“Jadi kamu benar-benar diantar pulang sama si tuan muda?” Friska tidak menyangka seorang Julian mau mengantar sekretarisnya pulang. “Iya, Kak. Nggak cuma itu, aku dapat bonus dua juta dari hasil bantuin dia lembur.” Ruby tersenyum mengingat saldo rekening nya sudah bertambah. “Untung banyak dong kamu hari ini? Udah dapat bonus sebanyak itu, pulang dianterin nggak perlu keluar duit buat ongkos lagi, dan sekarang makan juga numpang sama aku.” Ana membicarakan keberuntungan yang didapatkan oleh Ruby. “Banget, Ana. Tuan Julian itu nggak cuma nyebelin aja, kalau lagi kepepet kayak tadi ternyata dia juga gampang dimanfaatin.” Ruby merasa dialah yang menjadi bos hari ini. “Kalau aja Tuan Julian suka kamu, gimana?” Mendadak Friska memikirkan hal yang satu ini. Sikap Julian terhadap Ruby itu sangat berbeda, siapa tau saja Julian benar-benar tertarik pada sekretarisnya sendiri. “Aku yang nggak mau, Kak. Meskipun si tuan muda itu ganteng dan kaya
Beberapa hari setelah pertemuan dengan klien, Ruby mulai menyadari perubahan dalam cara Julian memperlakukannya. Tidak ada lagi godaan sembrono atau lelucon menggoda yang biasa pria itu lontarkan. Sebaliknya, Julian tampak lebih serius, lebih fokus, dan—anehnya—lebih perhatian daripada biasanya.Bukan berarti Julian berhenti menjadi pria menyebalkan yang selalu menyulitkan hidupnya. Tidak. Dia masih Julian yang sama—sombong, percaya diri, dan selalu tahu cara membuat Ruby kesal. Tapi ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional.Hari itu, Ruby baru saja menyelesaikan laporan penting ketika suara ketukan di pintunya terdengar."Masuk," katanya tanpa melihat siapa yang datang.Julian masuk dengan langkah santai, tetapi kali ini tanpa senyum khasnya. Ruby langsung tahu ada sesuatu yang serius."Ada apa?" tanyanya, meletakkan berkas yang sedang ia baca.Julian menghela napas sebelum duduk di kursi di depan mejanya. "Aku baru saja da
Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Julian menatapnya sebentar sebelum mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana cara membuat bubur?"Ruby tertawal. "Serius?""Aku tidak sering memasak," jawab Julian santai.Ruby tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya melihat Julian yang dengan susah payah mencoba membuat bubur saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Beberapa hari setelah Ruby sembuh, Julian menjemputnya sepulang kerja."Aku tidak ingat punya janji denganmu," kata Ruby sambil menaikkan satu alis.Julian menyalakan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. "Anggap saja ini kompensasi karena aku sudah merawatmu saat sakit."Ruby mengerutkan dahi. "Kompensasi? Aku bahkan tidak memintamu datang.""Tapi aku tetap melakukannya," kata Julian dengan santai. "Jadi, sebagai balasannya, kau harus makan malam denganku."Ruby ingin membalas, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.Mereka akhirnya pergi ke sebuah restoran kecil di pinggi
Julian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta.Masalahnya? Ia tidak tahu bagaim
"Mati gue mati, hari pertama kerja bisa-bisanya gue langsung telat." Ruby berjalan tergesa keluar dari kontrakan sepetak yang menjadi tempat tinggalnya sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Dia jadi tidak bisa berdandan dengan benar akibat bangun kesiangan padahal hari ini baru hari pertamanya bekerja.Bahkan mengunci pintu kontrakan saja, tangannya sampai bergetar. "Kamu baru akan berangkat, Ruby? Ini udah jam sembilan dan itu artinya kamu udah bikin kesalahan fatal di hari pertama kerja," celoteh Ana, anak pemilik kontrakan. Ruby dan Ana lumayan dekat selama Ruby mengontrak di sini karena mereka yang seumuran dan dulunya satu sekolah waktu SMA. "Iya, aku udah telat banget. Kenapa kamu nggak bangunin aku tadi?" balas Ruby sangat panik. "Aku berangkat dulu, bey Ana!" Ruby langsung berpamitan tanpa membiarkan Ana menyahut kalimatnya tadi. "Semoga kamu nggak dalam masalah," lrih Ana sambil melihat Ruby yang pergi sambil berlari. "Kasian dia," gumam Ana. Ruby berjalan cepa
Ruby menatap kesal lelaki di depannya. "Awalnya saya mau berterima kasih, tapi karena Anda terlalu arogan saya jadi nggak jadi makasih nya. Sok mau nolong tapi ternyata malah mau menghina." Dia paling tidak suka jika dirinya dihina seperti ini, meskipun orang miskin yang yatim piatu. Ruby merasa dirinya masih punya harga diri yang harus dia pertahankan. "Dasar cewek gila, sudah ditolong tapi malah sewot. Saya jadi nyesel sudah menolong kamu." Lelaki itu menatap Ruby tak kalah sinis. Keduanya saling tatap dengan tatapan tajam masing-masing. Wajah keduanya sama-sama memerah mana marah di dalam dada masing-masing. Bruuk .... "Aduh!" Ruby hampir saja terjatuh saat ditabrak oleh salah satu mahasiswa tawuran yang sedangkan menghindar dari polisi. Mungkin orang-orang sudah ada yang memanggil polisi untuk mengamankan kekacauan akibat ulah mahasiswa yang sedang tawuran ini. Situasi di sini memang benar-benar kacau, bahkan ada beberapa gerobak pedagang yang sudah terjatuh dan barang d
Julian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta.Masalahnya? Ia tidak tahu bagaim
Julian menatapnya sebentar sebelum mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana cara membuat bubur?"Ruby tertawal. "Serius?""Aku tidak sering memasak," jawab Julian santai.Ruby tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya melihat Julian yang dengan susah payah mencoba membuat bubur saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Beberapa hari setelah Ruby sembuh, Julian menjemputnya sepulang kerja."Aku tidak ingat punya janji denganmu," kata Ruby sambil menaikkan satu alis.Julian menyalakan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. "Anggap saja ini kompensasi karena aku sudah merawatmu saat sakit."Ruby mengerutkan dahi. "Kompensasi? Aku bahkan tidak memintamu datang.""Tapi aku tetap melakukannya," kata Julian dengan santai. "Jadi, sebagai balasannya, kau harus makan malam denganku."Ruby ingin membalas, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.Mereka akhirnya pergi ke sebuah restoran kecil di pinggi
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik
Beberapa hari setelah pertemuan dengan klien, Ruby mulai menyadari perubahan dalam cara Julian memperlakukannya. Tidak ada lagi godaan sembrono atau lelucon menggoda yang biasa pria itu lontarkan. Sebaliknya, Julian tampak lebih serius, lebih fokus, dan—anehnya—lebih perhatian daripada biasanya.Bukan berarti Julian berhenti menjadi pria menyebalkan yang selalu menyulitkan hidupnya. Tidak. Dia masih Julian yang sama—sombong, percaya diri, dan selalu tahu cara membuat Ruby kesal. Tapi ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional.Hari itu, Ruby baru saja menyelesaikan laporan penting ketika suara ketukan di pintunya terdengar."Masuk," katanya tanpa melihat siapa yang datang.Julian masuk dengan langkah santai, tetapi kali ini tanpa senyum khasnya. Ruby langsung tahu ada sesuatu yang serius."Ada apa?" tanyanya, meletakkan berkas yang sedang ia baca.Julian menghela napas sebelum duduk di kursi di depan mejanya. "Aku baru saja da
“Jadi kamu benar-benar diantar pulang sama si tuan muda?” Friska tidak menyangka seorang Julian mau mengantar sekretarisnya pulang. “Iya, Kak. Nggak cuma itu, aku dapat bonus dua juta dari hasil bantuin dia lembur.” Ruby tersenyum mengingat saldo rekening nya sudah bertambah. “Untung banyak dong kamu hari ini? Udah dapat bonus sebanyak itu, pulang dianterin nggak perlu keluar duit buat ongkos lagi, dan sekarang makan juga numpang sama aku.” Ana membicarakan keberuntungan yang didapatkan oleh Ruby. “Banget, Ana. Tuan Julian itu nggak cuma nyebelin aja, kalau lagi kepepet kayak tadi ternyata dia juga gampang dimanfaatin.” Ruby merasa dialah yang menjadi bos hari ini. “Kalau aja Tuan Julian suka kamu, gimana?” Mendadak Friska memikirkan hal yang satu ini. Sikap Julian terhadap Ruby itu sangat berbeda, siapa tau saja Julian benar-benar tertarik pada sekretarisnya sendiri. “Aku yang nggak mau, Kak. Meskipun si tuan muda itu ganteng dan kaya
"loh, Ruby kamu mau ke mana? Bukannya Kamu baru pulang ya?" tanya Ana. Ana yang sejak tadi duduk di depan kontrakan sepetaknya jelas melihat Ruby pulang diantar oleh mobil mewah dan sekarang Ruby sudah hendak keluar lagi. "Ternyata di dalam nggak ada yang bisa dimakan sama sekali, Na. Aku mau keluar cari makan dulu, bodohnya lagi pasti jalan tadi aku nggak mampir beli makan dulu di jalan," jawab Ruby."Kebetulan banget kalau gitu, tadi pas mau pulang kerja ternyata makanannya banyak yang kelebihan. bos aku nawarin buat aku bawa pulang aja beberapa menu makanan, makan di tempat aku aja. Aku nggak mungkin bisa habisin makanan sebanyak itu sendirian." Ana mengajak Ruby untuk makan di tempatnya.Ana ini bekerja di salah satu cafe yang tidak jauh dari kontrakan ini. Ana memang sering membawa banyak makanan dari cafe karena Ana mendapatkan atasan yang sangat baik padanya."Pas banget kalau gitu, sebenarnya aku juga males keluar lagi." Ruby tidak mungkin menolak rezeki.
“Betah banget sih pegang tangan saya, tangan saya bikin nyaman ya, Tuan Muda.” Ruby melirik Julian lalu menatap tangannya yang digenggam si Julian. Julian buru-buru menarik tangannya, Julian menelan ludah karena salah tingkah. Semua itu hanya spontan, jujur saja Julian tidak ada niatan untuk memegang tangan Ruby meskipun rasanya tangan Ruby itu menang hangat. “Maaf saya nggak sengaja, kamu harus bantuin saya.” Julian duduk lagi di atas kursi kebesarannya. “Sengaja juga nggak apa-apa tuh, Tuan Muda.” Ruby mengedipkan sebelah matanya, Ruby senang sekali melihat wajah Julian yang memerah. Bukan karena Ruby suka Julian, Ruby hanya merasa puas melihat Julian gugup seperti sekarang. “Saya mau bantuin asalkan sesuai perjanjian tadi, Tuan Muda. Dua juta harus masuk ke dalam rekening saya setelah semua pekerjaan selesai.” Ruby memastikan kesepakatan terlebih dahulu. “Jangan banyak bicara lagi, uang dua juta hanya kecil bagi saya.” Julian tidak
Saat sampai di ruangannya pun, Ruby masih memikirkan Julian yang bisa dengan mudah mengubah-ubah sikapnya. Kalau berpikir Julian itu punya kepribadian ganda, sepertinya itu terlalu berlebihan. Ruby tidak bisa terlalu fokus pada pekerjaannya gara-gara Julian yang menunjukkan sikap yang berbeda padanya dan pada orang lain. ‘Andai aja si tuan muda arogant itu juga dingin sama aku, pasti aku akan bekerja dengan tenang tanpa gangguan si bos tengil,’ celoteh Ruby dalam hati. Ruby selalu saja merasa kesal setiap ingat dengan betapa tengilnya kelakuan atasannya sendiri. “Aku harus tanya Sola ini ke Kak Friska saat pulang dari kantor nanti.” Ruby menganggukkan kepalanya, Ruby rasa dengan bertanya pada Friska adalah ide yang paling baik. Sedangkan di sisi lain, Julian sedang uring-uringan karena pekerjaannya yang tidak kunjung selesai padahal Julian sudah ada janji makan malam bersama dengan Fagas dan Marvel