Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.
Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.
Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"
Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."
Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu.
"Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?"
"Itu—" Aku memutar otak untuk memulai percakapannya. "Aku—" Sial, kenapa rasanya sulit sekali mengatakannya. "Ayah, aku...semalam...anu—"
Aku tersentak saat Ayah meletakkan penanya dengan kasar, bahkan bisa dibilang menggebrak meja. Ia berdiri dan mendekatiku perlahan. Kepalaku menunduk saat ia duduk di sudut meja yang posisinya hampir berhadapan denganku.
"Kenapa kau menunduk seperti itu? Biasanya kau selalu menatapku lantang ketika berbicara."
"Aku bersalah dan aku tidak berani menatapmu," jawabku, masih menunduk.
Kudengar ia mendesah pelan dan kami kembali hening beberapa menit.
"Bagaimana dengan keputusanmu?"
"Aku...akan menikah dengannya."
"Beri aku alasannya."
"Sepertinya aku...menyukainya. Dia pria yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu...sepertinya dia juga menyukaiku."
"Apa itu berarti kau menganggap dia lebih tampan dari Ayah?"
Keningku berkerut seketika mendengar pertanyaannya yang sedikit narsis. Kudongakkan wajahku perlahan untuk membaca ekspresinya, apakah ia sedang bercanda?
Ayah menghela napas sebelum berkata, "Ya, ada pepatah yang mengatakan kalau seorang Ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Itu lah kenapa, kebanyakan seorang Ayah selalu menilai pasangan putrinya dengan kritis dan detail, apa dia cocok dengan putrinya atau tidak. Untuk pertama kalinya aku merasa patah hati sebagai seorang Ayah. Kau sudah dewasa, tapi aku malah tidak siap dengan kalimatmu kalau kau menyukai pria itu."
Aku masih terdiam untuk mencerna kalimatnya dan—yah, memang benar. Ayah adalah satu-satunya pria yang kukenal dan yang paling dekat denganku dan juga—paling memahamiku. Tak bisa kupungkiri bahwa Ayah memang cinta pertamaku, bahkan sosoknya takan tergantikan meskipun aku sudah bersanding dengan pria lain.
"Tapi...apa kau yakin dengan perasaanmu?"
Aku mengangguk pelan.
"Ah benar juga." Ayah bedecak sebal. "Kalau kau tidak yakin dengan perasaanmu, mana mungkin kau mau berciuman dengannya?" lanjutnya menggerutu.
Aku menunduk lagi dengan wajah tersipu. Ayah melihatnya, bagaimana ini?
"Untuk kejadian semalam, aku benar-benar minta maaf, Ayah."
"Apa dia yang memulai duluan?"
Aku mengangguk pelan tanpa menjawab.
"Ah, kenapa selalu pria yang memulai duluan?" keluhnya.
Aku mendongakkan wajah lagi dengan alis terangkat. "Kalau aku yang memulainya lebih dulu, bukankah Ayah akan semakin marah?"
"Tentu saja. Aku akan benar-benar menghukummu tanpa ampun kalau kau yang memulai duluan. Ingat, gadis yang baik harus bersikap terhormat, jadi jangan pernah memulai duluan."
Aku hanya tersenyum masam. "Kalau begitu, kenapa kau mengeluh?!" cecarku dalam hati.
"Kau yakin ingin menikah?" tanya Ayah setelah hening beberapa detik.
Aku mengangguk lagi. "Ayah...tidak menghukumku karena kejadian semalam?"
Ayah mendesah pelan sebelum menjawab, "Seharusnya aku menghukummu dengan berat, tapi mau bagaimana lagi? Aku sendiri juga pernah berciuman dengan Ratu sebelum menikah dan aku juga tidak menghukum diriku sendiri. Yah, anggap saja itu masalah kecil asal kau tidak lepas kendali dengannya. Masih banyak masalah yang lebih besar dibanding ciumanmu dengan si Penculik itu."
Aku termangu mendengar jawaban panjangnya. Raja macam apa yang bicara seperti itu tanpa beban? Namun aku sedikit merasa lega dengan reaksinya.
"Apa itu berarti...Ayah mengijinkanku menikah dengannya?"
"Jika itu pilihamu dan membuatmu bahagia, apa yang bisa Ayah lakukan lagi selain memberimu restu?"
Aku langsung memeluknya erat dan ia membalasku dengan hangat. Tak kusangka, berbicara dengan Ayah lebih mudah dibandingkan Ibu.
"Tapi kalau suatu saat nanti dia menyakitimu atau membuatmu menangis, jangan salahkan Ayah jika nanti Ayah melakukan serangan dan memulai perang besar dengan Vainea."
"Terima kasih, Ayah. Aku pastikan itu tidak akan terjadi."
* * *
Aku terduduk di tepi ranjang dan melepas ikatan rambutku. Kini kuterbaring tenang dengan perasaan lega, kudengar Ayah akan segera mengirim surat persetujuan persyaratan ke dua pada Vainea. Dengan begitu, Azura tak akan macam-macam lagi denganku.
Tunggu, tapi kalau aku menikah dengannya bukankah itu berarti aku akan tinggal bersamanya di Vainea? Sial, kenapa aku baru menyadarinya!
Aku berguling-guling lalu membenamkan wajahku ke bantal. Sungguh, aku benar-benar tak berpikir sejauh itu. Yang kupikirkan selama ini hanya lah bagaimana caraku lepas dari pangeran sialan itu dan menyelesaikan masalah soal perdamaian ini.
"Kau benar-benar bodoh, Selenaaa!!" jeritku di bawah bantal.
Bayangan saat kami berciuman kembali berkelebat dalam kepalaku, membuat wajahku memanas dengan rona yang memalukan.
Sepanjang malam aku terus memikirkan nasibku di Vainea setelah menikah. Ayah sudah menyetujuinya, tapi—apa aku akan baik-baik saja setelahnya?
Semakin lama, aku mulai mengantuk dan lelah. Mataku terpejam perlahan. Aku merasakan Blue Saphire di jemariku bergetar lembut, tapi kuabaikan. Entah berapa lama setelahnya, aku merasa terseret dan masuk ke dalam lorong gelap.
Aku membuka mata lagi dan pemandangan di sekitarku sudah berubah. Masih di istana Axylon, tapi kali ini suasananya sangat menegangkan. Kini aku berdiri di sebuah lorong gelap. Dari kejauhan, aku melihat dua sosok berjalan beriringan.
Mataku melebar setelah melihat dua sosok itu. Wajah mereka—mirip sekali dengan Ayah dan Ibu, tapi tanpa jubah kebesaran mereka. Lebih tepatnya, mereka terlihat seperti sepasang Assassin lengkap dengan senjatanya.
Aku terpaku ketika mereka melewatiku begitu saja, seolah-olah tidak melihatku sama sekali. Aku bergegas mengikuti langkah mereka dan tak lama kami sampai di sebuah ruangan. Di dalam ruangan itu sudah ada Putri Mahkota dan—tunggu, siapa pemuda yang satu ini?
"Kau takan bisa menyentuhnya jika Putra Mahkota yang asli masih hidup, Velian," ujarnya, mengejutkanku.
Keningku berkerut seketika. "Velian?"
Sejenak aku teringat pada tahanan wanita di bawah tanah yang terus menyebut nama Velian saat berbicara dengan Ibu.
"Zealda? Bagaimana kau bisa ada di sini?"
Pemuda itu memanggilnya Zealda yang berarti tidak salah lagi, dia benar-benar Ayahku. Berarti wanita di sebelahnya memang Ibu.
"Sial, aku bermimpi lagi." Aku meremas rambutku dan berharap ada seseorang yang mengeluarkanku dari mimpi ini. "Tapi...kenapa mimpiku kali ini melibatkan Ayah dan Ibu?"
"Tunggu!" sergah Velian. "Kau tidak boleh menyentuhnya. Ditambah kau bukan garis keturunan Raja Victor. Kau akan mati begitu kau menyentuhnya."
"Benarkah?" sahut Ayah, terdengar menantang.
Semua yang ada di ruangan ini terpaku ketika Ayah menyentuh mahkota itu. Aku yakin sekali itu—mahkota yang di pakai Ayah setiap kali ada pertemuan besar yang bersifat resmi.
Mahkota itu bercahaya dan tak lama, cahaya itu pecah menjadi serpihan kilau seperti kunang-kunang. Perlahan pecahan cahaya itu membentuk sebuah mahkluk besar.
"Akhirnya sang pewaris tiba dengan selamat. Selamat datang wahai penerus tahta. Kerajaanmu dan seisinya kini adalah milikmu. Terimalah takdirmu sebagai Raja Axylon yang baru." Makhluk itu berkata.
Ayah bertekuk lutut ketika makluk itu memasangkan mahkota berharga itu di kepalanya. "Aku bersedia untuk disumpah."
Aku berpikir sejenak untuk memahami kejadian ini. Jadi—sebelum Ayah menjadi Raja, dia seorang Assassin?
"Jadi...kau Putra Mahkota Axylon?" tanya Velian yang terlihat syok.
Ayah melepas sebagian bajunya dan memperlihatkan bahu kirinya yang bersih. Ibu mulai mengusap bahu Ayah dengan cairan di tangannya dan tak lama, sebuah corak muncul di bahunya.
"Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal bahwa kau Putra Mahkota?" Velian bangkit dari duduknya.
"Kau sendiri juga tidak memberitahu identitasmu dari awal bukan?" sahut Ayah. "Velian, sebagai seorang Pangeran yang diburu, aku juga sama takutnya seperti dirimu. Sama halnya kau yang menyembunyikan identitasmu dari orang lain bahkan dari orang-orang terdekatmu sekali pun. Sebagai Putra Mahkota, aku lebih takut darimu ditambah ketika mereka berhasil membunuh Shirea-ku. Kau pasti bisa membayangkan bagaimana takutnya aku menjadi orang yang paling utama diburu dan tak memiliki pelindung. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah memalsukan kematianku dan membiarkan mereka percaya bahwa aku telah mati."
Aku tertegun dengan kalimat panjangnya. Pangeran yang diburu? Tunggu, sebenarnya apa yang terjadi sebelum Ayah menjadi Raja? Lalu apa kaitannya denganku? Kenapa mimpiku menunjukkan kejadian seperti ini? Apa—karena di sini ada mendiang Putri Mahkota? Tapi anehnya, di sini aku tak melihat mendiang Putra Mahkota, justru adanya pemuda yang bernama Velian ini.
"Kau beruntung masih memiliki Shirea untuk melindungimu, tapi tidak denganku, Velian. Aku berusaha keras melindungi diriku sendiri bahkan aku harus menyamarkan tanda ini di tubuhku. Meskipun kita telah bersama dalam waktu yang lama, tapi kita tidak pernah membuka diri masing-masing dalam hal ini. Yang membuatku kesal, aku baru mengetahui kau Pangeran ke empat setelah aku memutuskan pergi darimu. Lavina tahu, Valen tahu dan mungkin Aleea juga tahu, tapi kenapa aku tidak?"
Aku mendengar Ayah masih terus berbicara dan aku mulai mencerna. Satu hal yang berhasil kusimpulkan, Velian adalah Pangeran ke empat Axylon dan Ayah adalah Putra Mahkota yang sah. Lalu—siapa mendiang Putra Mahkota pernah kukagumi itu?
"Setelah kupikir-pikir, takdir kita memang kejam. Kita tidak pernah dipertemukan sejak kita lahir, tapi setelah bertemu, aku hanya mengenalmu sebagai kawan begitu juga sebaliknya. Kita kakak beradik, tapi kita saling menyembunyikan identitas masing-masing sampai kita tidak mengenal satu sama lain. Bahkan kita tidak diberi kesempatan untuk bertengkar demi berebut baju atau mainan sewaktu kecil," lanjut Ayah, kali ini dengan wajah sedih.
Ya, sesuai dengan kesimpulanku, Velian dan Ayah adalah kakak beradik. Aku tak tahu harus senang atau tidak, tapi aku tak menyangka kalau Ayah memiliki adik yang juga—tampan seperti dirinya.
Tak lama, mereka berpelukan dengan suasana haru, aku pun turut terharu dengan pertemuan kakak beradik yang sepertinya—tidak bertemu dalam waktu yang lama. Aku tak menyangka jika ada kejadian seperti ini di Axylon, tapi—apa kaitannya denganku?
Aku menatap mendiang Putri Mahkota yang juga tampak terharu, sebenarnya posisi wanita ini sebagai apa?
Setelah kuperhatikan lebih dekat, ternyata tidak diragukan lagi kalau dia—mirip Nona Valen Emery. Tidak, bahkan bisa di bilang wanita ini adalah dia, tapi—itu tidak mungkin! Nona Valen seumuran denganku. Jika wanita ini adalah orang yang sama, harusnya dia juga sudah berusia paruh baya, sama seperti Ayah dan Ibu saat ini.
"Jadi...kau sudah benar-benar ingin menjadikan Valen pendampingmu?" tanya Ayah pada Velian.
Sial, aku tertinggal beberapa dialog gara-gara melamun.
"Tidak masalah, meskipun Valen seorang janda sekali pun."
"Janda?" Keningku berkerut seketika. Berarti—mendiang Putra Mahkota sudah tewas lebih dulu?
"Bagaimana denganmu, Valen?"
"Aku...aku masih mencintainya, tapi...aku merasa aku tidak pantas. Akan sangat tabu jika seorang Pangeran menikahi janda sepertiku. Itu akan merusak nama baiknya."
"Putri Mahkota sudah dianggap mati terhormat di medan perang oleh masyarakat. Aku bisa mengumumkan bahwa kau adalah orang yang berbeda meskipun kau tetap Valen yang sama," ujar Velian.
Aku mundur beberapa langkah karena syok dengan percakapan mereka. Jadi—pada saat kejadian itu mendiang Putri Mahkota sebenarnya masih hidup? Berarti Putra Mahkota tewas sendirian dan Velian mengumumkan kalau mereka mati bersama. Entah kenapa ada bagian hatiku yang merasa sakit ketika mengetahui kenyataan ini.
"Kalau begitu, aku akan menyiapkan tempat untuk kalian agar bisa mencintai dengan bebas," ujar Ayah.
Aku masih terdiam untuk terus mengikuti peristiwa ini karena semakin penasaran. Namun sesuatu tak terduga terjadi begitu saja. Ibu menikam Putri Mahkota dengan belatinya. Aku menatap wajah Ibu yang sepertinya—terasa asing. Aku bahkan tak pernah mendengar Ibu berbicara dengan blak-blakan, seolah-olah mereka orang yang berbeda.
"Lavina! Apa yang kau lakukan?!"
"Lavina?" keningku berkerut untuk kesekian kalinya.
'Sudah kubilang aku bukan Lavina.'
Sejenak aku teringat kalimat itu ketika Ibu menemui tawanan di bawah tanah itu. Aku terdiam tak mengerti.
"Ka-Kak?"
Kini mataku melebar ketika melihat Velian sudah tersungkur di lantai dan bersimbah darah. Ya, aku tak percaya saat melihat Ayah sudah memegang sebilah pedang dan menusuknya ke tubuh adiknya sendiri.
"Apa-apaan ini? Mereka baru saja bertemu, kenapa jadi seperti ini?" racauku mulai frustrasi.
"Lavina, kita mulai ritualnya," titah Ayah. "Aku tidak tahu mereka akan bertemu di usia berapa nanti, tapi kuharap tidak ada kata terlambat untuk jatuh cinta karena kenangan mereka juga akan terhapus."
Tak lama ruangan ini di selimuti oleh sihir yang begitu kuat. Aku baru tahu kalau wanita yang kuanggap sebagai Ibuku selama ini ternyata—seorang penyihir.
Angin berembus kencang layaknya badai, aku refleks merunduk agar tak terbawa arus. Kekuatannya begitu kuat dan pastinya membutuhkan energi yang besar. Tak lama, mataku menangkap sosok Velian melayang di udara, lebih tepatnya—itu jiwanya. Sosok itu terombang-ambing di pusaran angin, kemudian hilang.
"Aku tidak mengerti kenapa aku tidak bisa memindahkan jiwa Valen." Ibu berkata.
"Apa mungkin ada masalah dengannya?" tanya Ayah.
"Aku akan mencari tahu."
Angin di sekitarku semakin kencang hingga aku terpaksa tiarap sampai dahiku menyentuh lantai.
"Katakan padaku, apa yang membuatku tidak bisa memindahkan jiwanya?" tanya Ibu entah pada siapa.
"Itu karena orang yang jiwanya ingin kau pindah sedang dalam keadaan mengandung. Jika kau terus memaksa, kau akan menerima hukuman atas sihirmu sendiri karena telah memisahkan ikatan jiwa seorang anak dengan Ibunya." Sebuah suara menjawab, tapi nadanya terdengar kesal.
Aku langsung mengangkat wajahku untuk melihat apa yang terjadi, tapi aku tak melihat apa pun selain pendaran cahaya yang menyilaukan. Aku bisa mendengar Ayah dan Ibu begitu syok atas jawaban dari suara asing itu.
"Baiklah, katakan padaku apa hukumannya?" tanya Ibu lagi pada suara itu.
"Kau takan bisa memiliki anak sendiri sampai kau mempertemukan anak itu dengan Ibunya," jawab suara itu.
"Kalau begitu aku siap menerima hukumannya."
"Lalu bagaimana caramu mempertemukan mereka?" tanya Ayah gelisah.
"Setelah ini bantu aku memindahkan janinnya ke rahimku. Aku yang akan membesarkannya. Kau tidak keberatan, kan?"
Ayah terdiam sejenak sebelum akhirnya ia menjawab, "Baiklah. Anak itu adalah tanggung jawab kita bersama."
Angin kembali berhmbus kencang dan membuatku terpaksa menundukkan kepala lagi. Semakin lama, angin ribut di sekitarku mulai mereda dan perlahan menghilang.
"Sepertinya...anak ini nantinya akan terlahir perempuan," ucap Ibu sambil memegangi perut mendiang Putri Mahkota yang sudah tak bernyawa. Aku bisa melihat sedikit pendaran cahaya di tangannya.
"Ah, aku langsung mendapat ide nama yang cocok untuknya."
"Siapa?"
"Selena," jawab ibu tersenyum. "Kau setuju, Zealda?"
Mataku melebar mendengar percakapan itu. Apakah—Selena yang dimaksud adalah aku?
"Selena—nama yang bagus."
"Baiklah, kita harus segera memindahkannya ke perutku sebelum terlambat."
Tangisanku pecah tanpa suara. Aku terisak di antara debu yang masih sedikit bertebaran.
_______To be Continued_______
Mataku basah ketika aku terbangun dari mimpi. Ada rasa sesak yang menggelayuti batinku. Mimpi itu terasa nyata dan kini aku ketakutan jika itu benar-benar nyata. Setelah mimpi itu, aku tak bisa tidur selama tiga hari berturut-turut hingga kantung mataku sedikit menggelap. Pening bergelayut setiap kali aku mikirkannya, tapi mata ini enggan untuk terlelap. Kami menikmati makan malam seperti biasa dan sesuai dugaanku, Ayah dan Ibu menanyakan keadaanku yang mungkin—terlihat seperti makhluk yang tak pernah tidur berhari-hari. "Akhir-akhir ini kau sering melamun dan lihat matamu! Sudah berapa hari kau tidak tidur?" tegur Ibu tampak cemas. "Aku curiga kalau pernikahanmu itu hasil dari paksaan Putra Mahkota Vainea." Aku menggeleng pelan sambil menyeruput sup. "Bukan itu." "Lalu?" Kini Ayah bertanya. Aku terdiam sejenak dan menatap mereka satu persatu. "Aku...dihantui mimpi aneh," ujarku akhirnya. Mungkin aku memang harus menanyakan hal ini karena kali ini mimpiku melibatkan mereka. "Aku
Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b
"Aleea. Seberapa penting posisinya di sisi Raja Zealda sampai-sampai beliau tak menyadari bahwa orang itu adaah mata-mata?" tanyaku dalam hati sambil menutup lembaran terakhir buku yang kubaca. Kuremas rambutku dengan pening bergelayut di kepala. Ingin rasanya menjerit agar beban berat di benakku terlepas. Mungkin seharusnya kuabaikan saja masalah ini, tapi hatiku yang tidak tenang membuatku terus dihantui rasa penasaran dengan masa laluku. Anehnya, apa yang tertulis di buku ini, sangat masuk akal dengan apa yang dikatakan tahanan itu. Jika itu memang benar, kenapa Raja dan Ratu merahasiakan semua ini dariku. Aku benar-benar mencemaskan asal-usulku. Meskipun Ayah dan Ibu tidak mengatakannya langsung, tapi bagaimana kalau semua yang kuselidiki ini ternyata benar? Jika aku memang putri Erick dan Valen, kenapa mereka mau merawatku? Apa untuk menebus kesalahan mereka karena telah membunuh Ibuku? Apakah semua gambaran masa lalu yang kulihat di mimpi itu benar? Aku meletakkan kepala di
Keesokan harinya, aku benar-benar dikirim ke Vainea untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sepanjang perjalanan aku hanya duduk termenung dengan pikiran kosong. Kejadian tadi malam begitu mengusik hingga aku lelah. Malam setelah aku kembali bersama Ibu, Ayah tak banyak berkomentar. Bahkan hingga tadi pagi pun dia masih bersikap dingin padaku. Aku tak tahu, apa hubunganku dengan Ayah akan membaik? Bahkan niatku yang ingin meminta maaf padanya menjadi luntur dengan sikapnya hari ini. "Aku ini...benar-benar tak tahu terima kasih ya?" gumamku pada diri sendiri. Menanyakan hal yang sudah seharusnya menjadi penilaianku sambil sesekali mencemooh diri sendiri. "Aku tak menyangka akan pergi dari Axylon secepat ini dalam situasi seperti ini. Apa mereka akan merindukanku?" Semua prasangka buruk bersatu untuk menakutiku sampai aku tak berani memikirkan apa pun. Rasa sayangku pada mereka begitu besar dan tulus, tapi aku justru takut jika mereka—memang menjadikanku sebagai alat penebus dosa pad
Aku berdiri menatap gaun yang membalut tubuh, begitu suci dalam nuansa sakral yang semerbak. Aku termenung sejenak, tak tahu bagaimana untuk menghadapi hari ini.Kutatap goresan di telapak tangan dengan rasa sedikit kecewa dan gundah atas kebodohanku. Azura sendiri menganggap pernikahan ini adalah suatu pengorbanan, lalu bagaimana denganku?"Nona?"Aku langsung berbalik arah untuk melihat sosok yang tadi memanggilku. Dia adalah Gretta, melihatnya membuatku langsung menghampirinya dengan cemas"Kenapa kau di sini? Bagaimana dengan kondisimu? Wajamu masih pucat," semburku sambil mengecek suhu tubuhnya yang masih sedikit tinggi, tapi terlihat mulai membaik."Saya sudah tidak apa-apa, Nona. Syukurlah, Yang Mulia Raja dan Ratu mengijinkan saya untuk datang kemari.""Bagaimana kau bisa seceroboh itu? Axylon dan Vainea jaraknya lumayan jauh dan kau pergi dengan kondisi seperti ini?" Aku menarik Gretta untuk duduk dan menuang secangkir teh untuknya. "Minumlah, ini akan membuatmu sedikit lebih
Aku masih menatap wajah itu, begitu rupawan dengan raut tegas yang memudar. Entah untuk berapa lama aku terlelap dan saat aku membuka mata, wajah ini lah yang pertama kali kulihat. Mata kami bertemu dalam keheningan yang mencabik. Tak lama, tatapannya meredup dan teduh dengan senyum setipis kapas."Jangan paksakan dirimu untuk membuka mata," ujarnya."Apa saya sudah mati?" tanyaku spontan. "Melihat anda dan disentuh oleh anda, rasanya seperti saya sudah menyeberangi dunia yang sangat jauh.""Kau tetap pada duniamu, hanya aku saja yang tak bisa beranjak darimu.""Jadi...saya belum mati?"Ia menggeleng lembut dan menatapku serius. "Kau akan segera pulih, jadi jangan khawatir."Aku terdiam dan menatap sekeliling. Tak ada yang bisa kulihat melainkan dunia dengan warna putih tanpa benda apa pun layaknya ruang cahaya tanpa bayangan. Aku juga yakin kalau tubuhku terbaring di pangkuannya dalam keadaan melayang, tak ada gravitasi yang mengusikku."Apa ini tempat tinggal anda sekarang?""Aku ti
Aku duduk meringkuk di jendela yang tertutup seusai mandi. Kubiarkan punggungku terbuka karena obat oles yang belum mengering. Sesekali aku menggigit biskuit coklat kesukaanku. Benar-benar situasi yang membuatku rindu.Aku menghela napas tenang sambil menjilati serbuk biskuit yang tersisa di jariku."Kau tahu, Gretta? Aku selalu ingin bisa menikmati suasana seperti ini," ujarku setelah mendengar suara pintu terbuka tanpa menoleh."Menurutmu apa aku bisa menaati peraturan sebagai Putri Mahkota? Kau tahu sendiri bagaimana kebiasaanku, kan? Ditambah pelayanku bukan kau lagi, jadi aku akan kesulitan untuk mendapatkan pakaian laki-laki untuk menyamar agar bisa keliling kota dengan bebas," racauku semakin gundah."Oh, ternyata kau punya kebiasaan buruk seperti itu sebagai Putri?"Aku menoleh ke belakang dan terperangah. Aku lupa kalau Azura masih berkeliaran di istana ini, biasanya hanya Gretta yang kuperbolehkan masuk tanpa ijin."Kenapa kau selalu masuk kamarku tanpa ijin?" desisku tak su
Aku menaiki tangga menuju balkon sepi untuk menenangkan diri dari gelisah yang mengusik. Mataku tertuju pada sosok pria berambut panjang dengan jubah pangeran khasnya yang berkibar karena angin.Jantungku berdegup kencang ketika menghampiri sosok yang sudah kukenal itu. Ia menatap ke bawah sambil tersenyum, tapi matanya terlihat sedih."Yang Mulia...Erick?""Padahal kita telah berbicara dengan akrab, tapi panggilanmu belum berubah?" sahutnya tanpa menoleh."Ma-maaf, sa-maksudnya...aku belum terbiasa." Aku mendekatinya dan melihat di bawah sana."Tidak apa-apa. Seharusnya kau memang tidak mengenalku seumur hidupmu.""Tapi faktanya kita tetap saling mengenal, kan? Bahkan aku sudah tahu kalau kau Ayah kandungku yang tewas dengan patah hati."Ia tertawa sejenak. "Apakah terdengar miris?""Hmm...ya." Kutatap dua sejoli di bawah sana yang sedang tertawa riang di kursi halaman sambil menikmati kue mini di tangan masing-masing."Yang kau maksud apakah...Valen yang itu?" tanyaku sambil melirik
Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil
Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal
Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend
Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil
Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu
"Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku