Melangkah dengan terseok-seok, Gendis berhasil masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan terburu-buru. Saat buang air kecil area genitalnya terasa perih. Gendis mencoba menahannya walau saat ini sekujur tubuhnya terasa remuk redam.
Selesai mandi tubuhnya malah semakin meriang sehingga ia harus memakai jaket. Dibukanya laci, jari-jemarinya mencari Paracetamol yang disediakannya sejak lama, just in case ada sesuatu padanya. Biasanya saat merasakan gejala tidak enak badan Gendis terlebih dahulu mengantisipasinya dan selalu berhasil. Ia tidak pernah demam dan absen kerja. Setelah menenggak sebutir pil Gendis keluar dari kamar masih dengan langkah yang sama. Terseok-seok. Hal pertama yang dilakukannya adalah menyediakan sarapan. Gendis pikir ia tidak akan sempat lagi membuat makanan berat sebagai menu sarapan untuk Dexter. Maka yang dilakukannya adalah memasak bubur. Ia harap Dexter suka dan tidak akan marah. Mengingat selama ini Dexter hanya makan makanan berat untuk sarapan pagi. Berkebalikan dengan Catherine yang hanya sarapan dengan menu ringan seperti susu dan roti. 'Kenapa kepalaku masih pusing?' Gendis bertanya-tanya sendiri di hatinya. Biasanya obat yang ia minum efeknya sangat cepat. Tapi tidak kali ini. Apa ia harus menenggak satu pil lagi? Tapi Gendis takut over dosis. "Masak apa kamu?" suara Catherine tiba-tiba saja terdengar, membuat Gendis terperanjat. Perempuan itu ternyata sudah berada di dekatnya. Gendis menoleh lalu menjawab, "Saya sedang masak bubur kacang hijau, Bu." "Untuk Bapak?" "Iya, Bu." "Berapa kali saya bilang? Bapak kalau sarapan harus dengan menu yang berat-berat. Bapak nggak akan suka bubur ini," omel Catherine. "Maaf, Bu, karena saya bangun terlambat saya takut Bapak ikut terlambat ke kantor. Jadi saya bikin yang simpel saja." Itu alasan Gendis. "Makanya jangan malas-malasan. Jangan ngelunjak kamu!" Gendis hanya menunduk tanpa berani melawan majikannya. Ia takut pembelaan dirinya membuat Catherine semakin marah. Setelah bubur itu matang dan siap untuk disantap Catherine menyuruh Gendis masuk ke kamarnya. "Sekarang kamu masuk ke kamar." "Maksud Ibu mau memberi saya waktu istirahat?" Gendis tidak paham kenapa Catherine menyuruhnya. "Jangan banyak tanya. Lakukan saja apa yang saya suruh." "Baik, Bu, terima kasih," ucap Gendis begitu sopan sambil menundukkan sedikit kepalanya. Catherine menyedekapkan tangan di dada sambil memandang punggung Gendis yang menjauh. Ia merasa harus berhati-hati pada Gendis. Bukan tidak mungkin perempuan yang seperti anak kucing itu berubah menjadi harimau buas yang akan menerkamnya. Di kamarnya Dexter baru saja selesai mandi. Tepat di saat ia membuka pintu kamar mandi, pintu kamar juga terbuka. Catherine masuk ke dalamnya. Catherine tersenyum. "Dari mana, Cat?" Sejak tadi Dexter tidak menemukan istrinya di kamar. "Aku baru nyiapin sarapan untuk kamu." "Kenapa kamu yang nyiapin?" Dexter keheranan. Tidak pernah ada dalam sejarah Catherine 'masuk dapur'. Perempuan itu mana bisa memasak. Bahkan merebus air juga gosong. "Hari ini aku menggantikan tugas Gendis. Aku ingin dia menikmati hari sebagai pengantin baru. Dia pasti lelah setelah semalam." Dexter terdiam. Terbuat dari apa hati istrinya ini? Kenapa begitu mulia? "Dex, ini baju kamu." Catherine mengambil sehelai kemeja berwarna navy dari dalam lemari lalu memberikannya pada Dexter. Dexter memakainya. Catherine membantu mengaitkan satu demi satu kancing kemeja pria itu. Begitu pun dengan dasinya. "Tumben kamu begini?" heran Dexter. Biasanya Catherine mana pernah mengaitkan kancing kemejanya apalagi memasangkan dasi. Bahkan Dexter sendiri yang mengambil pakaian dari dalam lemari. "Aku ingin jadi istri yang baik biar kamu tambah cinta." Catherine mendongak menatap Dexter. "Dari dulu kamu sudah menjadi istri yang baik. Sangat baik," jawab Dexter penuh penekanan. "Kamu sudah membuktikannya, Cat," imbuhnya. Catherine membingkai senyum. Dengan sedikit berjingkat diciumnya pipi lelaki itu lalu mengajak ke ruang makan. "Bubur?" lontar Dexter penuh tanda tanya ketika melihat menu yang tersaji. "Ya. Ini aku yang bikin biar kamu nggak bosan. Si Gendis kalau bikin sarapan pasti menunya itu-itu saja. Jadi aku pikir biar nggak monoton apa salahnya," jawab Catherine yang begitu piawai playing drama. "Aku tahu kamu nggak suka bubur tapi nggak ada salahnya dicoba dulu." "Kalau istriku yang bikin aku pasti suka kok," jawab Dexter yang membuat Catherine tersenyum lebar. Lelaki itu lalu menyuap bubur yang masih mengepulkan uap hangat. Ia merasa-rasai di lidahnya kemudian mengacungkan jempol. "Enak banget. Manisnya pas, kekentalannya juga nggak berlebihan," puji Dexter. "Sejak kapan kamu bisa masak?" Catherine tertawa. "Dari dulu aku bisa, kamu-nya aja yang nggak tahu." Dexter menyuap bubur tersebut dengan lahap. Ia bahkan sampai menambah seporsi lagi. Setelah perutnya kenyang seperti biasa Dexter berangkat ke kantor. Baru saja mobil Dexter meninggalkan pekarangan rumah, Catherine memacu langkah ke kamar Gendis. Dibukanya pintu dengan kasar lalu membentak gadis itu yang sedang tertidur. "Gendis! Bangun! Sekarang bukan waktunya malas-malasan! Sana kerja!" Gendis terkejut. Sepasang matanya terbuka dengan cepat. Detak jantungnya juga mengencang akibat dibangunkan tiba-tiba. Rasanya belum lama ia beristirahat. "Bu Catherine, saya minta waktu sedikit lagi," pinta Gendis lemah. Obat tadi masih tidak berefek padanya. "Nope! Saya sudah kasih waktu, dan itu sudah cukup. Sekarang bersihkan rumah, cuci piring, pel semua bagian ruangan, ganti air aquarium sekaligus bersihkan kolam renang." Kepala Gendis berdenyut-denyut mendengar perintah itu. "Bu Catherine, saya mohon, Bu, izinkan saya istirahat satu jam lagi." "Dari tadi kamu sudah istirahat. Sekarang saatnya kerja. Kamu di sini bukan untuk memakan gaji buta!" Catherine menarik tangan Gendis dengan keras hingga perempuan itu terpaksa turun dari ranjangnya. Dengan keadaan antara hidup dan akan mati Gendis melakukan semua yang Catherine suruh sampai seluruh tenaganya habis tak bersisa. *** Setelah kerja rodi tadi siang, malam ini kondisi Gendis bertambah parah walau ia sudah meminum lagi obatnya. Gendis tidak menyangka efek lepas perawan pada dirinya akan sedahsyat itu. Semua semakin diperparah oleh sikap majikannya yang tidak mau mengerti keadaannya. Pukul sepuluh malam pintu kamar Gendis diketuk. Gendis terkesiap. Dexterkah itu? Berjalan dengan kaki melebar Gendis membuka pintu. "Pak Dexter ...," lirihnya. Dexter melangkah masuk. "Buka pakaian kamu dan belakangi saya,” perintahnya sama dengan kemarin. "Pak, maaf, saya—" "Jangan membantah. Saya hanya sebentar. Saya nggak ingin lama-lama di sini." Gendis yang tidak diberi kesempatan untuk bicara terpaksa memenuhi keinginan Dexter. Tubuh perempuan itu polos sempurna. Sedangkan di belakangnya Dexter masih berpakaian lengkap. Lelaki itu menghentak dan menghujamnya dengan keras. Gerakannya yang kencang membuat sakit yang dirasakan Gendis semakin parah. Tepat di saat Dexter menarik diri setelah selesai memasukkan benihnya, Gendis luruh ke lantai. Perempuan itu pingsan dalam keadaan tanpa busana. ***Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana.Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati.Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine."Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya.Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana.Dexter men
Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang."Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan."Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter.Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan."Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya.Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang
Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora
"Kita sudah sampai, Mbak."Gendis tersentak dari lamunannya mendengar suara supir taksi. Sejak dari rumah tadi dirinya melamun sepanjang perjalanan.Masih dari dalam taksi, Gendis mendongak, menatap ke arah gedung tinggi puluhan tingkat yang terpampang di ruang matanya.Gendis mengeja di dalam hati tulisan 'Shappire Group.'Shappire Group merupakan perusahan milik orang tua Dexter yang memiliki banyak anak perusahaan. Di anak-anak perusahaan tersebut Dexter dan Josh bekerja. Sedangkan perusahaan induk dipegang oleh Rexa, ayah kedua pria itu.Gendis bergegas merogoh tote bag. Diambilnya uang dari sana, diberikannya pada supir taksi sambil berucap, "Terima kasih".Taksi melaju pergi. Gendis masih berdiri di depan gedung tinggi itu sambil mengira-ngira di lantai berapa Dexter berkantor. Tadi Dexter hanya menyebutkan alamatnya via SMS tanpa mengatakan ruangannya di lantai berapa.Suara klakson mobil yang lewat mengejutkan Gendis. Perempuan itu tersentak. Entah sudah berapa lama ia termang
Sania menunjukkan pantry pada Gendis beserta letak gula dan kopi. Gendis berpikir sesaat. Ia merasa bingung. Tadi Dexter menyuruhnya untuk membuat kopi hanya untuk teman-temannya. Kurang etis rasanya kalau hanya membuat dua cangkir. Maka Gendis membuat tiga cangkir kopi untuk Dexter dan teman-temannya.Selagi Gendis bekerja, mulai dari menyendokkan kopi dan gula ke cangkir sampai menuang air panas, Sania terus memerhatikannya sambil mengejek di dalam hati.Gendis tidak peduli apa pun pendapat orang-orang tentangnya. Ia tetap fokus dengan kopinya. Sebenarnya ada mesin kopi di sana, sama dengan di rumah Dexter. Hanya saja Dexter pernah mengatakan pada Catherine ia lebih suka kopi manual daripada yang dihasilkan mesin kopi."Sini biar saya bantu membawanya ke ruangan Pak Dexter. Kamu silakan pulang." Sania memerintah Gendis. "Biar saya saja, Mbak, tadi Pak Dexter yang menyuruh saya," jawab Gendis menolak."Pak Dexter hanya menyuruh kamu membuat kopi bukan mengantarnya." Sania yang ingi
Gendis menunggu Dexter di lobi seperti yang disuruh laki-laki itu padanya tadi. Ia duduk di salah satu sofa yang ada di sana.Di lobi yang luas itu Gendis bisa merasakan pandangan dua resepsionis tadi padanya. Keduanya masih tertawa geli sambil berbisik-bisik, yang Gendis tahu sedang membicarakannya.Gendis mengabaikannya. Ia tidak tahu. Selain menertawakan dandanannya apa lagi yang diledek oleh kedua perempuan itu?Apa Gendis terlihat sangat jelek? Apa mukanya sangat tidak enak dilihat sehingga dua wanita itu tidak berhenti menatapnya dengan pandangan mencemooh?Gendis menunduk, menatap jas Dexter yang tengah dipakainya saat ini. Ia baru mengetahui sisi lain dari seorang Dexter. Lelaki itu ternyata sangat baik. Gendis hampir tidak percaya kalau dia mau meminjamkan jasnya pada Gendis. Padahal Gendis hanya pembantunya.Jari-jemari Gendis mengusap lembut jas berwarna navy itu. Aroma parfum Dexter lengket di sana. Aroma yang soft tapi maskulin.Diam-diam Gendis menciumi pergelangan tanga
Gendis turun dari taksi dengan perasaan takut-takut. Jangan-jangan Catherine sudah pulang. Perempuan itu pasti marah jika tahu suaminya membelikan banyak pakaian untuk Gendis. Untung mobil Catherine tidak ada di depan rumah yang artinya dia belum pulang.Gendis merasa lega. Cepat-cepat perempuan itu masuk ke kamarnya. Ia bercermin di depan kaca. Tangannya masih merah. Tapi rasa sakitnya seolah terkikis oleh sikap manis Dexter tadi.Gendis mengambil handphone untuk mengabari Delia bahwa ia sudah mengirimi uang untuk biaya pengobatan ibu mereka. Gendis berjanji akan mencari tambahan untuk kekurangannya. Tadi setelah dari mall Gendis tidak langsung pulang. Ia mengirim uang untuk Delia terlebih dulu.Gendis mencoba baju yang dibelikan Dexter satu demi satu. Semua indah. Semua bagus. Membuatnya terlihat menarik. Tapi Gendis tidak habis pikir bagaimana mungkin Dexter membelikannya baju sebanyak itu? Seharusnya lelaki itu hanya membelikan satu helai baju saja sebagai pengganti baju Gendis y