejak mereka liburan di Lombok. Itu artinya sudah akhir bulan saat ini. Perasaan Gendis ketar-ketir tak karuan karena jika sampai ia masih belum hamil juga maka Catherine akan mengusirnya. Ke mana Gendis akan pergi? Ia tidak punya tempat berteduh selain di rumah ini. Malam itu ketika Dexter meminta agar tidak tidur sampai pagi, mereka benar-benar melakukannya. Mereka bercinta nyaris tanpa jeda. Begitu pun setelah selesai liburan. Setiap malam Dexter tidak pernah absen mengunjungi kamarnya. "Gimana? Masih belum hamil juga?" Gendis yang sedang sibuk di dapur tersentak ketika mendengar suara Catherine yang lebih mirip dengan bentakan. "Maaf, Bu, saya belum periksa," jawab Gendis takut-takut. Ini sudah akhir bulan, wajar jika Catherine menagih janjinya seperti yang dulu perempuan itu katakan. "Jadi apa saja yang kamu lakukan selama ini? Hanya menikmati percintaan dengan suami saya?" Nada suara Catherine meninggi. "Maaf, Bu, saya tidak pernah menikmat
Mata sepasang suami istri tersebut masih terpaku di wajah Gendis ketika tiba-tiba perempuan itu bergerak perlahan bersamaan dengan terbukanya kelopak matanya yang terkatup. Gendis tampak bingung melihat keadaan di sekelilingnya.“Bu Catherine, Pak Dexter,” panggilnya lirih.Catherine tersenyum pada Gendis dan cepat memberitahu. “Kita sedang di rumah sakit. Tadi kamu pingsan.”“Pingsan?” Gendis mengulangi ucapan Catherine lantas mencoba mengingat-ingat kejadian tersebut.“Tadi kamu saya suruh istirahat tapi kamu nekat ingin belanja bulanan sendirian. Terus kamu pingsan setelah pulang dari supermarket."Ah, pintar sekali perempuan ini bersandiwara."Saya sakit apa, Bu? Kenapa bisa pingsan?"Senyum Catherine melengkung lebar. Ia bertatapan dengan suaminya sebelum mengembalikan pandangannya pada Gendis.“Gendis, berdasarkan hasil pemeriksaan dokter kamu dinyatakan hamil," beritahu Catherine dengan wajah berbinar ceria.Gendis terperangah. Matanya membulat sempurna.“Hamil?” ujarnya mengu
Bukan Catherine namanya jika tidak pandai bersandiwara. Ia sudah lihai melakukannya. Jangan lupakan kalau ia memiliki seribu satu wajah yang bisa diganti-ganti sesuai dengan kondisinya.Catherine cepat membingkai senyum di bibirnya untuk menutupi kegugupan."Aku ini tipe orang yang susah gemuk. Mau makan sebanyak apa pun badanku ya segini-gini aja. Jadi jangan heran kalau kandunganku masih kecil dan nggak keliatan kayak orang lagi hamil.""Tapi temanku ada yang kayak kamu juga lho, Cat. Dia langsing. Berat badannya susah naik walau makan banyak kayak yang kamu bilang. Tapi waktu dia hamil keliatan kok kalau perutnya berubah. Tapi kamu kok beda ya?"Ucapan Rosa begitu menohok hati Catherine. Melalui kata-katanya Rosa seakan ingin menyatakan bahwa ia tidak memercayai kehamilan Catherine."Setiap orang memang berbeda, Ros, nggak ada yang sama. Aku salah satunya. Tapi tenang aja, aku memang hamil kok. Kita tinggal menunggu waktu sampai perutku membesar.""Oh, okay. Jangan tersinggung ya,
Melihat perubahan ekspresi Catherine, Rosa lekas tertawa dan berkata, "Sorry, Cat, aku hanya bercanda. Jangan diambil hati ya.""I know. Kamu orangnya kan memang suka bercanda." Catherine menjawab sambil menahan marah di hatinya.Kemudian Rosa berbicara pada sepasang anak kembarnya. "Anak-anak, ayo kita pulang. Tante Catherine mau istirahat. Kasihan adek bayinya.""Baik, Ma." Dengan kompak sepasang anak kembar itu menjawab."Ayo salaman dulu sama Tante Catherine."Kelly dan Andrew mengulurkan tangan pada Catherine. Dengan enggan perempuan itu menyambut."Kami pulang dulu, Tante," ucap keduanya sambil bergantian mencium punggung tangan Catherine."Hati-hati ya anak-anak baik." Catherine menjawab dengan senyum palsunya. Ia tahu semua yang diperlihatkan anak-anak itu juga palsu. Ibu merekalah yang mengajarkan."Cat, aku pulang ya. Jaga kandunganmu baik-baik. Oh iya, apa kamu nggak berniat mengadakan syukuran atas kehamilanmu? Aku dulu begitu. Aku dan Josh juga menjalani maternity photosh
"Tadi Rosa dan anak-anaknya datang ke sini. Dia nggak percaya kalau aku hamil," curhat Catherine malam itu pada Dexter."Atas dasar apa dia bilang begitu?" tanya Dexter menanggapi."Karena ukuran perutku nggak berubah. Itu orang emang nyebelin.""Kamu nggak perlu marah sama dia, Cat. Wajar kalau dia curiga.""Jadi kamu membela dia?" Catherine tidak suka mendengar ucapan Dexter yang terkesan berpihak pada rivalnya."Aku nggak membela siapa-siapa. Aku hanya memandang secara netral. Coba tempatkan posisi kamu sebagai Rosa. Jika ada temanmu yang hamil tapi ukuran perutnya nggak berubah dari hari ke hari, apa kamu nggak curiga?"Catherine berdecak. Tentu saja ia akan curiga. Tapi ia tidak akan sekepo Rosa si penjilat, pengganggu, suka mencampuri urusan orang lain dan banyak lagi julukan yang Catherine sematkan padanya."Kamu marah aku bilang begitu?" tanya Dexter lagi melihat Catherine terdiam dengan wajah dilipat."Aku cuma nggak suka kamu membela dia. Padahal aku curhat ke kamu karena in