Bab 1
“Kak Gendis, Ibu masuk rumah sakit. Dokter bilang Ibu harus dirawat selama beberapa hari … gimana dengan biayanya, Kak?” Jantung Gendis seolah mencelos mendengar ucapan adiknya dari seberang telepon. Adiknya menangis tersedu, membuat Gendis semakin gelisah dan merasa tidak berdaya. Suara Gendis terdengar serak ketika berkata, “Kakak akan kirimkan uang secepatnya. Kamu jaga Ibu dulu ya. Nanti Kakak hubungi lagi.” Gendis lalu memutus sambungan dan tercenung. Ia meletakkan piring yang tadinya ia pegang, dan bertumpu pada meja karena ia mendadak kehilangan tenaga. Sudah berhari-hari ini Gendis merasa resah, lebih tepatnya sejak Catherine—majikannya—mengeluarkan ancaman, mengatakan bahwa dirinya tidak akan menerima gaji bulan ini. Penyebabnya karena Gendis memecahkan sebuah cangkir mahal tanpa sengaja. Padahal, Gendis harus mengirim uang setiap bulan untuk orang tua dan adik-adiknya yang berada di kampung. Ditambah lagi, saat ini ibunya masuk rumah sakit. Tapi sekarang Gendis tidak tahu harus minta tolong ke siapa. Ke mana ia harus mencari uang? Keluarganya sangat bergantung pada Gendis. Ia adalah satu-satunya tulang punggung keluarganya. Jika bulan ini ia tidak gajian, bagaimana caranya memenuhi kebutuhan hidup serta biaya yang lainnya? Bagaimana dengan utang mereka yang bertumpuk-tumpuk dan tidak pernah ada habisnya? Dan bagaimana dengan ibunya yang sedang dirawat? Memikirkan hal tersebut membuat kepala Gendis berdenyut nyeri. Hampir setiap malam Gendis tidak bisa tidur. Di saat kerja ia juga merasa tidak fokus. Namun, Gendis berusaha tegar. Ia lantas kembali mengambil piring berisi hidangan makanan yang sudah disiapkan dan membawanya ke meja makan. "Gendis!" Gadis itu menoleh saat Catherine memanggilnya. Ia menyahut dengan sopan. "Iya, Bu?" "Kamu ada melihat kalung berlian saya?" "Tidak ada, Bu," jawab Gendis sambil memandangi leher Catherine. Ada seutas kalung melingkar di sana. Majikannya itu memang suka berganti-ganti perhiasan sehingga Gendis tidak tahu kalung mana yang dimaksud. Yang mana pun itu, Gendis tidak melihat atau menemukannya andai kalung itu tercecer. "Jangan bohong! Pasti kamu yang mengambil kalung saya, kan?!" tatap Catherine tajam penuh selidik. "Saya tidak bohong, Bu. Saya tidak mengambilnya," sahut Gendis dengan suara gemetar. Belum habis perasaan syoknya ibunya yang masuk rumah sakit, ditambah ia tidak akan menerima gaji bulan ini, ia kembali dikejutkan oleh tudingan Catherine. "Sayangnya saya nggak percaya sama kamu! Kalau kamu belum mau jujur bagaimana kalau kita buktikan sama-sama?" "Silakan, Bu. Saya berani sumpah tidak mengambil kalung Ibu.” Catherine melangkah cepat menuju kamar Gendis. Gadis itu mengekori dari belakang. Ia ikut masuk ke sana lalu berdiri terpaku menyaksikan Catherine mengacak-acak barang-barangnya. Catherine memeriksa tempat tidur sampai ke bawah bantal dan selimut. Ia juga membuka laci yang isinya barang-barang tidak penting. Terakhir, perempuan itu membuka lemari kemudian membongkar pakaian Gendis satu demi satu. Sampai di titik itu, Gendis hanya bisa diam menyaksikan. Meskipun merasa terhina karena dituduh mencuri, ia tidak berhak menghentikan perbuatan Catherine karena hanya pembantu di rumah itu. "Astagaaaaa! Ternyata di sini kalung saya. Kenapa jadi putus begini?" Gendis terperanjat. Kalung berlian milik Catherine berada dalam salah satu lipatan bajunya. "Kenapa kamu curi kalung saya lalu berani bersumpah tidak mengambilnya dan selalu saja membantah sejak tadi?!" hardik Catherine keras. Gendis menggeleng-gelengkan kepalanya kuat-kuat. Demi Tuhan, ia sama sekali tidak mengambil kalung itu! Tapi bagaimana bisa benda itu berada di dalam lipatan bajunya?! "Saya tidak tahu, Bu. Saya tidak mengerti kenapa kalung itu bisa di dalam baju saya!" seru Gendis ketakutan. Sepasang matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan air mata. "Mana ada maling mau mengaku!" dengkus Catherine keras. "Tapi saya benar-benar tidak mencurinya, Bu," kata Gendis mencoba membela diri. Tapi tampaknya Catherine hanya menganggapnya angin lalu. "Kamu pikir saya bodoh, hah?! Kamu pasti sengaja mencuri kalung ini lalu berniat menjualnya karena kamu tidak akan menerima gaji bulan ini. Begitu kan rencana kamu?" "Demi Tuhan bukan, Bu. Saya memang pusing karena Ibu tidak menggaji saya bulan ini, tapi sedikit pun tidak berniat untuk mencuri kalung Ibu." Bulir-bulir kristal itu pecah, meleleh menuruni kedua sisi pipinya. "Jangan harap saya akan percaya!" Catherine menaikkan intonasi suaranya. "Apa kamu tahu kalung ini begitu penting untuk saya? Kalung ini hadiah dari suami saya waktu hari jadi pernikahan kami. Harganya ratusan juta. Dan sekarang ... Ya ampuuun ... kalungnya putus. Saya nggak ngerti gimana kamu melakukannya. Tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan!" Catherine diam sesaat memandangi Gendis yang semakin ketakutan. "Kamu ganti kalung ini atau kamu saya laporin polisi!" "Bu Catherine, saya mohon jangan laporkan saya ...," pinta Gendis berurai air mata lalu refleks berlutut di kaki Catherine. Catherine menundukkan pandangan pada Gendis yang berlutut di bawahnya. Seulas senyum asimetris membingkai bibirnya. "Kalau begitu kamu ganti kalung ini. Harganya dua ratus juta." "Tapi saya tidak punya uang sebanyak itu, Bu," isak Gendis tersedu-sedu. Jangankan dua ratus juta, dua juta rupiah pun ia tidak punya saat ini. "Kalau begitu nggak ada jalan lain. Saya akan lapor polisi sekarang." Catherine bersiap-siap meninggalkan kamar itu tapi Gendis memeluk kakinya dengan cepat sehingga niat Catherine jadi terhalang. "Jangan laporkan saya, Bu. Potong saja gaji saya setiap bulan sampai dua ratus juta itu lunas." Tawa Catherine pecah seketika mendengar perkataan pembantunya. "Sampai puluhan tahun kamu kerja di sini gaji kamu yang nggak seberapa itu nggak akan cukup membayarnya!" "Kalau begitu saya akan melakukan apa saja asal Ibu tidak melaporkan saya ke polisi." Gendis yang lugu begitu mudah diperdaya. Catherine tertawa keras di dalam hati. "Well, saya akan maafkan kamu dan nggak akan melaporkan kamu ke polisi atas kasus pencurian ini dengan satu syarat." "Apa syaratnya, Bu?" Gendis menengadah menatap Catherine dengan matanya yang basah. "Pinjamkan rahim kamu untuk mengandung anak saya dan Dexter. Dexter akan menikahi kamu. Setelah kamu hamil dan melahirkan anak kami, Dexter akan menceraikan kamu. Lalu kamu harus pergi selamanya dari sini." ***"Ap-apa, Bu?" Gendis terbata-bata mendengar ucapan Catherine yang sama sekali tidak pernah disangkanya."Kami meminjam rahim kamu untuk mengandung anak kami. Apa masih belum jelas juga?""Maaf, tapi kenapa bukan Ibu yang hamil? Kenapa harus meminjam rahim saya?""Kalau saya bisa hamil saya nggak mungkin meminta kamu!" jawab Catherine ketus.Selama hitungan detik Gendis terdiam. Perasaan bingung merayapi hatinya. Bagaimana mungkin Catherine meminta Gendis untuk mengandung anaknya dengan Dexter?Ya, maksudnya, masih banyak cara lain yang bisa dilakukan."Sudah. Nggak usah kebanyakan mikir!" tegur Catherine yang membangunkan Gendis dari ketermanguan. "Menikahlah dengan suami saya lalu lahirkan anak untuk kami. Atau ... ganti kalung saya dan kamu akan saya laporkan pada polisi."Ancaman yang terlontar dari mulut Catherine tak pelak membuat Gendis semakin ketakutan."Kalau saya menikah dengan Pak Dexter apa itu artinya saya akan menjadi istri kedua?""Tentu saja. Memang apa yang kamu harap
Gendis menatap wajahnya di cermin yang berpoleskan riasan seadanya. Ia hanya menggunakan bedak dan lip balm untuk melembabkan bibirnya yang kering. Catherine melarangnya berdandan untuk pernikahannya dengan Dexter tadi. Nyonya rumah itu mengatakan Dexter tidak suka perempuan yang suka berdandan. Padahal hampir setiap hari Gendis melihat wajah Catherine dilapisi make up tebal.Gendis rasanya tidak percaya kalau sekarang sudah menjadi istri kedua dari majikannya. Meskipun dinikahi secara siri, statusnya tetaplah sebagai seorang istri. Orang tuanya di kampung sana yang tinggal di daerah terpencil tidak akan tahu bahwa putri mereka sudah menikah. Gendis sedih saat mengingat hal itu. Seharusnya ayahnyalah yang menikahkannya. Semestinya ia didampingi oleh kedua orang tuanya. Dan yang terpenting ia menikah dengan lelaki yang dicintainya, bukan dengan cara terpaksa.Suara pintu yang diketuk dari luar mengusir lamunan Gendis. Gadis itu terkesiap. Digigitnya bibir sembari menerka di dalam hati
Keluar dari kamar Gendis, Dexter berdiri lama di depan pintu sambil mengatur napasnya yang masih terengah. Lelaki itu memejamkan matanya, merasai residu sensasi yang masih tersisa.For God's sake, Gendis memang seenak itu.'Oh, jadi begini rasanya bercinta dengan perawan,' dirinya membatin.Dulu saat pertama menikah dengan Catherine, Dexter mendapati perempuan itu sudah kehilangan kesuciannya. Catherine mengatakan dia pernah jatuh dari sepeda yang membuat selaput daranya rusak sebelum waktunya. Dan Dexter memercayainya.Setelah irama napasnya teratur Dexter membuka mata. Dirapikannya baju dan celana yang kusut. Dexter tidak ingin menyakiti perasaan Catherine. Yang ada dalam pikiran Dexter adalah, dengan melihat pakaiannya yang kusut maka Catherine bisa membayangkan adegan percintaannya dengan Gendis.Menarik langkah perlahan, Dexter menuju kamarnya. Ia berhenti sejenak di depan pintu, mengatur agar raut wajahnya terlihat wajar. Setelahnya lelaki itu masuk ke kamar.Di dalam kamar Cath
Melangkah dengan terseok-seok, Gendis berhasil masuk ke kamar mandi. Ia membersihkan dirinya dengan terburu-buru. Saat buang air kecil area genitalnya terasa perih. Gendis mencoba menahannya walau saat ini sekujur tubuhnya terasa remuk redam.Selesai mandi tubuhnya malah semakin meriang sehingga ia harus memakai jaket.Dibukanya laci, jari-jemarinya mencari Paracetamol yang disediakannya sejak lama, just in case ada sesuatu padanya. Biasanya saat merasakan gejala tidak enak badan Gendis terlebih dahulu mengantisipasinya dan selalu berhasil. Ia tidak pernah demam dan absen kerja.Setelah menenggak sebutir pil Gendis keluar dari kamar masih dengan langkah yang sama. Terseok-seok.Hal pertama yang dilakukannya adalah menyediakan sarapan. Gendis pikir ia tidak akan sempat lagi membuat makanan berat sebagai menu sarapan untuk Dexter. Maka yang dilakukannya adalah memasak bubur. Ia harap Dexter suka dan tidak akan marah. Mengingat selama ini Dexter hanya makan makanan berat untuk sarapan pa
Betapa terkejutnya Dexter mengetahui Gendis tiba-tiba jatuh ke lantai. Beruntung kepala perempuan itu menimpa punggung kaki Dexter sehingga tidak mengalami benturan yang berarti.Dexter menyugar rambutnya. Selama beberapa saat bingung harus melakukan apa. Apalagi dalam keadaan Gendis yang tidak berbusana.Dexter jongkok, memindahkan kepala Gendis dari punggung kakinya ke lantai dengan hati-hati.Dexter meneguk ludah. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat bagian tubuh Gendis dari depan. Dada perempuan itu membusung. Tubuhnya langsing tapi padat pada tempat-tempat yang tepat. Kulitnya yang eksotis memberi aura seksi yang begitu nyata. Jika Gendis sedikit berdandan maka Dexter yakin jika Gendis tidak akan kalah dari Catherine."Come on, Dex, berhenti memujinya. Lakukan sesuatu.' Lelaki itu mengingatkan dirinya.Dexter mengambil napas sambil memandang ke sekeliling seakan meminta bantuan. Tapi tentu tidak akan ada yang bisa membantunya karena mereka hanya berdua di sana.Dexter men
Di dalam temaram malam Dexter membelah jalan raya. Pria itu menyetir dengan kencang."Pelan-pelan kenapa sih, Dex? Kamu bikin jantungku hampir loncat ke luar." Catherine yang duduk di sebelah Dexter memprotes lelaki itu yang mengendara serampangan."Kita harus cepat sampai di rumah sakit. Semakin cepat dia ditangani akan semakin bagus." Itu alasan Dexter.Catherine mendengkus pelan sambil menyembunyikan kekesalan. Yang ada di pikirannya adalah Gendis sengaja melakukan ini semua demi menarik perhatian Dexter. Catherine yakin Gendis meminum obat tidur agar orang-orang menyangkanya sedang pingsan."Semakin cepat memang semakin bagus tapi nggak harus mengorbankan nyawa kita juga kali, Dex. Dia sehat, nyawa kita yang melayang," oceh Catherine menahan rasa sakit hatinya.Karena Catherine terus mengomel maka Dexter mengurangi kecepatan. Sesekali lelaki itu mencuri pandang ke belakang melalui rear view mirror untuk mengetahui keadaan Gendis. Perempuan itu terbaring seperti orang yang sedang
Dahi perempuan yang berbaring lemah itu berkerut. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan nyonyanya.Nyawanya belum terkumpul sempurna ketika ia membuka mata. Pelan-pelan ingatannya memulih. Tadi mendadak tubuhnya limbung saat sedang bercinta dengan Dexter. Sisanya ia tidak tahu apa-apa sampai kemudian ia dipindahkan ke kamar yang saat ini ditempatinya."Jangan bersikap pura-pura lugu di depan saya," ucap Catherine lagi melihat ekspresi bingung yang terpancar di wajah Gendis."Obat tidur? Obat tidur apa maksud Ibu?" Gendis masih belum mengerti dan itu membuat Catherine muak. Ia tahu Gendis hanya sedang berpura-pura. "Gendis, dengar, saya nggak suka sikap kamu yang begini. Saya nggak sebodoh dan mudah ditipu seperti yang ada di pikiran kamu.""Saya sama sekali tidak pernah menganggap begitu, Bu, saya tidak menipu," jawab Gendis membela diri. Orang seperti apa dirinya yang tega berbuat jahat pada majikannya sendiri?"Oh ya? Jadi kalau bukan menipu apa namanya yang kamu lakukan tadi? Kamu m
Dokter mengizinkan Gendis pulang hari ini dan menyarankan agar Gendis beristirahat dulu dari aktivitas fisik terutama yang berat dan memakan tenaga.Yang terjadi, setibanya di rumah Catherine langsung menyiksa Gendis dengan menyuruhnya membersihkan kotoran Comot, si kucing anggora berwarna putih, satu-satunya hewan peliharaan di rumah tersebut. Padahal sudah disediakan little box untuknya tapi entah mengapa kucing itu lebih suka menyebar kotorannya sembarangan."Saya kan sudah bilang sama kamu, didik kucing itu dengan benar. Ajarkan caranya buang kotoran di tempatnya," omel Catherine sambil menutup hidungnya."Sudah, Bu, saya juga tidak mengerti kenapa dia suka buang kotoran sembarangan," jawab Gendis sambil membersihkan kotoran kucing di karpet."Kalau memang sudah, nggak mungkin dia begitu. Kamu itu emang paling bisa kalau ngeles.""Baik, Bu. Nanti akan saja ajarkan lebih telaten lagi," jawab Gendis mengalah.Kucing anggora tersebut adalah pemberian teman Dexter yang merupakan seora