Kali ini aku berada di sebuah arena tanding. Namun yang membuatku heran, tempat ini dihias dengan dekorasi pengantin. Melihat pemandangan sekitar, aku tahu bahwa aku—sedang bermimpi. Ya, aku yakin aku sedang bermimpi.
Mataku menyusuri keadaan di sekitarku yang sudah tampak ramai para penonton dengan pakaian resmi dan gaun pesta, lalu tak lama aku melihat dua gadis muncul dengan memakai gaun pengantin yang elegan. Gadis itu—mendiang Putri Mahkota, tapi aku tak mengenali gadis satunya.
Aku mengedarkan pandangan sekali lagi, berharap menemukan petunjuk dan tak lama, mataku menangkap sosok pria yang juga memakai baju pengantin.
"Putra Mahkota," gumamku, menatap sosok tegap duduk di tempat yang tinggi dan terpisah dengan posisi duduk Yang Mulia Raja.
Aku kembali menatap dua gadis itu yang ternyata mereka sudah memegang pedang masing-masing dan bersiap untuk bertarung. Genderang berbunyi pertanda pertarungan dimulai. Aku mencoba memahami situasinya ketika melihat dua mempelai wanita beradu pedang dengan sengit.
Gadis itu terus mendesak, sedangkan Putri Mahkota masih menghindar dan menangkis serangan. Sepertinya Putri Mahkota kesulitan bergerak karena gaunnya. Bahkan ia hampir tersungkur akibat menginjak gaunnya sendiri.
"Kalau kau tidak bisa bertarung, lebih baik serahkan nyawamu sekarang. Tidak usah mengacaukan riasanku dengan bermain kucing-kucingan denganku seperti ini!" ucap gadis satunya.
"Oh, kau tidak perlu cemas, Putri. Karena aku akan segera mengakhiri pertandingan ini," sahut Putri Mahkota.
"Mengakhiri dengan kematianmu?" Gadis itu menyeringai. "Sayang sekali. Riasanmu terlalu cantik untuk melengkapi kematianmu."
"Oh terima kasih telah memuji riasanku. Aku akan berterima kasih pada bibi Athea yang telah membuatku secantik ini dengan mengalahkanmu!"
Tak lama, Putri Mahkota merobek gaunnya hingga selutut, aku yang melihatnya merasa sayang karena gaun itu benar-benar indah dan mewah sekali. Aku mengerutkan kening ketika benakku berhasil menyimpulkan bahwa pertandingan ini bertujuan untuk memilih pendamping Putra Mahkota. Bahkan serangan mereka sungguh-sungguh saling melukai.
"Apa...ini pertarungan sampai salah satu dari mereka ada yang mati?" gumamku dalam hati.
Benar saja, pertarungan semakin sengit bahkan gaun itu berlumuran darah pun seperti tak peduli. Para penonton bersorak bahkan ada yang menjadikannya sebagai ajang taruhan.
Gadis yang tadinya mendesak Putri Mahkota kini justru terdesak hingga akhirnya, Putri Mahkota berhasil mendapat celah dan melancarkan serangannya. Pertandingan selesai saat gadis itu dinyatakan mati, sementara Putri Mahkota sudah terluka parah walau masih sanggup berdiri.
"Apakah sesulit ini menikahi Putra Mahkota?" tanyaku lagi dalam hati.
"Bunuh gadis itu!"
Aku mendengar teriakan yang berasal dari kursi Raja. Bisa kulihat bahwa Raja sangat murka atas kematian gadis itu dan nampak tak suka dengan kemenangan Putri Mahkota. Kini aku semakin mengerti dengan situasinya, dengan kata lain sebenarnya—pernikahan mendiang Putra dan Putri Mahkota sangat ditentang oleh Yang Mulia Raja terdahulu.
Tak lama, anak panah melesat dan mengenai dada kanannya dan sekejap aku juga merasakan sakit seolah-olah panah itu juga menancap di dadaku. Aku mengerang kesakitan dan tubuhku ambruk di tanah.
Aku membuka mata dan terbangun dengan napas tersengal-sengal. Dahiku sudah dibanjiri keringat dan mataku kembali menyesuaikan lingkunganku sekarang. Aku menghela napas lega saat menyadari bahwa aku berada di kamar dan bersyukur karena berhasil keluar dari mimpi buruk itu.
Sejenak aku terdiam, butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku—hanya berbalut selimut, tanpa pakaian sedikit pun. Aku syok bukan main, aku ingat bahwa sebelum ini aku minum anggur lalu tak sadarkan diri.
Tidak ada siapa pun di ranjang saat terbangun, tapi aku menatap kamar mandi yang sepertinya ada seseorang di dalam sana. Aku segera membalut tubuhku dengan selimut dan menjadikannya gaun ala kadarnya. Tanganku meraih pedang dan aku merapatkan diri ke dinding.
"Aku akan benar-benar membunuhnya jika dia telah melakukan sesuatu padaku," tekadku dalam hati.
Pintu kamar mandi terbuka beberapa saat dan menampakkan sosok jangkung dengan tubuh yang ditutupi oleh handuk sementara tangannya masih asyik mengelap rambutnya. Ia terdiam ketika ujung pedangku sudah menempel di bawah rahangnya.
"Bisakah kau menjelaskan sesuatu tentang kondisiku?" tanyaku dingin.
Dia terdiam sejenak dan menatapku. "Sudah kuduga. Begitu kau bangun, kau akan langsung salah paham. Tapi aku benar-benar tidak melakukan apa pun padamu."
Mataku menyipit tajam dengan perasaan ragu. "Sungguh?"
Dia menghela napas. "Yah, mau bagaimana lagi. Mana mungkin aku membiarkanmu tidur dengan pakaian basah." Azura menyingkirkan ujung pedang yang menghunus ke arahnya.
Aku masih terdiam sambil mengamatinya yang berjalan menuju meja untuk minum, kemudian mengambil sehelai kain lebar untuk menutupi tubuhnya.
Ya, aku tahu pakaiannya juga basah dan mungkin aku juga tak bisa menyalahkannya karena hal ini. Semoga saja ia tidak membohongiku.
Aku memasukkan lagi pedangku ke sarungnya dan meletakkannya di sudut ruangan, lalu aku kembali terduduk di tempat tidur dan melamun. Kasur bergerak amblas ketika Azura duduk di ranjang dari sisi yang lain dan kami saling membelakangi.
"Selena."
Panggilannya membuyarkan lamunanku dan membuatku menoleh ke arahnya yang ternyata—dia sudah menatapku dengan memutar kepalanya.
"Aku...memang belum ingin menikah, tapi kalau pun harus menikah, aku hanya ingin menikah denganmu."
"Kau tidak ingin mencoba mengenal Putri lain?" tanyaku sedikit risau. "Kau belum mengenalku dengan baik, aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari ketika kau jatuh cinta dengan yang lain. Sebelum kau memahami diriku lebih dalam, sebaiknya kau gunakan kesempatan ini untuk—"
"Aku tidak mau!" potongnya, kemudian menatap lurus ke depan hingga benar-benar membelakangiku. "Aku mungkin bisa saja berkeliling untuk mengenal banyak Putri, tapi aku hanya ingin bersama dengan Putri yang sudah terlanjur mengenal sisi lain diriku."
"Kau cukup menceritakan masalahmu pada mereka dan mereka akan mengerti." Aku menghela dan menatap lurus ke arah jendela. "Aku yakin jika kau tidak dijodohkan denganku, kau juga akan melakukan hal yang sama kepada yang lain bukan? Kau pasti juga akan menceritakan masalahmu pada calon istrimu yang lain."
Ya, setidaknya logikaku mengatakan hal itu.
"Yah, mungkin bisa saja seperti itu. Tapi berhubung kau yang pertama, jadi aku memilihmu. Aku bukan tipe orang yang suka menceritakan masalahku pada banyak orang dan untuk masalah ini, aku cukup membaginya padamu, tidak ke yang lain."
Aku tersenyum masam dan mendesah pelan. "Kau memilihku hanya demi mendapat dua keuntungan, jadi jangan terlalu banyak beralasan kenapa harus denganku."
Aku merasakan pergerakan dari tempat tidur dan kulihat ia sudah berdiri dan berjalan menghampiriku. Azura sudah memasang wajah dingin atas jawabanku yang mungkin terdengar keras kepala. Ia membopongku sejenak untuk mengubah posisiku agar terbaring, sementara ia sudah berada di atasku.
"Mau apa kau?" tanyaku nanar saat menyadari posisi yang berbahaya ini.
Aku berusaha memberontak sementara ia juga berusaha mengunci pergerakanku. Aku hendak menendangnya, tapi kakiku sudah terkunci olehnya dan kini aku masih berusaha untuk menghajarnya. Sayangnya ia tak menyerah begitu saja. Gerakannya terlalu cepat dan kuat hingga ia berhasil mengunci tanganku. Aku terus mengggeliat di bawahnya dan aku tahu itu hal yang sia-sia, aku justru kelelahan karena melawannya.
"Aku memiliki banyak alasan kenapa harus denganmu dibanding dengan yang lain," ujarnya menjawab kalimatku sebelumnya. "Haruskah aku melakukan hal itu agar kau mau denganku?"
"Tidak!" sergahku cepat, sementara ia tersenyum miring. "Aku akan benar-benar membunuhmu jika kau melakukannya."
"Kalau begitu, katakan pada ayahmu kalau kau jatuh cinta padaku dan kita saling mencintai."
Aku mengerutkan kening atas permintaan anehnya kali ini. "Kenapa aku harus mengatakannya? Lagipula, aku sudah menyetujui kesepakatan baru kita bukan?"
"Aku yakin, Raja Zealda bukan orang bodoh yang bisa menerima jawabanmu begitu saja. Meskipun kau sudah memberi persetujuan, tapi beliau tidak akan menerimanya kalau kau mengatakannya dengan terpaksa. Ditambah, setelah beliau tahu kau pergi denganku hari ini, aku yakin dia pasti berpikir kau menyetujuinya karena aku memaksamu."
"Memang kenyataanya begitu, kan?"
"Justru karena itu aku tidak ingin Raja Zealda memperbesar masalah ini karena kau mengambil keputusan dengan terpaksa. Apa kau tidak bosan mendengar suara adu senjata yang terjadi di perbatasan wilayahmu? Yah, meskipun tidak semua perbatasan. Dan lagi, apa kau tidak ingin memiliki kedudukan sebagai Putri Mahkota?"
Aku tersenyum miring atas pertanyaan terakhirnya. "Yang Mulia, sepertinya kau lupa satu hal. Aku bisa menjadi Putri Mahkota tanpa harus menikah denganmu atau dengan Putra Mahkota lainnya. Aku Putri pertama Axylon dan aku bisa menjadi Putri Mahkota di kerajaanku sendiri. Yah, meskipun sampai sekarang Ayahku belum memberikan kedudukan itu padaku, mungkin karena beliau masih ingin melihatku bebas tanpa beban. Jadi...jangan khawatirkan masalah kedudukanku."
Ia mengangkat sebelah alisnya seolah-olah baru menyadarinya. "Ah ya ya ya, kau benar. Secara tidak langsung kau memang Putri Mahkota Axylon. Yah, meskipun belum diangkat secara resmi. Pantas saja kau seperti tidak tertarik dengan kedudukan yang kutawarkan dan menurutku itu masuk akal kenapa Raja Zealda sangat mempertimbangkan keputusanmu dalam perjanjian ini." Azura tertawa sejenak dengan wajah seperti orang bodoh yang telah menyadari kebodohannya. "Pantas saja aku kesulitan menghadapimu, aku lupa kau memiliki kedudukan yang sama denganku. Kau...seorang Putri Mahkota."
"Bagus lah kalau kau sudah menyadarinya. Sekarang menyingkirlah!"
Ia memiringkan kepalanya dan menatapku dengan semangat baru. "Ini menarik. Sekarang tinggal memikirkan bagaimana cara membuatmu tunduk padaku."
"Apa lagi yang kau mau sebenarnya? Aku sudah sedikit menundukkan kepalaku untuk memberi persetujuan sesuai permintaanmu."
"Seperti kataku tadi, katakan pada Ayahmu kalau kita saling mencintai sejak pertama bertemu."
"Bagaimana kalau aku tidak mau?"
Azura memegangi kepalaku agar tak bisa menoleh kemudian mendekatkan wajahnya perlahan dan berbisik, "Aku tidak yakin ciuman bisa membuatmu takluk, tapi mungkin aku perlu mencobanya lagi."
"Hei!"
Kalimatku terjeda saat ia mulai menciumku dengan paksa. Aku berusaha memiringkan kepalaku agar ciumannya terlepas, tapi tangannya sudah menahan rahangku. Aku berusaha menggeliat saat mulai kehabisan napas dan untung saja ia melepaskannya. Kuhirup udara sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paruku yang terasa sesak.
"Aku akan terus menciummu sampai kau mau mengatakannya."
"Kalau aku tetap tidak mau, apa kau mau menciumku sepanjang malam?" tanyaku tak percaya.
Ia menatapku serius kemudian menjawab, "Ya."
"Kau gila!"
"Tidak masalah menjadi gila sedikit untuk menaklukan seorang Putri Mahkota yang keras kepala."
"Sialan kau!"
Aku kembali dibungkam oleh kecupannya dan sekilas aku melihatnya tersenyum menang. Ciuman kali ini lebih lama, bahkan saat aku mulai kehabisan napas ia hanya memberiku waktu beberapa detik saja untuk menghirup udara, kemudian menciumku lagi.
Jantungku berdegup kencang, semakin lama udara di sekitarku seperti memanas dan membuatku berkeringat. Ada perasaan aneh yang mengalir perlahan dalam benakku dan tanpa sadar aku mulai menikmati ciumannya. Perasaan hangat itu perlahan menggenang dalam relung hatiku, membuat pikiranku buyar sejenak hanya untuk meresapi rasa yang menyenangkan.
Tentu saja, ini adalah hal yang berbahaya untukku. Dengan terpaksa aku memutuskan untuk menyerah agar tidak terbawa arus deras dengan kenyamanan yang dihadirkan olehnya. Ya, sisi lain diriku merasa kecewa atas ketidakmampuanku untuk melawannya hingga aku ingin memaki diri sendiri.
"Baiklah baiklah," ujarku seraya menghirup udara, sebelum ia meciumku lagi. "Aku akan mengatakannya pada Ayahku. Kau puas sekarang?"
Azura menghirup udara dengan napas sesak dan menahan dirinya sejenak. "Apa kau memiliki jaminan agar aku mempercayaimu?"
"Apa menikah saja belum cukup untukmu?"
"Belum, aku perlu kau meyakinkan Raja Zealda tanpa menaruh curiga bahwa ini adalah paksaan."
"Aku akan berusaha meyakinkannya. Seperti katamu, aku akan bilang padanya kalau kita saling mencintai."
"Bagaimana caramu untuk meyakinkanku kalau kau akan mengatakannya?"
Aku menatapnya tajam dengan kesal, tak kusangka ia benar-benar menguji kesabaranku dengan hal-hal tak masuk akal. "Kau ingin aku melakukan apa agar kau percaya padaku?"
Ia mengangkat bahunya sambil berkata, "Terserah pedamu."
"Kalau begitu lepaskan tanganku!"
Azura melepas tanganku dan aku menggerakannya karena pegal. Aku menarik napas lega sambil memijit lenganku yang sedikit nyeri. Meskipun Azura melepas tanganku, tapi ia tak beranjak dari posisinya sambil menunggu apa yang akan kulakukan.
Pikiranku berputar cepat untuk mencari cara untuk meyakinkannya. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk mendapat kepercayaannya, sementara aku ingin ia melepaskanku segera. Seharusnya ini kesempatan bagus untuk menghajarnya, tapi aku takut ia akan melakukan hal yang lebih gila.
Aku menghela napas agar tenang dan menatapnya sungguh-sungguh, berusaha mencari celah dari matanya atau membaca pikirannya untuk menebak apa yang ia mau. Namun mata itu hanya dipenuhi tuntutan terhadapku layaknya perisai yang takan membiarkan seseorang menerobos masuk.
Aku menarik kepalanya dan menciumnya. Tak ada hal lain yang bisa kulakukan saat ini selain menjatuhkan harga diriku sendiri untuk saat ini. Azura membalas ciumanku dan menahan kepalaku saat aku ingin mengakhirinya. Jantungku kembali berdegup kencang dan perasaan yang tadi sempat kuhentikan kembali mengalir.
Aku masih memeluk lehernya, sementara tangannya mulai memeluk tubuhku. Kami saling berpagutan untuk pertama kalinya dan saling memeluk erat. Semakin lama, ciuman kami terasa panas dan membakar hasrat. Tanganku mencengkeram bahunya saat tangannya menekan pinggangku dan seketika itu juga ciuman kami semakin liar.
Kami langsung melepaskan diri masing-masing, sesaat kami menyadari bahwa situasi tadi sangat berbahaya dan parahanya kami hampir saja lepas kendali. Kini kami hanya saling menatap dengan tubuh gemetar satu sama lain.
"Maaf," ujar kami bersamaan dan kami sama-sama syok saat mengatakannya.
Azura melangkah ke tempat tidur dan terbaring di sisi lain ranjang, sementara aku hanya terdiam dan melihatnya yang sudah meringkuk dan memunggungiku. Aku terbangun untuk melepas selimut yang membalut tubuhku, kemudian terbaring memunggunginya sambil melebarkan selimut.
"Pakailah selimut agar tidak dingin," ujarku tanpa menoleh ke arahnya.
Azura tak menyahut, tapi aku merasakan pergerakannya di sebelah sana. Aku menoleh ke arahnya sejenak dan kulihat ia sudah masuk ke dalam selimut maskipun masih memungggungiku. Aku bersyukur selimutnya sangat lebar, bukan hanya bisa menutupi tubuhku, tapi juga bisa menyelimutinya.
Sepanjang malam aku tidak bisa tidur. Selain karena takut bermimpi lagi, pikiranku saat ini juga dipenuhi adegan sialan itu. Namun sepertinya—Azura juga tidak bisa tidur nyenyak. Aku bisa merasakan tubuhnya terus bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untuk tidur, sementara aku hanya pura-pura tidur.
* * *
Kami terbangun saat pintu diketuk dan itu membuatku sedikit sebal, pasalnya kami baru saja terlelap saat Matahari menjelang terbit. Azura berdecak kesal dan bangkit dari pembaringan dengan kain yang masih membalut di tubuhnya. Aku memutar tubuh untuk menoleh ke arah pintu saat Azura membukanya.
"Maaf tuan, kami hanya mengantar pakaian anda yang sudah dibersihkan." Seorang wanita menyordorkan setumpuk pakaian pada Azura.
Aku bisa melihat wajahnya bersemu saat tak sengaja melihatku yang masih terbaring nyaman di tempat tidur. Ya, sudah pasti wanita itu akan berpikir yang aneh-aneh karena penampilanku di ranjang.
"Saya akan kembali untuk mengantar makanan anda sebelum melanjutkan perjalanan," ujarnya, kemudian pergi, sementara Azura hanya mengangguk dan menutup pintu.
Ia terduduk sejenak sambil meletakkan tumpukan pakaian di tempat tidur. "Padahal aku berniat mengantarmu pagi-pagi, tapi ternyata ini sudah hampir menjelang siang."
"Tidak masalah, tidurlah sebentar lagi kalau kau masih mengantuk."
"Tidak bisa. Ayahmu pasti menunggumu," sahutnya lalu mengambil beberapa pakaian dan pergi ke kamar mandi.
Ya, yang dikatakannya memang benar. Saat ini pasti Ayahku sedang menagih janji para pengawalku kalau aku akan kembali pagi hari dan mungkin saja beliau sudah menungguku. Aku terduduk dengan kepala sedikit pening karena kurang tidur.
Setelah beberapa lama, Azura keluar dari kamar mandi dan tampak terlihat segar dengan rambut basah yang acak-acakan dan sekarang giliranku. Aku meraih handuk dan juga pakaianku, kemudian melangkah ke kamar mandi.
Air yang mengguyur tubuhku begitu segar dan membuatku tenang seketika. Bayangan semalam kembali muncul, membuatku tanpa sadar menyentuh bibirku. Aku segera menggelengkan kepala untuk menyingkirkanya dan memukul dinding dengan sebal terhadap diriku sendiri.
Aku segera mempercepat mandiku dan berganti pakaian. Kulihat Azura sudah duduk sambil menyeruput secangkir teh ketika aku keluar dari kamar mandi. Di atas meja sudah ada dua piring Sandwich dan daging. Aromanya begitu menggoda, membangkitkan rasa lapar yang tadinya diam. Kami menghabiskan makanan kami dalam diam sebelum bersiap-siap untuk pergi.
Kuda kami melaju meninggalkan desa yang indah itu dan mungkin aku takan melupakan tempat itu. Itu adalah pertama kalinya aku keluar Axylon tanpa tujuan resmi.
"Selena, bisakah kau yang memegang tali kekangnya?" ujar Azura di tengah perjalanan. "Sebenarnya...aku masih sedikit mengantuk."
Aku mengangguk dan kini aku mengambil alih tali kemudi. "Tidurlah, aku yang akan membawa kudanya."
Azura melingkarkan tangannya di pinggangku dan meletakkan kepalanya di bahuku. "Bangunkan aku kalau kau mulai lelah dan butuh istirahat."
Aku mengangguk dan kuda kami mulai melaju. Kubiarkan kuda kami hanya berjalan cepat, aku tak mungkin membuat kudanya berlari kencang agar Azura bisa tidur sedikit nyenyak. Meskipun akan memakan waktu lama, tapi setidaknya itu lebih baik dari pada ia jatuh dari kuda. Ditambah kami tidak membawa tali untuk mengikatnya agar tidak jatuh.
_______To be Continued_______
Perjalanan masih berlanjut hingga hari menjelang sore. Derap kaki kuda memecah keheningan dan juga—dengkuran lirih Azura. Aku bisa merasakan napasnya yang hangat di leherku. Sejujurnya salah satu pundakku mulai pegal menahan kepalanya, tapi aku tak ingin mengusiknya.Semakin lama, kini gantian aku yang dilanda kantuk. Pegal di pundak membuatku merasa lelah. Untungnya, Azura terbangun tak lama setelah itu. Ia menguap sejenak dan merenggangkan tubuhnya."Pantas saja perjalanan kita masih lumayan jauh, ternyata kau mengendarai kuda dengan lambat seperti ini?" celetuknya masih menguap.Aku yang mendengarnya sedikit sebal, pasalnya aku tidak ingin tidurnya terusik, tapi dia malah protes."Bagus lah kalau kau sudah bangun." Aku membuat kudaku berlari kencang setelah mendapat komentarnya."Kau langsung kesal hanya karena itu? Ck, sensitif sekali.""Berisik!" desisku, pasalnya aku juga mulai mengantuk. "Sekarang giliranmu. Aku butuh tidur."Kini tali kekang sudah berpindah tangan dan aku mula
Aku berjalan menyusuri lorong bersama Gretta menuju ruang kerja Ayah. Ini pertama kalinya aku merasa takut untuk berhadapan dengannya meskipun aku sudah siap dihukum. Napasku tercekat saat pintu ruangan terbuka dan menampakkan sosok pria yang masih sibuk dengan penanya.Tanganku berkeringat ketika aku melangkah masuk. Aku tak berani bersuara sampai ia menyelesaikan tulisannya. Tak lama, pintu kembali ditutup dan kini hanya kami berdua di ruangan. Ayah melirikku sekilas, kemudian melanjutkan tulisannya lagi.Kami terdiam hampir setengah jam dan suasana begitu hening. Aku menghela napas untuk ke sekian kalinya agar rasa gugupku berkurang. Tak kusangka Ayah yang setahuku sok tampan, narsis dan menyebalkan, kini menjelma menjadi sosok Raja yang menakutkan."Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?"Aku lega, akhirnya Ayah memulai percakapan. "Ayah, maafkan aku."Ya, untuk sementara aku hanya bisa mengatakan itu."Tidakkah kau ingin menjelaskan soal semalam?""Itu—" Aku memutar otak untuk memul
Mataku basah ketika aku terbangun dari mimpi. Ada rasa sesak yang menggelayuti batinku. Mimpi itu terasa nyata dan kini aku ketakutan jika itu benar-benar nyata. Setelah mimpi itu, aku tak bisa tidur selama tiga hari berturut-turut hingga kantung mataku sedikit menggelap. Pening bergelayut setiap kali aku mikirkannya, tapi mata ini enggan untuk terlelap. Kami menikmati makan malam seperti biasa dan sesuai dugaanku, Ayah dan Ibu menanyakan keadaanku yang mungkin—terlihat seperti makhluk yang tak pernah tidur berhari-hari. "Akhir-akhir ini kau sering melamun dan lihat matamu! Sudah berapa hari kau tidak tidur?" tegur Ibu tampak cemas. "Aku curiga kalau pernikahanmu itu hasil dari paksaan Putra Mahkota Vainea." Aku menggeleng pelan sambil menyeruput sup. "Bukan itu." "Lalu?" Kini Ayah bertanya. Aku terdiam sejenak dan menatap mereka satu persatu. "Aku...dihantui mimpi aneh," ujarku akhirnya. Mungkin aku memang harus menanyakan hal ini karena kali ini mimpiku melibatkan mereka. "Aku
Aku berdiri menghadap jendela, menatap kereta kuda yang membawa mereka pergi menuju Vainea. Aku sengaja tidak keluar kamar agar mereka tak melihat mataku yang masih sembab. Tak lama, aku segera bergegas mandi dan bersiap menuju perpustakaan kota, berharap menemukan petunjuk lain.Aku berusaha menutupi lingkaran hitam di kantung mata dengan beberapa make up atas bantuan Gretta yang selalu menggerutu dengan kondisi wajahku saat ini. Bahkan ia sempat berniat untuk melaporkan wajah jelekku pada Raja dan Ratu."Hari ini temani aku ke perpustakaan kota."Gretta langsung mengangguk patuh dan mempersiapkan kebutuhanku. Kali ini aku tidak ingin menyamar, jadi aku meminta kereta kuda lengkap dengan beberapa pengawal untuk mendampingiku. Energiku seperti terkuras habis karena terlalu memikirkan apa yang baru saja kuketahui.Tak butuh waktu lama untuk sampai di sebuah bangunan megah dengan aroma kertas yang menyeruak. Suara gemerisik lembaran-lembaran buku menggambarkan suasana tenang di antara b
"Aleea. Seberapa penting posisinya di sisi Raja Zealda sampai-sampai beliau tak menyadari bahwa orang itu adaah mata-mata?" tanyaku dalam hati sambil menutup lembaran terakhir buku yang kubaca. Kuremas rambutku dengan pening bergelayut di kepala. Ingin rasanya menjerit agar beban berat di benakku terlepas. Mungkin seharusnya kuabaikan saja masalah ini, tapi hatiku yang tidak tenang membuatku terus dihantui rasa penasaran dengan masa laluku. Anehnya, apa yang tertulis di buku ini, sangat masuk akal dengan apa yang dikatakan tahanan itu. Jika itu memang benar, kenapa Raja dan Ratu merahasiakan semua ini dariku. Aku benar-benar mencemaskan asal-usulku. Meskipun Ayah dan Ibu tidak mengatakannya langsung, tapi bagaimana kalau semua yang kuselidiki ini ternyata benar? Jika aku memang putri Erick dan Valen, kenapa mereka mau merawatku? Apa untuk menebus kesalahan mereka karena telah membunuh Ibuku? Apakah semua gambaran masa lalu yang kulihat di mimpi itu benar? Aku meletakkan kepala di
Keesokan harinya, aku benar-benar dikirim ke Vainea untuk mempersiapkan pernikahanku besok. Sepanjang perjalanan aku hanya duduk termenung dengan pikiran kosong. Kejadian tadi malam begitu mengusik hingga aku lelah. Malam setelah aku kembali bersama Ibu, Ayah tak banyak berkomentar. Bahkan hingga tadi pagi pun dia masih bersikap dingin padaku. Aku tak tahu, apa hubunganku dengan Ayah akan membaik? Bahkan niatku yang ingin meminta maaf padanya menjadi luntur dengan sikapnya hari ini. "Aku ini...benar-benar tak tahu terima kasih ya?" gumamku pada diri sendiri. Menanyakan hal yang sudah seharusnya menjadi penilaianku sambil sesekali mencemooh diri sendiri. "Aku tak menyangka akan pergi dari Axylon secepat ini dalam situasi seperti ini. Apa mereka akan merindukanku?" Semua prasangka buruk bersatu untuk menakutiku sampai aku tak berani memikirkan apa pun. Rasa sayangku pada mereka begitu besar dan tulus, tapi aku justru takut jika mereka—memang menjadikanku sebagai alat penebus dosa pad
Aku berdiri menatap gaun yang membalut tubuh, begitu suci dalam nuansa sakral yang semerbak. Aku termenung sejenak, tak tahu bagaimana untuk menghadapi hari ini.Kutatap goresan di telapak tangan dengan rasa sedikit kecewa dan gundah atas kebodohanku. Azura sendiri menganggap pernikahan ini adalah suatu pengorbanan, lalu bagaimana denganku?"Nona?"Aku langsung berbalik arah untuk melihat sosok yang tadi memanggilku. Dia adalah Gretta, melihatnya membuatku langsung menghampirinya dengan cemas"Kenapa kau di sini? Bagaimana dengan kondisimu? Wajamu masih pucat," semburku sambil mengecek suhu tubuhnya yang masih sedikit tinggi, tapi terlihat mulai membaik."Saya sudah tidak apa-apa, Nona. Syukurlah, Yang Mulia Raja dan Ratu mengijinkan saya untuk datang kemari.""Bagaimana kau bisa seceroboh itu? Axylon dan Vainea jaraknya lumayan jauh dan kau pergi dengan kondisi seperti ini?" Aku menarik Gretta untuk duduk dan menuang secangkir teh untuknya. "Minumlah, ini akan membuatmu sedikit lebih
Aku masih menatap wajah itu, begitu rupawan dengan raut tegas yang memudar. Entah untuk berapa lama aku terlelap dan saat aku membuka mata, wajah ini lah yang pertama kali kulihat. Mata kami bertemu dalam keheningan yang mencabik. Tak lama, tatapannya meredup dan teduh dengan senyum setipis kapas."Jangan paksakan dirimu untuk membuka mata," ujarnya."Apa saya sudah mati?" tanyaku spontan. "Melihat anda dan disentuh oleh anda, rasanya seperti saya sudah menyeberangi dunia yang sangat jauh.""Kau tetap pada duniamu, hanya aku saja yang tak bisa beranjak darimu.""Jadi...saya belum mati?"Ia menggeleng lembut dan menatapku serius. "Kau akan segera pulih, jadi jangan khawatir."Aku terdiam dan menatap sekeliling. Tak ada yang bisa kulihat melainkan dunia dengan warna putih tanpa benda apa pun layaknya ruang cahaya tanpa bayangan. Aku juga yakin kalau tubuhku terbaring di pangkuannya dalam keadaan melayang, tak ada gravitasi yang mengusikku."Apa ini tempat tinggal anda sekarang?""Aku ti
Halo salam kenal, saya Indah Riera. Shirea series merupakan karya pertama saya di Goodnovel. Makasih banyak udah mengikuti kisah ini sampai book 2 dan makasih banyak juga buat supportnya selama ini. Semoga kisah ini bisa selalu dinikmati oleh pecinta genre fantasi bertema kerajaan. Jangan lupa bintangnya supaya karya ini tidak tenggelam hehe.. ^^ Karya yang akan publish berikutnya adalah kisah Pangeran dari kerajaan Vainea yang bernama Rein (anak dari Selena dan Azura). Di epilog kisah ini sendiri timeline-nya sudah 15 tahun kemudian, yang berarti dua tokoh kesayangan kita di sini sudah tiada (janji ga nangis ya) dan untuk (couple bocil) Pangeran Hans dan Putri Helena pun akhirnya mereka sama-sama sudah dewasa, begitu pun dengan Putri Erina yang udah jadi penasehatnya Rein di istana. Rein sendiri juga memiliki masalah hidup yang berat seperti orang tuanya. Penasaran? Yukk nantikan Shirea book 3 yang berujudul REIN. Sampai jumpa lagi.. ^^
___15 Tahun kemudian___ ---KERAJAAN AXYLON--- Seorang gadis duduk di kursi rias dengan pipi bersemu. Ditatapnya cincin berlian yang melingkar di jemari manisnya dengan senyum berseri. Gaun indah menjuntai begitu menawan, senada dengan nuansa suci yang tengah diadakan. Bayangan saat pernikahan benar-benar membuat hatinya berbunga dengan rona malu yang menggelikan. Tak disangka jika dirinya kini telah menjadi milik pria yang selama ini menemaninya. "Yang Mulia, sudah waktunya untuk berganti pakaian. Sebentar lagi acara penobatan akan dimulai," ujar pelayan setia si wanita yang sudah menemaninya selama ini. "Ya," sahutnya dan segera berdiri untuk berganti pakaian. "Nyonya Loretta, menurutmu ... apa dulu Kak Selena merasa gugup sepertiku?" Loretta terkekeh sejenak, membayangkan tingkah mantan tuannya yang gugup dengan perilaku lucu. "Jika Anda tahu, Anda pasti tertawa. Beliau sama sekali tidak bisa diam selama dirias dan banyak protes dengan penampilannya. Mungkin beliau ingin tampil
Untukmu, Rajaku.Tak ada masa terindah dalam hidupku selain waktu yang kulalui bersamamu. Tak ada hal yang lebih manis selain saat kita berbagi rasa di bawah naungan asa.Jika saja kau tahu bagaimana aku begitu takut kehilanganmu. Jika saja kau tahu bahwa takdir itu terus menghantuiku, apa kau akan tetap pergi dari pandanganku?Saat aku tahu bahwa semua keindahan itu hanya sebuah ilusi, hatiku menjerit dan membangkitkan sebutir ambisi.Untukmu, Rajaku.Aku tahu bahwa aku tak lagi bernapas untukmu, tapi semua rasa itu masih tertinggal layaknya jelaga dingin yang tak rela beranjak dari tempatnya.Namun, aku tak tahu apa perasaan itu akan pergi dari hatimu seiring kepergianku? Begitu menyakitkan saat membayangkan bagaimana aku harus hidup tanpa cintamu, tanpa mendengar kalimat posesif darimu dan juga pelukan hangatmu.Untukmu, Rajaku.Pada akhirnya ... semua telah berakhir seperti yang diinginkan oleh takdir. Kini aku berdiri di baris kematian bersama keputus-asaan. Ini lah saat yang pal
Keesokan harinya, aku duduk di meja rapat bersama para petinggi Axylon. Aku juga sudah menyampaikan kabar perang yang akan dilaksanakan lusa. Sesuai dugaan, mereka memberiku kritik tanpa ampun. Pasalnya, Axylon baru saja pulih dan sekarang akan perang lagi.Aku bisa membaca wajah-wajah cemas mereka, bahkan ada yang menggelengkan kepala dengan apa yang terjadi. Namun, yang bisa kulakukan hanya lah memberi penegasan terhadap perang ini.Selain itu, aku juga sudah mengirim utusan untuk meminta bantuan militer dari Keylion dan Axiandra, sesuai perjanjian kerja sama yang sudah disepakati."Apa kali ini perlu menghancurkan sebagian wilayah seperti waktu itu?" tanya Tuan Malory. "Jika menggunakan metode yang sama, kali ini akan lebih sulit mengingat ini sudah masuk musim dingin. Lingkungan bersalju takan menguntungkan untuk menyalakan api.""Tidak. Kali ini, kita akan benar-benar bertempur di perbatasan. Pasukan tambahan dari Keylion dan Axiandra seharusnya sudah cukup membantu untuk membend
Aku membuka perkamen yang baru saja dikirim dari Axylon, berisi—laporan perkembangan di sana. Kini Axylon sudah benar-benar pulih dan semua bala bantuan dari luar sudah dihentikan secara resmi setelah semua kembali seperti semula. Aku menghela lega, juga—rindu kampung halaman. Rasanya ingin kembali ke sana untuk melihatnya langsung, tapi posisiku saat ini sangat sulit untuk keluar dari Vainea. Azura takan setuju jika aku pergi ke Axylon. Kuteguk tehku untuk kesekian kali dengan pikiran tenang. Semenjak malam itu, hidup kami baik-baik saja dan—semakin mesra. Satu minggu telah terlewati dengan begitu indah sampai-sampai aku merasa takut jika semua kebahagiaan ini akan membuatku lengah dan menjadi awal yang buruk. "Yang Mulia." Nyonya Dhea datang dengan santun, tapi wajahnya terlihat tegang. "Yang Mulia Raja memanggil Anda untuk datang ke ruang kerjanya." "Oh, baiklah. Aku akan ke sana," sahutku, sembari membereskan perkamen di tangan. Dalam hati aku bertanya, mengapa dia memanggil
Aku membuka mata perlahan. Pelupuk mataku terasa berat hingga aku harus mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan keadaan. Sepasang tangan sudah menggenggam tanganku erat, disusul belaian lembut yang menenangkan. "Azura," lirihku, melihat sosok yang duduk di samping ranjang. Azura tak menjawab, tetapi ia mengecup tanganku begitu lama. Tatapannya sangat antusias melihatku siuman, juga—kesedihan yang tak luput dari tatapannya. "Akhirnya kau siuman," ujarnya antusias dengan wajah sendu. "Maafkan aku, Selena. Aku tak bisa menepati ucapanku untuk menjagamu, tolong hukum aku." "Kau ... sudah mendapat hukumannya," sahutku lemah, mengingat percakapan dua anak itu. "Kau memang sedang dihukum, Azura. Bukan, lebih tepatnya ... kita." "Apa maksudmu?" Azura menyondongkan tubuhnya ke depan dan menatapku lekat. "Tidak. Bukan apa-apa," jawabku gelisah. Tak lama, seorang tabib wanita datang dan mengecek kondisiku. Raut wajahnya menujukkan ekspresi lega, kemudian bebrapa pelayan juga datang untu
"Aku sudah di ambang batas, Selena," gumamnya menggema. Itu—suara pangeran Erick. "Mungkin ini untuk terakhir kalinya aku bisa menolongmu. Setelah itu, jiwa tua ini akan segera lenyap."Sepasang tangan merengkuhku dari belakang dan mataku masih terpejam. Namun, aku tahu sedang berada di dunia lain.Entah mengapa, tubuh yang mendekapku begitu besar layaknya orang dewasa yang sedang memeluk anak kecil. Tangan itu begitu hangat dan membuatku nyaman. Aku bisa merasakan napasnya yang menghela saat pelukannya semakin erat."Yang Mulia," lirihku. "Maaf sudah melanggar ucapanku. Padahal aku sudah mengatakan kalau aku takan merepotkanmu lagi.""Alasanku masih berada di dunia ini karena aku memang ingin melindungi Ibumu awalnya, tapi takdir berubah dan kini melindungimu adalah tugasku. Kau tak perlu minta maaf, tapi sekarang mungkin ... ini terakhir kalinya kita bersama," sahutnya, kali ini berbisik tepat di telingaku seolah-olah tak ada jarak di antara kami."Kau akan pergi?" tanyaku. Rasa sed
Aku berdiri di depan istana, menatap rombongan Azura yang pergi membawa 50 pengawal untuk perjalanannya. Kali ini, aku sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi suasana canggung yang dingin.Aku segera menuju ruang kerja, tapi dicegat oleh salah satu suruhanku yang bertuga memata-matai Tryenthee. Segera kuajak ia ke ruang kerja untuk memberi informasi dan pastinya—agar Lucia tidak tahu mengenai hal ini."Katakan padaku, apa yang terjadi di sana?" tanyaku, setelah kami duduk berhadapan di ruang rapat dengan wajah serius."Saat ini Tryenthee sedang dalam keadaan sedikit kacau, Yang Mulia. Terjadi perang saudara dan beberapa perselisihan antar Pangeran yang menjadi penguasa di beberapa wilayah," jawabnya. "Seperti yang Anda tahu, setiap Pangeran di beri wewenang untuk menjadi kepala wilayah di kota-kota besar. Juga, memang terjadi beberapa keributan yang katanya ... ada beberapa kesenjangan di antara mereka.""Selain itu?""Saya tak sengaja mendengar bahwa Raja Tryenthee kini tengah disi
"Azura, bisakah aku tetap tinggal di sini?" pintaku merajuk. Ia menggeleng tegas. "Tidak. Kau harus dalam pengawasanku setiap waktu." Aku hanya berdiri dengan pasrah saat melihat beberapa pelayan pria membawa barang-barangku dan memindahkannya ke mansion Raja. Ya, meski tujuannya agar aku aman dalam pengawasannya, tapi—keberadaan Lucia di sana pastinya akan membuat situasiku canggung. Aku terpaksa harus memakai topeng lagi setiap hari saat bertemu dengannya. "Mulai hari ini, pekerjaanmu biar aku yang menyelesaikannya. Kau tidak boleh terlalu lelah." Azura memasukkan semua berkas-berkasku ke dalam peti besar, lalu meminta pelayan pria untuk membawanya. "Aku akan mengadakan rapat dengan para petinggi, kau bisa masuk ke mansion duluan." Ia mengecup keningku lalu melengos pergi. Bisa kurasakan suasana hatinya sedang membaik. Kuhela napas panjang saat kami berpisah ke bangunan yang berbeda. Kulihat Lucia berdiri di balkon dan menatapku dengan wajah datar. Mata kami bertemu, tapi aku