Aku melangkah di lorong temaram menuju ruang baca. Ini adalah hari ketiga setelah Tuan Fredy datang dan aku tak menyangka jika Raja Vainea akan mengirim surat secepat ini, seolah-olah perdamaian ini tak ingin ditunda.
Namun disisi lain aku masih kebingungan dengan persiapanku mengingat aku diminta berkunjung sesegera mungkin. Aku menggelengkan kepala untuk menyingkirkan beberapa pikiran yang bergelayut di kepala dan jujur saja ini membuatku sedikit frustrasi.
Langkahku terhenti ketika mataku tak sengaja melihat sosok wanita berjalan cepat dengan gelagat mencurigakan. Aku mengernyitkan dahi ketika aku memfokuskan pandanganku dan sepertinya—aku mengenali sosok itu.
Tanpa pikir panjang, aku segera mengendap-endap untuk mengikutinya. Ya, tidak salah lagi itu adalah Ibu. Aku bisa melihat matanya menyusuri sekeliling seolah-olah mengawasi sesuatu dengan waspada, sementara aku terus bersembunyi perlahan-lahan.
Tak lama, ia berhenti di depan lemari hias. Tangannya menyusuri deretan benda yang terpajang manis di sana, kemudian menggenggam sebuah cangkir dan memutarnya. Lemari mulai bergerak dan membentuk sebuah pintu rahasia yang sepertinya gelap sekali di dalam sana. Aku melihat Ibu masuk ke ruang gelap itu dan tak lama, pintu kembali tertutup dan bergerak menjadi lemari hias yang utuh.
Aku mendekati lemari itu dan terdiam sejenak. Rasa penasaranku bangkit dan tanganku memutar cangkir antik yang tadi Ibu sentuh, kemudian lemari kembali bergerak dan pintu terbuka. Aku menelan ludah dengan rasa cemas dan juga ingin tahu, hingga akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke dalam.
Pintu tertutup otomatis ketika aku sudah berada di dalam dan ruangan ini ternyata begitu temaram dengan penerang di setiap dinding sepanjang jalan. Aku melangkahkan kaki dengan takut, tapi tekadku untuk mengikuti Ibu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan beliau lakukan.
"Seorang Ratu mengunjungi tempat ini, pasti ada sesuatu di dalamnya," pikirku seketika untuk mengurangi ketegangan yang membuat tanganku sedikit berkeringat.
Jalan yang kulalui ternyata membawaku menuruni tangga spiral ke bawah. Aku masih enggan untuk menghentikan langkah, padahal batinku mulai meronta untuk segera kembali ke atas.
"Sudah kubilang, aku bukan Lavina!" Suara Ibu terdengar ketika aku semakin mendekati posisinya. "Jika saja aku bisa mematahkan sihir itu, mungkin detik ini juga aku bisa membunuhmu."
Lalu terdengar suara tawa wanita yang tampak lemah. "Kemana penyihir sialan itu? Panggil dia!"
"Dia sudah tidak ada lagi. Jadi kau akan tetap hidup dengan penderitaanmu. Sihir itu takan melepaskanmu begitu saja, setidaknya itu yang Lavina ucapkan padaku untuk terakhir kalinya."
Terdengar suara tawa getir yang membalas kalimat Ibu dan aku semakin penasaran dengan percakapan mereka. Batinku mulai bertanya-tanya siapa wanita itu? Kenapa dia di penjara di tempat mengerikan seperti ini?
"Sarah, sebenarnya aku lelah sekali harus menyiksamu di tempat ini terus menerus. Bisakah kau mengakhiri hidupmu sendiri?" Ibu melempar pedang kecil pada wanita tahanan itu. "Sihir itu memang mencegahmu mati selama siksaanmu berlangsung, tapi dengan bunuh diri, mungkin sihir itu akan lepas darimu. Hanya itu yang dapat mengakhiri penderitaanmu untuk saat ini. Kuharap ketika aku datang lagi, kau sudah tidur selamanya dengan tenang."
"Aku tidak akan tenang selama belum mendapatkan Velian."
"Velianmu sudah mati!" sergah Ibu tegas. "Jika kau ingin menyusulnya, harusnya kau tidak keberatan dengan tawaranku bukan? Mungkin dengan kematian, kau bisa bertemu dengannya."
Untuk pertama kalinya aku melihat wajah lembut Ibu berubah menjadi seringai jahat.
"Tidak! Velianku belum mati. Aku pasti akan menemukannya!"
Ibu tersenyum miring di bawah cahaya obor di sekitarnya. "Teruslah bermimpi kapan pun yang kau mau, tapi Lavina takan mengijinkanmu keluar dengan selamat dari tempat ini. Sihir itu sudah mengutukmu untuk terus berada di tempat ini."
Aku segera bersembunyi ketika Ibu membalikkan badan dan melangkah keluar. Kemudian aku memberanikan diri untuk keluar dari persembunyianku setelah memastikan bahwa Ibu takan kembali ke sini.
kudekati tahanan itu untuk melihatnya. Aku penasaran kenapa wanita itu ditahan. Wanita itu mendongakkan kepalanya saat merasakan kedatanganku dan tak lama, ia tampak terkejut dengan kehadiranku, begitu pun denganku yang juga terkejut karena melihat keadaannya yang sangat buruk rupa dengan rambut lusuh dan tubuh kumal serta dipenuhi banyak luka.
"Kau?" gumamnya, membuatku terpaku . Namun tak lama ia tertawa dengan tatapan mengejek. "Mata itu...milik Valen tapi—" Ia tertawa lagi hingga terbahak-bahak. "Kau mirip sekali dengan Erick hahaha."
Aku mengerutkan kening, tak paham dengan apa yang ia katakan. "Apa maksudmu?"
"Kau pikir siapa orang tuamu hah? Hahaha." Ia masih tertawa sambil menunjukku. "Dari wajahmu saja aku bisa tahu kalau kau putri Valen bersama Erick, bukan Velian."
Jujur, aku semakin tak mengerti. Putri Valen bersama Erick? Tunggu, sepertinya nama Erick tak asing di telingaku. Siapa dia? Aku seperti pernah mendengarnya.
"Maaf, tapi sepertinya kau salah paham. Aku tidak kenal dengan dua orang yang kau sebutkan tadi," ujarku menepis meskipun sebenarnya aku juga penasaran.
"Ah, kau tahu putra dan putri mahkota Axylon sebelum kepemimpinan Zealda? Kalau kau tidak tahu, coba saja kau tanyakan saja pada Zealda siapa mereka." Ia tertawa puas melihat reaksiku yang kebingungan. "Asal kau tahu bocah, Putra dan Putri Mahkota yang dulu adalah orang tuamu dan mereka bukan tewas karena berperang, melainkan dibunuh hahaha. Aku tahu semuanya!"
Aku masih bungkam sambil berpikir sepertinya wanita ini—tidak waras, tapi kenapa Ibu memenjarakan orang gila seperti ini?
"Sepertinya aku harus memberitahumu sedikit. Sebenarnya kau itu anak yang tidak pernah diinginkan hahaha. Kau akan berterima kasih padaku karena berhasil membuatmu hadir di dunia ini. Kau tahu?" Suaranya mulai berbisik. "Aku yang memberi obat pada Ibumu melalui tangan Ayahmu."
PLAKK!!
Ya, aku terkejut ketika menyadari tanganku sudah melayang dan mendarat di pipinya. Emosi macam apa yang lewat barusan? Aku seperti dilanda kemarahan yang sangat besar dalam waktu singkat lalu amarah itu hilang dalam sekejap.
Wanita itu memegangi pipinya yang memar akibat tamparanku, tapi dia justru tertawa. "Ternyata Erick lebih mendominasi pada dirimu," gumamya lagi sambil menyeringai.
"Sepertinya kau sudah salah paham wanita tua! Zealda adalah Ayahku dan Liz adalah Ibuku. Terima kasih atas karangan ceritamu yang sangat menakjubkan. Tapi sayangnya, aku bukan bocah kecil lagi yang bisa kau dongengi dengan cerita murahan seperti itu," ujarku tegas dan sedikit kesal dengan kalimatnya yang sepertinya terlalu memaksa. "Dan satu lagi, cepatlah mati dan pergilah ke neraka," lanjutku, menyetujui ucapan Ibu sebelumnya.
Aku segera beranjak pergi, tapi di tengah langkahku ia meracau, "Aku yakin suatu saat kau akan datang mencariku untuk mencari kebenaran dirimu. Di saat itu tiba, kau tidak akan bisa mengingkarinya." Wanita itu kembali tertawa. "Sampai bertemu lagi, putri Erick."
Aku menggelengkan kepala dan berusaha tak menghiraukannya sambil berlalu pergi. "Dasar gila!" umpatku masih kesal.
Namun kalimat-kalimat dari wanita itu berhasil mengusik benakku dan menciptakan banyak pertanyaan di sana. Apa benar yang diucapkannya?
* * *
"Kakak."
Aku menoleh pada gadis kecil yang sudah duduk di sebelahku. Aku menatap sekitar dengan bingung, Helena yang tadi duduk di kursi khusus di sebelah Ibu, kini kursinya sudah berpindah tepat di sebelahku, sementara Ayah dan Ibu sudah menatapku penasaran.
"Apa...Kakak sakit?" Helena berusaha meraih pipiku sementara aku sudah memeganginya agar tidak jatuh. "Kakak harus makan yang banyak seperti Helena."
Aku tersenyum ketika tangan mungil itu menjepit pipiku. "Kakak tidak sakit." Aku memotong rotiku dan menyuapi Helena. "Kakak hanya perlu makan sedikit karena Kakak sudah besar."
Satu makanan berhasil masuk kemulutnya dan membuat pipinya mengembung imut. "Sisanya untuk Kakak saja, Helena sudah kenyang," ujarnya setelah mengunyah.
Ibu segera menggendong Helena setelah memberinya minum. Aku mengedarkan pandangan di meja dan ternyata tinggal makananku sendiri yang masih banyak.
"Selena, Ibu tidak tahu apa yang membuatmu melamun sepanjang hari. Tapi kau harus tetap menjaga kesehatanmu." Ibu menusuk sepotong roti daging dan menyodorkannya ke mulutku, sementara tangan satunya masih menggendong Helena.
Aku mengunyah roti dari suapan Ibu dan Helena tertawa mengejek dengan berteriak, "Ayah lihat! Kakak seperti anak kecil!"
"Dia memang masih kecil, sama sepertimu Helena," sahut Ayah mendukung.
"Sudah kubilang aku bukan anak kecil, Ayah!" sergahku gemas sementara Ayah hanya tersenyum miring.
"Kau masih memikirkan pernikahanmu?"
Pertanyaan Ibu kembali membuatku tersadar bahwa ada masalah lain yang harus kuhadapi selain ucapan orang gila kemarin malam.
"Sedikit," jawabku lemas.
"Selena, jangan paksakan dirimu jika kau memang tidak mau. Ayahmu juga tidak memaksamu jika kau menolak." Ibu membelaiku lembut dan mengusap-usap punggungku.
"Aku tahu, hanya saja—" Kalimatku menggantung sejenak, perlukah aku bertanya apa aku putri mereka atau bukan? "Aku...sedang memikirkan hal lain."
"Apa itu?" Ayah menatapku lekat.
Aku menatap mereka satu persatu dengan serius, kemudian menelan ludah dengan gugup. "Aku...boleh menanyakan sesuatu pada kalian?"
"Katakan saja."
Otakku berpikir dengan cepat untuk memilah pertanyaan terbaik. "Apa kalian mengetahui sesuatu tentang Putra dan Putri mahkota sebelum kepemimpinan Ayah?"
Ayah dan Ibu saling menatap satu sama lain sebelum akhirnya mereka menatapku lagi.
"Aha, Helena tahu! Helena tahu!" Helena mengangkat tangannya dan memecahkan suasana tegang kami. "Kakak sering menceritakan mereka pada Helena. Helena tahu Kakak menyukai mereka, bahkan ada lukisan mereka di kamar Kakak."
"Kau punya lukisan mereka?!" Suara ayah begitu kencang dan membuat kami bertiga kaget dengan nadanya.
"Helena," bisikku kecewa karena rahasia terbesarku terbongkar oleh kalimat polosnya, sementara gadis itu segera menunduk dengan wajah bersalah.
"Maaf, Kak," balasnya sedih.
"Bibi, tolong bawa Helena ke kamar dan bantu ganti pakaiannya."
Seorang pelayan yang bertugas membantu Ibu merawat Helena akhirnya datang dan menggendong Helena, kemudian membawa Helena pergi dari situasi mencekam saat ini.
"Bibi, Kakak marah. Helena harus bagaimana?" racau gadis itu parau dan parahnya kalimat itu terdengar oleh telingaku. "Nanti Kakak tidak mau mengajak Helena jalan-jalan lagi," lanjutnya sambil menahan tangis.
"Dapat lukisan dari mana?" tanya ayah dingin.
"Dari...wanita yang menjaga perpustakaan kota," jawabku jujur kemudian menatap mereka yang sudah saling berpandangan. "Katanya lukisan itu tidak boleh di publikasikan, karena itu aku menyimpannya."
"Jadi kau sudah tahu wajah asli Putra dan Putri Mahkota?" tanya ibu masih dengan nada lembut.
Aku mengangguk. "Wajah mendiang Putri Mahkota...mirip sekali dengan Nona Valen Emery. Karena itu juga, aku meminta Nona Valen berdandan seperti Putri Mahkota waktu itu dan rasanya aku seperti benar-benar bertemu dengan beliau."
Aku menatap Ayah dan Ibu yang bungkam seketika, kemudian melanjutkan kalimatku, "Seseorang memberitahuku kalau mendiang Putri Mahkota juga bernama Valen. Benarkah itu?"
Ayah memiringkan kepala dan menyipitkan mata padaku. Sebelum mereka menjawab aku segera melanjutkan dengan gugup, "Dia bilang aku harus bertanya pada kalian perihal mendiang Putra dan Putri Mahkota, katanya kalian pasti tahu tentang mereka."
"Lalu?" Nada dingin Ayah membuatku semakin gugup dan tanganku berkeringat, tapi kurasa ini lah saatku berbicara.
"Dan...Erick itu siapa? Apa itu juga nama mendiang Putra Mahkota?"
"Siapa yang memberitahumu semua itu?" Bukan hanya Ayah, nada bicara Ibu pun berubah sama dinginnya walau masih sedikit halus.
Aku kembali menelan ludah dengan dahi berkeringat. "Tahanan wanita yang Ibu penjarakan."
"Selena, jangan percaya pada ucapannya—"
"Liz," potong Ayah cepat.
"Zealda dia—"
"Liz!"
Ibu bungkam seketika. Aku tidak mengerti kenapa Ibu tampak panik dengan hal ini. Memangnya kenapa dengan wanita itu?
"Sebaiknya kau kembali. Biar aku yang berbicara padanya."
Ibu menatapku khawatir sebelum akhirnya ia pergi dengan patuh. Kini hanya aku dan Ayah yang masih bergeming di meja makan.
"Habiskan makananmu!"
Aku kembali memotong rotiku dan memakannya dengan cepat. Pikiranku yang terus berputar membuatku lupa bahwa aku benar-benar kelaparan.
"Ayah tolong katakan padaku yang sebenarnya," ujarku disela makan.
"Erick memang nama dari mendiang Putra Mahkota."
"Jika Ayah tahu, kenapa selama ini kalian berpura-pura seperti tidak mengetahui apa pun?"
"Karena mereka sudah tiada. Tidak baik membicarakan orang-orang yang jiwanya sudah tenang. Karena itu Ayah tak pernah mengungkitnya. Jasa mereka memang sangat besar, tapi Ayah tak ingin mereka terusik karena sering disebut-sebut." Ayah berdiri dan berganti posisi duduk di sebelahku. "Apa lagi yang wanita itu katakan padamu?"
"Ayah." Aku menelan makananku dengan gugup ketika aku hendak mengatakannya. "Wanita itu...bilang kalau aku adalah putri Erick dan Valen. Benarkah itu? Apa aku bukan anak Ayah?"
Ayah memiringkan kepala dengan kening berkerut dan menatapku serius. "Selena, sebaiknya kau jangan terlalu mendengarkan omongannya. Bahkan dia dengan lancang mengatakan hal itu padamu. Dengar Selena, kau itu anak kami."
"Sungguh?" tanyaku tak yakin.
Ayah mengangguk yakin. "Karena aku melihat secara langsung bagaimana kau lahir dari perut Yang Mulia Ratu."
Aku menghela napas dan tersenyum lega. Ternyata ketakutanku benar-benar tak beralasan. Sekarang, aku tak akan meragukan orang tuaku lagi.
"Terima kasih, Ayah." Aku menabrakkan diri dan memeluk Ayah senang. "Terimabkasih sudah menghilangkan keraguanku."
Ayah membalas pelukanku dan ia menjitakku beberapa saat. "Berani-berainya kau mengelap mulutmu dengan bajuku!"
Aku meringis sejenak saat menyadarinya, kemudian menepuk-nepuk sisa noda yang tertinggal di bajunya. "Anggap saja itu balasan dariku karena sudah menghabiskan makananku waktu itu," ejekku sambil duduk kembali di kursiku.
"Yang Mulia, Tuan Putri, maaf mengganggu. Ada kiriman surat dari Vainea."
Aku menatap seorang pengawal datang dengan menyodorkan gulungan yang tampak elegan. Ayah menerimanya, kemudian meminta pengawal itu kembali. Kutatap selebaran perkamen yang sedang Ayah baca dalam diam sambil mengamati ekspresi wajahnya.
"Selena, sepertinya pihak Vainea bersedia menyambut kedatanganmu. Ini kedua kalinya Vainea mengirim surat dalam waktu dekat. Mereka memintamu untuk datang sesegera mungkin ke Vainea."
"Kalau begitu, aku akan segera bersiap-siap untuk berangkat ke sana."
"Kau tidak mau Ayah menemanimu?"
"Jangan!" sergahku cepat. Aku tidak mau kejadian itu terulang lagi, aku takut jika ternyata perjanjian damai ini juga jebakan lagi ketika aku dan Ayah datang kesana. "Kali ini biar aku saja, Ayah. Aku takut Ayah akan kecewa kalau ternyata Pangeran Azura bukan pemuda tampan seperti Ayah," imbuhku dusta.
Tawa Ayah meledak seketika dan aku ikut tertawa. "Kau ini pandai sekali merayu, ya. Siapa yang mengajarimu begitu?"
Aku mengendikkan bahu. "Aku hanya belajar dari seorang Raja narsis yang kadang menyebalkan."
_______To be Continued_______
Aku memeluk Helena sebelum keberangkatanku ke Vainea. Anak itu sudah tak sedih lagi dan aku sudah meminta maaf padanya karena membuatnya ketakutan. Saat ini ia justru mengkhawatirkanku dan bertanya kapan aku pulang sebanyak mungkin. Aku hanya tersenyum karena aku tahu dia pasti akan merindukanku.Aku menaiki kereta setelah melambaikan tangan pada Helena yang mengantarku sampai ke depan gerbang, sementara Ayah dan Ibu hanya memandangiku hingga kereta berangkat. Tatapan mereka juga terlihat cemas meskipun tetap dengan ekspresi wibawa mereka.Kereta kuda melaju, sementara aku hanya terdiam sambil menatap ke luar jendela. Sesekali aku menatap cincin Blue Saphire yang tak pernah kulepas dari jemariku, berkilau di bawah cahaya siang yang membuatnya terlihat indah dengan nuansa laut yang biru.Perjalanan kali ini, aku membawa sedikit pengawal. Meskipun sebelum ini sempat berdebat dengan Ayah, tapi pada akhirnya Ayah mengalah dan berkata 'Terserah'. Itu adalah hal yang membuatku lega karena a
Aku termangu ketika tiba di sebuah tebing dengan deburan ombak di bawahnya. Udara menyapu wajahku dengan sejuk dengan purnama menggantung di langit sendirian. Tak lama, Azura melepas ikatanku dan aku bisa bernapas lega."Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku tak mengerti."Melemparmu ke dasar laut," jawabnya sambil menuruni kuda.Aku tahu jawaban itu hanya candaan dingin darinya. Aku ikut turun dari kuda lalu menatap lepas hamparan gelap yang memantulkan sinar bulan layaknya cermin. Azura sudah duduk di atas rumput tanpa alas. Ditatapnya langit cerah di atas sana seolah-olah tak mempedulikan keberadaanku di sisinya."Apa...tidak masalah jika kita meningggalkan pesta?" tanyaku, masih memikirkan situasi di istana."Kalau ingin pulang, pulang saja sendiri," sahutnya dingin tanpa menoleh sama sekali.Aku terdiam sambil menahan diri untuk tak melempar batu ke kepalanya. Namun, sedetik kemudian aku tersenyum miring sambil berkata, "Baiklah, aku akan pulang. Jika kau ingin pulang juga, kau b
Tak lama kami sampai di sebuah pedesaan yang ramai. Aku yakin sekali ini bukan bagian dari wilayah Axylon, tapi sepertinya juga bukan bagian dari Vainea. Parahnya, aku tidak mengerti kenapa Azura membawaku ke tempat ini."Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan sampai-sampai kau membawaku ke tempat ini?" tanyaku akhirnya, setelah saling diam selama perjalanan."Sepertinya kita butuh menginap malam ini."Aku langsung menoleh dengan mata menyipit. "Padahal aku bisa saja sampai di Axylon sebelum matahari terbenam."Ia melirikku sejenak kemudian menatap lagi kedepan. "Aku tidak tahu kemana akan membawamu, yang jelas aku butuh tempat untuk berbicara denganmu."Aku menghela sebal. "Bisakah kau langsung memberiku alasan sekarang juga agar aku bisa secepatnya kembali?""Kau tidak penasaran dengan kehidupan di luar wilayahmu?" bisiknya, kemudian memacu kudanya dengan kencang hingga aku tersentak. "Seharusnya kau berterima kasih karena mau mengajakmu bersenang-senang dengan caraku.""Jadi, inikah
Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin."Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu
Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya."Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes."Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya."Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali.""Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mula
Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan."Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu."Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?""Itu—" Aku memutar otak untuk memul
Mataku basah ketika aku terbangun dari mimpi. Ada rasa sesak yang menggelayuti batinku. Mimpi itu terasa nyata dan kini aku ketakutan jika itu benar-benar nyata. Setelah mimpi itu, aku tak bisa tidur selama tiga hari berturut-turut hingga kantung mataku sedikit menggelap. Pening bergelayut setiap kali aku mikirkannya, tapi mata ini enggan untuk terlelap. Kami menikmati makan malam seperti biasa dan sesuai dugaanku, Ayah dan Ibu menanyakan keadaanku yang mungkin—terlihat seperti makhluk yang tak pernah tidur berhari-hari. "Akhir-akhir ini kau sering melamun dan lihat matamu! Sudah berapa hari kau tidak tidur?" tegur Ibu tampak cemas. "Aku curiga kalau pernikahanmu itu hasil dari paksaan Putra Mahkota Vainea." Aku menggeleng pelan sambil menyeruput sup. "Bukan itu." "Lalu?" Kini Ayah bertanya. Aku terdiam sejenak dan menatap mereka satu persatu. "Aku...dihantui mimpi aneh," ujarku akhirnya. Mungkin aku memang harus menanyakan hal ini karena kali ini mimpiku melibatkan mereka. "Aku
Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b
Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil
Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal
Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend
Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil
Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu
"Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku