Home / Fantasi / Selena (Shirea book 2) / Chapter 4 : Kesepakatan

Share

Chapter 4 : Kesepakatan

Author: Indah Riera
last update Last Updated: 2023-01-31 23:20:51

Aku termangu ketika tiba di sebuah tebing dengan deburan ombak di bawahnya. Udara menyapu wajahku dengan sejuk dengan purnama menggantung di langit sendirian. Tak lama, Azura melepas ikatanku dan aku bisa bernapas lega.

"Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku tak mengerti.

"Melemparmu ke dasar laut," jawabnya sambil menuruni kuda.

Aku tahu jawaban itu hanya candaan dingin darinya. Aku ikut turun dari kuda lalu menatap lepas hamparan gelap yang memantulkan sinar bulan layaknya cermin. Azura sudah duduk di atas rumput tanpa alas. Ditatapnya langit cerah di atas sana seolah-olah tak mempedulikan keberadaanku di sisinya.

"Apa...tidak masalah jika kita meningggalkan pesta?" tanyaku, masih memikirkan situasi di istana.

"Kalau ingin pulang, pulang saja sendiri," sahutnya dingin tanpa menoleh sama sekali.

Aku terdiam sambil menahan diri untuk tak melempar batu ke kepalanya. Namun, sedetik kemudian aku tersenyum miring sambil berkata, "Baiklah, aku akan pulang. Jika kau ingin pulang juga, kau bisa cari kudamu sendiri."

Tak kusangka kalimatku berhasil membuatnya menoleh dengan wajah heran. "Kau bisa berkuda?"

"Menurutmu?" Aku tersenyum menang sambil menunggangi kuda.

Ia masih bungkam sejenak, kemudian mendengus dengan seringai di bibirnya. "Melihatmu yang seperti itu aku jadi penasaran, disiplin macam apa yang diterapkan di Axylon untuk Tuan Putri sepertimu?"

"Sepertinya kau tak perlu tahu tentang hal itu, Yang Mulia."

"Untuk apa kau memiliki pengawal kalau kau sendiri bisa berkuda?"

"Ah, pertanyaanmu hampir mirip dengan adikmu. Menyebalkan!" gerutuku, masih dalam level sabar. "Tentu saja agar aku bisa pergi bebas kemana pun yang kumau, tanpa repot-repot membawa pengawal. Lagipula, memakai kereta kuda dengan pengawal terlihat sangat mencolok di mata orang lain. Yah, kecuali untuk formalitas dan acara resmi."

"Apa itu berarti kau sering keluar istana tanpa pengawasan?"

"Menurutmu?"

Dia mendengus tersenyum, tapi ekspresinya menunjukkan bahwa aku Putri yang aneh.

"Jika tak ada hal lain yang ingin kau bicarakan, aku akan segera pulang," ujarku sambil memutar arah kuda.

"Tunggu!" panggilnya dingin.

"Apa kau membutuhkan tumpangan, Yang Mulia?" tanyaku dengan alis terangkat sebelah dan sedikit seringai.

"Kau tak pantas menawarkan tumpangan padaku karena itu kudaku," sahutnya tak suka.

"Kudamu sudah ada dalam kendaliku," jawabku tersenyum puas. "Bukankah kau yang menyuruhku untuk pulang sendiri jika aku ingin pulang?"

Azura memalingkan pandangannya ke arah laut dan berkata, "Temani aku."

Aku terdiam sejenak untuk meralat pendengaranku, memastikan bahwa aku tidak salah dengar.

"Cepat turun!" titahnya tak sabar.

Aku menghela napas lalu turun dari kuda lagi dan maju beberapa langkah. Kutatap hamparan temaram di hadapanku bagai tak bertepi. Pantulan cahaya bulan membuat gelombang di bawah sana tampak berkilau. Azura menarik ujung gaunku agar aku terduduk di sisinya.

"Selena," gumamnya setelah hening beberapa saat.

Aku tak menyahut, tapi mataku melirik ke arahnya.

"Aku yakin, kau bukan gadis yang mudah diatur. Meskipun kau seorang Putri, tapi kau masih bisa pergi dengan leluasa tanpa pengawasan dan pengawal," ujarnya dengan tatapan kosong layaknya sebuah kebosanan. "Bagaimana di Axylon bisa seperti itu?"

"Meskipun aku seorang Putri, tapi Ayahku tak pernah mempermasalahkan apa yang menjadi keinginanku selama itu hal yang wajar dan tak di luar batas. Aku suka bepergian dengan bebas, tapi aku juga masih memiliki batasan sebagai putri Raja."

"Apa kau suka mengunjungi banyak tempat?"

"Ya, meskipun masih dalam batas wilayah Axylon. Mungkin karena aku seorang wanita, jadi tidak boleh pergi keluar wilayah meskipun sebenarnya..aku bisa saja pergi. Vainea adalah tempat pertama yang kukunjungi di luar kerajaan Axylon."

"Di saat kau pergi biasanya apa yang kau lakukan?" tanyanya lagi.

Aku terdiam sejenak dengan tatapan menyelidik. "Kenapa kau sepertinya tertarik?"

Ia balas menatapku, entah berapa detik kami saling menatap dengan mencoba menebak masing-masing pikiran lawan. Aku mencoba mencari sesuatu dari tatapannya, begitupun dengannya yang seperti sedang mencoba menerobos masuk pikiranku.

"Sebenarnya apa yang membuatmu datang kemari?" tanyanya, berganti topik setelah beberapa saat terdiam. "Apa kau penasaran denganku?"

Aku terdiam sejenak sambil memilih jawaban yang tepat. Aku tak bisa mengatakan padanya bahwa aku hanya ingin menjadi mata-mata, tapi aku juga tak bermaksud datang untuk bertemu dengannya.

"Aku datang memenuhi undangan Ayahmu sebelum memberi keputusan," jawabku akhirnya.

Ia menggeleng lunglai. "Aku tidak mengerti dengan Ayahmu. Raja macam apa yang membiarkan putrinya mencampuri urusan politiknya? Seharusnya ia akan tetap menikahkanmu tanpa memandang apa pun demi kepentingan pemerintahannya."

"Ayahku memang seorang Raja, tapi beliau takan membiarkan putrinya menikah hanya demi politik," jawabku, meniru jawaban tegas Ayah waktu itu.

"Bagaimana bisa seperti itu?"

"Karena selain menjadi Raja yang baik untuk rakyatnya, beliau juga berusaha menjadi Ayah yang baik untuk putrinya."

Azura tersenyum masam dengan mata yang sedikit sendu. "Seandainya saja semua Raja bisa seperti itu," gumamnya. "Lalu...apa keputusanmu nanti?"

Aku kembali teringat pembicaraan terakhirku dengan Erina bahwa Azura juga menolak pernikahannya, tapi sayangnya waktu itu Erina tak memberiku jawaban, bahkan malah memintaku untuk bertanya langsung pada Azura.

"Sebelum aku menjawabnya, bisakah kau memberiku alasan kenapa kau menolak pernikahan ini?"

"Apa itu penting untukmu?"

"Ya, sama pentingnya keputusanku untukmu."

Ia terdiam cukup lama, tapi tatapannya meredup saat embusan angin menggerakkan ujung-ujung rambutnya.

"Aku...ingin bebas," jawabnya sebelum ia melanjutkan. "Aku tak pernah menginginkan kedudukan ini. Menjadi Putra Mahkota hanya akan membuatku terkurung di istana. Aku ingin sekali berpetualang menjelajahi dunia, membayangkan bisa mengunjungi banyak tempat sepertinya sangat menyenangkan. Bisa mendapat pengetahuan dan pengalaman baru sekaligus...teman baru di luar sana. Menikah denganmu, hanya akan membuatku semakin terikat erat dengan kehidupan yang membosankan ini."

"Apa kau sudah membicarakan hal itu pada Ayahmu?"

"Ayahku tahu keinginan terbesarku, tapi sayangnya ia tidak seperti Ayahmu yang bisa mendengarkan suara anaknya. Jadi—" Azura menatapku lagi. "Bagaimana denganmu?"

Aku menarik napas dalam sebelum menjawab, "Sebenarnya aku juga menolak pernikahan ini. Aku hanya ingin menikah dengan pria yang benar-benar mencintaiku, bukan karena politik atau pun tahta. Bukan Putra Mahkota atau Pangeran sekali pun juga tidak apa-apa."

"Baiklah, kalau begitu kita sepakat menolaknya," ujarnya tanpa ragu. "Bagaimana?"

Aku mengangguk setuju. "Kalau begitu berarti aku takan tinggal lama di sini. Aku akan kembali ke Axylon besok pagi dan memberitahu Ayahku bahwa perjanjian damai ini belum bisa disetujui, kecuali pihak Vainea mengubah persyaratan ke dua."

Azura tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih banyak, Putri. Jika nanti kerajaan kita bisa berdamai, kau akan menjadi sahabat pertamaku dari Axylon."

Aku hanya tersenyum lega mendengarnya. "Sahabat."

* * *

Aku masuk ke dalam kereta kuda setelah berpamitan dengan Raja Raddith dan Ratu Erisca, mereka benar-benar menyambutku dan melepasku dengan baik hingga niat buruk yang sempat bersarang dalam benakku lenyap.

Ya, meskipun awalnya mereka penasaran kenapa aku memutuskan untuk segera kembali ke Axylon secara mendadak dan secepat ini, tapi sepertinya—mereka tak mempersulitku dengan banyak tanya.

Pertemuanku dengan Erina juga tidak terlalu buruk dan juga pembicaraanku dengan Azura akhirnya membuahkan hasil atas apa yang harus kuputuskan. Lucunya, kami sama-sama bersepakat untuk menolak pernikahan ini. Kuharap ini jalan yang terbaik untuk kita bersama.

Seperti biasa, aku melewati perjalanan dengan bosan meskipun udara sejuk mencoba menghibur. Ada kalanya kantuk kembali menyerang, tapi aku memaksakan diri agar tetap terjaga.

Tak terasa, hari sudah menjelang siang dan kami beristirahat sejenak di bawah pohon rimbun. Aku mengijinkan para pengawalku untuk makan dan minum sejenak. Perjalanan masih lumayan panjang untuk sampai di perbatasan.

Aku meneguk minumanku dan mengunyah roti gandum dengan nikmat. Untuk pertama kalinya aku merasakan perjalanan yang melelahkan karena saking jauhnya. Awal keberangkatanku ke Vainea hanya tidur sepanjang jalan dan aku menyesal karena sekarang memaksakan diri tetap terjaga.

Kubuka tirai jendela saat mendengar ringkikan kuda dari kejauhan. Dari suaranya, sepertinya kuda itu sedang mendekat kemari. Aku segera meraih pedang dan menyelipkannya di pakaianku, sementara para pengawal sudah dalam posisi siaga dan membentengiku. Kami terus menatap ujung jalan, menantikan sosok yang datang dari arah suara.

"Selena!"

Aku terpaku ketika seorang pemuda muncul dari kejauhan dengan menunggang kuda dan yang membuatku bergeming adalah karena dia memangggil namaku.

"Selena!"

Sosok itu semakin jelas dan mataku melebar ketika melihatnya. "Azura?"

"Tidak salah lagi, itu Azura! Kenapa dia mengejarku?" Pikirku tak menyangka. "Apa...aku melakukan kesalahan? Atau ada barangku yang tertinggal?"

"Selena, syukurlah aku masih sempat bertemu denganmu di sini," semburnya begitu sampai.

"Kalian boleh lanjut beristirahat," ujarku pada pengawal dan mereka menurut.

"Kenapa kau menyusulku?" tanyaku saat ia turun dari kudanya. "Apa ada sesuatu?"

"Selena, kuharap kau mengubah keputusanmu."

Mataku menyipit bingung. "Kenapa tiba-tiba kau berubah pikiran? Apa terjadi sesuatu?"

"Aku tak perlu menjelaskannya padamu karena kali ini aku tidak ingin bernegosiasi denganmu. Ubah keputusannya dan setujui pernikahan ini."

"Tidak," jawabku lugas, pasalnya aku tak mengerti kenapa dia berubah pikiran. "Aku akan tetap pada kesepakatan awal kita."

"Selena—"

"Bukankah ini hal yang tidak menguntungkan untukmu?" sergahku cepat. "Seperti katamu, menikah denganku hanya akan membuatmu semain terikat dengan kebosanan. Lantas, kenapa kau berubah pikiran?"

Azura terdiam sejenak dan menatap pengawalku. "Kalau kau ingin tahu, minta pengawalmu untuk kembali lebih dulu. Kau ikutlah denganku!"

"Kau pikir aku akan semudah itu menuruti kata-katamu?" tanyaku, semakin tak mengerti.

"Jika kau ingin tahu alasanku, seharusnya kau tak perlu banyak membantah, kan?" sahutnya mulai dingin.

"Jika mereka pulang tanpaku, mereka akan dihukum!"

"Kalau begitu, ubah keputusanmu dan jangan banyak bertanya."

Aku menatapnya lekat, berharap menemukan sesuatu. "Beri aku alasan kenapa aku harus mengubah keputusanku," sahutku masih keras kepala.

Azura tak menjawab dan menarik tanganku. Pengawalku yang melihat perlakuannya padaku langsung mengeluarkan senjata dan hendak menyerangnya, tapi Azura sudah menghindar dan menempelkan pedangnya di leher salah satu pengawalku.

"Jangan ikut campur! Ini perintah!"

Melihat hal itu, aku pun turut menarik pedangku dan menempalkannya di leher Azura. "Memangnya siapa kau, berani memberi perintah pada pengawalku? Kau tidak berhak atas mereka!"

Azura menatapku tak percaya terutama menatap pedangku yang menjurus ke arahnya. "Menarik," gumamnya menyeringai. "Bukan hanya bisa berkuda, kau bahkan juga bisa bermain pedang?"

Aku tak menjawab, tapi Azura mulai menurunkan senjatanya dari pengawalku.

"Aku jadi ragu, apa benar kau seorang Putri? Atau jangan-jangan Raja Zealda mempermainkan Vainea dengan mengirim Putri palsu?" ujarnya meragukan statusku.

"Berani sekali kau meragukan Tuan Putri kami!"

"Hentikan!" seruku pada pengawal agar tak menyerang Azura dan kini tatapanku kembali padanya. "Sebenarnya apa maumu?"

"Aku hanya ingin kau mengubah keputusanmu. Jika kau membutuhkan alasan, ikutlah denganku! Apa itu masih kurang jelas?!"

Aku terdiam sejenak dan menurunkan senjataku. "Baiklah aku ikut denganmu, tapi aku juga harus membawa pengawalku."

"Akan terlihat mencolok jika kau membawa pengawalmu."

Aku berpikir sejenak, menatap Azura dan pengawalku secara bergantian. Aku tidak tahu kemana Azura akan membawaku, tapi dilihat dari ajakannya, sepertinya ia hendak membawaku ke tempat asing di mana orang lain tak boleh mengetahui identitasku.

Aku melepas lencana yang kupakai dan menyerahkannya pada pengawalku. "Berikan ini pada Yang Mulia Raja dan sampaikan padanya kalau aku ingin bermain keluar sebentar. Katakan padanya, aku akan segera kembali dan mohon jangan mengkhawatirkanku. Jika kalian dihukum, aku yang akan membela kalian atas namaku."

"Tapi, Yang Mulia—"

"Ini perintah!" pontongku agar mereka tak membantah.

"Aku berjanji akan mengantarnya kembali ke Axylon besok pagi," ujar Azura, kemudian memberikan lencananya yang sangat berharga. "Ini sebagai jaminannya."

Mereka saling pandang sejenak, kemudian mengangguk satu sama lain. "Baik, Yang Mulia. Tapi saya mohon segeralah kembali."

Aku menganggguk dan mereka melanjutkan perjalanannya, sementara aku ikut menungggang kuda bersama Azura.

"Sebenarnya, kau mau membawaku kemana?" tanyaku penasaran.

"Nanti kau akan tahu," sahutnya dingin.

Aku kembali terdiam sambil menggenggam erat pedangku.

"Rapier yang cantik," gumamnya di telingaku.

_______To be Continued_______

Related chapters

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 5 : Pesta Rakyat

    Tak lama kami sampai di sebuah pedesaan yang ramai. Aku yakin sekali ini bukan bagian dari wilayah Axylon, tapi sepertinya juga bukan bagian dari Vainea. Parahnya, aku tidak mengerti kenapa Azura membawaku ke tempat ini."Sebenarnya apa yang mau kau bicarakan sampai-sampai kau membawaku ke tempat ini?" tanyaku akhirnya, setelah saling diam selama perjalanan."Sepertinya kita butuh menginap malam ini."Aku langsung menoleh dengan mata menyipit. "Padahal aku bisa saja sampai di Axylon sebelum matahari terbenam."Ia melirikku sejenak kemudian menatap lagi kedepan. "Aku tidak tahu kemana akan membawamu, yang jelas aku butuh tempat untuk berbicara denganmu."Aku menghela sebal. "Bisakah kau langsung memberiku alasan sekarang juga agar aku bisa secepatnya kembali?""Kau tidak penasaran dengan kehidupan di luar wilayahmu?" bisiknya, kemudian memacu kudanya dengan kencang hingga aku tersentak. "Seharusnya kau berterima kasih karena mau mengajakmu bersenang-senang dengan caraku.""Jadi, inikah

    Last Updated : 2023-02-04
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 6 : Kedudukan Yang Sama

    Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin."Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu

    Last Updated : 2023-02-07
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 7 : Di Bawah Ancaman

    Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya."Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes."Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya."Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali.""Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mula

    Last Updated : 2023-02-14
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 8 : Pecahan Masa

    Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan."Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu."Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?""Itu—" Aku memutar otak untuk memul

    Last Updated : 2023-02-17
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 9 : Terungkap Perlahan

    Mataku basah ketika aku terbangun dari mimpi. Ada rasa sesak yang menggelayuti batinku. Mimpi itu terasa nyata dan kini aku ketakutan jika itu benar-benar nyata. Setelah mimpi itu, aku tak bisa tidur selama tiga hari berturut-turut hingga kantung mataku sedikit menggelap. Pening bergelayut setiap kali aku mikirkannya, tapi mata ini enggan untuk terlelap. Kami menikmati makan malam seperti biasa dan sesuai dugaanku, Ayah dan Ibu menanyakan keadaanku yang mungkin—terlihat seperti makhluk yang tak pernah tidur berhari-hari. "Akhir-akhir ini kau sering melamun dan lihat matamu! Sudah berapa hari kau tidak tidur?" tegur Ibu tampak cemas. "Aku curiga kalau pernikahanmu itu hasil dari paksaan Putra Mahkota Vainea." Aku menggeleng pelan sambil menyeruput sup. "Bukan itu." "Lalu?" Kini Ayah bertanya. Aku terdiam sejenak dan menatap mereka satu persatu. "Aku...dihantui mimpi aneh," ujarku akhirnya. Mungkin aku memang harus menanyakan hal ini karena kali ini mimpiku melibatkan mereka. "Aku

    Last Updated : 2023-02-20
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 10 : Mata-Mata

    Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b

    Last Updated : 2023-02-22
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 11 : Pengakuan

    "Aleea. Seberapa penting posisinya di sisi Raja Zealda sampai-sampai beliau tak menyadari bahwa orang itu adaah mata-mata?" tanyaku dalam hati sambil menutup lembaran terakhir buku yang kubaca. Kuremas rambutku dengan pening bergelayut di kepala. Ingin rasanya menjerit agar beban berat di benakku terlepas. Mungkin seharusnya kuabaikan saja masalah ini, tapi hatiku yang tidak tenang membuatku terus dihantui rasa penasaran dengan masa laluku. Anehnya, apa yang tertulis di buku ini, sangat masuk akal dengan apa yang dikatakan tahanan itu. Jika itu memang benar, kenapa Raja dan Ratu merahasiakan semua ini dariku. Aku benar-benar mencemaskan asal-usulku. Meskipun Ayah dan Ibu tidak mengatakannya langsung, tapi bagaimana kalau semua yang kuselidiki ini ternyata benar? Jika aku memang putri Erick dan Valen, kenapa mereka mau merawatku? Apa untuk menebus kesalahan mereka karena telah membunuh Ibuku? Apakah semua gambaran masa lalu yang kulihat di mimpi itu benar? Aku meletakkan kepala di

    Last Updated : 2023-02-24
  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 12 : Goresan Ritual

    Keesokan harinya, aku benar-benar dikirim ke Vainea untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sepanjang perjalanan aku hanya duduk termenung dengan pikiran kosong. Kejadian tadi malam begitu mengusik hingga aku lelah. Malam setelah aku kembali bersama Ibu, Ayah tak banyak berkomentar. Bahkan hingga tadi pagi pun dia masih bersikap dingin padaku. Aku tak tahu, apa hubunganku dengan Ayah akan membaik? Bahkan niatku yang ingin meminta maaf padanya menjadi luntur dengan sikapnya hari ini. "Aku ini...benar-benar tak tahu terima kasih ya?" gumamku pada diri sendiri. Menanyakan hal yang sudah seharusnya menjadi penilaianku sambil sesekali mencemooh diri sendiri. "Aku tak menyangka akan pergi dari Axylon secepat ini dalam situasi seperti ini. Apa mereka akan merindukanku?" Semua prasangka buruk bersatu untuk menakutiku sampai aku tak berani memikirkan apa pun. Rasa sayangku pada mereka begitu besar dan tulus, tapi aku justru takut jika mereka—memang menjadikanku sebagai alat penebus dosa pad

    Last Updated : 2023-02-27

Latest chapter

  • Selena (Shirea book 2)   Terima Kasih Untuk Pembaca

    Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^

  • Selena (Shirea book 2)   Epilog

    ___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 57 : Takdir Terakhir

    Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 56 : Takdir

    Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 55 : Cinta Dan Ambisi 3

    Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 54 : Cinta Dan Ambisi 2

    Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 53 : Hukuman

    "Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 52 : Takdir Dan Kutukan

    Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi

  • Selena (Shirea book 2)   Chapter 51 : Kesedihan Lucia

    "Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status