Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Julian menatapnya sebentar sebelum mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana cara membuat bubur?"Ruby tertawal. "Serius?""Aku tidak sering memasak," jawab Julian santai.Ruby tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya melihat Julian yang dengan susah payah mencoba membuat bubur saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Beberapa hari setelah Ruby sembuh, Julian menjemputnya sepulang kerja."Aku tidak ingat punya janji denganmu," kata Ruby sambil menaikkan satu alis.Julian menyalakan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. "Anggap saja ini kompensasi karena aku sudah merawatmu saat sakit."Ruby mengerutkan dahi. "Kompensasi? Aku bahkan tidak memintamu datang.""Tapi aku tetap melakukannya," kata Julian dengan santai. "Jadi, sebagai balasannya, kau harus makan malam denganku."Ruby ingin membalas, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.Mereka akhirnya pergi ke sebuah restoran kecil di pinggi
Julian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta.Masalahnya? Ia tidak tahu bagaim
Hari itu, Ruby terpaksa mengambil cuti karena demam tinggi. Ia berpikir bisa tidur seharian dan bangun dengan keadaan lebih baik. Tapi rencananya buyar ketika pintu apartemennya diketuk keras.Dengan langkah malas, Ruby menyeret tubuhnya yang lemah ke pintu dan membukanya, hanya untuk menemukan Julian berdiri di sana dengan kantong belanjaan di tangan."Julian?" Suaranya serak. "Apa yang kau lakukan di sini?"Julian masuk begitu saja, melewati Ruby seolah ini rumahnya sendiri. "Kau sakit. Aku datang untuk memastikan kau tidak mati sendirian."Ruby mendengus. "Dramatis sekali."Julian meletakkan kantong belanjaannya di meja dapur, lalu mulai mengeluarkan isinya—obat, bubur instan, dan sekotak es krim."Siapa yang bilang kau bisa masuk?" Ruby bersedekap di ambang pintu, mencoba terlihat marah meskipun dalam hati ia merasa sedikit tersentuh.Julian menoleh dengan ekspresi datar. "Aku tidak butuh izin.""Kau tahu it
Setelah hari yang panjang di kantor, Julian dan Ruby akhirnya kembali ke rumah. Ruby masih tenggelam dalam pikirannya. Sejak pertemuan dengan Friska, ia merasa pikirannya semakin kacau. Apalagi, pertanyaan tentang anak terus terngiang di kepalanya. Julian memperhatikan istrinya yang tampak murung sejak perjalanan pulang tadi. Setelah menggantung jasnya dan melepaskan dasinya, ia berjalan mendekati Ruby yang sedang duduk di sofa, melamun. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sebelah Ruby. Ruby menghela napas, menatap tangannya sendiri. “Aku hanya… merasa tidak yakin.” Julian mengangkat alis. “Tidak yakin soal apa?” Ruby menoleh menatapnya dengan serius. “Soal punya anak.” Julian terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku tahu kau merasa belum siap, tapi bukankah kau pernah bilang kalau suatu hari nanti kau ingin punya keluarga kecil?” Ruby menggigit bibirnya. “Iya, tapi aku juga takut. Bagaimana kalau aku bukan ibu yang baik? Bagaimana kalau aku gagal
Seiring berjalannya waktu, Julian semakin memperhatikan setiap hal kecil yang dilakukan Ruby. Ia memastikan Ruby makan dengan benar, tidak terlalu banyak bekerja, dan bahkan mulai mencari informasi tentang kehamilan.Suatu malam, Ruby menemukan Julian sedang membaca artikel di ponselnya.“Apa yang kau baca?” tanyanya sambil duduk di sebelah suaminya.Julian dengan santai menunjukkan layar ponselnya. “Tentang kehamilan dan cara mendukung istri selama prosesnya.”Ruby menatapnya dengan tak percaya. “Serius?”Julian mengangguk dengan santai. “Tentu saja. Aku ingin memastikan aku bisa menjadi suami yang baik.”Ruby tertawa kecil. “Kau benar-benar mempersiapkan diri, ya?”Julian tersenyum. “Tentu saja. Ini bukan hanya tentang kau. Aku juga ingin menjadi ayah yang baik.”Ruby terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih.”Julian meraih tangan Ruby dan menggenggamnya erat. “Kita melakukannya
Setelah beberapa hari penuh emosi dan kejutan, Ruby dan Julian akhirnya kembali ke rutinitas mereka di kantor. Meskipun Ruby berusaha bekerja seperti biasa, Julian tidak bisa menahan diri untuk terus memperhatikannya.Saat mereka tiba di kantor, Julian berjalan di samping Ruby dengan ekspresi protektif yang jelas. “Kau yakin tidak mau aku membawakan tasmu?” tanyanya, melirik tas kerja Ruby yang tidak terlalu besar.Ruby mendesah. “Jul, aku masih bisa membawa tasku sendiri. Aku hamil, bukan sakit.”Julian terkekeh. “Baiklah, baiklah. Tapi kalau kau butuh sesuatu, beri tahu aku, oke?”Ruby memutar matanya sambil tersenyum. “Iya, Tuan Protektif.”Begitu mereka masuk ke kantor, beberapa rekan kerja mereka langsung menyapa. Beberapa orang tampak menyadari sesuatu yang berbeda dari Ruby, tetapi tidak ada yang bertanya langsung.Saat Ruby sedang fokus membaca laporan di mejanya, Julian muncul dengan secangkir teh hangat.“Kau tidak minum kopi lagi, jadi aku bawakan teh,” katanya sambil melet
Beberapa saat kemudian, Julian kembali datang dengan membawa sekotak kecil.“Apa itu?” tanya Ruby sambil menatap kotak di tangan suaminya.Julian meletakkan kotak itu di meja Ruby. “Makanan sehat. Aku memintanya khusus untukmu.”Ruby menghela napas. “Jul, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu repot-repot seperti ini setiap saat.”Julian menatapnya dengan ekspresi datar. “Aku ingin memastikan kau mendapatkan asupan nutrisi yang cukup.”Ruby menatap suaminya, lalu akhirnya membuka kotak itu. Isinya adalah camilan sehat yang terlihat menggugah selera.“Baiklah,” katanya, mengambil satu potong buah dan mulai memakannya.Julian mengangguk puas. “Bagus.”Ruby menatap Julian dengan penuh rasa sayang. Ia tahu pria itu sangat peduli padanya dan calon bayi mereka.Momen Tak TerdugaMalam itu, setelah seharian bekerja, Ruby duduk di sofa sambil membaca buku tentang kehamilan. Julian duduk di sebelahnya
Setelah beberapa hari penuh emosi dan kejutan, Ruby dan Julian akhirnya kembali ke rutinitas mereka di kantor. Meskipun Ruby berusaha bekerja seperti biasa, Julian tidak bisa menahan diri untuk terus memperhatikannya.Saat mereka tiba di kantor, Julian berjalan di samping Ruby dengan ekspresi protektif yang jelas. “Kau yakin tidak mau aku membawakan tasmu?” tanyanya, melirik tas kerja Ruby yang tidak terlalu besar.Ruby mendesah. “Jul, aku masih bisa membawa tasku sendiri. Aku hamil, bukan sakit.”Julian terkekeh. “Baiklah, baiklah. Tapi kalau kau butuh sesuatu, beri tahu aku, oke?”Ruby memutar matanya sambil tersenyum. “Iya, Tuan Protektif.”Begitu mereka masuk ke kantor, beberapa rekan kerja mereka langsung menyapa. Beberapa orang tampak menyadari sesuatu yang berbeda dari Ruby, tetapi tidak ada yang bertanya langsung.Saat Ruby sedang fokus membaca laporan di mejanya, Julian muncul dengan secangkir teh hangat.“Kau tidak minum kopi lagi, jadi aku bawakan teh,” katanya sambil melet
Seiring berjalannya waktu, Julian semakin memperhatikan setiap hal kecil yang dilakukan Ruby. Ia memastikan Ruby makan dengan benar, tidak terlalu banyak bekerja, dan bahkan mulai mencari informasi tentang kehamilan.Suatu malam, Ruby menemukan Julian sedang membaca artikel di ponselnya.“Apa yang kau baca?” tanyanya sambil duduk di sebelah suaminya.Julian dengan santai menunjukkan layar ponselnya. “Tentang kehamilan dan cara mendukung istri selama prosesnya.”Ruby menatapnya dengan tak percaya. “Serius?”Julian mengangguk dengan santai. “Tentu saja. Aku ingin memastikan aku bisa menjadi suami yang baik.”Ruby tertawa kecil. “Kau benar-benar mempersiapkan diri, ya?”Julian tersenyum. “Tentu saja. Ini bukan hanya tentang kau. Aku juga ingin menjadi ayah yang baik.”Ruby terdiam sejenak, lalu tersenyum lembut. “Terima kasih.”Julian meraih tangan Ruby dan menggenggamnya erat. “Kita melakukannya
Setelah hari yang panjang di kantor, Julian dan Ruby akhirnya kembali ke rumah. Ruby masih tenggelam dalam pikirannya. Sejak pertemuan dengan Friska, ia merasa pikirannya semakin kacau. Apalagi, pertanyaan tentang anak terus terngiang di kepalanya. Julian memperhatikan istrinya yang tampak murung sejak perjalanan pulang tadi. Setelah menggantung jasnya dan melepaskan dasinya, ia berjalan mendekati Ruby yang sedang duduk di sofa, melamun. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanyanya sambil duduk di sebelah Ruby. Ruby menghela napas, menatap tangannya sendiri. “Aku hanya… merasa tidak yakin.” Julian mengangkat alis. “Tidak yakin soal apa?” Ruby menoleh menatapnya dengan serius. “Soal punya anak.” Julian terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Aku tahu kau merasa belum siap, tapi bukankah kau pernah bilang kalau suatu hari nanti kau ingin punya keluarga kecil?” Ruby menggigit bibirnya. “Iya, tapi aku juga takut. Bagaimana kalau aku bukan ibu yang baik? Bagaimana kalau aku gagal
Hari itu, Ruby terpaksa mengambil cuti karena demam tinggi. Ia berpikir bisa tidur seharian dan bangun dengan keadaan lebih baik. Tapi rencananya buyar ketika pintu apartemennya diketuk keras.Dengan langkah malas, Ruby menyeret tubuhnya yang lemah ke pintu dan membukanya, hanya untuk menemukan Julian berdiri di sana dengan kantong belanjaan di tangan."Julian?" Suaranya serak. "Apa yang kau lakukan di sini?"Julian masuk begitu saja, melewati Ruby seolah ini rumahnya sendiri. "Kau sakit. Aku datang untuk memastikan kau tidak mati sendirian."Ruby mendengus. "Dramatis sekali."Julian meletakkan kantong belanjaannya di meja dapur, lalu mulai mengeluarkan isinya—obat, bubur instan, dan sekotak es krim."Siapa yang bilang kau bisa masuk?" Ruby bersedekap di ambang pintu, mencoba terlihat marah meskipun dalam hati ia merasa sedikit tersentuh.Julian menoleh dengan ekspresi datar. "Aku tidak butuh izin.""Kau tahu it
Julian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta.Masalahnya? Ia tidak tahu bagaim
Julian menatapnya sebentar sebelum mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana cara membuat bubur?"Ruby tertawal. "Serius?""Aku tidak sering memasak," jawab Julian santai.Ruby tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya melihat Julian yang dengan susah payah mencoba membuat bubur saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Beberapa hari setelah Ruby sembuh, Julian menjemputnya sepulang kerja."Aku tidak ingat punya janji denganmu," kata Ruby sambil menaikkan satu alis.Julian menyalakan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. "Anggap saja ini kompensasi karena aku sudah merawatmu saat sakit."Ruby mengerutkan dahi. "Kompensasi? Aku bahkan tidak memintamu datang.""Tapi aku tetap melakukannya," kata Julian dengan santai. "Jadi, sebagai balasannya, kau harus makan malam denganku."Ruby ingin membalas, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.Mereka akhirnya pergi ke sebuah restoran kecil di pinggi
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik