Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b
"Aleea. Seberapa penting posisinya di sisi Raja Zealda sampai-sampai beliau tak menyadari bahwa orang itu adaah mata-mata?" tanyaku dalam hati sambil menutup lembaran terakhir buku yang kubaca. Kuremas rambutku dengan pening bergelayut di kepala. Ingin rasanya menjerit agar beban berat di benakku terlepas. Mungkin seharusnya kuabaikan saja masalah ini, tapi hatiku yang tidak tenang membuatku terus dihantui rasa penasaran dengan masa laluku. Anehnya, apa yang tertulis di buku ini, sangat masuk akal dengan apa yang dikatakan tahanan itu. Jika itu memang benar, kenapa Raja dan Ratu merahasiakan semua ini dariku. Aku benar-benar mencemaskan asal-usulku. Meskipun Ayah dan Ibu tidak mengatakannya langsung, tapi bagaimana kalau semua yang kuselidiki ini ternyata benar? Jika aku memang putri Erick dan Valen, kenapa mereka mau merawatku? Apa untuk menebus kesalahan mereka karena telah membunuh Ibuku? Apakah semua gambaran masa lalu yang kulihat di mimpi itu benar? Aku meletakkan kepala di
Keesokan harinya, aku benar-benar dikirim ke Vainea untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sepanjang perjalanan aku hanya duduk termenung dengan pikiran kosong. Kejadian tadi malam begitu mengusik hingga aku lelah. Malam setelah aku kembali bersama Ibu, Ayah tak banyak berkomentar. Bahkan hingga tadi pagi pun dia masih bersikap dingin padaku. Aku tak tahu, apa hubunganku dengan Ayah akan membaik? Bahkan niatku yang ingin meminta maaf padanya menjadi luntur dengan sikapnya hari ini. "Aku ini...benar-benar tak tahu terima kasih ya?" gumamku pada diri sendiri. Menanyakan hal yang sudah seharusnya menjadi penilaianku sambil sesekali mencemooh diri sendiri. "Aku tak menyangka akan pergi dari Axylon secepat ini dalam situasi seperti ini. Apa mereka akan merindukanku?" Semua prasangka buruk bersatu untuk menakutiku sampai aku tak berani memikirkan apa pun. Rasa sayangku pada mereka begitu besar dan tulus, tapi aku justru takut jika mereka—memang menjadikanku sebagai alat penebus dosa pad
Aku berdiri menatap gaun yang membalut tubuh, begitu suci dalam nuansa sakral yang semerbak. Aku termenung sejenak, tak tahu bagaimana untuk menghadapi hari ini.Kutatap goresan di telapak tangan dengan rasa sedikit kecewa dan gundah atas kebodohanku. Azura sendiri menganggap pernikahan ini adalah suatu pengorbanan, lalu bagaimana denganku?"Nona?"Aku langsung berbalik arah untuk melihat sosok yang tadi memanggilku. Dia adalah Gretta, melihatnya membuatku langsung menghampirinya dengan cemas"Kenapa kau di sini? Bagaimana dengan kondisimu? Wajamu masih pucat," semburku sambil mengecek suhu tubuhnya yang masih sedikit tinggi, tapi terlihat mulai membaik."Saya sudah tidak apa-apa, Nona. Syukurlah, Yang Mulia Raja dan Ratu mengijinkan saya untuk datang kemari.""Bagaimana kau bisa seceroboh itu? Axylon dan Vainea jaraknya lumayan jauh dan kau pergi dengan kondisi seperti ini?" Aku menarik Gretta untuk duduk dan menuang secangkir teh untuknya. "Minumlah, ini akan membuatmu sedikit lebih
Aku masih menatap wajah itu, begitu rupawan dengan raut tegas yang memudar. Entah untuk berapa lama aku terlelap dan saat aku membuka mata, wajah ini lah yang pertama kali kulihat. Mata kami bertemu dalam keheningan yang mencabik. Tak lama, tatapannya meredup dan teduh dengan senyum setipis kapas."Jangan paksakan dirimu untuk membuka mata," ujarnya."Apa saya sudah mati?" tanyaku spontan. "Melihat anda dan disentuh oleh anda, rasanya seperti saya sudah menyeberangi dunia yang sangat jauh.""Kau tetap pada duniamu, hanya aku saja yang tak bisa beranjak darimu.""Jadi...saya belum mati?"Ia menggeleng lembut dan menatapku serius. "Kau akan segera pulih, jadi jangan khawatir."Aku terdiam dan menatap sekeliling. Tak ada yang bisa kulihat melainkan dunia dengan warna putih tanpa benda apa pun layaknya ruang cahaya tanpa bayangan. Aku juga yakin kalau tubuhku terbaring di pangkuannya dalam keadaan melayang, tak ada gravitasi yang mengusikku."Apa ini tempat tinggal anda sekarang?""Aku ti
Aku duduk meringkuk di jendela yang tertutup seusai mandi. Kubiarkan punggungku terbuka karena obat oles yang belum mengering. Sesekali aku menggigit biskuit coklat kesukaanku. Benar-benar situasi yang membuatku rindu.Aku menghela napas tenang sambil menjilati serbuk biskuit yang tersisa di jariku."Kau tahu, Gretta? Aku selalu ingin bisa menikmati suasana seperti ini," ujarku setelah mendengar suara pintu terbuka tanpa menoleh."Menurutmu apa aku bisa menaati peraturan sebagai Putri Mahkota? Kau tahu sendiri bagaimana kebiasaanku, kan? Ditambah pelayanku bukan kau lagi, jadi aku akan kesulitan untuk mendapatkan pakaian laki-laki untuk menyamar agar bisa keliling kota dengan bebas," racauku semakin gundah."Oh, ternyata kau punya kebiasaan buruk seperti itu sebagai Putri?"Aku menoleh ke belakang dan terperangah. Aku lupa kalau Azura masih berkeliaran di istana ini, biasanya hanya Gretta yang kuperbolehkan masuk tanpa ijin."Kenapa kau selalu masuk kamarku tanpa ijin?" desisku tak su
Aku menaiki tangga menuju balkon sepi untuk menenangkan diri dari gelisah yang mengusik. Mataku tertuju pada sosok pria berambut panjang dengan jubah pangeran khasnya yang berkibar karena angin.Jantungku berdegup kencang ketika menghampiri sosok yang sudah kukenal itu. Ia menatap ke bawah sambil tersenyum, tapi matanya terlihat sedih."Yang Mulia...Erick?""Padahal kita telah berbicara dengan akrab, tapi panggilanmu belum berubah?" sahutnya tanpa menoleh."Ma-maaf, sa-maksudnya...aku belum terbiasa." Aku mendekatinya dan melihat di bawah sana."Tidak apa-apa. Seharusnya kau memang tidak mengenalku seumur hidupmu.""Tapi faktanya kita tetap saling mengenal, kan? Bahkan aku sudah tahu kalau kau Ayah kandungku yang tewas dengan patah hati."Ia tertawa sejenak. "Apakah terdengar miris?""Hmm...ya." Kutatap dua sejoli di bawah sana yang sedang tertawa riang di kursi halaman sambil menikmati kue mini di tangan masing-masing."Yang kau maksud apakah...Valen yang itu?" tanyaku sambil melirik
Kepalaku terkulai di atas buku tebal dengan hati sendu. Aroma kertas sedikit menenangkanku meskipun tak mengusik gelisahku sama sekali.Kejadian semalam membuatku tak bisa tidur walau hanya sedetik dan kini kepalaku dilanda pening ringan yang membuatnya terasa berat. Pelupuk mataku sebenarnya juga terasa berat, tapi enggan untuk terpejam."Yang Mulia, anda sudah dipanggil untuk sarapan bersama." Loretta menyentuh bahuku lembut dengan wajah murung."Kenapa wajahmu begitu?" tanyaku."Saya tidak tenang melihat anda tidak tidur semalaman.""Aku cuma tidak bisa tidur, jadi jangan khawatir." Aku terdiam sejenak. "Kau tadi bilang mereka menungguku?"Loretta mengangguk. "Mereka bilang ingin makan bersama sebelum anda berangkat ke Vainea."Aku mengangguk lesu dan segera keluar kamar dengan gontai. Tak lama, aku dibuat ternganga ketika sampai di tempat makan. Makanan di meja terlihat lebih ramai dari biasanya. Di sana juga sudah ada Helena yang sedang terbahak-bahak dan berceloteh dengan Azura
Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil
Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal
Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend
Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil
Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu
"Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku