Kembali dari ruang interogasi, Sirius membuka pakaian kebesarannya dan mambenamkan tubuh atletis bak pahatan patung dewa di kolam yang sudah diberi wewangian untuk menghilangkan bau darah dari tubuhnya. Pria itu sangat menjaga diri ketika akan menemui putri semata wayangnya.
Bayang-bayang tentang putrinya yang ketakutan hingga hampir pingsan karena melihatnya penuh darah masih terngiang begitu jelas. Itulah alasan kenapa Sirius harus menjaga diri agar tidak ada darah sedikit pun yang menempel ditubuhnya.
“Apa yang sedang dilakukannya sekarang?” monolog Sirius kemudian menyugar rambutnya dengan kedua tangan yang basah.
Tak lama kemudian, Sirius beranjak dari kolam. Ia tak butuh pelayan untuk membantu mengeringkan tubuh dan mengenakan pakaiannya. Membuatnya seperti seorang raja yang ‘mandiri.’
Beberapa menit berlalu, Sirius telah mengenakan pakaian formalnya. Ia lalu melangkah mendekati sebuah lukisan besar yang terpajang di dinding. Figur seorang wanita dengan rambut lurus berwarna cokelat tua yang senada dengan warna mata sipitnya. Itu adalah lukisan istrinya, Ilse Danyiel.
“Ilse, aku merindukanmu. Andai kita bisa bertemu, meski hanya dalam mimpi.” Seketika keheningan memenuhi ruangan itu. “Tapi kau tidak pernah mau menemuiku lagi. Apa kau masih marah padaku, Ilse?” Sirius berbicara pada lukisan itu dengan suaranya yang mulai bergetar. “Putri kita sudah besar sekarang.” Kesenduan melingkupinya. Perasaan kehilangan yang dalam tersirat jelas di wajahnya. Meski sepuluh tahun sudah berlalu.
Istrinya bukanlah asli penduduk Benua Galia. Sirius bertemu dengan istrinya ketika melakukan ekspedisi kerajaan 17 tahun yang lalu. Ia jatuh cinta ketika Ilse pernah menolongnya. Kemudian, Sirius menikahinya dan membawanya tinggal di Galia. Namun, karena sakit, Ilse meninggal ketika putri mereka genap berusia tujuh tahun. Itu adalah awal ketika Sirius menjabat sebagai raja.
Meski Sirius adalah raja yang kejam, tetapi ia adalah orang yang setia pada cinta. Tak bisa dipungkiri, bahwa cinta adalah salah satu alasan Sirius menduduki tahta.
Detik pun berlalu. Sirius hanya mampu menghela napas karena tak mendapati jawaban dari lukisan yang diam. Ia lalu beranjak pergi dari lukisan dan keluar dari kamarnya. Berjalan dengan langkah panjang, tetapi santai menyusuri lorong-lorong istana. Ksatria dan para pelayan berjalan mengekor di belakangnya.
Sirius sedang menuju Istana Sapphire, tempat putrinya berada. Wajahnya tampak lebih cerah ketika akan menemui buah cintanya bersama Ilse. Langkahnya pun terhenti ketika sampai di tujuan, dan melihat seorang wanita yang sangat dikenalnya. “Kalian tunggu saja di sini,” ucapnya pada abdi yang mengikutinya.
“Baik, Yang Mulia,” sahut mereka berbarengan.
Sirius lalu melanjutkan langkahnya, menjejaki karpet hijau alami yang membentang di halaman Istana Sapphire.
Gadis yang sedang duduk di bawah pohon membelakangi kaisar pun menyadari kedatangannya. Ia menoleh secepat membalikkan halaman buku.
“Ayah?” panggilnya dengan antusias.
Sirius yang tidak pernah tersenyum lembut di hadapan orang lain itu mengulas senyum untuk seorang gadis yang ada di hadapannya kini. Ya, dia adalah putri tunggal kaisar, Selena Ommero Ptolemy.
“Apa kau sudah lama menungguku, hm?” tanya Sirius.
Gadis itu menggeleng. “Aku tahu ayah adalah orang yang sibuk. Jadi, wajar jika terlambat. Ayo duduklah.” Selena seolah memberikan isyarat dengan tangannya agar Sirius segera duduk bersamanya. “Aku sudah kelaparan karena menunggumu,” ucapnya seraya mengusap acak perutnya.
Sirius terkekeh kecil. “Iya, iya. Ayah tahu itu,” balas kaisar lembut, lalu lantas menarik kursi miliknya dan duduk di sana. Ia duduk bersebelahan dengan Selena.
Mereka langsung memulai acara makan siang bersama. Berbagai menu kesukaan ayah dan anak itu telah tersaji di atas meja bundar yang tidak terlalu besar. Dentingan alat makan mengiringi suasana siang itu.
“Hm, ayah... Apakah besok kita akan pergi ke makam ibu?” tanya Selena setelah menelan makanan di mulutnya.
Sirius yang sedang asyik makan pun terhenti karena pertanyaan Selena. “Tidak ada alasan untuk tidak pergi menjenguknya,” balasnya, kemudian melahap makanan yang sudah menunggu di sendoknya.
“Kita akan pergi kapan?” tanya Selena lagi.
“Setelah fajar.”
“Kenapa tidak menjelang sore saja, Ayah? Sepertinya akan lebih santai.” Selena coba memberi opsi, sebab kaisar tak pernah mengunjungi makam Ilse di waktu itu.
Sirius terdiam sejenak. “Sore adalah waktu yang menyedihkan, Selena. Perpisahan terlihat begitu nyata di saat itu.” Ia lalu memandangi putrinya yang hanya mengatupkan bibirnya begitu mendengar ucapan Sirius. “Lanjutkan makanmu, anggaplah aku tak mengatakan apa pun sebelumnya,” tambah Sirius.
Selena seperti itu karena tak mampu berkutik. Ia paham maksud ayahnya. Ibunya meninggal kala senja, dan waktu ini hanya akan selalu mengingatkannya tentang perpisahan dengan sang pemilik hati.
Selena mewarisi wajah oriental sang ibu, tapi warna rambut dan matanya mewarisi ayahnya. Ia adalah tanda mata yang berharga, dan akan selalu menjadi pelepas rindu Sirius pada mendiang istrinya, Ilse.
••O••
Semburat jingga bertabur di langit timur. Kereta kuda dengan bendera lambang kerajaan sudah dipersiapkan di depan istana utama. Selena juga sudah ada di sana, mengenakan pakaian serba hitam. Pun dengan yang dipakai oleh Sirius.
“Ayo,” ajak Sirius dengan mengulurkan tangan kanannya pada Selena.
Dengan lembut Selena meraih tangan kaisar dan masuk ke kereta.
Kereta itu pun akhirnya berangkat. Butuh waktu hampir dua jam untuk sampai ke makam ibu Selena yang terletak di sebuah tempat di kaki bukit yang jauh dari istana.
“Ayah, mengapa ibu dimakamkan di tempat yang jauh dari istana? Bukankah lebih mudah bagi kita untuk mengunjunginya jika dimakamkan di pemakaman istana?”
Sirius mengalihkan wajahnya ke jendela kereta. Memandangi setiap jalanan yang mereka lewati dengan tempo andante. “Ibumu mencintai kebebasan, Selena. Baginya, istana adalah penjara yang berhiaskan permata. Untuk alasan inilah ayah memakamkannya di luar istana.”
Selena melihat perubahan ekspresi ayahnya. Kesenduan kembali terlihat di wajah itu.
“Mungkin ibumu membenci ayah karena pernah mengurungnya, dan tak membiarkan dia bergaul dengan siapa pun.” Sirius kembali berkata. “Ayah hanya takut kalau ada orang yang berusaha mencelakainya karena dia tidak berasal dari benua ini, terlebih, karena dia menjadi istriku.”
Selena seharusnya bisa bertanya sejak lama mengenai masalah ini. Namun, gadis itu tak tega melihat ayahnya selalu sedih karena mengingat ibunya. Baru hari ini ia punya keberanian untuk bertanya langsung.
Selama ini Sirius adalah sosok raja yang terlihat dingin dan kejam di luar. Namun, sejatinya ia tetaplah manusia biasa. Yang kapan pun bisa luluh hatinya, terlebih karena cinta. Semua tampak jelas saat ini, mungkin juga karena hatinya yang telah menghilang, terkubur bersama sang pujaan hati.
“Ayah, maaf karena aku mengungkit ibu kembali?” ucap Selena penuh penyesalan.
Sirius menatap putrinya yang tertunduk lesu, lalu menghela napas dan tersenyum. “Tidak apa, Selena. Sudah seharusnya kau tahu. Maaf, karena belum bisa menjadi sosok ayah yang baik untukmu.” Wajahnya berubah sendu.
Selena meraih tangan Sirius dan duduk bersimpuh di hadapannya. “Ayah tidak perlu minta maaf. Tidak peduli orang lain mau berkata apa, kau tetaplah ayah yang terbaik di mataku,” katanya seraya mengulas senyum tulus.
Sirius membalasi Selena dengan senyuman terbaiknya. Jika dilihat dari dekat, ia hanyalah pria sekaligus ayah yang tak pandai berdialektika soal rasa. Menjawab dengan reaksi, menjadi jalan keluar baginya.
Setelah hampir dua jam, akhirnya kereta yang mereka tunggangi sampai di tempat tujuan. Ayah dan anak itu turun dari kereta. Sungguh, dibanding terlihat sebagai makam, tempat yang ada di hadapan mereka lebih terlihat seperti taman bunga.
Bunga-bunga berwarna putih dengan wangi semerbaknya benar-benar menyejukkan mata dan pikiran. Selena pun merasa begitu tenang dan bahagia ketika di sana.
“Ayah, aku ingin bunga-bunga ini juga di taman istanaku,” kata Selena pada ayahnya.
Sirius tersenyum. “Bunga-bunga ini banyak tumbuh di Evanthe. Ayah akan mengirimkan pesan ke sana untuk membawakan benihnya.”
Evanthe? Selena tersenyum kala mengingat nama tempat itu. Di sana, tunangannya berada. “Aku akan menunggunya di tamanku.” Selena menghirup bunga itu dari dekat. Berulang kali gadis itu menghidu sensasi menenangkan dari aroma wangi bunga.
Sirius melanjutkan perjalanan ke pusara Isle. Selena yang tertinggal pun mengekor di belakangnya dengan langkah yang dipercepat, sebab Sirius bertubuh tinggi sehingga langkah yang diambilnya pun cukup besar. Membuat Selena harus berusaha ekstra untuk mengejarnya.
Langkah mereka pun terhenti ketika sampai di depan makam Ilse. Makamnya terlihat sederhana, dengan lapisan batu marmer berwarna putih.
Kaisar meletakkan buket bunga yang dia bawa ke atas pusara. “Apa kau merindukanku dan Selena, Ilse?”
Selena memandangi wajah ayahnya, lalu mengalihkan kembali perhatiannya ke nisan ibunya. “Bu, apakah kau bahagia melihat ayah yang sekarang? Atau malah sebaliknya?” tanya Selena dalam hatinya.
Masih jelas dalam ingatan Selena bagaimana ayah dan ibunya sempat bertengkar mengenai tahta. Meski pun ia tidak tahu pasti apa yang mendasarinya sampai hal itu harus terjadi.“Kau ingin mengudeta raja ?" ucap Ilse seolah tak percaya. "Apa salahnya sampai kau berniat demikian? Bukankah dia adalah kaisar yang baik?” Ilse dipenuhi dengan amarah saat ini. Napasnya memburu. Terasa begitu sesak, seolah ada yang meluap dari dalam dirinya. “Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupan yang seperti ini, Sirius,” tambahnya lagi.Sirius masih dengan ekspresi datarnya. Seolah tidak merasa bersalah atas amarah Ilse. “Kau tidak mengerti, Ilse. Aku benar-benar tidak punya pilihan lain,” ucap Sirius dengan suara rendah. Ia masih berusaha mempertahankan pendiriannya, tidak peduli betapa pun kerasnya Ilse menolak.
Sebuah tamparan yang keras Selena daratkan di pipi Julia. Membuat semua orang yang ada di pesta teh tercengang. Bukan tanpa alasan, Selena geram karena diamnya justru dijadikan candaan. Julia, bangsawan menengah yang hadir di pesta itu menyiramkan seteko teh berisi air panas ke tubuh Selena.Selena sebenarnya sangat enggan menghadiri pesta para bangsawan seperti ini jika bukan karena desakan Lynne. Baginya, tidak ada pesta menyenangkan. Karena topik yang dibahas hanyalah dirinya seorang ,yang dikatakan anak tiran dan anak tidak jelas. Padahal keluarga mereka juga menjilat kekuasaan ayahnya. Benar-benar munafik!Wajah Julia pun menjadi merah padam. Bekas tamparan Selena begitu merah, bahkan melebihi merahnya pewarna pipi yang Julia gunakan. “K-kau...” Julia memandang Selena dengan tatapan penuh kebencian.&nb
Selena berulang kali mendengkus. Jujur, ia sangat risih ketika diikuti terus ke mana-mana oleh Lucas. Hingga detik berikutnya, gadis itu berbalik. “Apa kau bisa berhenti mengikutiku, Ksatria Lucas yang terhormat?” ucapnya dengan nada kesal dan dahi berkerut dalam.Lucas menggeleng dengan wajah datar. “Tidak bisa, Tuan Putri Selena yang cerewet. Tugasku adalah melindungimu, agar tidak terluka barang segores pun.”“Apa kau mau kupenggal?”“Dan membuat semua orang tahu kalau putri yang terlihat baik hati ini ternyata sama seperti ayahnya?”Selena mendelik begitu mendengar ucapan Lucas. “Kau―”Lu
Selena berulang kali mondar-mandir dan mendengkus di kamarnya. Sebentar lagi akan pagi dan sedikitpun ia belum bisa tidur karena memikirkan kejadian semalam. Seseorang sudah mengetahui identitasnya sekarang. Bagaimana kalau orang itu sampai membocorkannya pada ayahnya? Atau bangsawan lain?“Argh! Kenapa sih, harus orang itu? Ck!” Selena mendaratkan pantatnya di tepi kasur. Kedua tangannya dilipat ke depan dada, mulutnya manyun cemberut. Kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Sebaiknya malam ini aku bergerak.”Selena mengambil sebuah kotak dari kolong nakasnya. Kemudian dibuka dengan kunci yang tersembunyi di dalam vas bunga. Diambilnya isi dalam kotak itu berupa kertas yang terlipat-lipat. Lalu dibentangkan. Selena tidak peduli jika posisinya sekarang duduk di lantai, toh itu tidak penting baginya.
“Kediaman Rhodes baru saja kecolongan. Neere berhasil membuka gerbang harta dan membawa sejumlah permata.” Sirius masih tenang mendengarkan penjelasan abdi yang selalu menyertainya itu. Entahlah, ia hanya merasa tertarik dengan topik yang dibawakan Tristan. Neere. Juga penasaran siapa orang di balik nama itu. Meski hatinya juga bertanya, kenapa Neere tidak berniat mencuri di kerajaan? “Oh, ya!” Suara antusias Tristan yang biasanya kaku menyadarkan lamunan Sirius. “Kata para pengawal yang menyergap Neere di kediaman Rhodes, Neere membawa seorang rekan.” “Rekan?” Sirius mengernyit. Bukankah Neere itu independen? Kenapa tiba-tiba membawa rekan? Tristan mengangguk. “Seorang pria. Begitu kata mereka. Hanya saja pria itu juga Sirius diam sesaat. “Ak―” Baru akan bicara ucapan Sirius terpotong kala seorang butler mengetuk pintu ruangannya. “Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias.” Sirius mengangguk. “Apa yang ingin kau sampaikan?” “Hamba hanya ingin menyampaikan, kalau semua a
Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau
Selena mengerjap kala merasakan ada yang memanggil, berikut guncangan ringan di bahunya. Di dapatinya Lynne dengan muka panik.“Astaga, Putri. Ayo bangun. Ini sudah tengah hari dan kau masih saja tertidur?”Selena menguap, ia pun duduk dengan gaun tidurnya. “Oh ayolah, Lyn. Aku masih sangat mengantuk.” Selena mengucek kedua matanya dengan tangan seperti anak kecil baru bangun tidur. Rambut bergelombangnya pun tampak berantakan. Selena lalu memandangi Lynne dengan matanya yang masih setengah terpejam.Tidur dini hari setelah ke panti dan hanya mendapat beberapa jam untuk istirahat. Bahkan kantung matanya pasti sudah mewakili kondisinya saat ini.“Sebenarnya apa yang kau lakukan, Pu
Selena berjalan mondar mandir di kamarnya. Sesekali diam berpikir, meremas gaun, bahkan duduk lalu mondar-mandir lagi.“Astaga, kenapa ucapan manusia cabul itu masih saja terekam di otakku dengan jelas?” Selena mengutuk dirinya sendiri. Ini salahnya, tidak seharusnya menggoda Lucas yang mata keranjang. Sekarang, ia harus lebih berhati-hati dan berjaga-jaga di saat kesehariannya memang diawasi pemuda itu.Selena dilema. Di samping berusaha menjaga jarak, ia juga ingin agar Lucas menemaninya ke pasar. Ya, meskipun bisa saja dirinya pergi sendiri. Namun, Lucas tetaplah ksatrianya. Memang tugasnya, ‘kan, melindungi Selena?“Ngomong-ngomong, di mana manusia itu?” Selena mengedarkan pandangan kala tak mendapati pemuda itu di sekitar kamarnya. Lalu, di
Sesuai janjinya, Lucas menemani Selena ke penjara. Namun, pemuda itu memilih menunggu di luar dan Selena justru terbantu.Gadis itu melangkah pelan menyusuri penjara yang gelap. Bau tidak sedap terperangkap dalam indra penciumannya. Setelah selama ini hidup dalam cahaya dan segala fasilitas, kini ayahnya harus tinggal di tempat mengerikan dan kotor seperti ini.Langkah Selena kemudian berhenti, tepat setelah berdiri di depan penjara paling ujung dan gelap. Sosok di dalam penjara itu memunggunginya. Meski begitu dan ruangan gelap, Selena sudah tahu siapa dia."Ayah ...," panggil Selena parau. Sejak tadi ia memang menahan tangisnya. Orang yang dipanggil seketika berbalik. Dari cahaya obor yang temaram Selena bisa melihat jelas raut orang tua satu-satunya itu."Selena?" Sirius langsung berjalan mendekati putrinya yang mematung di depan penjara. Sirius tampak cemas. Matanya membulat lebar, seraya bergerak memindai tubuh putrinya. "Kau baik-baik saja, bukan? O
Lucas membaringkan Selena yang masih belum sadarkan diri di atas pembaringan di mansion milik keluarganya dahulu. Diam-diam, Lucas melumpuhkan penjagaan di sana dan merebut kembali apa yang memang jadi miliknya.“Delmar dan Calvin berhasil menerobos istana. Kenapa kau masih saja di sini mengurusi putri musuhmu?” celetuk Antanas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Ya. Ini adalah kamar Lucas dahulu. Tidak tahu mengapa, tempat ini bahkan masih terjaga. Apakah Sirius sengaja menjaganya? Namun, pendapat itu ia tepis segera.“Dia terluka, Antanas,” jawab Lucas tenang. “Yang bersalah adalah ayahnya. Bukan dia.” Mata Lucas masih memaku tatap wajah Selena yang memang meneduhkan dan sejuk dipandang. Bulu-bulu mata yang lentik, hidung bangir, juga bibir merah mudanya yang menggoda.“Benarkah? Kenapa kau menjadi orang yang melankolis, Kak? Padahal, saat itu kau
Selena berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Malam ini, mereka akan menyerbu kediaman Sebaste. Semoga saja semesta mendukung mereka. Lucas mendapat tahtanya, dan ia akan mendapat kebebasannya.Gadis itu menelentangkan tubuhnya di atas kasur. “Aku benar-benar menantikan hari itu. Tidak perlu ada etiket, tidak perlu menjaga ini dan itu. Aku ... aku akan bisa menjadi diriku sendiri.” Ia tersenyum kala membayangkan hari-hari itu datang.“Tapi ... apakah Evan akan ikut? Atau ... dia akan menetap di Evanthe?” Rautnya mendadak sedih. Selena belum menanyakan hal ini pada Evan. Ia tidak tahu, apakah memaksanya ikut ke luar istana akan membuatnya setuju.Rencana, Selena akan bilang setelah segel berhasil direbut dan Lucas naik tahta.“Selena.”Suara itu menyadarkan lamunan Selena. Buru-buru ia terduduk dan mendapati Sirius sudah ada di dekatnya. Sej
Selena duduk malas di kursi panjangnya. Mulutnya tak henti mengunyah roti sisa semalam. Roti sisa? Selena tak keberatan. Ia sedang kedatangan tamu bulanan. Nafsu makannya bertambah besar dan banyak. Diam-diam, Selena juga mengirimkan makanan di pesta istana pada anak-anak di panti.Saat Selena akan mencomot lagi roti di piring di atas meja. Tangannya tak mendapati makanan itu di posisinya. Sontak ia menoleh, mendapati Lucas yang memegang piring itu dan menjauhkannya dari Selena.“Apa kau ingin menjadi babi? Sejak pagi hobimu makan dan malas-malasan seperti ini.”Selena mengernyit. Lagi-lagi Lucas bertindak menyebalkan seperti ini. Padahal Selena yang sedang kedatangan tamu bulanan, perutnya sakit dan emosinya labil. Lantas kenapa harus Lucas yang terus mengomel?“Cerewet! Sini kembalikan rotiku!” Selena hendak merebutnya, tetapi Lucas malah mengangkat dan menjauhkan piring itu
Festival kerajaan sudah dimulai. Para pemuda termahsyur di Blazias dan pangeran kerajaan lain tengah mengadakan festival berburu. Selena duduk dan mengharap dengan cemas.“Ck! Begitu saja kau sudah khawatir!” celetuk Lucas yang menarik perhatian Selena.“Tahu apa kau?” Selena tak terima. Bisa-bisanya Lucas tiba-tiba bicara pedas seperti itu.“Dia itu laki-laki. Tidak mungkin akan sekarat hanya karena festival berburu,” kata Lucas lagi.Selena mendelik. Apa sebenarnya yang terjadi pada ksatria tak bergunanya ini? Kenapa lidahnya begitu ringan bicara?“Sebenarnya kau ini ada masalah apa? Apa kau sedang kedatangan tamu bulanan?” tanya Selena dengan nada meninggi, tetapi terkendali. Tamu bulanan? Selena terkekeh dalam hatinya. Apakah lelaki juga bisa sensitif seperti itu?Lucas hanya bergeming. Bibirnya seolah terka
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri