Sejak Bondan mengatakan padanya agar memberi ASIP sampai Bobby berusia enam bulan, Gendis dengan semangat melakukannya. Ia memakan banyak makanan bergizi serta vitamin dan juga booster ASI yang diberikan Bondan padanya. Gendis melakukannya dengan semaksimal mungkin untuk Bobby. Lantaran dengan cara inilah ia bisa terhubung dengan anaknya itu. Karena hanya inilah yang bisa ia berikan. Ia tidak bisa memberi perawatan, mengurusnya, apalagi memberi uang dan harta. Setiap pagi sebelum beraktivitas, saat istirahat siang, sebelum tidur hingga tengah malam Gendis akan memompa ASI-nya. Tidak peduli matanya ngantuk berat dan tubuhnya butuh untuk diistirahatkan. Dalam keadaan terkantuk-kantuk Gendis tetap memompa ASI-nya demi memenuhi kebutuhan Bobby. Pagi ini ASI Gendis terasa merembes. Gendis yang awalnya ingin melakukan pekerjaan rumah tangga lebih dulu terpaksa mengulurnya. Ia akan bekerja nanti. Tapi air susu yang keluar semakin banyak membasahi bajunya tidak bisa untuk diundur. Ia tidak
Hari ini Dexter pulang dari kantor lebih awal karena harus ke rumah Bondan. Dexter berencana akan membawa Bobby. Kalau bisa dan kalau Bondan mengizinkan ia ingin Bobby menyusu langsung dari dada Gendis. Tapi entah Bobby mau atau tidak. Dexter hanya ingin Bobby merasakan dekapan hangat dada seorang ibu."Ibu masih belum pulang?" tanya Dexter pada Risa setelah masuk ke dalam rumah dan tidak menemukan Catherine di kamar."Belum, Pak.""Dari tadi siang?" ujar Dexter penuh penekanan.Risa menganggukkan kepalanya.Dexter ingin mengajak Catherine ikut dengannya. Agar istrinya itu juga mengenal perempuan baik hati yang membantu menunjang nutrisi anak mereka. Agar pikiran sempit Catherine jauh lebih terbuka. Dexter kembali ke kamar kemudian mengambil handphone. Ia bermaksud menghubungi Catherine dan menyuruh perempuan itu pulang.Setelah menunggu beberapa lama barulah panggilan darinya dijawab."Apa lagi sih, Dex?" ujar Catherine dengan nada tidak suka padahal Dexter belum mengatakan apa pun
Meskipun ada baby sitter yang mengurus dan mengasuh Bobby tapi Dexter tidak abai begitu saja. Pria itu cukup banyak mengambil peran sebagai ayah. Jika Dexter pulang lebih awal dari kantor maka ia akan memandikan Bobby sampai memasangkan pakaiannya. Seperti saat ini contohnya.Dexter baru saja selesai memandikan Bobby. Ia juga memakaikan baju dan celana anak itu. Membalurkan minyak telon ke perut dan dadanya, membedakinya tipis-tipis lalu memberi minyak rambut di kepalanya yang menyerap ke setiap helaian rambut hitam anak itu."Anak Papa wangi banget." Dexter mencium gemas kedua pipi Bobby yang chubby. Iya. Setelah mendapat ASIP pipinya menjadi begitu chubby begitu pun dengan berat badannya yang bertambah.Dexter sangat senang melihat perkembangan putra satu-satunya yang begitu disayanginya. Ia juga suka menghirup aroma kamarnya yang beraroma bayi. Begitu kontras dengan Catherine. Catherine akan menyemprotkan pewangi ruangan untuk menyamarkan aroma minyak telon atau parfum bayi yang
"Kenapa? Kamu keberatan?" Bondan tanyakan lantaran ia melihat perubahan ekspresi yang begitu kentara di wajah Gendis.Gendis membisu. Tidak tahu bagaimana cara menjawabnya. Gendis bukannya keberatan. Ia hanya tidak ingin muncul kembali ke dalam kehidupan Dexter. Gendis tidak mau memporak-porandakan rumah tangga Dexter yang sudah damai tanpa kehadirannya."Gendis, kenapa nggak dijawab?" tegur Bondan melihat Gendis diam termangu."Ah, eh, apa, Pak? Tadi Bapak bilang apa?"Bondan mengulas senyum lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa yang kamu lamunkan sehingga tidak mendengar saya bicara dari tadi?""Saya dengar, Pak," jawab Gendis lirih."Lalu kenapa tidak dijawab?""Saya ... saya merasa tidak pantas bertemu dengan Pak Dexter, Pak.""Kenapa tidak pantas?" Bondan merasa keheranan. "Karena saya hanya pembantu," ucap Gendis rendah diri.Jawaban Gendis membuat Bondan tertawa. "Kamu ini lucu. Memangnya kenapa kalau kamu cuma pembantu? Justru kamu sudah banyak berjasa untuk Bobby.""Bobb
Tok tok tok ...Buku-buku jari Dona mengetuk pintu kamar Gendis dengan keras.Tidak ada sahutan dari dalam sana."Gendis!" Perempuan itu memanggil pembantunya.Masih seperti sebelumnya tidak ada jawaban apa pun dari dalam kamar yang pintunya tertutup rapat.Dona yang tidak sabar memutar gagang pintu yang ternyata langsung terbuka. "Gendis! Kenapa nggak dijawab dari tadi saya manggil kamu? Budek ya kamu?" ketus Dona sembari melangkahkan kakinya ke dalam kamar.Suara Dona menggema di ruangan yang kosong melompong. Tidak ada Gendis di sana."Gendis! Kamu di mana?" Dona sampai membuka lemari seolah Gendis berada di dalamnya.Perempuan itu berdecak kesal lantaran tidak menemukan pembantunya. Ia keluar dari kamar tersebut untuk kemudian mencari Gendis ke bagian lain di rumah itu. Mulai dari ruang tengah, ruang makan, ruang belakang, kamar mandi hingga kamar Doni. Dona tetap tidak menemukannya."Ke mana lagi tuh babu? Giliran nggak dicari mondar-mandir mulu kayak setrikaan. Pas lagi butuh m
Beberapa jam yang lalu sejak Bondan mengatakan padanya agar bersiap-siap, Gendis tidak bisa lagi untuk tetap tenang. Segala cara ia pikirkan agar bisa lolos dari pertemuan tersebut, tapi ia hanya menemukan jalan buntu. Detik-detik sebelum kedatangan Dexter detak jantung Gendis semakin menggila. Andai ada lubang di bawah kakinya ia akan masuk ke lubang itu dan bersembunyi di sana. Satu-satunya yang Gendis inginkan saat itu adalah agar ia dikaruniai kekuatan menghilang dari pandangan orang-orang.Lama bersembunyi di kamar, Gendis keluar dari sana. Ia menyiapkan makan malam di meja makan. Tadi Bondan menitahkan padanya bahwa nanti Dexter dan istrinya akan malam di rumah itu. Rumah saat itu sedang sepi. Bondan dan Dona sedang berada di kamar mereka. Pun dengan si nakal Doni.Setelah menyelesaikan pekerjaannya Gendis kembali ke kamar. Ia duduk dengan gelisah di pinggir tempat tidur sambil kembali memikirkan cara untuk kabur.Lelah duduk dan berpikir, Gendis berdiri dan berjalan mondar-ma
Entah berapa lama Dexter dan Gendis duduk berdua di balik mobil. Mereka bercerita tentang satu sama lain sambil memandangi anak mereka yang terlelap setelah Gendis susui."Jadi kamu nyari sampai ke kampung aku?" ulang Gendis mengonfirmasi pengakuan yang didengarnya dari Dexter."Ya. Untung ada orang baik yang ketemu sama aku di travel. Dia yang mengantarku ke rumah orang tuamu.""Terus kamu ketemu sama Ibu dan Bapak?" tanya Gendis antusias. Ia penasaran apa yang terjadi selanjutnya.Dexter menggeleng pelan. "Ibu dan Bapak udah pergi kerja. Aku hanya ketemu sama adekmu."Ah, Delia. Selain kangen pada kedua orang tuanya, Gendis juga merindukan adiknya itu."Aku nggak nyangka dia juga cantik," cetus Dexter menambahkan.Sontak saja Gendis melayangkan cubitan ke lengan Dexter."Kok aku dicubit?" Dexter pura-pura kesakitan sambil mengusap-usap lengannya. "Tapi kakaknya jauh lebih cantik sih."Wajah Gendis merona dalam gelap sebagai respon atas sanjungan Dexter padanya. Pipinya menghangat. B
Dexter masuk ke rumah membawa Bobby yang telah terlelap. Tepat di saat ia tiba orang-orang sudah selesai makan."Maaf, Pak, kami selesai duluan," kata Bondan pada Dexter."Nggak apa-apa, Dok, saya makan di rumah saja.""Lho, kenapa begitu, Pak?" Dona yang bicara."Kasihan Bobby-nya, Bu. Dia sudah tidur."Dona, Bondan, dan juga Catherine memandang ke objek yang sama. Mereka melihat anak itu sudah pulas dalam lelap di dekapan Dexter."Apa nggak bisa dikasih sama Bu Catherine dulu, Pak? Selama Pak Dexter makan biar Bu Catherine yang pegang Bobby.""Terima kasih, Bu, tapi saya makan di rumah saja. Kasihan Bobby, biasanya suka kebangun kalau dipindahkan."Malam itu Dexter tidak jadi makan malam di rumah Bondan. Ia langsung pulang dengan membawa persediaan ASIP dari kulkas. Catherine yang menyetir, sedangkan Dexter tetap menggendong Bobby dalam pelukannya.Dari tempatnya duduk Dexter mencari-cari bayangan Gendis di halaman rumah kalau saja perempuan yang masih berstatus sebagai istrinya