Selena berulang kali mondar-mandir dan mendengkus di kamarnya. Sebentar lagi akan pagi dan sedikitpun ia belum bisa tidur karena memikirkan kejadian semalam. Seseorang sudah mengetahui identitasnya sekarang. Bagaimana kalau orang itu sampai membocorkannya pada ayahnya? Atau bangsawan lain?
“Argh! Kenapa sih, harus orang itu? Ck!” Selena mendaratkan pantatnya di tepi kasur. Kedua tangannya dilipat ke depan dada, mulutnya manyun cemberut. Kemudian mengembuskan napasnya kasar. “Sebaiknya malam ini aku bergerak.”
Selena mengambil sebuah kotak dari kolong nakasnya. Kemudian dibuka dengan kunci yang tersembunyi di dalam vas bunga. Diambilnya isi dalam kotak itu berupa kertas yang terlipat-lipat. Lalu dibentangkan. Selena tidak peduli jika posisinya sekarang duduk di lantai, toh itu tidak penting baginya.
“Dari pengamatanku waktu itu, pengawalnya banyak berjaga di sini. Lalu di sini dan di sini,” ucap Selena seraya melingkari dengan tinta lokasi-lokasi rumah seorang bangsawan. “Berarti aku harus masuk lewat celah di sini. Ya, aku bisa masuk dan keluar dari sana. Penjagaannya cukup lengang. Bisa kuatasi dengan bom biusku.” Selena menaikkan kedua alisnya.
“Sebaiknya kau bersiap, Tuan Rhodes.” Smirk smile tergurat di wajah Selena. Rhodes adalah rekan Sebaste. Orang yang mengendalikan ayahnya. Tentu saja tidak akan Selena biarkan hidupnya tenang. Detik berikutnya gadis itu menguap. Namun, buru-buru ia bereskan denah itu kala mendengar pintu kamarnya diketuk.
Setelah rapi, Selena pun membukakan pintunya. Lynne pun berbalik menghadap Selena.
“Astaga! P-Putri, kenapa mata Anda ....”
Selena menguap lagi. “Ada apa, hm?” tanggapnya dengan malas.
“M-m―”
“Apa yang kau lakukan sampai matamu hitam seperti itu?” celetuk Lucas tiba-tiba muncul di belakang Lynne. “Oh, atau jangan-jang―”
Selena langsung membungkam mulut Lucas dengan tangannya. Apa-apaan bocah di depannya ini? Apa dia mau membongkar rahasianya? Sebenarnya manusia yang paling ingin tidak ditemui Selena adalah Lucas. Pemuda angkuh di depannya ini tahu terlalu banyak. Lalu pandangannya beralih menatap Lynne. “Tolong siapkan air. Aku ingin mandi, dan ... abaikan manusia idiot ini jika berbicara sesuatu.”
Lynne merasakan ada sesuatu yang aneh, tetapi dia menyangkalnya. Barang kali memang putrinya itu punya sesuatu dengan Ksatria Lucas. Oh, jangan-jangan ... ah, tidak. Putrinya mencintai pangeran Evander. Tidak mungkin berkhianat demi seorang ksatria. Lynne pun pergi menyiapkan yang diminta Selena.
Sementara Selena, menatap lekat manik Lucas dengan memicing. “Kalau kau bicara sembarangan, jangan harap nyawamu masih bersama badanmu.”
Lucas memegangi tangan Selena, dan menurunkannya perlahan dari mulutnya. “Aku sudah tahu, Putri. Kau tidak perlu cemas!”
Selena menarik kasar tangannya. Batinnya terus mendumel. Semakin hari kelakuan ksatria yang mengawalnya ini jadi kurang ajar. Apakah boleh dia meminta Tristan? Pria itu jauh lebih dewasa dan lebih banyak diam. Tapi ... jika Tristan di sini, siapa yang akan menjaga ayahnya?
Selena menggeleng. Pusing sendiri memikirkan itu.
* * *
Usai makan siang, Selena duduk di lantai. Dagunya bertumpu di tangan yang dilipat di atas meja. Pikirannya mengawang, sesekali mulutnya menguap.
Lucas yang duduk di sofa seberang Selena hanya menatap bingung. Apakah putrinya itu tidak tidur semalaman? Apa yang sedang dipikirkannya? Atau ... dia masih kepikiran yang semalam dan takut ada yang membocorkannya?
Lucas mengembuskan napasnya. “Kalau ngantuk, sebaiknya kau tidur di kasurmu. Atau perlu kuangkat seperti menggendong pengantin?”
Selena menegakkan wajahnya. “Tidak perlu! Aku bisa sendiri,” ucapnya ketus. Selena pun beranjak dan merebahkan dirinya di atas kasur. Dia memang butuh tidur. Matanya sekarang pun terasa lengket.
Lucas sudah menduganya. Ia pun berjalan mendekati pembaringan Selena. Menatap lamat-lamat wajah cantik yang tersohor itu. “Kenapa ayahmu harus orang itu, Selena. Seandainya bukan, mungkin akan terasa lebih mudah bagiku.”
Tunggu! Lucas mengerem dirinya sendiri. “Sejak kapan aku memikirkan putri bar-bar ini?” batinnya mendadak kesal. Selain itu, ia juga menyadari hal yang tadi pagi dilakukan. Ditatapnya tangan kanan yang memegang tangan Selena. “Kenapa aku selalu tidak bisa menahan diri jika berhadapan dengannya sih?” Lagi, suara hatinya mengalun.
Satu dengkusan pun kemudian lolos begitu saja. Lucas akhirnya beranjak dan duduk di tempatnya semula. Tak lama, Lucas juga menguap. “Sial! Sepertinya aku juga kekurangan tidur. Kalau tidur di sini, tidak apa-apa, ‘kan?”
Tak perlu menunggu izin, Lucas menyusul Selena ke alam mimpi.
* * *
Selena memastikan perlengkapan dan peralatannya kala tengah malam menjelang. Semuanya udah lengkap. Lalu memastikan penjagaan di sekitar istananya. Hingga ....
“Apa kau ingin beraksi?”
Suara itu membuat Selena terjengkang ke belakang. “Kau! Kenapa kau selalu muncul di mana-mana seperti lalat, hah?”
“Lalat?” Kening Lucas mengerut. “Apa tidak ada perumpamaan yang lebih bagus? Ngomong-ngomong aku ini tampan.”
Selena memandang illfeel Lucas. Sejak kapan manusia di depannya ini jadi begitu percaya diri?
“Terserah. Minggir, jangan halangi jalanku!” Selena sudah bangkit, membenahi jubah dan hoodie-nya. “Lagi pula, prediket pria paling tampan masih jatuh pada ayahku, juga Pangeran Evan,” jawab Selena entang.
Raut muka Lucas berubah, sulit Selena mengerti. Hingga tiba-tiba pemuda di depannya itu bersuara. “Bagaimana kalau aku ikut?”
Selena mendelik. Ikut katanya? Apa dia salah dengar? Selena mengorek telinganya. Barangkali telinganya bermasalah.
“Kau tidak salah dengar. Tidak usah berlagak konyol seperti itu.”
“Kau ... berani-beraninya mengataiku konyol!” tuduh Selena tidak terima.
“Memang, ‘kan? Coba pikir lagi, siapa yang kemarin jatuh dari pohon? Lalu, siapa yang ident―”
Lagi, Selena membungkam mulut Lucas yang kadang lemes, kadang juga sangat menyebalkan karena bicara tak pernah disaring. Tanpa gadis itu pahami, bahwa sentuhannya itu membuat jantung Lucas nyaring menggelinding keluar dari dada.
Selena melepas bungkamannya, lalu memandang asal ke sembarang arah. “Akan lebih bagus sepertinya jika mulutmu itu dijahit!” Selena menatap Lucas lagi. “Kalau kau mau ikut, maka ikutlah. Tapi, kalau sampai kau menyusahkanku, maka kubiarkan kau ditangkap oleh pasukan keamanan!”
Lucas mengulas senyum. “Kau tidak perlu khawatir. Biar begini, aku bisa diandalkan.”
“Cih, aku tidak peduli!”
* * *
Selena berhasil menyangkutkan kail besinya di pohon ke atap bangunan megah milik Rhodes. Ya, arsitekturnya mirip bangunan bangsawan lainnya. Membentuk sudut miring yang pasti akan menyenangkan jika itu ada di arena bermain. Sayangnya ini adalah medan pertaruhan nyawa, tidak ada yang menyenangkan sama sekali. Namun, Selena akan tetap menikmatinya.
Semesatas seperti mendukungnya beraksi malam ini. Bulan dan cahaya temaramnya tidak ada. Jadi, jika Selena tidak perlu khawatir pasal pergerakan bayangannya yang akan muncul di atas rerumputan kala terkena sinar.
“Bagus, semuanya sempurna.” Selena pun menatap Lucas. “Kau atau aku duluan yang meniti?” tanya Selena pada Lucas, dengan suara berbisik.
“Harusnya kau. Biar aku belajar.”
Selena mendecak pelan. “Baiklah. Tapi, ingat satu hal. Aku pastikan akan menyeretmu ke neraka kalau sampai membuat masalah dan membuat kita tertangkap,” ancam Selena.
“Kau tenang saja. Aku bisa diandalkan.”
Selena berdecih. Lantas mengambil kain yang dia bawa lalu meluncur turun. Dilanjutkan dengan naik ke atap. Jalan atap adalah yang paling aman, meski cukup sulit dan berisiko tinggi. Sesampainya di bagian aman, Selena memberi kode pada Lucas untuk meluncur.
Pria di seberangnya itu mengangguk, lantas melakukan yang serupa dengan Selena. Namun, pria itu sedikit mengalami kesulitan kala akan naik ke atap.
“Ck, sudah kuduga kalau kau merepotkan.” Selena mengulurkan tangannya, dan membantu Lucas naik.
Setelah berhasil naik, Selena perlahan memindahkan salah satu genteng atap rumah itu. Kemudian memastikan situasi di dalamnya. Sepi. Seperti dugaannya. Namun, agar aman, Selena menjatuhkan bom biusnya ke bawah. Untung wajahnya sudah memakai penutup wajah. Jadi asap itu tidak akan berpengaruh padanya.
Dirasa asapnya telah menyebar, Selena mengikatkan tali di rangka atap. Celahnya cukup untuk meloloskan diri. Sudah dipastikan ikatannya kuat, Selena pun turun terlebih dahulu. Baru Lucas menyusul.
Ruangan itu minim penerangan, tetapi masih ada beberapa pasang obor yang terpajang.
Selena bergerak maju, Lucas ikut mengendap di belakangnya.
Tepat ketika Selena merasakan pintu batu di depannya, Selena meraih obor yang ada di sebelah kiri. Lalu menerangi bagian pintunya yang terkunci dengan gir berpola tertentu.
“Apa kau tau pola ini?” bisik Lucas.
“Aku pernah mempelajarinya. Ini menggunakan segel empat penjuru angin. Seharusnya di putar berlawan arah jarum jam.” Selena menyerahkan obor di tangannya pada Lucas, memintanya agar tetap menerangi pintu itu. Selena mulai memutarnya sesuai yang ia ketahui, tetapi gagal.
“Sial! Apa aku salah ingat? Rubah tua itu rupanya punya pengaman ruang harta yang bagus,” umpat Selena pelan.
“Sepertinya ada beberapa bagian yang harus diputar belawanan,” tukas Lucas. “Tolong pegang, biar aku yang mencobanya.”
Selena menerima obor yang seperti bola karena terus dioper ke sana dan kemari. Lalu memperhatikan Lucas mempelajari kunci itu. “Hei, apa kau mengerti tentang perkuncian seperti ini?”
Lucas menatap Selena, bisa dilihat dari keremangan kalau pemuda itu tersenyum. “Aku hanya pernah belajar sedikit.” Kembali ia memutar gir di depannya. Ada empat macam gir. Bagian yang mengarah ke barat dan timur, diputar berlawanan arah jarum jam. Sisanya, arah selatan dan utara diputar searah.
Bunyi kunci terbuka di balik pintu bagian dalam pun terdengar. Selena memberikan jempolnya pada Lucas.
Kedua orang itu pun mengambil harta sebanyak yang mereka bisa. Baru setengah kantong mereka terisi, suara bising dari arah luar terdengar.
“Kita harus pergi,” kata Selena yang dibalasi anggukan oleh Lucas.
Beberapa pengawal kediaman Rhodes menyergap mereka. Terjadi perlawanan sengit, baik Selena maupun Lucas sedang berusaha menuju tambang tempat mereka masuk.
“Naiklah ke tambang duluan. Jangan biarkan mereka memotongnya!” Selena menangkis serangan prajurit itu. Melukai lawan bukanlah yang diinginkannya, jadi sebisa mungkin cukup membuatnya pingsan.
“Tapi―”
“Jangan banyak tanya bodoh!” Selena sibuk menghindar agar tak ada pertumpahan darah.
Lucas pun menurut meski hatinya sangat ingin membangkang, tetapi dia tahu, ini bukan saat yang tepat.
Begitu Lucas sampai di atas, Selena langsung meraih tali, memberi isyarat pada Lucas untuk menariknya. Namun, baru saja Selena naik, seorang pengawal menarik kakinya.
“Ahhh!” Selena merosot lagi, tetapi masih berpegangan pada tali. “Dasar sialan!” Butuh kekuatan lebih untuk menyingkirkan pengawal itu, hingga bisa terjerembab.
Sekuat tenaga, Lucas menarik talinya agar Selena bisa cepat sampai di atas. Tangannya terulur, membantu gadis itu naik ke atap.
Rupanya di bawah sana sudah ramai pengawal. Tanpa menunggu lagi, Selena melempar bom asap yang tersisa.
Lucas pun langsung melilitkan kain di tali yang mengantarkan mereka ke atap. Lalu meraih tubuh Selena dalam dekapannya dan meluncur.
Selena sangat ingin protes, tetapi ini keadaan darurat. Tunggu sampai keadaan kondusif. Selena pasti akan menuntut balas pada Lucas!
Begitu kaki Lucas memijak batang pohon, Selena digendongnya ala bridal.
“Hei, apa yang―”
“Jangan protes dan ikuti saja.” Lucas melompat, tepat di samping kudanya.
Lantas Selena kuda terlebih dahulu di bagian depan, Lucas duduk di belakanganya mengatur tali kekangnya.
“Hya!”
Kuda yang mereka tunggangi terus mengarah ke hutan. Namun, dari arah belakang lesatan anak panah menyerbu. Rupanya pasukan kediaman Rhodes sudah jaga-jaga.
“Ini adalah hari yang buruk,” celetuk Selena.
“Hyaa!” Lucas menambah kecepatan kudanya, semakin masuk ke dalam hutan sampai .... “Argh!”
Selena kontan menoleh ke belakang, sebuah anak panah menancap di bahu kiri Lucas. “Berpeganganlah padaku.” Selena meraih kedua tangan Lucas, melingkarkannya ke perutnya. Lalu mengambil alih tali kuda. “Hyaa!”
Kuda itu melaju sangat cepat, bahkan Lucas sampai ngeri. Namun, wangi tubuh Selena bagai aromaterapi yang mampu menenangkannya lagi.
Kuda mereka berhenti ketika sudah masuk ke bagian hutan paling gelap dan suram. “Banyak orang enggan pergi kemari karena desas-desus tak bermutu. Ayo.” Pasukan Rhodes pun sudah tidak mengejarnya lagi. Selena memelankan laju kudanya hingga berhenti. “Turunlah, kita obati dulu lukamu.”
Lucas menurut. Entahlah, melihat keberanian gadis didepannya ini membuat hatinya semakin kagum. Tidak mengira jika gadis yang menyebalkan ternyata sangat pemberani, bahkan menghadapi para pengawal.
Keduanya duduk di akar sebuah pohon yang mencuat ke permukaan tanah.
“Apa kau selalu menghadapi bahaya seperti itu?” tanya Lucas yang menghentikan aktivitas Selena membongkar bingkisan kecil yang selalu ia bawa.
“Tidak terlalu, biasanya tidak separah ini. Pencurian malam ini adalah yang paling buruk.” Selena melanjutkan membongkar isi pouchnya hingga menemukan sebuah obat dalam botol kaca. “Aku akan mencabut anak panahnya. Barangkali dibubuhi racun. Apa kau bisa tahan? Kalau tidak gigitlah lenganmu sendiri.”
“Hei, itu solusi macam apa?” ucap Lucas tak terima.
“Sudahlah, aku tidak ingin berdebat.” Selena langsung memutar langkah ke punggung Lucas. “Ini akan sangat menyakitkan.” Selena menariknya, Lucas menahannya dengan wajah yang mengerah dan gigi yang meringis.
Setelah berhasil, selena meletakkan anak panah itu ke atas tanah. Lalu beralih pada luka sobekan di punggung Lucas. Merobek pakaian yang mengganggu tempat itu, lalu mengoleskan sesuatu dan baru membubuhkan obatnya.
Lucas mendesis kala merasakan lukanya di sentuh. Namun, segera rasa sakitnya berkurang kala Selena merobek syal yang dikenakannya untuk melilit luka itu.
“Sudah. Kita bisa kembali sekarang.” Sebelum itu Selena mengubur anak panah juga kain-kain milik Lucas di akar pohon yang memiliki aroma wangi, sehingga tidak akan terendus oleh binatang pelacak.
Lucas yang memastikan lukanya pun seketika menoleh. “Ke jalan tadi? Bagaimana kalau mereka masih berjaga di sekitar sini?”
“Memang. Maka dari itu kita akan menerobos hutan yang sebelah ini.”
“Kau yakin?”
“Tidak pernah seyakin ini. Aku sudah pernah masuk sangat jauh, hanya untuk mencari jalan pintas lainnya. Dan tentu saja, aku tidak pernah kembali dengan tangan kosong.”
“Tidak kusangka kalau kau secerdas itu, Neere.”
Selena tersenyum, kemudian naik ke kuda diikuti Lucas.
“Aku tidak tahu kalau kau juga menguasai ilmu medis,” kata Lucas memecah keheningan.
“Aku terlalu bosan belajar bersosialisasi. Padahal aku tidak tertarik menjadi penguasa. Jadi, aku lebih suka belajar ilmu yang berguna, terlebih untuk diriku sendiri,” terang Selena.
“Jika kau tidak mau jadi penguasa, kehidupan seperti apa yang kau impikan?”
“Em ....” Selena berpikir sejenak. Kehidupan macam apa? Ya, Selena punya rancangan dunianya yang ideal. “Jauh dari politik. Aku lebih suka hidup sebagai rakyat biasa, lalu menanam bunga di halaman rumahnya. Atau menjadi penjual bunga sekalian.”
Lucas tersenyum lembut.
“Lalu kau, kehidupan seperti apa yang kau impikan?” Selena bertanya balik. Ternyata berbincang sedikit bisa senyaman ini.
“Tidak jauh berbeda sepertimu, yang menginginkan ketenangan. Mungkin, nanti kita bisa bertetangga,” seloroh Lucas.
“Pasti akan perang setiap hari.” Selena menambah kecepatan laju kudanya.
Lucas tersenyum lembut. “Entah kenapa, perang di antara kita membuat kehidupanku jauh lebih berwarna. Jadi, kurasa meladenimu tidak akan membosankan.”
“Kediaman Rhodes baru saja kecolongan. Neere berhasil membuka gerbang harta dan membawa sejumlah permata.” Sirius masih tenang mendengarkan penjelasan abdi yang selalu menyertainya itu. Entahlah, ia hanya merasa tertarik dengan topik yang dibawakan Tristan. Neere. Juga penasaran siapa orang di balik nama itu. Meski hatinya juga bertanya, kenapa Neere tidak berniat mencuri di kerajaan? “Oh, ya!” Suara antusias Tristan yang biasanya kaku menyadarkan lamunan Sirius. “Kata para pengawal yang menyergap Neere di kediaman Rhodes, Neere membawa seorang rekan.” “Rekan?” Sirius mengernyit. Bukankah Neere itu independen? Kenapa tiba-tiba membawa rekan? Tristan mengangguk. “Seorang pria. Begitu kata mereka. Hanya saja pria itu juga Sirius diam sesaat. “Ak―” Baru akan bicara ucapan Sirius terpotong kala seorang butler mengetuk pintu ruangannya. “Salam kepada Yang Mulia Agung Kerajaan Blazias.” Sirius mengangguk. “Apa yang ingin kau sampaikan?” “Hamba hanya ingin menyampaikan, kalau semua a
Selena duduk di lantai kamar, tak peduli kalau dirinya adalah putri raja. Lucas yang melihatnya pun geleng-geleng kepala.“Apa begini kelakuan putri kerajaan?” celetuk Lucas.Selena menatap tajam Lucas. “Kenapa? Kalau kau tidak suka, kau boleh keluar dari kamarku. Biar aku yang urus ini sendiri.” Gadis itu fokus kembali pada pecahan berlian yang berhasil ia pukul dengan martil. “Dasar manusia merepotkan.”“Apa katamu?” sulut Lucas tak terima. Ia lantas bangkit dari tempat duduk dan berjongkok di hadapan Selena. “Coba katakan sekali lagi.”Selena mendongak, kedua pasang mata itu berserobok. “Dasar kau
Selena mengerjap kala merasakan ada yang memanggil, berikut guncangan ringan di bahunya. Di dapatinya Lynne dengan muka panik.“Astaga, Putri. Ayo bangun. Ini sudah tengah hari dan kau masih saja tertidur?”Selena menguap, ia pun duduk dengan gaun tidurnya. “Oh ayolah, Lyn. Aku masih sangat mengantuk.” Selena mengucek kedua matanya dengan tangan seperti anak kecil baru bangun tidur. Rambut bergelombangnya pun tampak berantakan. Selena lalu memandangi Lynne dengan matanya yang masih setengah terpejam.Tidur dini hari setelah ke panti dan hanya mendapat beberapa jam untuk istirahat. Bahkan kantung matanya pasti sudah mewakili kondisinya saat ini.“Sebenarnya apa yang kau lakukan, Pu
Selena berjalan mondar mandir di kamarnya. Sesekali diam berpikir, meremas gaun, bahkan duduk lalu mondar-mandir lagi.“Astaga, kenapa ucapan manusia cabul itu masih saja terekam di otakku dengan jelas?” Selena mengutuk dirinya sendiri. Ini salahnya, tidak seharusnya menggoda Lucas yang mata keranjang. Sekarang, ia harus lebih berhati-hati dan berjaga-jaga di saat kesehariannya memang diawasi pemuda itu.Selena dilema. Di samping berusaha menjaga jarak, ia juga ingin agar Lucas menemaninya ke pasar. Ya, meskipun bisa saja dirinya pergi sendiri. Namun, Lucas tetaplah ksatrianya. Memang tugasnya, ‘kan, melindungi Selena?“Ngomong-ngomong, di mana manusia itu?” Selena mengedarkan pandangan kala tak mendapati pemuda itu di sekitar kamarnya. Lalu, di
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
Sesuai janjinya, Lucas menemani Selena ke penjara. Namun, pemuda itu memilih menunggu di luar dan Selena justru terbantu.Gadis itu melangkah pelan menyusuri penjara yang gelap. Bau tidak sedap terperangkap dalam indra penciumannya. Setelah selama ini hidup dalam cahaya dan segala fasilitas, kini ayahnya harus tinggal di tempat mengerikan dan kotor seperti ini.Langkah Selena kemudian berhenti, tepat setelah berdiri di depan penjara paling ujung dan gelap. Sosok di dalam penjara itu memunggunginya. Meski begitu dan ruangan gelap, Selena sudah tahu siapa dia."Ayah ...," panggil Selena parau. Sejak tadi ia memang menahan tangisnya. Orang yang dipanggil seketika berbalik. Dari cahaya obor yang temaram Selena bisa melihat jelas raut orang tua satu-satunya itu."Selena?" Sirius langsung berjalan mendekati putrinya yang mematung di depan penjara. Sirius tampak cemas. Matanya membulat lebar, seraya bergerak memindai tubuh putrinya. "Kau baik-baik saja, bukan? O
Lucas membaringkan Selena yang masih belum sadarkan diri di atas pembaringan di mansion milik keluarganya dahulu. Diam-diam, Lucas melumpuhkan penjagaan di sana dan merebut kembali apa yang memang jadi miliknya.“Delmar dan Calvin berhasil menerobos istana. Kenapa kau masih saja di sini mengurusi putri musuhmu?” celetuk Antanas yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar.Ya. Ini adalah kamar Lucas dahulu. Tidak tahu mengapa, tempat ini bahkan masih terjaga. Apakah Sirius sengaja menjaganya? Namun, pendapat itu ia tepis segera.“Dia terluka, Antanas,” jawab Lucas tenang. “Yang bersalah adalah ayahnya. Bukan dia.” Mata Lucas masih memaku tatap wajah Selena yang memang meneduhkan dan sejuk dipandang. Bulu-bulu mata yang lentik, hidung bangir, juga bibir merah mudanya yang menggoda.“Benarkah? Kenapa kau menjadi orang yang melankolis, Kak? Padahal, saat itu kau
Selena berulang kali mengembuskan napasnya gusar. Malam ini, mereka akan menyerbu kediaman Sebaste. Semoga saja semesta mendukung mereka. Lucas mendapat tahtanya, dan ia akan mendapat kebebasannya.Gadis itu menelentangkan tubuhnya di atas kasur. “Aku benar-benar menantikan hari itu. Tidak perlu ada etiket, tidak perlu menjaga ini dan itu. Aku ... aku akan bisa menjadi diriku sendiri.” Ia tersenyum kala membayangkan hari-hari itu datang.“Tapi ... apakah Evan akan ikut? Atau ... dia akan menetap di Evanthe?” Rautnya mendadak sedih. Selena belum menanyakan hal ini pada Evan. Ia tidak tahu, apakah memaksanya ikut ke luar istana akan membuatnya setuju.Rencana, Selena akan bilang setelah segel berhasil direbut dan Lucas naik tahta.“Selena.”Suara itu menyadarkan lamunan Selena. Buru-buru ia terduduk dan mendapati Sirius sudah ada di dekatnya. Sej
Selena duduk malas di kursi panjangnya. Mulutnya tak henti mengunyah roti sisa semalam. Roti sisa? Selena tak keberatan. Ia sedang kedatangan tamu bulanan. Nafsu makannya bertambah besar dan banyak. Diam-diam, Selena juga mengirimkan makanan di pesta istana pada anak-anak di panti.Saat Selena akan mencomot lagi roti di piring di atas meja. Tangannya tak mendapati makanan itu di posisinya. Sontak ia menoleh, mendapati Lucas yang memegang piring itu dan menjauhkannya dari Selena.“Apa kau ingin menjadi babi? Sejak pagi hobimu makan dan malas-malasan seperti ini.”Selena mengernyit. Lagi-lagi Lucas bertindak menyebalkan seperti ini. Padahal Selena yang sedang kedatangan tamu bulanan, perutnya sakit dan emosinya labil. Lantas kenapa harus Lucas yang terus mengomel?“Cerewet! Sini kembalikan rotiku!” Selena hendak merebutnya, tetapi Lucas malah mengangkat dan menjauhkan piring itu
Festival kerajaan sudah dimulai. Para pemuda termahsyur di Blazias dan pangeran kerajaan lain tengah mengadakan festival berburu. Selena duduk dan mengharap dengan cemas.“Ck! Begitu saja kau sudah khawatir!” celetuk Lucas yang menarik perhatian Selena.“Tahu apa kau?” Selena tak terima. Bisa-bisanya Lucas tiba-tiba bicara pedas seperti itu.“Dia itu laki-laki. Tidak mungkin akan sekarat hanya karena festival berburu,” kata Lucas lagi.Selena mendelik. Apa sebenarnya yang terjadi pada ksatria tak bergunanya ini? Kenapa lidahnya begitu ringan bicara?“Sebenarnya kau ini ada masalah apa? Apa kau sedang kedatangan tamu bulanan?” tanya Selena dengan nada meninggi, tetapi terkendali. Tamu bulanan? Selena terkekeh dalam hatinya. Apakah lelaki juga bisa sensitif seperti itu?Lucas hanya bergeming. Bibirnya seolah terka
Matahari sudah berada di sudut empat puluh lima derajat dari permukaan bumi. Istana sibuk mempersiapkan festival panen tahun ini. Namun, Selena masih belum beranjak dari tempat tidurnya. Ia baru kembali fajar tadi. Wajar, bukan, jika masih mengantuk?Lelapnya kemudian terusik, ketika mendengar suara pintu kamarnya diketuk begitu kerasnya. Ia akhirnya mengerjapkan matanya dan duduk dengan kondisi rambut yang masih acak-acakan, Selena melangkah dengan gontai menuju pintu.Ketika ia membuka, tampak Lynne sudah berdiri tegap di sana.Selena menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangan. “Ada apa, Lyn? Kenapa kau mengusikku di pagi buta seperti ini?” kata Selena dengan suara serak khas bangun tidur.“Putri, apa yang barusan kau katakan? Ini sudah hampir siang, dan kau malah belum bangun?” Lynne menggelengkan kepalanya heran. “Sebaiknya kau bersiap sekarang, atau Pangeranmu itu akan mati berdiri melihatmu seperti ini?”
“Kau yakin adikmu ada di sini?” tanya Selena yang sedang dalam mode penyamaran, mencari keberadaan adik Lucas yang bernama Antanas Cauliz Yevgeny di Zenas.“Ya. Adikku dijadikan budak pekerja di sini.” Zenas adalah wilayah bagian barat kerajaan Blazias. Banyak bangsawan mendiami tempat itu selain ibu kota.Selena melihat ke arah yang dimaksud. Dalam saujananya, pemuda yang mungkin seumuran dengannya tengaha memanggul kendi berisi air. Rupanya mirip Lucas, tetapi tubuhnya kurus juga penuh luka.“Budak bisa ditebus jika kita punya harga yang lebih tinggi dari pembelian mereka semula. Jadi ... aku minta bantuanmu untuk melakukannya,” kata Lucas. Wajahnya terlihat sendu. Barang kali terluka hati sebab mendapati anggota keluarganya
Lucas hanya terkekeh melihat sikap Selena yang seperti anak kecil. Gadis itu pasti masih marah karena ucapannya. “Hei, apa kau masih marah padaku?” Lucas mengambil tempat duduk di samping Selena.Selena menatapnya tajam. “Jelaskan padaku, bagaimana aku tidak marah saat ada orang lain yang justru mengiakan ucapan orang asing kalau kita berjodoh dan akan punya anak di saat aku sudah punya tunangan?”Selena nyerocos tanpa titik dan koma. Lucas dibuat takjub dengan kecerewetannya. Ia pun menyandarkan punggung seraya bersedekap. “Lagi pula, kekasihmu itu tidak ada di sini. Kau tenang saja.”“Tetap saja aku tidak suka! Jangan harap kau akan dapat maaf dariku!” Selena memperingati. Wajahnya memerah kesal, tetapi justru membuat Lucas m
Terkejut? Sudah pasti. Itu yang dirasakan Selena kala tahu siapa Lucas sebenarnya. Berbagai pikiran negatif muncul, terlebih menyangkut balas dendam Lucas. Selena tahu ujungnya, pasti akan ada yang berakhir atau mati dari salah satu pihak. Namun, Selena tidak ingin ayahnya berakhir demikian.Jadi, satu-satunya upaya untuk mencegah itu terjadi adalah dengan membangun kesepakatan.“Kesepakatan apa yang kau inginkan?” tanya Lucas kemudian.Selena mengembuskan napas secara perlahan, lalu menghirup udara kamar Lucas. “Aku akan membantumu melengserkan ayahku.”Kening Lucas mengernyit, seulas senyum tak percaya juga terbit. “Membantuku? Apa kau sedang bergurau? Bagaimana mungkin seorang putri