"Kamu bikin susunya jangan terlalu panas. Dicicip dulu pake sendok. Tapi sendoknya yang lain. Jangan sendok yang kamu pake buat ngaduk susu anak saya.""Baik, Bu," jawab perempuan berambut sebahu mengenakan seragam biru baby sitter. Dia adalah Risa, pengasuh Bobby yang bekerja untuk Catherine.Catherine merengek-rengek pada Dexter agar dicarikan pengasuh dan pembantu baru. Dengan bantuan Martha mereka berhasil mendapatkannya."Satu lagi, kalau menggendong Bobby kamu harus hati-hati. Saya nggak mau ya anak saya jadi celaka. Kalau terjadi sesuatu yang buruk padanya kamu harus ganti dengan nyawamu!" ucap Catherine kejam yang membuat Risa bergidik ngeri."Baik, Bu, saya akan menjaga anak Ibu dengan sebaik mungkin. Saya akan memperlakukannya dengan hati-hati." Di dalam hatinya Risa merasa kesal. Pasalnya ia adalah baby sitter terlatih yang telah mengikuti pendidikan untuk menjadi pengasuh. Lagi pula ini bukanlah pengalaman pertamanya. Sebelumnya ia juga pernah menjadi baby sitter. Tapi k
"Benar sekali, Bu, Pak." Dokter menjawab kebingungan Dexter dan Catherine. Tampaknya pasangan suami istri tersebut belum memiliki pengalaman dan pengetahuan yang cukup mengenai donor ASI."Bagaimana caranya, Dok dan dari mana sumbernya? Apakah aman?" Dexter yang bertanya. Ia khawatir jika putra tunggal kesayangan satu-satunya mendapat bahaya."Bapak tidak usah khawatir. ASIP di rumah sakit ini steril dan berasal dari orang terpercaya. Mereka sehat dan bebas penyakit. Jadi aman untuk dikonsumsi, Pak.""Tapi bagaimana mungkin mereka mau mendonorkan ASI-nya, Dok? Bagaimana dengan anak mereka?" tanya Dexter belum puas."Kebanyakan dari mereka berada dalam masa menyusui lalu tidak bisa memberikan ASI pada anaknya karena berbagai faktor. Entah itu karena anaknya meninggal atau terpaksa harus berpisah dengan anaknya," terang dokter menjelaskan.Seketika Dexter teringat pada Gendis yang pergi meninggalkan anaknya sehingga Bobby jadi terlantar."Bagaimana, Bu, Pak? Apa Ibu dan Bapak setuju?" t
Dexter kembali ke mobilnya. Di sana lelaki itu menelepon dokter setelah mendapat nomor teleponnya dari petugas rumah sakit."Halo," sapa suara di seberang."Halo, benar ini dengan dokter Bondan?""Benar sekali, Pak. Saya sedang bicara dengan siapa ya?""Saya Dexter, Dok, yang tadi pagi konsultasi dengan dokter. Anak saya yang alergi susu dan kemudian mendapat donor ASI dari dokter.""Oh iya, iya, saya ingat sekarang. Gimana, Pak? Apa ada keluhan lagi?" tanya dokter ingin tahu."Nggak ada keluhan apa-apa, Dok, cuma saya ingin minta tambahan ASIP. Kebetulan cocok dengan anak saya. Apa masih boleh, Dok?""Oh boleh sekali, Pak. Bapak hubungi pihak rumah sakit yang mengurus basian donor ASIP lalu jelaskan maksud Bapak. Jangan lupa katakan bahwa tadi Bapak sudah konsultasi dengan saya.""Baik, Dok, terima kasih sekali lagi." "Kembali kasih, Pak Dexter," jawab dokter yang ramah itu.Dexter keluar dari mobil kemudian kembali menyusuri area rumah sakit. Ia berhasil mendapatkan beberapa kanton
"Ada apa, Dex?" tanya Jovan cepat setelah Dexter selesai menelepon."Anak gue muntah-muntah setelah minum susu dari donor ASI.""Kenapa nggak susu emaknya aja langsung?""Nggak ada airnya.""Lo sih diabisin semua. Anak lo jadi nggak kebagian kaaan. Hahaha ..."Tawa Jovan dan Ferry pecah, membuat orang-orang sekelilingnya memandang pada ketiga lelaki itu. Alih-alih akan ingat Catherine, perkataan dua temannya malah membawa ingatan Dexter pada Gendis. Saat mereka bercinta, bercumbu mesra bersama. Satu kali pun tidak akan pernah Dexter lupakan. Berbeda dengan hubungannya dengan Catherine yang kini begitu dingin. Ranjang mereka beku. Tidak pernah ada lagi kemesraan dan cumbuan demi cumbuan. Saat berada di rumah Dexter lebih suka menghabiskan waktunya dengan Bobby. Catherine tidak lagi menarik baginya. Dexter sudah kehilangan respek pada perempuan itu meski sesekali Catherine mencoba menggodanya. Jangan pernah salahkan Dexter. Salahkan saja Catherine yang dulu memulai semuanya.***Gendis
Gendis segera masuk ke kamarnya. Perempuan itu mulai memompa ASI-nya. Ia harus bergerak cepat sebelum pasien majikannya datang.Dengan terburu-buru Gendis membaca cara penggunaan pompa tersebut. Sebelum memakainya Gendis mencucinya dengan air bersih.Gendis meringis perih ketika ia mulai memompa. Dadanya terasa sakit. Efek memerah manual dan dengan pompa begitu berbeda. Namun tekadnya sudah bulat. Ia harus mengeluarkan ASI-nya sebanyak mungkin untuk pasien majikannya. Kasihan anak itu. Tadi Gendis lupa menanyakan pada Bondan kenapa anak tersebut membutuhkan donor ASI. Ke mana ibunya? Kenapa dia tidak menyusui anaknya?Sambil terus memompa ingatan membawa Gendis pada anak kandungnya sendiri. Apa kabar anaknya itu sekarang? Bahkan Gendis tidak tahu nama anak itu siapa? Siapa yang menyusuinya? Tidak mungkin Catherine kan? Gendis yakin sejak lahir hingga detik ini anaknya tidak mendapatkan ASI. Catherine maupun Dexter pasti memberinya susu formula. Mengingat itu semua perasaan Gendis men
Gendis masih berdiri dengan ketakutan yang pekat di balik dinding. Sekujur tubuhnya gemetar. Kantong ASIP di tangannya seolah akan lepas dari jinjingannya yang lunglai.Ya Tuhan ...Bagaimana mungkin lelaki itu adalah Dexter? Lantas ASIP yang diminta Dexter untuk siapa? Untuk putra mereka berduakah? Kenapa harus pakai donor ASI? Apa yang terjadi pada buah hatinya? Kenapa Dexter tidak memberi susu formula saja agar tidak repot? Atau jangan-jangan anaknya memiliki kondisi khusus? Seperti sakit misalnya.Tidak. Tidak. Tidak.Gendis menggelengkan kepalanya kuat-kuat menampik kemungkinan tersebut. Anaknya tidak mungkin sakit. Dexter dan Catherine pasti mengurusnya dengan baik.Seribu what if masih bersarang di benak Gendis. Ia tidak mampu keluar menampakkan diri. Ia takut muncul di hadapan Dexter karena lelaki itu pasti tidak akan membiarkannya lolos.Maka dengan gerakan perlahan agar tidak menimbulkan suara jenis apa pun Gendis menarik diri. Perempuan itu kembali ke ruang belakang membawa
Sepeninggal Dexter Bondan bergegas mencari Gendis untuk memberikan uang yang diberi Dexter tadi.Diketuknya pintu kamar Gendis. Tapi tidak ada sahutan apa pun dari dalam sana.Tidak puas hanya dengan mengetuk Bondan juga memanggil nama perempuan itu."Gendis, kamu ada di dalam?"Hening. Tidak ada sahutan apa pun dari kamar tersebut."Gendis, saya mau bicara sebentar dengan kamu," ulang Bondan tapi tetap tidak mendapatkan respon apa pun.Iseng, lelaki itu memutar gagang pintu. Ternyata pintu kamar tidak dikunci, membuatnya terbuka dengan mudah. Bondan melongokkan kepalanya yang terkesan sedang mengintip."Mas, kamu ngapain di sini?" Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya yang membuat Bondan terkejut. Pria itu menoleh dan mendapati istrinya sudah berdiri di dekatnya."Astaga, kamu, Don.""Mas ngapain di sini?" Dona menatap dengan curiga. Suaminya itu selain ramah dan mudah bergaul juga tidak pilih-pilih saat bercanda. Termasuk dengan asisten rumah tangganya. Itulah sebabnya mereka serin
Sejak Bondan mengatakan padanya agar memberi ASIP sampai Bobby berusia enam bulan, Gendis dengan semangat melakukannya. Ia memakan banyak makanan bergizi serta vitamin dan juga booster ASI yang diberikan Bondan padanya. Gendis melakukannya dengan semaksimal mungkin untuk Bobby. Lantaran dengan cara inilah ia bisa terhubung dengan anaknya itu. Karena hanya inilah yang bisa ia berikan. Ia tidak bisa memberi perawatan, mengurusnya, apalagi memberi uang dan harta. Setiap pagi sebelum beraktivitas, saat istirahat siang, sebelum tidur hingga tengah malam Gendis akan memompa ASI-nya. Tidak peduli matanya ngantuk berat dan tubuhnya butuh untuk diistirahatkan. Dalam keadaan terkantuk-kantuk Gendis tetap memompa ASI-nya demi memenuhi kebutuhan Bobby. Pagi ini ASI Gendis terasa merembes. Gendis yang awalnya ingin melakukan pekerjaan rumah tangga lebih dulu terpaksa mengulurnya. Ia akan bekerja nanti. Tapi air susu yang keluar semakin banyak membasahi bajunya tidak bisa untuk diundur. Ia tidak
"Mama, nun, Ma ..." Tangan kecil yang menggapai-gapai serta suara cadel yang memanggilnya memaksa Gendis membuka kedua matanya. Perempuan itu terjaga dari tidurnya dan mendapati putra kecil kesayanganya sedang berada di tengah-tengah di antara dirinya dan Dexter. Menyadari dirinya terbangun bersamaa Dexter di sisinya membuat seulas senyum tipis terukir manis di bibir Gendis.Sudah sejak dua belas bulan yang lalu situasi ini terjadi. Lebih tepatnya sejak dirinya menikah dengan Dexter."Pagi, Sayang, anak Mama udah bangun?""Dah, Ma.""Sini cium Mama dulu."Bobby menghambur menciumi pipi Gendis dengan penuh semangat yang membuat Gendis tertawa. Biasanya Gendis akan meletakkan Bobby di atas perutnya. Hanya saja hal itu tidak bisa lagi dilakukannya karena perutnya yang tinggi menyamai dada. Saat ini Gendis sedang mengandung. Tidak butuh waktu lama bagi Dexter membuatnya berbadan dua. Beberapa bulan pasca menikah Gendis dinyatakan positif hamil. Dan hal itu membuat seluruh keluarga berbaha
Gendis menegakkan duduknya. Seluruh indera perempuan itu terjaga waspada menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan kelopak mata Dexter terbuka. Pertama-tama yang dirasakannya adalah penglihatannya yang terasa kabur. Namun lama kelamaan semua yang berada di ruang pandangnya mulai terlihat dengan jelas, termasuk presensi Gendis dan juga Bobby."Ndis ...," panggil lelaki itu lirih dengan keadaannya yang masih lemah."Dex, ini aku. Kamu sudah sadar?"Dexter tak seketika menjawab. Pria itu berupaya mengumpulkan serpihan ingatan. Namun semakin kuat ia mengingat, kepalanya terasa bertambah sakit. Bukan. Dexter tidak mengalami amnesia. Buktinya ia ingat siapa Gendis dan siapa Bobby. "Apa yang terjadi, Ndis?" tanyanya masih selesu tadi."Bu Catherine menusuk kamu dengan pisau. Lukamu sangat dalam dan harus dioperasi. Sejak pertama kejadian itu kamu nggak sadarkan diri. Ini adalah hari ketiga kamu di rumah sakit."Dexter termangu mendengar cerita Gendis. Lamat-lamat ingatannya akan
Gendis keluar dari ruang rawat Dexter. Ia bermaksud pergi dari rumah sakit itu. Ia tidak mau terlibat dengan apa pun yang berhubungan dengan Dexter lagi. Hubungannya dengan Dexter sudah lama berakhir. Bagi Gendis lebih baik mereka menjalani hidup sendiri-sendiri seperti saat ini."Gendis!" Suara Martha menahan langkahnya, membuat Gendis menoleh ke belakang. Ia langsung menemukan Martha yang berjalan mendekat ke arahnya."Kamu mau ke mana?" tanya perempuan itu."Saya mau pulang, Bu.""Pulang?" Martha mengerutkan dahi. "Kamu nggak mau menunggu sampai Dexter sadar?""Maaf, Bu, saya nggak bisa," jawab Gendis memberi penolakan."Tapi Dexter butuh kamu. Kehadiran kamu sangat berarti buat dia."Gendis menahan senyum getir agar tidak terlihat. Jadi ceritanya sekarang dirinya sudah dianggap?"Oh iya, Rosa sudah cerita semua sama saya. Saya salut dan kagum sama kamu, Gendis. Kamu perempuan hebat dan luar biasa.""Terima kasih, Bu," jawab Gendis sekenanya. "Maaf, saya harus pulang. Ada hal lain
Acara Junior Chef dengan cepat melejit dan terkenal di kalangan pemirsa Citra Televisi. Bukan hanya karena pesertanya anak-anak yang lucu dengan segala tingkah mereka yang beragam, namun juga karena adanya Gendis, juri yang cantik, masih muda dan energik. Otomatis Gendis menjadi idola baru bagi pemirsa Citra Televisi. Perlahan tapi pasti nama Gendis merambat naik dan mulai dikenal orang-orang. Beberapa orang yang mengenalnya ada yang meminta tanda tangan atau foto bersama saat bertemu dengan Gendis di luar, membuat Gendis merasa takjub pada pencapaiannya saat ini.Gendis baru saja keluar dari bangunan Citra Televisi ketika lagi-lagi ia bertemu dengan Rosa."Bu Rosa ..."Tiada senyum di bibir Rosa ketika Gendis menyapanya. Perempuan itu terlihat tegang yang membuat Gendis ikut kaku."Gendis, ikut dengan saya sekarang," kata Rosa tanpa basa-basi atau salam pembuka."Ke mana, Bu?""Ke rumah sakit.""Ke rumah sakit?" Gendi
"Ma-mami ... Sejak kapan Mami di sini?" tanya Rosa gelagapan."Memangnya kenapa? Kalian takut Mami mendengar semuanya?""Mami jangan salah paham dulu!" ujar Catherine ketakutan sambil berusaha memegang tangan mertuanya itu namun dengan cepat Martha menepisnya."Tadi Mami dengar katanya kamu mau membunuh Rosa. Itu betul?""Itu nggak benar, Mi. Itu hanya bercanda," sangkal Catherine dengan raut ketakutan. Semua image baik yang dibangunnya selama bertahun-tahun runtuh dalam sekejap."Ngeri sekali bercandamu, Cat. Bercandanya saja main bunuh-bunuhan, gimana aslinya?" Martha menggeleng-gelengkan kepala tidak habis pikir pada kelakuan menantunya."Itulah salahnya Mami. Selalu saja suka menguping pembicaraan orang. Apa salahnya Mami tanya aku baik-baik?" Martha menatap Catherine lebih lekat mendengar perkataan Catherine yang terkesan sedang melawannya."Jadi kamu melawan Mami? Berani kamu sekarang?""Dari dulu aku memang berani, Mi. Aku nggak pernah takut pada siapa pun. Bahkan kalau aku ma
"Bagaimana cara agar perut terlihat besar seperti orang hamil?"Rosa mengetikkan sepotong kalimat tersebut di search engine ponsel pintarnya.Di detik selanjutnya mulut perempuan itu ternganga ketika melihat jawaban yang keluar."Perut bisa terlihat besar dengan memakai perut silikon palsu."Tidak hanya itu saja, di mesin pencari tersebut juga tersedia link yang menghubungkan ke berbagai market place yang menjual perut palsu tersebut.Rosa menelusurinya sati demi satu. Terbukti jika perut-perut silikon tersebut sering digunakan orang-orang untuk berpura-pura hamil dan lebih seringnya digunakan dalam film atau sinetron-sinetron.'Apa mungkin Catherine menggunakan perut seperti ini untuk mengelabui orang-orang?' Rosa tidak henti bertanya di dalam hatinya. Rosa bertekad untuk membuka kebusukan Catherine. Namun bagaimana cara membuktikannya? Apalagi perempuan itu begitu licik.Belum putus asa, Rosa kembali mengunjungi toko-toko yang menjual perut palsu tersebut. Ia membaca satu demi satu
Sudah sejak lama Rosa menaruh curiga pada Catherine. Gerak-gerik perempuan itu terlihat begitu mencurigakan. Terlepas dari persaingan mereka untuk menjadi pewaris harta sang mertua, secara pribadi Rosa tidak menyukai Catherine. Kecurigaan Rosa semakin menjadi ketika tahu wajah Bobby tidak mirip dengan Dexter apalagi Catherine. Malah dari hari ke hari anak itu semakin menunjukkan kesamaan fisik dengan Gendis. Hanya saja Rosa tidak punya bukti yang kuat selain perselingkuhan Dexter dan Gendis."Mami, lihat! Kakak itu jago banget masaknya. Kuenya bagus, Mi. Pasti enak," seru Kelly yang sejak tadi menikmati tayangan di televisi.Renungan Rosa terhenti. Dialihkannya tatapan ke arah televisi. Di sana sedang ditayangkan acara Junior Chef. Ajang kompetisi memasak anak-anak berumur sepuluh sampai tiga belas tahun."Kelly mau ikut acara itu juga, Mi.""Tapi Kelly masih kecil, Sayang. Umur kamu belum cukup. Nanti ya kalau udah sebesar kakak itu.""Masih lama ya, Mi?" Kelly tampak kecewa."Dua at
"Selamat datang kembali di Indonesia, Ndis." Perempuan muda berambut sepunggung itu menggumam pelan ketika kakinya menapak di bumi seturunnya ia dari pesawat. Dengan tekadnya yang bulat Gendis memutuskan kembali ke Indonesia walau Laura menghalangi dengan bujukan menggoda.Selepas dari bandara Gendis menuju sebuah hotel untuk istirahat karena ia tidak punya tempat berteduh.Sambil membaringkan tubuhnya, ingatan masa lalu menyapa benak Gendis. Dulu saat dirinya diusir Catherine ia tidak punya tempat tinggal sama sekali bahkan ia pernah menjadi pemulung yang tidur di antara gunungan sampah.Lihatlah sekarang, Gendis bisa memilih ingin tidur di mana pun yang ia suka. Gendis sangat mensyukuri kehidupannya saat ini yang serba berkecukupan. Uang apresiasi sebagai best student sangat cukup untuk kehidupannya sendiri selama beberapa tahun ke depan.Setelah bangun tidur siang Gendis menghubungi Maya untuk memberi kabar bahwa ia sudah kembali berada di Indonesia.Cukup lama menunggu barulah May
Summer telah lama berlalu. Disusul oleh Autumn dan winter yang super dingin. Lalu saat ini Paris sedang berada di musim semi. Musim yang menyenangkan bagi para penduduknya.Pada musim semi orang-orang semakin banyak berkeliaran di jalan, menikmati suasana kota yang menyenangkan. Tak terkecuali dengan Gendis.Hari itu Gendis sedang duduk di taman berdua dengan Laura. Mereka baru saja pulang makan. France onion soup yang lezat membuat mereka kekenyangan."Apa rencanamu berikutnya, Ndis?" tanya Laura.Tanpa terasa sudah sembilan bulan Gendis di Paris. Minggu depan adalah jadwal kepulangannya ke Indonesia."Yang pasti melanjutkan hidup sih." "Kamu tidak punya rencana untuk membuka toko kue atau usaha kuliner lain?"Gendis menggaruk hidungnya. Uang saku yang diberi pihak Modeta tidak pernah ia pakai. Biaya tempat tinggal dan makan juga sudah ditanggung oleh pihak Modeta. Paling Gendis hanya belanja sedikit-sedikit sehingga uang sakunya masih banyak bersisa. Namun untuk membuka usaha, Gen