Home / Fantasi / Selena (Shirea book 2) / Chapter 5 : Pesta Rakyat

Share

Chapter 5 : Pesta Rakyat

Author: Indah Riera
last update Last Updated: 2023-02-04 00:13:18

Tak lama kami sampai di sebuah pedesaan yang ramai. Aku yakin sekali ini bukan bagian dari wilayah Axylon, tapi sepertinya juga bukan bagian dari Vainea. Parahnya, aku tidak mengerti kenapa Azura membawaku ke tempat ini.

"Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan sampai-sampai kau membawaku ke tempat ini?" tanyaku akhirnya, setelah saling diam selama perjalanan.

"Sepertinya kita butuh menginap malam ini."

Aku langsung menoleh dengan mata menyipit. "Padahal aku bisa saja sampai di Axylon sebelum matahari terbenam."

Ia melirikku sejenak kemudian menatap lagi kedepan. "Aku tidak tahu kemana akan membawamu, yang jelas aku butuh tempat untuk berbicara denganmu."

Aku menghela sebal. "Bisakah kau langsung memberiku alasan sekarang juga agar aku bisa secepatnya kembali?"

"Kau tidak penasaran dengan kehidupan di luar wilayahmu?" bisiknya, kemudian memacu kudanya dengan kencang hingga aku tersentak. "Seharusnya kau berterima kasih karena mau mengajakmu bersenang-senang dengan caraku."

"Jadi, inikah caramu melarikan diri dari istana?"

"Tidak masalah jika itu bersamamu, setidaknya untuk saat ini. Dengan begitu, aku memiliki alasan yang kuat kenapa aku pergi."

"Sialan!" umpatku lirih.

"Jika kau butuh alasan, seharusnya kau jangan membantah!"

Sepanjang jalan kami kembali terdiam, tapi aku semakin terhibur dengan pemandangan desa yang begitu terpencil dan memukau. Mataku melihat sebuah danau yang mengelilingi desa itu dengan pantulan langit yang begitu jernih.

Ternyata benar, ada banyak hal yang indah di luar sana tanpa kuketahui dan belum pernah kubaca di buku manapun.

"Untuk melihat dunia, membaca buku saja tidak lah cukup. Ada kalanya kau harus pergi untuk melihatnya secara langsung," ujarnya, menjawab pesona dalam benakku.

Ya, dia benar. Selama ini yang kutahu hanya pemandangan di Axylon dan wilayahnya, tanpa pernah berpikir bahwa masih banyak wilayah di luar Axylon yang tak kalah memukau ketika melihatnya secara langsung.

"Terima kasih," ujarku dengan perasaan tenang. "Kau benar, membaca buku saja—tidaklah cukup. Terima kasih sudah mengajakku pergi melihat dunia luar meski hanya sebentar."

Aku melepas perhiasanku dan menyimpannya sebelum memasuki desa, termasuk cincin Blue Saphire kesayanganku. Sesekali ingin merasakan bagaimana rasanya melepas status dan kedudukanku dan menjadi orang biasa tanpa harus menyamar. Kuhirup udara dengan bebasnya ketika aku mulai merasa nyaman sebagai diriku sendiri.

"Kau begitu rela melepas perhiasanmu," komentarnya.

"Akan terlihat mencolok jika aku memakainya."

Azura mendesah pelan. "Padahal kau tidak perlu melakukannya karena pasti di sana juga banyak wanita yang memakai perhiasan." Ia merogoh kantung di mana perhiasanku tersimpan, kemudian menarik kalung di dalamnya. "Setidaknya pakai satu."

Aku menurutinya untuk memakai kalungku kembali. Kami memasuki desa yang sangat ramai dengan penduduknya yang terlihat sangat sibuk. Kuda kami berjalan pelan, sementara mata kami menyusuri bangunan dalam diam.

Azura memacu kudanya dan membawaku kesebuah bangunan bersusun yang megah. Aku langsung tahu bahwa bangunan itu adalah sebuah penginapan untuk para pendatang seperti kami.

"Aku hanya membawa uang secukupnya, jadi jangan protes dengan apa yang kulakukan," bisiknya di telingaku sebelum ia menuruni kuda.

Aku tak menyahut dan mengikutinya turun dari kuda. Kami memasuki bangunan dan di sana sudah ada wanita paruh baya yang menyambut kami.

"Kami pesan satu kamar."

"Satu?" bisikku sambil membelalakkan mata.

"Bukankah tadi kubilang jangan protes? Kau sendiri juga tidak membawa uang kan?" balasnya berbisik.

"Kalau aku tahu kau akan membawaku kabur, pasti aku sudah membawa uang!" lirihku kesal. "Pesan dua kamar, aku akan menjual perhiasanku!"

"Aku bersumpah akan membuang perhiasanmu kalau kau sampai menjualnya," sahutnya sambil menarik tanganku dengan wajah dingin.

"Tuan, jika anda membawa teman wanita sebaiknya anda memesan dua kamar," ujar wanita itu menengahi kami.

"Apakah tidak boleh suami istri menginap satu kamar?"

Kalimatnya membuatku melengos ke arahnya. "Trik picisan macam apa itu?" gumamku dalam hati.

"Ah, sayang sekali padahal kami sedang bulan madu," lanjutnya, pura-pura kecewa sementara aku hanya bungkam.

"Kalian pasti pengantin baru." Kini wanita itu tampak antusias. "Tentu saja boleh, Tuan. Kebetulan sekali nanti malam akan ada pesta rakyat. Anda bisa ikut meramaikan pesta nanti malam bersama istri anda."

"Wah, sepertinya sangat menyenangkan." Azura merangkul penggangku dan mencengkeramnya. "Kalau begitu kami akan ikut. Bagaimana? Kau tertarik?"

Aku tertawa geli sambil meringis kesakitan. "Tentu saja, kita tak boleh melewatkannya."

"Kalau begitu ini undangannya dan ini kunci kamar anda."

"Terima kasih banyak." Azura menerimanya dengan senang hati, sementara aku masih di bawah siksaannya.

"Yang Mulia!" Aku melepaskan diri setelah situasi aman. "Lepas!"

"Kalau tidak ditekan seperti itu, kau tidak akan bisa diajak kerjasama," ujarnya masih dingin. "Dan satu lagi, jangan panggil aku 'Yang Mulia', ini bukan istana. Panggil saja aku Azura," sambungnya dan berjalan mendahuluiku.

Aku terpaksa mengekorinya dengan langkah cepat untuk mengimbanginya dan menaiki tangga. Tak lama, kami sampai di sebuah ruangan yang lumayan besar dan sejuk. Kubuka jendela dan mentari senja menerpa wajahku dengan hangat. Aku bisa melihat pemandangan di bawah sana yang tampak ramai.

"Selena." Azura sudah berdiri di sampingku dan turut menatap pemandangan di bawah sana. "Bagaimana perasaanmu berada di luar seperti ini?"

Aku terdiam sejenak sambil meraba apa yang kurasakan. "Untuk pertama kalinya aku merasa keluar istana yang sesunggguhnya. Aku belum terbiasa, tapi kurasa...tidak terlalu buruk. Rasanya seperti—aku menjadi diriku yang lain dan menyenangkan. Ada perasaan yang membuatku begitu ringan dan bebas."

Ia tersenyum simpul mendengar jawabanku. "Kehidupan seperti ini lah yang kuinginkan," jawabnya sambil menatap lurus ke depan. "Bisa pergi kemana pun yang kumau dan menikmati perjalanan."

Aku menatapnya dan seketika aku teringat dengan pembahasan kami yang tertunda. "Kau begitu menginginkan dunia luar." Aku memulai pembicaraan dengan melipat tangan. "Seperti katamu, menikah denganku hanya akan membuatmu terikat pada duniamu dan statusmu yang kau anggap membosankan. Lalu kenapa kau mengingkari kesepakatan kita dan memintaku mengubah keputusan?"

"Menikah denganmu atau tidak, itu tidak akan bisa mengubah semuanya," jawabnya tanpa ekspresi.

"Maksudmu?" tanyaku tak mengerti.

Ia menarik napas panjang seperti ada beban berat dalam embusannya. "Selena, Ayahku sangat membenci peperangan, karena itu dia ingin berdamai dengan Axylon. Tapi selain itu, sebenarnya Vainea sedang dalam krisis pangan dan sumber daya. Mengharapkan hasil laut saja tidak cukup untuk memulihkan ganti rugi akibat perang besar dengan Axylon waktu itu. Kau pasti sudah tahu perang besar itu sebelum Axylon dipimpin oleh Ayahmu bukan?"

"Lalu?"

"Berhubung Ayah kita sama-sama Raja baru, Ayahku ingin mengambil kesempatan ini untuk memulai semuanya dari awal, yaitu dengan perdamaian sekaligus kami juga membutuhkan sumber daya dari Axylon."

Aku menghela pelan. "Vainea dan Axylon mungkin bisa saja berdamai tanpa harus kita menikah. Dengan keputusan penolakan ini, Ayahku pasti meminta pihak Vainea untuk mengubah persyaratan ke dua. Kalau pun perjanjian damai ini gagal, aku yakin Vainea memiliki hubungan kerjasama yang baik dengan kerajaan lain bukan? Aku yakin mereka bisa membantu Vainea dalam menghadapi krisis ini."

"Yah, mungkin bisa saja selesai dengan cara seperti itu."

"Kalau begitu, apa lagi masalahmu?"

Ia terdiam sejenak dan menatapku. "Masalahnya adalah...jika aku tak bisa menikah denganmu, Ayahku akan menikahkanku dengan Putri Lucia dari kerajaan Tryenthee."

Aku mendengus tertawa. "Oh, aku tahu inti permasalahnnya. Pada dasarnya masalahmu hanya...kau belum ingin menikah dengan siapa pun, karena kau ingin menikmati kebebasanmu dan berpetualang sepuasmu, begitu kan?" Aku menyangga dagu dengan tangan di jendela dan memasang wajah serius. "Asal kau tahu, Yang Mulia. Pernikahanmu dengan Putri Lucia bukan urusanku. Begitu aku menolak persyaratan ke dua ini, aku akan segera terbebas darimu dan masalahmu setelahnya—aku tidak peduli."

Azura menatapku dingin seolah-olah tak suka dengan jawabanku. "Kau!"

"Aku takan mengubah keputusanku untuk menolak pernikahan ini," ujarku dengan nada tajam. "Setelah urusan kita selesai, kau dipaksa menikah dengan Putri kerajaan mana pun, itu bukan lagi urusanku."

Ia masih menatapku dengan ekspresi dingin. "Dengar Selena, sebagai Putra Mahkota aku bisa melakukan apa pun padamu, bahkan aku bisa membuatmu mengubah keputusanmu dengan paksa."

"Sebaiknya kau bertemu dengan Putri Lucia, mungkin saja kau akan merasa tertarik dan langsung jatuh hati padanya. Itu akan lebih baik dari pada kau memaksaku. Lagipula, dengan bantuan dari Tryenthee aku yakin itu sudah cukup untuk menyelesaikan krisis di Vainea."

"Ya, kau benar. Mungkin menikah dengan Putri Tyenthee bisa memulihkan kembali Vainea, tapi Vainea akan mendapat dua keuntungan jika aku menikahi Putri Axylon." Azura mendekatiku perlahan dan membuatku terpojok di dinding. "Selain berkolaborasi sumber daya, keuntungan berikutnya adalah terwujudnya mimpi Ayahku, yaitu perdamaian. Menikah denganmu sama saja seperti melempar dua burung dengan satu batu."

Aku menatapnya tajam, setara dengan tatapannya. "Aku tahu, pernikahan politik hanya bertujuan untuk menciptakan kerjasama yang menguntungkan. Tapi aku tak suka dijadikan bahan untuk sebuah pilihan. Jika Vainea tetap ingin berdamai, ubahlah persyaratan ke dua yang sama-sama menguntungkan. Setelah itu, pikirkanlah cara menolak pernikahanmu dengan Putri Tryenthee. Jangan libatkan aku lagi!"

"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika aku memaksa." Azura menarik pedangku dan melemparnya ke sembarang arah, kemudian mengeluarkan sebuah belati kecil.

"Kau mau membunuhku?" tatapku nanar.

Ia menarik tanganku dan menggores telapak tanganku dengan belati itu. Aku mengerang kesakitan melihat darah yang perlahan mengalir, tapi herannya dia juga menggores telapak tangannya sendiri. Ia menarik tanganku lagi dan membentur punggungku ke dinding dan mengunci pergerakanku.

"Apa yang kau lakukan?!"

Ia menautkan jemarinya pada jemariku hingga luka sayatan kami bertemu di sana. Aku bisa merasakan betapa lengketnya tangan kami saat darah kami menyatu dan ia tak melepaskannya begitu saja.

Azura memejamkan mata dan bibirnya bergerak seperti membaca sebuah mantra yang aku sendiri tak tahu mantra apa itu. Aku bisa merasakan udara di sekitarku berubah dan terasa panas hingga tubuhku berkeringat.

"Azura," panggilku saat merasakan sebuah energi mengalir dari luka sayatan yang masih menyatu.

Ia tetap bergeming dengan manteranya seolah-olah tak terusik sedikit pun. Aku bisa merasakan tangan kami bergetar lembut dan semakin menjalar ke seluruh tubuh.

Mataku terpejam saat dahi kami perlahan bersentuhan dan Azura masih dengan manteranya yang panjang itu. Jantungku berdegup kencang dan napasku mulai tak beraturan. Energi yang begitu besar terasa seperti menyelimutiku hingga aku tak berkutik sedikit pun.

"Tunggulah, materanya sedang bekerja," bisiknya dengan suara bergetar, sementara aku tak menyahut sedikit pun dengan rasa takut.

Tubuhku tersentak saat bibirku dikecup begitu lembut.

"Azura," gumamku tak percaya.

"Mulai sekarang kau adalah milikku," bisiknya, kemudian menciumku lagi. Namun kali ini begitu posesif seolah-olah aku tak diijinkan berbicara atau pun membantah.

Aku mendorongnya ketika tubuhku mulai stabil dan ia melepaskan ciumannya. "Apa yang kau lakukan, sialan!" Kutatap telapak tanganku dan di sana sudah ada tanda sayatan berwarna hitam. "Apa ini?!"

Ia tersenyum masam saat menatap telapak tangannya. "Tak kusangka menteranya akan berhasil."

"Apa maksudmu? Apa yang kau lakukan sebenarnya?!" cecarku tak sabar.

"Mantera ini mengikatmu denganku. Itu berarti, mau tidak mau kau harus menikah denganku," jawabnya menyeringai.

"Aku tidak mau!" sergahku tak terima. "Jangan harap aku akan mengubah keputusanku hanya karena mantera ini."

"Terserah padamu. Tapi mantera itu sudah mengikat kita, jadi pilihamu hanya ada dua. Menikah denganku atau mati?" Ia tersenyum menang.

"Bagaimana kalau kau atau aku mencintai orang lain suatu saat nanti? Apa mantera ini akan hilang?"

"Jika kita mencintai atau menikah dengan orang lain suatu saat nanti, maka kita akan mati bersama."

"Apa?" Mataku menyipit kesal. "Mana bisa seperti itu!"

"Memang begitu aturan dari mantera ini," jawabnya santai, tapi matanya menatap serius. "Pikirkan baik-baik keputusanmu, Putri. Meskipun kau tetap menolak pernikahan ini, kau takan bisa menikah dengan siapa pun, bahkan dengan orang yang kau cintai sekali pun. Jika kau memaksa, jangan salahkan aku jika kalian akan berakhir dengan perpisahan yang menyedihkan, yaitu kematianmu."

"Berani-beraninya kau membuat masa depanku terancam!" ujarku dengan nada tinggi.

"Bukan hanya kau! Masa depanku juga terancam jika kau tidak mau mengubah keputusanmu!" sahutnya yang juga dengan nada tinggi. "Kau membuatku terpaksa mengambil keputusan dengan resiko yang lebih besar," lanjutnya, mulai melembut. "Sekarang hidup dan matiku, tergantung pada keputusanmu."

Kami sama-sama terdiam dan menatap telapak tangan masing-masing dengan risau. Jika benar begitu, berarti tidak ada pilihan lain selain menyetujui pernikahan ini atau kami akan mati bersama.

"Dan satu lagi." Azura menutupi kepalaku dengan handuk. "Anggap saja ciuman yang tadi sebagai kesepakatan baru kita. Sekarang mandilah! Aku akan mencari tempat makan terbaik untuk kita makan malam." Ia keluar dari kamar dan meningggalkanku yang masih termenung.

* * *

Aku berjalan dengan pikiran yang tak henti-hentinya memikirkan masalah tadi sore. Setelah kejadian tadi, sampai sekarang kami belum membuka suara untuk memulai pembicaraan yang berarti. Azura sendiri juga terlihat seperti merenung atas perbuatannya dan hanya bersuara untuk mengajakku pergi keluar.

Aku menoleh ke arahnya saat ia menggandeng tanganku tanpa menatapku sedikit pun.

"Sepertinya situasinya semakin ramai, sebaiknya jangan terlalu jauh dariku," ujarnya tanpa menoleh. "Aku tahu tempat makan yang enak."

Aku tak menyahut, tapi tetap menurut dengan langkah terseret saat ia menarik tanganku dan berjalan cepat. Tak lama kami sampai di sebuah tempat makan mewah dan para pelayan menyambut ramah saat kami memasukinya. Mataku menatap sekeliling, begitu ramai dengan cara masing-masing.

"Aku tak percaya kalau kau hanya membawa uang secukupnya," ujarku setelah kami duduk saling berhadapan sembari menunggu hidangan.

Ia tersenyum miring dan menunjukkan dua lembar amplop. "Di saat krisis uang, ada kalanya kita harus pandai mencari tiket makan gratis."

Aku tersenyum dengan kening berkerut. "Bagaimana kau mendapatkannya?"

Azura menunjuk sebuah permainan dalam bentuk sayembara. Aku tak tahu apa yang ia mainkan karena yang ia tunjuk tinggal sisa-sisa ornament bekas permainan yang masih terpajang.

Tak lama, pelayan datang dengan membawa beberapa hidangan yang menurutku—lumayan mewah, yang biasa dihidangkan di acara-acara resmi para bangsawan.

Aku tersenyum dalam hati, baru kali ini aku menemukan sosok Putra Mahkota yang tetap bisa makan enak dengan berburu tiket gratisan.

Aku mulai mengunyah makananku dan terdiam sejenak, memberi kesempatan pada lidahku untuk meresapinya. Kepalaku terangguk-angguk saat aku menyimpulkan bahwa makanan yang kumakan rasanya enak.

"Tidak buruk," komentarnya setelah memasukan sepotong daging kedalam mulutnya. "Bagaimana menurutmu?"

"Tidak mengecewakan," jawabku. "Menurutku—rasanya sangat sesuai dengan tampilannya dan enak."

Ia tersenyum sejenak, kemudian kami saling terdiam selama makan agar dapat menikmati hidangan masing-masing.

Seusai makan, kami kembali berkeliling desa hingga akhirnya kami sampai di sebuah tempat dengan api unggun besar. Di sana sudah banyak warga yang berkumpul dengan iringan musik yang ceria. Mereka semua menari bebas sesuai tempo nada yang mengalun. Ada juga adu minum sampai mabuk.

Aku dan Azura saling tatap sejenak, kemudian ia memberi kode dengan dagunya untuk ikut berpesta. Ya, awalnya aku sangat canggung, tapi Azura mengajakku menari. Aku menghela napas sejenak, kemudian bergerak mengikuti tariannya.

Semakin malam, rasa canggungku berangsur hilang, ditambah semakin banyak yang datang untuk menari. Tarian kali ini berbeda dari yang biasa kulakukan. Biasanya level bangsawan ke atas hanya berdansa dengan gerakan yang santun nan elegan, tapi tarian kali ini lebih aktif dan cukup membuatku berkeringat.

Suasana semakain ramai dan aku mulai hilang kendali begitu pun dengan Azura. Kami benar-benar tertawa lepas dan merasa bebas, hingga kami lupa siapa kami sebenarnya. Kali ini kami menari dengan gerakan dansa, diiringi dengan lompatan-lompatan yang menyenangkan. Azura menuntunku dengan baik agar genggaman kami tak terlepas atau pun membuatku terjatuh.

"Selamat datang di pesta Purnama, selamat bersenang-senang!" teriak seseorang yang sudah berdiri di atas meja dan tak lama setelahnya, semburan air melontar ke atas dan memberikan efek gerimis.

Semua orang bersorak gembira dengan gelak tawa yang benar-benar terdengar bebas tanpa aturan. Aku dan Azura tak peduli dengan pakaian kami yang mulai basah saking asiknya menari hingga akhirnya, aku sedikit merasa lelah.

Kami memutuskan untuk duduk sejenak di sudut pesta yang sedikit longgar. Tak lama, seseorang pembawa minuman datang membawa dua gelas anggur.

Aku terdiam sejenak, pasalnya aku tak pernah minum anggur, sementara Azura sudah mengambil dua gelas yang disodorkan, kemudian meletakannya di meja. Ia menyeringai melihat ekspresi raguku untuk minum angggur lalu meneguknya.

"Tantangan baru untukmu," ujarnya masih menyeringai.

Jika Ayah melihatku seperti ini, mungkin aku akan dihukum cambuk. Aku mengggeleng ngeri membayangkan hal itu. "Jika kau mau, kau saja yang habiskan."

"Nona, kau harus mencobanya." Seorang gadis entah datang dari mana menuangkan anggur lagi ke gelas Azura. "Anggur ini murni buatan desa kami. Kami mengolahnya dengan sangat baik. Jika ditawarkan kepada para bangsawan, pastinya akan dihargai dengan sangat mahal. Dalam pesta ini, kau bisa menikmatinya secara gratis."

"Terima kasih." Azura mengangkat gelasnya.

Gadis itu membalasnya dengan mengedipkan mata untuk menggoda Azura, sementara pemuda itu hanya mengerutkan kening meskipun senyum masih tersungging.

Aku hanya menyeringai melihatnya, kemudian tersenyum masam mendengar kalimat gadis itu. "Maaf tapi—aku tidak kuat minum."

"Satu teguk tidak akan membuatmu mabuk. Percayalah, Nona." Gadis itu menyodorkan gelasku, sementara Azura menunggu reaksiku.

Aku menerima gelas itu lalu meneguknya dengan paksa. Rasanya—aku ingin memuntahkannya, tapi karena takut menyinggung, aku terpaksa menelannya. Azura sudah tersenyum miring sambil meneguk lagi minumanya.

Gadis itu tersenyum dan berkata, "Terima kasih sudah datang ke desa kami. Silahkan melanjutkan pestanya." Kemudian pergi.

"Bagaimana?" tanya Azura.

Aku menelan ludah. "Tidak enak."

Aku terdiam sejenak setelah merasakan pening di kepala. Katanya satu tegukan takan membuat mabuk, tapi kini kepalaku terasa pusing. Semakin lama kepalaku terasa berat hingga aku perlahan meletakkan kepalaku di atas meja.

"Selena?" panggil Azura, tapi tak kuhiraukan.

Bukan hanya itu, pelupuk mataku juga tampak berat dan ingin merapat.

"Selena? Hei, Selena!" Azura menepuk pipiku lembut, berharap aku akan terbangun.

Aku tak menyahut. Selain kepalaku yang terasa pusing, tubuhku juga mulai menggigil kedinginan karena pakaianku basah. Aku bisa mendengar Azura mendesah kesal dan sedikit cemas, kemudian membopongku.

"Payah! Padahal itu tidak terlalu memabukkan, tapi kau baru satu tegukan sudah tak sadarkan diri," gerutunya sebal dan aku tak peduli.

_______To be Continued_______ 

Related chapters

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 6 : Kedudukan Yang Sama

    Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin."Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu

    Last Updated : 2023-02-07
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 7 : Di Bawah Ancaman

    Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya."Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes."Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya."Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali.""Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mula

    Last Updated : 2023-02-14
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 8 : Pecahan Masa

    Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan."Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu."Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?""Itu—" Aku memutar otak untuk memul

    Last Updated : 2023-02-17
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 9 : Terungkap Perlahan

    Mataku basah ketika aku terbangun dari mimpi. Ada rasa sesak yang menggelayuti batinku. Mimpi itu terasa nyata dan kini aku ketakutan jika itu benar-benar nyata. Setelah mimpi itu, aku tak bisa tidur selama tiga hari berturut-turut hingga kantung mataku sedikit menggelap. Pening bergelayut setiap kali aku mikirkannya, tapi mata ini enggan untuk terlelap. Kami menikmati makan malam seperti biasa dan sesuai dugaanku, Ayah dan Ibu menanyakan keadaanku yang mungkin—terlihat seperti makhluk yang tak pernah tidur berhari-hari. "Akhir-akhir ini kau sering melamun dan lihat matamu! Sudah berapa hari kau tidak tidur?" tegur Ibu tampak cemas. "Aku curiga kalau pernikahanmu itu hasil dari paksaan Putra Mahkota Vainea." Aku menggeleng pelan sambil menyeruput sup. "Bukan itu." "Lalu?" Kini Ayah bertanya. Aku terdiam sejenak dan menatap mereka satu persatu. "Aku...dihantui mimpi aneh," ujarku akhirnya. Mungkin aku memang harus menanyakan hal ini karena kali ini mimpiku melibatkan mereka. "Aku

    Last Updated : 2023-02-20
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 10 : Mata-Mata

    Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b

    Last Updated : 2023-02-22
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 11 : Pengakuan

    "Aleea. Seberapa penting posisinya di sisi Raja Zealda sampai-sampai beliau tak menyadari bahwa orang itu adaah mata-mata?" tanyaku dalam hati sambil menutup lembaran terakhir buku yang kubaca. Kuremas rambutku dengan pening bergelayut di kepala. Ingin rasanya menjerit agar beban berat di benakku terlepas. Mungkin seharusnya kuabaikan saja masalah ini, tapi hatiku yang tidak tenang membuatku terus dihantui rasa penasaran dengan masa laluku. Anehnya, apa yang tertulis di buku ini, sangat masuk akal dengan apa yang dikatakan tahanan itu. Jika itu memang benar, kenapa Raja dan Ratu merahasiakan semua ini dariku. Aku benar-benar mencemaskan asal-usulku. Meskipun Ayah dan Ibu tidak mengatakannya langsung, tapi bagaimana kalau semua yang kuselidiki ini ternyata benar? Jika aku memang putri Erick dan Valen, kenapa mereka mau merawatku? Apa untuk menebus kesalahan mereka karena telah membunuh Ibuku? Apakah semua gambaran masa lalu yang kulihat di mimpi itu benar? Aku meletakkan kepala di

    Last Updated : 2023-02-24
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 12 : Goresan Ritual

    Keesokan harinya, aku benar-benar dikirim ke Vainea untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sepanjang perjalanan aku hanya duduk termenung dengan pikiran kosong. Kejadian tadi malam begitu mengusik hingga aku lelah. Malam setelah aku kembali bersama Ibu, Ayah tak banyak berkomentar. Bahkan hingga tadi pagi pun dia masih bersikap dingin padaku. Aku tak tahu, apa hubunganku dengan Ayah akan membaik? Bahkan niatku yang ingin meminta maaf padanya menjadi luntur dengan sikapnya hari ini. "Aku ini...benar-benar tak tahu terima kasih ya?" gumamku pada diri sendiri. Menanyakan hal yang sudah seharusnya menjadi penilaianku sambil sesekali mencemooh diri sendiri. "Aku tak menyangka akan pergi dari Axylon secepat ini dalam situasi seperti ini. Apa mereka akan merindukanku?" Semua prasangka buruk bersatu untuk menakutiku sampai aku tak berani memikirkan apa pun. Rasa sayangku pada mereka begitu besar dan tulus, tapi aku justru takut jika mereka—memang menjadikanku sebagai alat penebus dosa pad

    Last Updated : 2023-02-27
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 13 : Pernikahan

    Aku berdiri menatap gaun yang membalut tubuh, begitu suci dalam nuansa sakral yang semerbak. Aku termenung sejenak, tak tahu bagaimana untuk menghadapi hari ini.Kutatap goresan di telapak tangan dengan rasa sedikit kecewa dan gundah atas kebodohanku. Azura sendiri menganggap pernikahan ini adalah suatu pengorbanan, lalu bagaimana denganku?"Nona?"Aku langsung berbalik arah untuk melihat sosok yang tadi memanggilku. Dia adalah Gretta, melihatnya membuatku langsung menghampirinya dengan cemas"Kenapa kau di sini? Bagaimana dengan kondisimu? Wajamu masih pucat," semburku sambil mengecek suhu tubuhnya yang masih sedikit tinggi, tapi terlihat mulai membaik."Saya sudah tidak apa-apa, Nona. Syukurlah, Yang Mulia Raja dan Ratu mengijinkan saya untuk datang kemari.""Bagaimana kau bisa seceroboh itu? Axylon dan Vainea jaraknya lumayan jauh dan kau pergi dengan kondisi seperti ini?" Aku menarik Gretta untuk duduk dan menuang secangkir teh untuknya. "Minumlah, ini akan membuatmu sedikit lebih

    Last Updated : 2023-03-01

Latest chapter

  • Selena (Shirea book 2)   Terima Kasih Untuk Pembaca

    Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^

  • Selena (Shirea book 2)   Epilog

    ___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 57 : Takdir Terakhir

    Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 56 : Takdir

    Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 55 : Cinta Dan Ambisi 3

    Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 54 : Cinta Dan Ambisi 2

    Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 53 : Hukuman

    "Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 52 : Takdir Dan Kutukan

    Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 51 : Kesedihan Lucia

    "Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status