Masih jelas dalam ingatan Selena bagaimana ayah dan ibunya sempat bertengkar mengenai tahta. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang mendasarinya sampai hal itu harus terjadi.
“Kau ingin mengudeta raja ?" ucap Ilse seolah tak percaya. "Apa salahnya sampai kau berniat demikian? Bukankah dia adalah kaisar yang baik?” Ilse dipenuhi dengan amarah saat ini. Napasnya memburu. Terasa begitu sesak, seolah ada yang meluap dari dalam dirinya. “Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan yang seperti ini, Sirius,” tambahnya lagi.
Sirius masih dengan ekspresi datarnya. Seolah tidak merasa bersalah atas amarah Ilse. “Kau tidak mengerti, Ilse. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain,” ucap Sirius dengan suara rendah. Ia masih berusaha mempertahankan pendiriannya, tidak peduli betapa pun kerasnya Ilse menolak.
“Kau yang tidak mengerti aku, Sirius. Kau selalu saja bertindak semaumu, tanpa berkata apa-apa dulu padaku.” Cairan bening nan hangat perlahan luruh dari sudut maniknya. “Aku hanya takut kehilanganmu.” Ilse tak lagi mampu membendung air matanya. Isaknya pecah. Semua mengalir begitu saja bersamaan dengan harap yang nyaris putus.
Mereka adalah sepasang manusia yang punya ketakutan besar akan kehilangan, terlebih orang yang begitu penting bagi hidupnya. Namun, takdir seolah mencoba mempermainkan mereka dengan angin kencang yang menerpa. Membuat mereka harus memilih di antara pilihan yang sulit.
Sirius mengembuskan napasnya―seolah sedang melepaskan beban yang begitu berat. Ia pun kembali berkata dengan gamblang seraya menatap istrinya yang memang penuh pesona itu. “Aku juga takut kehilanganmu, Ilse." Pria itu mengalihkan pandangannya. "Tapi aku harus tetap menjadi raja.”
Sebagai panglima perang yang membawa begitu banyak kemenangan, Sirius selalu melakukan apa yang dikatakannya. Lisannya adalah mutlak. Ilse sekali pun tidak akan mampu menghentikannya, sebanyak apa pun ia memohon.
Sirius hanyalah seorang manusia yang sulit mengungkapkan perasaannya. Ia memilih menyimpannya sendiri dari pada mengutarakannya, termasuk alasan ketika ia kekeh ingin menjadi raja. Singkatnya, ia hanya ingin bisa menjadi bayangan yang melindungi orang terkasihnya dengan kekuatan terkuat di negeri ini. Baginya, itu adalah perlindungan paling aman bagi keluarganya. Walau ia sendiri juga tahu, sekalinya terjerat ia tidak akan bisa lepas dan hanya akan tenggelam semakin jauh.
Ketika Sirius naik tahta menjadi raja, senyum ibu Selena seolah menghilang. Ia punya banyak permata indah, ia punya gaun mewah, istananya juga megah. Namun, semua seolah bukan apa-apa untuknya. Karena harapnya telah diputuskan oleh suaminya sendiri.
Ilse memang bukan dari kalangan bangsawan. Ia yang terbiasa hidup dengan kebebasan dan kesederhanaan menjadi seperti burung dalam sangkar begitu Sirius menaiki tahta. Berulang kali Sirius membujuk Ilse, tetapi berulang kali juga Ilse mengabaikannya.
Selena yang baru berusia lima tahun kala itu masih belum bisa melakukan apa pun. Ia selalu menemui ibunya dengan polos. Ia menyayangi ibunya, pun dengan ayahnya. Ia hanya ingin ayah dan ibunya bisa kembali seperti dahulu.
Pun dengan saat ini. Ia berharap bahwa ayahnya kelak akan kembali menjadi sosok yang hangat.
••O••
“Bagaimana dengan persiapan penerimaan ksatria?” tanya Sirius dari balik meja kerjanya.
“Semuanya sudah siap, Yang Mulia. Dua pekan lagi calon ksatria akan memasuki istana kekaisaran untuk menjalankan serangkaian tes.”
Sirius hanya mengangguk pelan. “Lalu, bagaimana dengan investigasi mengenai aliansi pemberontak itu?”
“Belum ada petunjuk pasti tentang itu. Tapi kami masih berusaha menyeledikinya. Ada informasi kalau mereka selalu berpindah-pindah tempat ketika melakukan pertemuan. Selain itu, aku mendengar desas-desus yang lain, Yang Mulia.”
Sirius menautkan alisnya. “Desas-desus?”
“Belakangan ada seseorang yang membantu rakyat jelata di wilayah kerajaan ini. Ia misterius karena bersembunyi di balik jubah dan topeng hitamnya. Orang-orang memanggilnya sebagai Neere.”
“Neere?” Sirius terheran mendengar kabar itu. “Siapa lagi orang ini? Apakah dia mencoba menjadi pahlawan untuk menantangku?” batin kaisar.
“Yang Mulia, aku merasa bahwa kasus pencurian di kediaman Rasmus ada hubungannya dengan Neere.”
Sirius terdiam sejenak dalam pikirannya. "Memang ada kemungkinan seperti itu. Kalau begitu, kau bisa melanjutkan investigasi mengenai masalah-masalah ini,” titah Sirius.
“Baik, Yang Mulia.” Orang berbaju zirah yang bernama Tristan itu pun pergi meninggalkan ruangan raja. Ia adalah ksatria yang terus berada di sisinya. Bahkan saat kaisar belum naik tahta, ia sudah menjadi rekannya saat di medan tempur.
Sirius kembali menghela napasnya yang terasa begitu berat. Ia hanya duduk menyandar di kursinya, dengan pandangan yang mengawang bebas di langit-langit ruangan.
“Neere ya?” lirih kaisar.
••O••
“Ada apa Selena? Tumben sekali kau datang menemui Ayah?”
“Ayah, apa maksudnya dengan pemilihan ksatria itu?” kata Selena dengan langsung pada poinnya.
“Ini untuk keselamatanmu, Selena. Terlebih, sebentar lagi perayaan tahunan akan dimulai. Ayah takut jika sewaktu-waktu ada bahaya yang mengancammu. Makanya ayah melakukan pemilihan ksatria ini,” jelas Sirius santai.
“Ayolah! Kita sudah melewati ini bertahun-tahun. Nyatanya aku masih baik-baik saja sekarang."
“Tapi sekarang berbeda, Selena. Ada aliansi pemberontak yang sudah mulai bergerak. Ayah mengkhawatirkan keselamatanmu.”
Selena mendecak. Ia menyilangkan kedua tangannya. “Aku bisa menjaga diriku sendiri Ayah. Aku bisa bertarung, berkuda, dan memainkan pedang. Apa lagi yang Ayah khawatirkan?”
“Ayah sangat tau itu. Tapi kau tidak mengerti seperti apa mereka, Selena. Jadi, Ayah minta kau tidak menolaknya lagi.”
“Ayah ‘kan tahu, kalau aku tidak suka terus diikuti? Melihat para pelayan itu mengekor dibelakangku saja aku merasa risi. Ini ... malah akan bertambah lagi?” Selena membuang muka kesalnya. Biasanya ayahnya itu akan menuruti semua inginnya.
“Selena, Ayah juga tau kau tidak menyukainya. Tapi ini demi kebaikanmu. Ayah tidak bisa selalu di sisimu untuk menjagamu.”
“Tapi kalau kau memang tidak menyukainya, Ayah akan menghentikan pemilihan ini. Dan, akan meminta Tristan menjagamu,” ucap Sirius lagi.
Selena tidak percaya dengan ucapan ayahnya barusan. Gadis itu terdiam. Pandangannya tertuju pada tumpukan dokumen yang ada di meja kerja ayahnya. “Jika Tristan menlindungiku, lantas siapa yang akan melindungi Ayah?” tanya Selena dalam hati.
Selena pun menghela napas panjang. “Ayah, kau tidak perlu melakukan itu.” Ragu-ragu gadis itu kembali bersuara. “Biarkan Tristan tetap menjagamu.”
Giliran Sirius menghela napas panjang. “Baiklah. Sesuai dengan keinginan putriku.”
“Kalau begitu, aku akan kembali ke istanaku. Jaga dirimu, Ayah. Jangan lupa makan dan istirahat,” pesan Selena. Baru sampai di depan pintu, Sirius mengiterupsi Selena.
“Besok dia akan mulai bertugas.”
Selena berbalik cepat. Matanya membola dengan mulut ternganga. Mirip orang tolol. “A-apa?”
••O••
Dentingan champagne glass berisi sampanye terdengar memenuhi ruangan di salah satu sudut Klaas―kota terpencil kerajaan Blazias. Di sana ada sekerumunan orang yang sedang merayakan sesuatu.
“Lucas, akhirnya tujuanmu semakin dekat. Kau terpilih jadi ksatria sang putri,” kata seorang pemuda berambut mahogany.
Pria berambut hitam pekat dengan mata biru terang yang disapa Lucas itu tersenyum, setelah menyesap minumannya. “Kau benar, Delmar.”
“Hei, kudengar, putri raja terkenal karena kecantikannya.” Pemuda berambut pirang dan dikucir itu kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga Lucas. “Mungkin, kau bisa membawanya ke pelukan atau bahkan ke ranj―aduh!”
Belum habis pemuda itu berucap, tangan Delmar lebih dahulu memberinya pelajaran. “Singkirkan pikiran mesummu itu, Calvin!”
Pemuda yang disebut Calvin hanya cemberut seraya mengusap kepalanya yang dipukul Delmar. Sementara Lucas, pria itu mengulas senyum di wajah kakunya.
“Itu tidak akan pernah terjadi.” Ucapan Lucas menarik atensi Calvin dan Delmar. “Bagaimana mungkin aku menjalin hubungan dengan orang yang masih punya hubungan darah dengan musuhku? Itu menjijikkan.” Lucas menyesap habis minumannya.
“Bagaimana kalau kau justru jatuh dalam jerat dan jatuh cinta padanya?” tanya Calvin yang langsung dihadiahi jitakan lagi oleh Delmar.
“Jatuh cinta?” Lucas tersenyum meremehkan. “Itu tidak akan pernah terjadi, dan aku ... tidak akan pernah jatuh cinta padanya.”
Sebuah tamparan yang keras Selena daratkan di pipi Julia. Membuat semua orang yang ada di pesta teh tercengang. Bukan tanpa alasan, Selena geram karena diamnya justru dijadikan candaan. Julia, bangsawan menengah yang hadir di pesta itu menyiramkan seteko teh berisi air panas ke tubuh Selena.Selena sebenarnya sangat enggan menghadiri pesta para bangsawan seperti ini jika bukan karena desakan Lynne. Baginya, tidak ada pesta menyenangkan. Karena topik yang dibahas hanyalah dirinya seorang ,yang dikatakan anak tiran dan anak tidak jelas. Padahal keluarga mereka juga menjilat kekuasaan ayahnya. Benar-benar munafik!Wajah Julia pun menjadi merah padam. Bekas tamparan Selena begitu merah, bahkan melebihi merahnya pewarna pipi yang Julia gunakan. “K-kau...” Julia memandang Selena dengan tatapan penuh kebencian.&nb
Selena berulang kali mendengkus. Jujur, ia sangat risih ketika diikuti terus ke mana-mana oleh Lucas. Hingga detik berikutnya, gadis itu berbalik. “Apa kau bisa berhenti mengikutiku, Ksatria Lucas yang terhormat?” ucapnya dengan nada kesal dan dahi berkerut dalam.Lucas menggeleng dengan wajah datar. “Tidak bisa, Tuan Putri Selena yang cerewet. Tugasku adalah melindungimu, agar tidak terluka barang segores pun.”“Apa kau mau kupenggal?”“Dan membuat semua orang tahu kalau putri yang terlihat baik hati ini ternyata sama seperti ayahnya?”Selena mendelik begitu mendengar ucapan Lucas. “Kau―”Lu
Selena berulang kali mondar-mandir dan mendengkus di kamarnya. Sebentar lagi akan pagi dan sedikitpun ia belum bisa tidur karena memikirkan kejadian semalam. Seseorang sudah mengetahui identitasnya sekarang. Bagaimana kalau orang itu sampai membocorkannya pada ayahnya? Atau bangsawan lain?“Argh! Kenapa sih, harus orang itu? Ck!” Selena mendaratkan pantatnya di tepi kasur. Kedua tangannya dilipat ke depan dada, mulutnya manyun cemberut. Kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Sebaiknya malam ini aku bergerak.”Selena mengambil sebuah kotak dari kolong nakasnya. Kemudian dibuka dengan kunci yang tersembunyi di dalam vas bunga. Diambilnya isi dalam kotak itu berupa kertas yang terlipat-lipat. Lalu dibentangkan. Selena tidak peduli jika posisinya sekarang duduk di lantai, toh itu tidak penting baginya.
“Kediaman Rhodes baru saja kecolongan. Neere berhasil membuka gerbang harta dan membawa sejumlah permata.” Sirius masih tenang mendengarkan penjelasan abdi yang selalu menyertainya itu. Entahlah, ia hanya merasa tertarik dengan topik yang dibawakan Tristan. Neere. Juga penasaran siapa orang di balik nama itu. Meski hatinya juga bertanya, kenapa Neere tidak berniat mencuri di kerajaan? “Oh, ya!” Suara antusias Tristan yang biasanya kaku menyadarkan lamunan Sirius. “Kata para pengawal yang menyergap Neere di kediaman Rhodes, Neere membawa seorang rekan.” “Rekan?” Sirius mengernyit. Bukankah Neere itu independen? Kenapa tiba-tiba membawa rekan? Tristan mengangguk. “Seorang pria. Begitu kata mereka. Hanya saja pria itu juga Sirius diam sesaat. “Ak―” Baru akan bicara ucapan Sirius terpotong kala seorang butler mengetuk pintu ruangannya. “Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias.” Sirius mengangguk. “Apa yang ingin kau sampaikan?” “Hamba hanya ingin menyampaikan, kalau semua a
Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau
Selena mengerjap kala merasakan ada yang memanggil, berikut guncangan ringan di bahunya. Di dapatinya Lynne dengan muka panik.“Astaga, Putri. Ayo bangun. Ini sudah tengah hari dan kau masih saja tertidur?”Selena menguap, ia pun duduk dengan gaun tidurnya. “Oh ayolah, Lyn. Aku masih sangat mengantuk.” Selena mengucek kedua matanya dengan tangan seperti anak kecil baru bangun tidur. Rambut bergelombangnya pun tampak berantakan. Selena lalu memandangi Lynne dengan matanya yang masih setengah terpejam.Tidur dini hari setelah ke panti dan hanya mendapat beberapa jam untuk istirahat. Bahkan kantung matanya pasti sudah mewakili kondisinya saat ini.“Sebenarnya apa yang kau lakukan, Pu
Selena berjalan mondar mandir di kamarnya. Sesekali diam berpikir, meremas gaun, bahkan duduk lalu mondar-mandir lagi.“Astaga, kenapa ucapan manusia cabul itu masih saja terekam di otakku dengan jelas?” Selena mengutuk dirinya sendiri. Ini salahnya, tidak seharusnya menggoda Lucas yang mata keranjang. Sekarang, ia harus lebih berhati-hati dan berjaga-jaga di saat kesehariannya memang diawasi pemuda itu.Selena dilema. Di samping berusaha menjaga jarak, ia juga ingin agar Lucas menemaninya ke pasar. Ya, meskipun bisa saja dirinya pergi sendiri. Namun, Lucas tetaplah ksatrianya. Memang tugasnya, ‘kan, melindungi Selena?“Ngomong-ngomong, di mana manusia itu?” Selena mengedarkan pandangan kala tak mendapati pemuda itu di sekitar kamarnya. Lalu, di
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri
Sesuai janjinya, Lucas menemani Selena ke penjara. Namun, pemuda itu memilih menunggu di luar dan Selena justru terbantu.Gadis itu melangkah pelan menyusuri penjara yang gelap. Bau tidak sedap terperangkap dalam indra penciumannya. Setelah selama ini hidup dalam cahaya dan segala fasilitas, kini ayahnya harus tinggal di tempat mengerikan dan kotor seperti ini.Langkah Selena kemudian berhenti, tepat setelah berdiri di depan penjara paling ujung dan gelap. Sosok di dalam penjara itu memunggunginya. Meski begitu dan ruangan gelap, Selena sudah tahu siapa dia."Ayah ...," panggil Selena parau. Sejak tadi ia memang menahan tangisnya. Orang yang dipanggil seketika berbalik. Dari cahaya obor yang temaram Selena bisa melihat jelas raut orang tua satu-satunya itu."Selena?" Sirius langsung berjalan mendekati putrinya yang mematung di depan penjara. Sirius tampak cemas. Matanya membulat lebar, seraya bergerak memindai tubuh putrinya. "Kau baik-baik saja, bukan? O
Lucas membaringkan Selena yang masih belum sadarkan diri di atas pembaringan di mansion milik keluarganya dahulu. Diam-diam, Lucas melumpuhkan penjagaan di sana dan merebut kembali apa yang memang jadi miliknya.“Delmar dan Calvin berhasil menerobos istana. Kenapa kau masih saja di sini mengurusi putri musuhmu?” celetuk Antanas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Ya. Ini adalah kamar Lucas dahulu. Tidak tahu mengapa, tempat ini bahkan masih terjaga. Apakah Sirius sengaja menjaganya? Namun, pendapat itu ia tepis segera.“Dia terluka, Antanas,” jawab Lucas tenang. “Yang bersalah adalah ayahnya. Bukan dia.” Mata Lucas masih memaku tatap wajah Selena yang memang meneduhkan dan sejuk dipandang. Bulu-bulu mata yang lentik, hidung bangir, juga bibir merah mudanya yang menggoda.“Benarkah? Kenapa kau menjadi orang yang melankolis, Kak? Padahal, saat itu kau
Selena berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Malam ini, mereka akan menyerbu kediaman Sebaste. Semoga saja semesta mendukung mereka. Lucas mendapat tahtanya, dan ia akan mendapat kebebasannya.Gadis itu menelentangkan tubuhnya di atas kasur. “Aku benar-benar menantikan hari itu. Tidak perlu ada etiket, tidak perlu menjaga ini dan itu. Aku ... aku akan bisa menjadi diriku sendiri.” Ia tersenyum kala membayangkan hari-hari itu datang.“Tapi ... apakah Evan akan ikut? Atau ... dia akan menetap di Evanthe?” Rautnya mendadak sedih. Selena belum menanyakan hal ini pada Evan. Ia tidak tahu, apakah memaksanya ikut ke luar istana akan membuatnya setuju.Rencana, Selena akan bilang setelah segel berhasil direbut dan Lucas naik tahta.“Selena.”Suara itu menyadarkan lamunan Selena. Buru-buru ia terduduk dan mendapati Sirius sudah ada di dekatnya. Sej
Selena duduk malas di kursi panjangnya. Mulutnya tak henti mengunyah roti sisa semalam. Roti sisa? Selena tak keberatan. Ia sedang kedatangan tamu bulanan. Nafsu makannya bertambah besar dan banyak. Diam-diam, Selena juga mengirimkan makanan di pesta istana pada anak-anak di panti.Saat Selena akan mencomot lagi roti di piring di atas meja. Tangannya tak mendapati makanan itu di posisinya. Sontak ia menoleh, mendapati Lucas yang memegang piring itu dan menjauhkannya dari Selena.“Apa kau ingin menjadi babi? Sejak pagi hobimu makan dan malas-malasan seperti ini.”Selena mengernyit. Lagi-lagi Lucas bertindak menyebalkan seperti ini. Padahal Selena yang sedang kedatangan tamu bulanan, perutnya sakit dan emosinya labil. Lantas kenapa harus Lucas yang terus mengomel?“Cerewet! Sini kembalikan rotiku!” Selena hendak merebutnya, tetapi Lucas malah mengangkat dan menjauhkan piring itu
Festival kerajaan sudah dimulai. Para pemuda termahsyur di Blazias dan pangeran kerajaan lain tengah mengadakan festival berburu. Selena duduk dan mengharap dengan cemas.“Ck! Begitu saja kau sudah khawatir!” celetuk Lucas yang menarik perhatian Selena.“Tahu apa kau?” Selena tak terima. Bisa-bisanya Lucas tiba-tiba bicara pedas seperti itu.“Dia itu laki-laki. Tidak mungkin akan sekarat hanya karena festival berburu,” kata Lucas lagi.Selena mendelik. Apa sebenarnya yang terjadi pada ksatria tak bergunanya ini? Kenapa lidahnya begitu ringan bicara?“Sebenarnya kau ini ada masalah apa? Apa kau sedang kedatangan tamu bulanan?” tanya Selena dengan nada meninggi, tetapi terkendali. Tamu bulanan? Selena terkekeh dalam hatinya. Apakah lelaki juga bisa sensitif seperti itu?Lucas hanya bergeming. Bibirnya seolah terka
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri