Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.
“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.
Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”
“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”
Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau manusia merepotkan,” ucapnya tak gentar.
Lucas mendengkus. Ikut duduk di lantai dan bersandar di tepian ranjang kamar Selena. “Seharusnya aku tidak perlu membantumu kemarin.”
“Dan seharusnya kau tidak perlu ikut kemarin. Jadi aku tidak akan mengalami kesialan,” ketus Selena.
“Hei, lidahmu itu terlalu tajam. Tidak bisakah kau bicara seperti putri bangsawan lainnya?” Sungguh, Lucas benar-benar tak mengerti dengan perilaku Selena. Tidak bisakah dia normal barang sehari pun? Ah, sepertinya tidak. Selena terlalu bar-bar untuk menukan jalan taubatnya.
Selena mengembuskan napas, lantas menaikkan salah satu sudut bibirnya. Ia tersenyum miring seraya menatap Lucas. “Menjadi seperti mereka? Heh ... rasanya perutku langsung mual.” Selena bangkit, setelah berhasil mengantungi pecahan berlian itu. “Sekarang aku harus menjual berlian-berlian ini ke pasar,” ucapannya memang pelan, tetapi Lucas bisa mendengarnya.
“Kau bisa mengajakku,” kata Lucas tiba-tiba. “Jangan bilang kalau kau ingin keluar sendiri?”
“Tentu saja. Kenapa tidak? Kau hanya menjadi pembawa sial untukku.”
Ck! Sulit. Menghadapi Selena memang selalu sulit. Lucas sendiri tidak mengerti dengan ketidakberdayaannya menghadapi gadis di depannya ini.
“Aku akan tetap ikut. Biar bagaimana pun, aku adalah pengawalmu.”
“Tapi kau bukan pengawal Neere. Ingat?”
Sial! Lagi-lagi ucapan Lucas dikembalikan. Lucas pun mengembuskan napasnya. “Kalau begitu, biar aku pergi sebagai rekan Neere. Bagaimana?”
“Aku lebih suka pergi sendiri.”
“Tolong jangan keras kepala.” Suara Lucas naik satu oktaf. “Kalau kau sampai dalam bahaya, siapa yang akan menolongmu? Kalau kau sampai mati, siapa yang ujung-ujungnya disalahkan. Jangan egois.”
Kening Selena mengerut dalam. “Egois? Ha ... bukannya itu kau―”
Lucas membungkam mulut Selena dengan tangannya. “Aku paling tidak suka mendengar penolakan.”
* * *
“Aku tidak percaya kau membangun tempat ini,” kata Lucas seraya memandangi gedung yang cukup besar dan jauh dari pusat pemerintahan. Bahkan ketika malam, tidak ada cahaya yang keluar dari tempat itu.
Lingkungannya asri, tertutupi rimbunnya pepohonan. Meski demikian, tempat tersembunyi ini cukup aman. Sepertinya tidak ada binatang buas. Atau manusia-manusia iseng. Lucas berpendapat, Selena gadis yang cerdas, bahkan berani menentang kekuasaan ayahnya demi membantu orang-orang.
Pikiran Lucas mengembara, sementara Selena sudah masuk tanpa menanggapi pertanyaannya. Hingga Lucas menyadari, ia berlari menyusul Selena.
“Sini biar aku yang bawakan.” Lucas coba meraih karung berisi bahan makanan untuk penghuni panti yang tadi Selena beli pasca menjual berlian ke pasar. Namun, Selena menolaknya dengan tegas.
“Tidak usah. Aku tidak selemah itu untuk membawa barang-barang ini.”
Lucas mendecak, membiarkan gadis yang keras kepala itu melakukan sesukanya. “Tunggu saja nanti kalau keberatan atau kelelahan. Aku tidak akan membantunya,” gumam Lucas yang tersapu angin malam. Kemudian mengekor di belakang Selena yang mulai masuk.
“Kak Neere ... akhirnya kau datang. Kami merindukanmu,” ucap anak laki-laki beberusia sekitar tujuh tahun dan berkulit agak gelap. Wajahnya tampak semringah begitu kedatangan Selena. Bukan hanya anak itu, tetapi anak-anak lain yang jumlahnya sekitar tiga puluh orang. Ditambah para orang tua paruh baya dan lansia.
Selena balas tersenyum, lantas mengacak puncak kepala anak itu. “Kakak juga merindukanmu. Di mana Lula?” Selena meletakkan karung yang di bawanya di meja tengah.
“Aku di sini.” Seorang wanita paruh baya keluar dari arah dapur, mengenakan celemek putih. Wanita itu menghambur pelukan pada Selena. “Astaga, rasanya baru beberapa lalu kau kemari, sekarang sepertinya sudah begitu lama.”
“Maaf, aku baru bisa kembali.” Pelukan keduanya terlepas.
“Tidak masalah. Aku tahu, jalanmu untuk kemari tidaklah mudah.” Pandangan wanita itu tertuju pada Lucas. “Eh, kau tidak datang sendiri?”
Selena mengembuskan napasnya. “Dia memaksa ikut.”
“Memang dia siapa?”
“Hanya mantan preman yang ingin menjadi bawahanku saja,” ucap Selena dengan santainya dan sukses membangkitkan kekesalan dalam diri Lucas.
“Mantan preman? Bawahan? Tidak, Lucas. Kau harus kooperatif,” batin Lucas menggerutu. Tanpa menunggu perintah Selena, Lucas tersenyum. Menjulurkan tangannya ke hadapan Lula. “Perkenalkan, aku Alvar.” Biar bagaimana pun Lucas tidak bisa memberikan namanya pada sembarang orang. Bisa-bisa, ketahuan kalau dia adalah pengawal kerajaan.
Untuk sejenak, Selena menatap Lucas yang juga menatapnya pasca berkenalan dengan Lula. Sampai, seorang anak perempuan berusia sekitar lima tahun menarik lengan gadis itu.
“Kak Neere, kau akan membacakan dongeng untuk kami, ‘kan?”
Selena mengulas senyum. Berjongkok dan mengusap lembut puncak kepalanya. “Tentu saja.” Ia bangkit lagi, mengedarkan pandangan ke anak-anak yang seperti memang menunggu kedatangannya. “Apa kalian siap untuk dongeng malam ini?” kata Selena penuh semangat.
“Siap, Kak.” Anak-anak itu menyahutinya serempak, membuat Selena tersenyum lebar.
Entah kenapa aura positif yang Selena tebarkan bisa membuat Lucas tak berkedip memandangnya.
Ia hanya merasa kalau Selena yang seperti ini jauh lebih cantik.
Tunggu, cantik? Lucas menggeleng pelan. Sejak kapan wanita yang hobi selengean sepertinya jadi cantik? Otaknya pasti sedang bermasalah karena bisa-bisanya memikirkan gadis menyebalkan itu.
“Tuan ....”
Lucas menoleh ke sumber suara. “Panggil saja aku Alvar. Kau lebih tua dariku, Nyonya.”
Lula tersenyum. “Silakan duduk. Biar kubuatkan teh herbal.”
Lucas menurut, duduk di bangku ruang tengah yang besar. Ruangan itu berisi meja-meja panjang dan banyak kursi. Asumsi Lucas cuma satu, ini ruang makan. Atau mungkin ruang berkumpul juga.
“Anak-anak itu sangat merindukan Neere.” Lula telah kembali, dengan cangkir teh yang mengepul. Lantas meletakkan teh itu ke hadapan Lucas. “Ini teh kesukaannya. Maaf, kami hanya punya ini.”
“Tidak apa.” Lucas memegangi pegangan cangkir. “Aku suka teh apa pun.” Ia menyeruput teh krisan itu. Rasanya segar. Sepertinya ini akan masuk list minuman kesukaannya juga.
Senyum Lula terukir, memandang tempat Selena bercengkerama dengan anak-anak. “Semula panti kami ada di pusat kota. Namun, karena pembangunan jalan lintas perdagangan, tempat itu dihancurkan tanpa ada ganti rugi.”
Lucas diam menyimak.
“Sampai kami bertemu Neere, dan dia pun membangunkan tempat ini untuk orang-orang seperti kami. Beberapa pekan sekali, atau sebulan sekali, Neere akan datang membawa uang juga bahan makanan. Neere juga selalu mendongengkan anak-anak sebelum mereka tidur termasuk mengajari mereka baca tulis serta menggambar.”
Pandangan Lucas tertuju pada Selena yang masih mendongengkan anak-anak. Senyumnya mendadak terbit tanpa ia sadari. Selena rupanya punya sisi seperti ini.
“Dia orang yang baik. Sangat baik. Aku berdoa setiap hari, agara dia diberi umur panjang dan kehidupan yang bahagia suatu hari nanti.”
Hati Lucas tiba-tiba saja berdesir. “Dia memang orang yang baik.” Pemuda itu tersihir oleh senyum Selena bersama anak-anak. Untuk saat itu, hatinya seakan menghangat.
“Aku harap, kau bisa membantuku menjaganya. Karena sepertinya, kau selalu ada di dekatnya.”
Ucapan Lula membuat Lucas menatap wanita paruh baya itu. Matanya dipenuhi harap, seolah menuntut Lucas untuk mengiakannya. “Tanpa kau minta, aku memang akan selalu menjaga keselmatannya.”
Benar. Ini memang benar dan fakta. Dirinya adalah ksatria, pengawal Selena. Jadi, tentu saja akan melindungi gadis keras kepala itu tanpa diminta. Iya. Hanya itu.
“Aku tahu. Bahkan matamu seperti menyiratkan sesuatu yang lain. Apa ... kau menyukai Neere?”
Menyukai? Gadis seperti Selena?
Lucas mengembuskan napasnya. Itu sama sekali tidak ada dalam daftar hidupnya.
“Sepertinya kau salah paham, Nyonya. Aku hanyalah temannya,” balas Lucas, kemudian menyesap kembali teh dalam cangkirnya.
Lula justru terkekeh. “Justru karena kau temannya. Yang aku yakini, cinta itu bisa tumbuh karena intensitas kebersamaan. Jika sampai itu benar terjadi, apa kau akan menolaknya?”
Terjadi? Oh, tentu. Dirinya tidak akan membiarkan itu terjadi. Bagaimana mungkin ia mencintai putri musuhnya?
Lucas hanya memandangi Selena yang masih tertawa bersama anak-anak. Kebahagiaan yang tanpa ia sadari juga menyulut senyumnya.
* * *
Menjelang pagi, Lucas dan Selena sudah kembali ke istana. Tentu dengan jalur rahasia yang Selena buat. Tidak mungkin, ‘kan, mereka terang-terangan melewati penjaga? Bisa-bisa, besok tinggal nama.
Di dalam kamar yang temaram, Lucas berjalan mendekati pembaringan Selena di mana pemiliknya tengah terlelap.
Pemuda itu duduk di dekat Selena, memandangi wajah yang banyak dipuja. Wajah oriental dengan hidung bangir, bulu mata lentik, juga bibir tipis merah muda itu.
Ah, sekarang, apakah dirinya juga bagian dari para pemuja itu? Kenapa belakangan ini ia jadi aneh? Apa benar, ia menyukai Selena seperti yang dikatakan Lula?
Lucas memejamkan matanya. Ia harus mengendalikan diri. Tujuannya kembali bukan untuk mengagumi maha karya di depannya. Namun, untuk membalas dendam dan merebut tahta kembali.
Diembuskannya napas itu secara perlahan. Ditatapnya lagi Selena yang tampat lelap dalam ketenangan. “Sihir apa yang kau tebarkan, Selena? Bisa-bisanya, wanita sepertimu membuatku seperti ini.”
Selena mengerjap kala merasakan ada yang memanggil, berikut guncangan ringan di bahunya. Di dapatinya Lynne dengan muka panik.“Astaga, Putri. Ayo bangun. Ini sudah tengah hari dan kau masih saja tertidur?”Selena menguap, ia pun duduk dengan gaun tidurnya. “Oh ayolah, Lyn. Aku masih sangat mengantuk.” Selena mengucek kedua matanya dengan tangan seperti anak kecil baru bangun tidur. Rambut bergelombangnya pun tampak berantakan. Selena lalu memandangi Lynne dengan matanya yang masih setengah terpejam.Tidur dini hari setelah ke panti dan hanya mendapat beberapa jam untuk istirahat. Bahkan kantung matanya pasti sudah mewakili kondisinya saat ini.“Sebenarnya apa yang kau lakukan, Pu
Selena berjalan mondar mandir di kamarnya. Sesekali diam berpikir, meremas gaun, bahkan duduk lalu mondar-mandir lagi.“Astaga, kenapa ucapan manusia cabul itu masih saja terekam di otakku dengan jelas?” Selena mengutuk dirinya sendiri. Ini salahnya, tidak seharusnya menggoda Lucas yang mata keranjang. Sekarang, ia harus lebih berhati-hati dan berjaga-jaga di saat kesehariannya memang diawasi pemuda itu.Selena dilema. Di samping berusaha menjaga jarak, ia juga ingin agar Lucas menemaninya ke pasar. Ya, meskipun bisa saja dirinya pergi sendiri. Namun, Lucas tetaplah ksatrianya. Memang tugasnya, ‘kan, melindungi Selena?“Ngomong-ngomong, di mana manusia itu?” Selena mengedarkan pandangan kala tak mendapati pemuda itu di sekitar kamarnya. Lalu, di
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
Festival kerajaan sudah dimulai. Para pemuda termahsyur di Blazias dan pangeran kerajaan lain tengah mengadakan festival berburu. Selena duduk dan mengharap dengan cemas.“Ck! Begitu saja kau sudah khawatir!” celetuk Lucas yang menarik perhatian Selena.“Tahu apa kau?” Selena tak terima. Bisa-bisanya Lucas tiba-tiba bicara pedas seperti itu.“Dia itu laki-laki. Tidak mungkin akan sekarat hanya karena festival berburu,” kata Lucas lagi.Selena mendelik. Apa sebenarnya yang terjadi pada ksatria tak bergunanya ini? Kenapa lidahnya begitu ringan bicara?“Sebenarnya kau ini ada masalah apa? Apa kau sedang kedatangan tamu bulanan?” tanya Selena dengan nada meninggi, tetapi terkendali. Tamu bulanan? Selena terkekeh dalam hatinya. Apakah lelaki juga bisa sensitif seperti itu?Lucas hanya bergeming. Bibirnya seolah terka
Selena duduk malas di kursi panjangnya. Mulutnya tak henti mengunyah roti sisa semalam. Roti sisa? Selena tak keberatan. Ia sedang kedatangan tamu bulanan. Nafsu makannya bertambah besar dan banyak. Diam-diam, Selena juga mengirimkan makanan di pesta istana pada anak-anak di panti.Saat Selena akan mencomot lagi roti di piring di atas meja. Tangannya tak mendapati makanan itu di posisinya. Sontak ia menoleh, mendapati Lucas yang memegang piring itu dan menjauhkannya dari Selena.“Apa kau ingin menjadi babi? Sejak pagi hobimu makan dan malas-malasan seperti ini.”Selena mengernyit. Lagi-lagi Lucas bertindak menyebalkan seperti ini. Padahal Selena yang sedang kedatangan tamu bulanan, perutnya sakit dan emosinya labil. Lantas kenapa harus Lucas yang terus mengomel?“Cerewet! Sini kembalikan rotiku!” Selena hendak merebutnya, tetapi Lucas malah mengangkat dan menjauhkan piring itu
Sesuai janjinya, Lucas menemani Selena ke penjara. Namun, pemuda itu memilih menunggu di luar dan Selena justru terbantu.Gadis itu melangkah pelan menyusuri penjara yang gelap. Bau tidak sedap terperangkap dalam indra penciumannya. Setelah selama ini hidup dalam cahaya dan segala fasilitas, kini ayahnya harus tinggal di tempat mengerikan dan kotor seperti ini.Langkah Selena kemudian berhenti, tepat setelah berdiri di depan penjara paling ujung dan gelap. Sosok di dalam penjara itu memunggunginya. Meski begitu dan ruangan gelap, Selena sudah tahu siapa dia."Ayah ...," panggil Selena parau. Sejak tadi ia memang menahan tangisnya. Orang yang dipanggil seketika berbalik. Dari cahaya obor yang temaram Selena bisa melihat jelas raut orang tua satu-satunya itu."Selena?" Sirius langsung berjalan mendekati putrinya yang mematung di depan penjara. Sirius tampak cemas. Matanya membulat lebar, seraya bergerak memindai tubuh putrinya. "Kau baik-baik saja, bukan? O
Lucas membaringkan Selena yang masih belum sadarkan diri di atas pembaringan di mansion milik keluarganya dahulu. Diam-diam, Lucas melumpuhkan penjagaan di sana dan merebut kembali apa yang memang jadi miliknya.“Delmar dan Calvin berhasil menerobos istana. Kenapa kau masih saja di sini mengurusi putri musuhmu?” celetuk Antanas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Ya. Ini adalah kamar Lucas dahulu. Tidak tahu mengapa, tempat ini bahkan masih terjaga. Apakah Sirius sengaja menjaganya? Namun, pendapat itu ia tepis segera.“Dia terluka, Antanas,” jawab Lucas tenang. “Yang bersalah adalah ayahnya. Bukan dia.” Mata Lucas masih memaku tatap wajah Selena yang memang meneduhkan dan sejuk dipandang. Bulu-bulu mata yang lentik, hidung bangir, juga bibir merah mudanya yang menggoda.“Benarkah? Kenapa kau menjadi orang yang melankolis, Kak? Padahal, saat itu kau
Selena berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Malam ini, mereka akan menyerbu kediaman Sebaste. Semoga saja semesta mendukung mereka. Lucas mendapat tahtanya, dan ia akan mendapat kebebasannya.Gadis itu menelentangkan tubuhnya di atas kasur. “Aku benar-benar menantikan hari itu. Tidak perlu ada etiket, tidak perlu menjaga ini dan itu. Aku ... aku akan bisa menjadi diriku sendiri.” Ia tersenyum kala membayangkan hari-hari itu datang.“Tapi ... apakah Evan akan ikut? Atau ... dia akan menetap di Evanthe?” Rautnya mendadak sedih. Selena belum menanyakan hal ini pada Evan. Ia tidak tahu, apakah memaksanya ikut ke luar istana akan membuatnya setuju.Rencana, Selena akan bilang setelah segel berhasil direbut dan Lucas naik tahta.“Selena.”Suara itu menyadarkan lamunan Selena. Buru-buru ia terduduk dan mendapati Sirius sudah ada di dekatnya. Sej
Selena duduk malas di kursi panjangnya. Mulutnya tak henti mengunyah roti sisa semalam. Roti sisa? Selena tak keberatan. Ia sedang kedatangan tamu bulanan. Nafsu makannya bertambah besar dan banyak. Diam-diam, Selena juga mengirimkan makanan di pesta istana pada anak-anak di panti.Saat Selena akan mencomot lagi roti di piring di atas meja. Tangannya tak mendapati makanan itu di posisinya. Sontak ia menoleh, mendapati Lucas yang memegang piring itu dan menjauhkannya dari Selena.“Apa kau ingin menjadi babi? Sejak pagi hobimu makan dan malas-malasan seperti ini.”Selena mengernyit. Lagi-lagi Lucas bertindak menyebalkan seperti ini. Padahal Selena yang sedang kedatangan tamu bulanan, perutnya sakit dan emosinya labil. Lantas kenapa harus Lucas yang terus mengomel?“Cerewet! Sini kembalikan rotiku!” Selena hendak merebutnya, tetapi Lucas malah mengangkat dan menjauhkan piring itu
Festival kerajaan sudah dimulai. Para pemuda termahsyur di Blazias dan pangeran kerajaan lain tengah mengadakan festival berburu. Selena duduk dan mengharap dengan cemas.“Ck! Begitu saja kau sudah khawatir!” celetuk Lucas yang menarik perhatian Selena.“Tahu apa kau?” Selena tak terima. Bisa-bisanya Lucas tiba-tiba bicara pedas seperti itu.“Dia itu laki-laki. Tidak mungkin akan sekarat hanya karena festival berburu,” kata Lucas lagi.Selena mendelik. Apa sebenarnya yang terjadi pada ksatria tak bergunanya ini? Kenapa lidahnya begitu ringan bicara?“Sebenarnya kau ini ada masalah apa? Apa kau sedang kedatangan tamu bulanan?” tanya Selena dengan nada meninggi, tetapi terkendali. Tamu bulanan? Selena terkekeh dalam hatinya. Apakah lelaki juga bisa sensitif seperti itu?Lucas hanya bergeming. Bibirnya seolah terka
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri