Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang.
"Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan. "Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter. Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan. "Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya. Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang tidur lelap. Tadi setelah Dexter mengangkat Gendis ke mobil ia menyuruh Catherine duduk di belakang memangku kepala Gendis. Tapi dengan lugas Catherine menolak. Ia merasa sangat terhormat. Gendis tidak pantas mendapatkan perlakuan tersebut darinya. Setelah tiba di rumah sakit Dexter turun lebih dulu lalu dengan cepat membopong tubuh Gendis, membuat Catherine tertinggal di belakang. Catherine semakin kesal. Dexter seolah menganggapnya tidak ada di sana. Setelah bertemu dengan petugas jaga malam itu Dexter menjelaskan kronologinya. Tapi tentu saja tidak menyebutkan bagian bercintanya. Ia hanya mengatakan Gendis pingsan tiba-tiba. Selagi petugas rumah sakit menangani Gendis, Dexter menunggu di luar dengan Catherine. "Seingatku sebelum ini selama dia kerja dengan kita dia nggak pernah pingsan. Iya kan, Cat?" Catherine mengedikkan bahu. "Aku nggak tahu." "Nggak tahu gimana? Selama ini yang sering di rumah kan kamu bukan aku. Jadi seharusnya kamu tahu." Dexter keheranan. Bagaimana mungkin istrinya tidak mengetahui keadaan asisten rumah tangga mereka padahal Gendis sudah cukup lama bekerja di rumah keduanya. "Kalau aku sering di rumah bukan berarti aku mengawasi dia dua puluh empat jam kayak orang nggak ada kerjaan." "Oke, oke. Aku ngerti. Tapi bukan itu yang kumaksud." Dexter mengalah mendengar nada tinggi dalam suara Catherine. Diraihnya jemari perempuan itu lalu mengunci dalam genggaman agar dia melunak. Hening menemani kebersamaan mereka selama beberapa saat. Sampai Dexter teringat sesuatu. Mungkin saja Gendis terlalu lelah karena pekerjaannya yang banyak. Apalagi setelah supir mereka yang merangkap jadi tukang kebun sudah diberhentikan. Jadi otomatis Gendislah yang mengerjakan semuanya. "Cat, mungkin Gendis pingsan karena terlalu lelah." "Terlalu lelah gimana?" balas Catherine. "Justru Seharian ini aku meminta dia istirahat dalam rangka menikmati momen pengantin barunya. Dan akulah yang menggantikan tugas dia. Aku memasak, mencuci piring, mengepel seluruh bagian rumah, ganti air aquarium sampai membersihkan kolam renang. Jadi bagaimana bisa kamu bilang dia kelelahan?" "Oh ya? Jadi istriku yang cantik ini beneran udah bisa masak?" Dexter memang tidak makan siang di rumah. Tadi ia juga pulang malam dan makan di luar sehingga tidak tahu apa yang terjadi. "Don't underestimate me, Dex." Catherine pura-pura cemberut. Dexter tertawa kecil. Satu ide melintas di kepalanya yang langsung ia sampaikan pada Catherine. "Cat, gimana menurutmu kalau gaji Gendis kita naikkan? Sejak kita memberhentikan Pak Darto otomatis dia yang merawat taman dan koleksi bunga-bunga kamu yang mahal itu. Hitung-hitung sebagai apresiasi. Apalagi selama ini dia nggak pernah bertingkah." Catherine tidak langsung membalas perkataan Dexter. Entah bagaimana cara Gendis mendoktrin suaminya sehingga membuat Dexter termakan pengaruhnya. "Dex, aku rasa itu nggak perlu." Catherine menjawab setengah menit kemudian. "Kenapa enggak?" "Aku sudah kasih dia dua ratus juta sebagai upah atas sewa rahimnya." "Apa? Kamu kasih dia uang sebanyak itu tapi aku nggak tahu?" Dexter tentu terkejut. Catherine tidak berdiskusi dengannya dulu. "Aku rasa dia pantas menerima uang itu sebagai jasa peminjaman rahimnya. Kalau nggak ada dia entah apa jadinya kita. Si songong Rosa pasti akan semakin leluasa menginjak-injak harga diriku. Please, jangan marah ya. Aku hanya takut kamu nggak setuju aku memberi uang sebanyak itu pada Gendis. Please, Dex, jangan marah ya ... " Catherine menunjukkan wajah bersalahnya yang membuat Dexter seketika memeluk perempuan itu. Dexter merasa terharu. Catherine begitu baik, hatinya sangat mulia. Tidak hanya mengorbankan perasaannya malah masih memberi Gendis uang yang nominalnya tidak sedikit. "Kamu baik banget, Sayang. Aku udah nggak ngerti lagi apa yang ada di pikiran kamu." Bibir Catherine membentuk senyum asimetris di dalam dekapan Dexter. "Aku sadar diri atas kekuranganku, Dex. Aku nggak bisa hamil dan memberikan keturunan untuk kamu. Jadi ketika ada orang yang bisa menggantikanku merupakan hal yang sangat berarti bagiku. Aku berutang budi pada Gendis." "Ssshh!" Dexter melepaskan pelukan lalu meletakkan telunjuknya di bibir Catherine. "Apa pun keadaannya, bagiku kamu sangat sempurna, Sayang. Kamu wanita yang hebat. Kamu istri yang luar biasa. I love you." "I love you too, Dex." Sepasang suami istri itu saling mengumbar kata-kata mesra dengan tatapan penuh cinta. Salah seorang petugas rumah sakit yang muncul menginterupsi kebersamaan keduanya. Dexter dan Catherine berdiri. "Pak, pasien sudah sadar tapi sebaiknya dirawat di sini dulu sampai kondisinya benar-benar stabil. Silakan hubungi bagian administrasi untuk mengurus kamarnya yang mana ya, Pak." "Oh, syukurlah," ucap Dexter. "Baik, Sus, saya akan urus." "Dex, kita ambil kamar VIP saja untuk Gendis," cetus Catherine menyuarakan idenya. "Apa nggak berlebihan?" balas Dexter. Bukan maksud merendahkan. Gendis memang hanya pembantu, dan kamar kelas satu Dexter rasa sudah cukup. "Kenapa berlebihan? Kamu jangan membedakan dia dengan kita, Dex. Bagaimanapun Gendis sudah menjadi istri kamu. Dia berhak mendapat apa yang aku dapatkan." Perasaan Dexter mengharu biru. Tidak salah dirinya memilih Catherine walau perempuan itu sudah tidak suci di malam pertama. "Makasih atas kebaikan kamu, Sayang." "My pleasure, Dex." Catherine tersenyum manis, memberi kesan tulus. Malam itu Gendis dipindahkan ke kamar rawat VIP yang mewah dengan fasilitas serba lengkap. Belum pernah perempuan itu mendapat pelayanan seistimewa ini. "Dex, kamu pulang saja, biar aku yang temenin Gendis di sini," ujar Catherine pada Dexter. "Apa nggak sebaiknya kita berdua?" "Nggak usah, biar aku. Besok kamu kan kerja. Aku nggak mau kamu kurang tidur. Walau di sini kamu bisa istirahat tapi nggak akan seenak di kamar kita." "Jadi nggak apa-apa kamu sendiri?" Dexter masih ragu. "Nggak apa-apa. Aku akan jaga Gendis sebaik mungkin." "Oke, aku pulang kalau begitu." Dexter melihat Gendis sekilas lalu keluar dari ruang tersebut. Baru saja Dexter meninggalkan mereka, Catherine mendekati bed Gendis lalu mengucapkan sesuatu. "Jadi berapa butir obat tidur yang kamu minum agar bisa pura-pura pingsan selama itu?" ***Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora
"Kita sudah sampai, Mbak."Gendis tersentak dari lamunannya mendengar suara supir taksi. Sejak dari rumah tadi dirinya melamun sepanjang perjalanan.Masih dari dalam taksi, Gendis mendongak, menatap ke arah gedung tinggi puluhan tingkat yang terpampang di ruang matanya.Gendis mengeja di dalam hati tulisan 'Shappire Group.'Shappire Group merupakan perusahan milik orang tua Dexter yang memiliki banyak anak perusahaan. Di anak-anak perusahaan tersebut Dexter dan Josh bekerja. Sedangkan perusahaan induk dipegang oleh Rexa, ayah kedua pria itu.Gendis bergegas merogoh tote bag. Diambilnya uang dari sana, diberikannya pada supir taksi sambil berucap, "Terima kasih".Taksi melaju pergi. Gendis masih berdiri di depan gedung tinggi itu sambil mengira-ngira di lantai berapa Dexter berkantor. Tadi Dexter hanya menyebutkan alamatnya via SMS tanpa mengatakan ruangannya di lantai berapa.Suara klakson mobil yang lewat mengejutkan Gendis. Perempuan itu tersentak. Entah sudah berapa lama ia termang
Sania menunjukkan pantry pada Gendis beserta letak gula dan kopi. Gendis berpikir sesaat. Ia merasa bingung. Tadi Dexter menyuruhnya untuk membuat kopi hanya untuk teman-temannya. Kurang etis rasanya kalau hanya membuat dua cangkir. Maka Gendis membuat tiga cangkir kopi untuk Dexter dan teman-temannya.Selagi Gendis bekerja, mulai dari menyendokkan kopi dan gula ke cangkir sampai menuang air panas, Sania terus memerhatikannya sambil mengejek di dalam hati.Gendis tidak peduli apa pun pendapat orang-orang tentangnya. Ia tetap fokus dengan kopinya. Sebenarnya ada mesin kopi di sana, sama dengan di rumah Dexter. Hanya saja Dexter pernah mengatakan pada Catherine ia lebih suka kopi manual daripada yang dihasilkan mesin kopi."Sini biar saya bantu membawanya ke ruangan Pak Dexter. Kamu silakan pulang." Sania memerintah Gendis. "Biar saya saja, Mbak, tadi Pak Dexter yang menyuruh saya," jawab Gendis menolak."Pak Dexter hanya menyuruh kamu membuat kopi bukan mengantarnya." Sania yang ingi
Gendis menunggu Dexter di lobi seperti yang disuruh laki-laki itu padanya tadi. Ia duduk di salah satu sofa yang ada di sana.Di lobi yang luas itu Gendis bisa merasakan pandangan dua resepsionis tadi padanya. Keduanya masih tertawa geli sambil berbisik-bisik, yang Gendis tahu sedang membicarakannya.Gendis mengabaikannya. Ia tidak tahu. Selain menertawakan dandanannya apa lagi yang diledek oleh kedua perempuan itu?Apa Gendis terlihat sangat jelek? Apa mukanya sangat tidak enak dilihat sehingga dua wanita itu tidak berhenti menatapnya dengan pandangan mencemooh?Gendis menunduk, menatap jas Dexter yang tengah dipakainya saat ini. Ia baru mengetahui sisi lain dari seorang Dexter. Lelaki itu ternyata sangat baik. Gendis hampir tidak percaya kalau dia mau meminjamkan jasnya pada Gendis. Padahal Gendis hanya pembantunya.Jari-jemari Gendis mengusap lembut jas berwarna navy itu. Aroma parfum Dexter lengket di sana. Aroma yang soft tapi maskulin.Diam-diam Gendis menciumi pergelangan tanga
Gendis turun dari taksi dengan perasaan takut-takut. Jangan-jangan Catherine sudah pulang. Perempuan itu pasti marah jika tahu suaminya membelikan banyak pakaian untuk Gendis. Untung mobil Catherine tidak ada di depan rumah yang artinya dia belum pulang.Gendis merasa lega. Cepat-cepat perempuan itu masuk ke kamarnya. Ia bercermin di depan kaca. Tangannya masih merah. Tapi rasa sakitnya seolah terkikis oleh sikap manis Dexter tadi.Gendis mengambil handphone untuk mengabari Delia bahwa ia sudah mengirimi uang untuk biaya pengobatan ibu mereka. Gendis berjanji akan mencari tambahan untuk kekurangannya. Tadi setelah dari mall Gendis tidak langsung pulang. Ia mengirim uang untuk Delia terlebih dulu.Gendis mencoba baju yang dibelikan Dexter satu demi satu. Semua indah. Semua bagus. Membuatnya terlihat menarik. Tapi Gendis tidak habis pikir bagaimana mungkin Dexter membelikannya baju sebanyak itu? Seharusnya lelaki itu hanya membelikan satu helai baju saja sebagai pengganti baju Gendis y
Bukan Catherine namanya jika perempuan itu tidak pandai bersandiwara. Dengan cepat ia mengubah air mukanya yang sempat mengeruh agar tidak terbaca oleh Dexter.Catherine melengkungkan bibir membentuk senyum paling manis yang dimilikinya."Kalau iya, aku sangat senang. Itu artinya Gendis akan semakin cepat hamil.""Kamu nggak cemburu?" uji Dexter lagi.Catherine spontan tertawa terpingkal-pingkal. Seakan mendengar lelucon yang sangat lucu. Sementara Dexter terus memandangi dan berusaha memahami gestur perempuan itu."Kenapa ketawa?" tanya Dexter meredakan gelak Catherine."Gimana aku nggak ketawa kalau kamu nanyanya kayak gitu.""Apa ada yang aneh dengan pertanyaanku?""Come on, Dex. Jangan tanyakan lagi hal itu. Sejak awal kita sudah sepakat bahwa ini hanya hubungan intim, bukan cinta. Tidak ada perasaan apa pun yang terlibat di dalamnya. Kamu masih ingat kan pesanku?""Pesan yang mana lagi?""Bahwa kamu hanya melakukannya dari belakang. Tanpa melihat wajah dia.""Oh." Mulut Dexter m
Dexter tidak habis pikir. Entah kegilaan apa lagi ini. Ada-ada saja tingkah Catherine yang membuat banyak tanya di kepalanya. Ia baru sadar tadi Catherine mengatakan honeymoon bukan liburan. Mana ada honeymoon untuk orang yang sudah lima tahun menikah? Kata itu lebih tepat digantikan dengan kata liburan karena honeymoon hanya untuk pengantin baru."Kita nggak mungkin pergi bertiga, Cat. Lagian kalau kamu bilang ini honeymoon pelakunya hanya ada dua orang yaitu aku dan kamu.""Kamu salah, Dex, kalaupun hanya pergi berdua maka yang akan pergi adalah kamu dan Gendis. Karena apa? Karena kalian berdualah pengantinnya."Sepasang suami istri itu terus berdebat. Dexter ingin hanya pergi berdua dengan Catherine. Sedangkan Catherine menginginkan mereka pergi bertiga dengan membawa Gendis."Aku nggak mau honeymoon, aku mau liburan. Dan liburannya hanya sama kamu. Just the two of us!" tegas Dexter."Whatever, Dex. Mau honeymoon, liburan, vacation, you name it, Gendis tetap harus ikut dengan ki