Tidak seperti hari sebelumnya, pagi ini Ruby bangun lebih awal. Sebelum berangkat bekerja, Ruby memakan dua potong roti untuk sarapan pagi ini.
Ruby harus mulai berhemat karena tanggal gajian masih lama. “Aku pasti bisa makan makanan enak kalau udah gajian. Aku penasaran, kira-kira berapa ya gajinya sekretaris CEO? Apa bisa buat angkat derajat aku?” Ruby senyum-senyum sendiri sambil memakan roti rasa srikaya itu. Itu loh, roti dua ribuan yang selesainya berlimpah dan rasanya enak. Roti ini sering menjadi sasaran Ruby kalau keuangannya sudah menipis. Selesai sarapan, Ruby keluar dari kontrakan lalu berjalan kaki menuju jalan raya. Di sana juga sudah ada ojek yang menunggu Ruby. “Tujuannya sesuai dengan aplikasi kan, Mbak?” tanya si ojol. “Iya, Pak,” jawab Ruby. Kali ini tidak ada drama motor mogok atau ada tawuran di jalanan. Ruby tiba di kantor setengah jam sebelum mulai bekerja. “Nah, gini dong. Kalau datengnya lebih lagi kan lo bisa lebih santai juga.” Friska tersenyum puas melihat Ruby sudah ada parkiran kantor. Friska sangat puas seperti berasa telah berhasil mendidik anak sendiri. “Aku nggak mungkin mengulangi kesalahan yang sama, Kak. Lagian aku mau kerja yang rajin supaya bisa ngumpulin duit yang banyak, seenggaknya sampai punya tempat tinggal sendiri.” Ruby begitu bersemangat hari ini. “Amin! Kakak akan selalu mendukung kamu Ruby.” Friska merangkul bahu Ruby untuk memasuki gedung perusahaan. Friska adalah orang yang sangat baik dan telah menganggap Ruby seperti adik kandungnya sendiri. Ruby langsung pergi ke ruangan kerjanya, namun Ruby terkejut melihat seseorang yang duduk di atas kursinya sambil membelakangi nya. “Kamu tau kesalahan kamu?” Orang itu langsung menyerang Ruby dengan pertanyaan sarkas membuat Ruby terlonjak kaget. “Anda siapa? Kenapa ada di ruangan saya?” Ruby mengepalkan tangannya. Ruby kesal dan tak paham, mengapa dia yang baru datang ditanyai kesalahan. “Bisa-bisanya kamu masih bertanya siapa saya? Dan asal kamu tau, saya bebas pergi ke setiap sudut kantor ini kalau saya mau.” Pria yang memakai jas hitam itu masih duduk dengan posisi membelakangi Ruby sehingga Ruby tidak bisa melihat wajahnya. “Jadi Anda adalah bos saya yang katanya mantan berandalan itu?” Ruby melipat kedua tangannya di dada dan tidak ada takut-takutnya. Malahan Ruby menatap sengit laki-laki yang menduduki tempat duduk milik Ruby walaupun laki-laki itu sedang membelakangi Ruby. “Berani sekali ka-mu.” CEO yang merupakan atasan Ruby itu memutar kursi agar bisa melihat wajah sekretaris nya yang baru saja kurang ajar padanya. Dia adalah Julian, suara Julian semakin memelan melihat sekretaris barunya ini adalah seseorang yang sangat ia kenal. Ruby pun tak kalah terkejut, Ruby masih ingat dengan jelas bahwa orang ini adalah orang yang sama dengan yang menariknya dari tawuran kemarin. “Menarik sekali, ternyata kita bertemu lagi.” Julian tersenyum miring, dia ingat waktu itu dia memberikan kartu namanya pada Ruby. “Kamu bisa bekerja di sini berkat kartu nama yang saya kasih?” Julian malah mengira bahwa Ruby melamar kerja ke perusahaan ini lewat kartu nama Julian tinggalkan. “Saya bahkan membuang kartu nama itu setelah saya melirik nama Anda sebentar, Tuan Muda Wiliam yang terhormat.” Ruby tersenyum sombong. “Saya bisa bekerja di sini dengan posisi yang bagus itu karena kemampuan saya sendiri.” “Baru kali ini ada seorang gadis yang membuang kartu nama saya, kamu berani sekali.” Julian tidak tau harus marah atau tertawa mengenai hal yang satu ini. Alhasil, Julian hanya menunjukkan wajah datar. “Saya membuangnya karena saya tidak tertarik, lantas Tuan Muda. Tadi Anda mengatakan mengenai kesalahan saya, apa salah saya sehingga Anda harus repot-repot menunggu saya pagi-pagi buta di meja saya?” tanya Ruby. Ruby sangat berani, Ruby tidak merasa takut sedikitpun dengan atasannya ini. Apalagi setelah mengetahui dia adalah orang pernah Ruby temui sebelumnya, Ruby jadi semakin berani sekarang. “Lupakan, saya tidak jadi ingin membahas itu.” Julian berdiri sambil merapikan jas nya. Tadinya Julian ingin membuat masalah dengan cara membuat sekretaris barunya ini menderita dan berakhir mengundurkan diri lagi. Tapi karena orang ini adalah Ruby, orang yang sudah lama dia cari, Julian tidak jadi melakukan hal licik itu. ‘Sepertinya dia adalah tipe orang yang tidak mudah ditindas, baiklah. Semoga saja dia bisa menjadi rekan kerja yang cocok untukku.’ Julian berkicau dalam hati. ‘Dasar aneh! Jangan dikira aku nggak tau dia ini akan membuatku tersiksa dan nggak tahan sama pekerjaan ini,’ celoteh Ruby dalam hati. Ruby menatap Julian dengan tatapan tidak suka, Ruby sudah tau banyak tentang Julian dari Friska. Semalam Friska datang dan menceritakan banyak hal tentang CEO baru mereka ini. Dari situ Ruby tau Julian telah berhasil membuat sekretarisnya mengundurkan diri padahal Julian belum bekerja waktu itu. “Bisa Anda minggir, Tuan Muda. Saya punya banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini, saya tidak punya banyak waktu untuk main-main.” Secara tidak langsung Ruby mengusir Julian. “Kamu benar-benar berani, Ruby Salsabila.” Julian membaca id card Ruby sehingga dia bisa tau nama panjang gadis itu. “Tidak ada alasan untuk saya takut dengan Anda, Tuan Muda,” balas Ruby benar-benar sangat berani. “Bagaimana kalau kamu saya pecat karena kamu sudah bertingkah kurang ajar kepada saya?” Julian tersenyum, tapi senyuman yang sangat kental dengan ancaman. Ruby meletakkan kedua tangannya di pinggang, dia masih dengan berani menatap Julian. “Saya tidak takut, Tuan Muda. Asal Anda tau, saya ini lulusan terbaik dari kampus terbaik. Tidak akan susah bagi saya untuk mencari pekerjaan baru setelah Anda pecat, saya dengar-dengar yang pesangon dari kantor ini lumayan besar, jadi saya rasa saya tidak akan rugi.” Julian ternganga, Julian tidak menyangka akan mendapatkan jawaban sesantai ini dari Ruby. Ini pertama kalinya seorang Julian Azka William kalah telak berdebat dengan seorang wanita. “Baiklah, saya masih berbaik hati tidak memecat kamu hari ini.” Julian mengalah untuk pertama kalinya. “Cepat sebutkan apa saja agenda saya hari ini!” “Pagi ini Anda harus menandatangani banyak dokumen dari hari kemarin sampai dokumen-dokumen hari ini juga. Nanti sore sekitar jam tiga sore Anda ada jadwal meeting dengan pemimpin PT Darma wanita di restoran tiga putri.” Ruby begitu serius membacakan setiap jadwal Julian. ‘Dia ternyata tipe wanita yang pekerja keras, setidaknya aku masih aman karena dia ini bukan tipe wanita seperti sekretaris ku yang lama.’ Julian menilai Ruby dalam hati. Tidak ada alasan Julian untuk menyingkirkan sekretaris nya lagi, Ruby tidak terlihat seperti wanita penggoda yang Julian benci. “Baiklah, kerjakan semua pekerjaan kamu, nanti jam tiga sore ikut meeting dengan saya.” Julian melangkah pergi memasuki ruangan CEO WL Company.“Baiklah, kerjakan semua pekerjaan kamu, nanti jam tiga sore ikut meeting dengan saya.” Julian melangkah pergi memasuki ruangan CEO WL Company.WL Company adalah perusahaan yang bergerak di bidang properti, awalnya WL Company didirikan oleh Luwis William, kekek Julian. Karena ayah kandung Julian sudah meninggal, jadilah sekarang Julian yang menjadi CEO meskipun usia Julian masih sangat muda.Satu tahun yang lalu Luwis juga telah meninggal dunia, selama satu tahun ini juga WL Company dipimpin oleh orang Kepercayaan Luwis dan sekarang Julian sendiri yang sudah turun tangan di perusahaan meskipun masih malas-malasan dan atas paksaan keras dari Oma Fia.Setibanya di dalam ruangannya, Julian terdiam memikirkan banyak hal.“Gimana caranya ngasih tau ke oma kalau aku udah ketemu sama gadis itu.” Julian melirik ke dinding kaca, terlihat Ruby sedang serius dengan pekerjaan nya.“Kalau aku kasih tau sekarang, pasti oma menyuruhku untuk membawanya ke rumah, sedangkan aku belum tau apa alasan Oma
Saat sampai di ruangannya pun, Ruby masih memikirkan Julian yang bisa dengan mudah mengubah-ubah sikapnya. Kalau berpikir Julian itu punya kepribadian ganda, sepertinya itu terlalu berlebihan. Ruby tidak bisa terlalu fokus pada pekerjaannya gara-gara Julian yang menunjukkan sikap yang berbeda padanya dan pada orang lain. ‘Andai aja si tuan muda arogant itu juga dingin sama aku, pasti aku akan bekerja dengan tenang tanpa gangguan si bos tengil,’ celoteh Ruby dalam hati. Ruby selalu saja merasa kesal setiap ingat dengan betapa tengilnya kelakuan atasannya sendiri. “Aku harus tanya Sola ini ke Kak Friska saat pulang dari kantor nanti.” Ruby menganggukkan kepalanya, Ruby rasa dengan bertanya pada Friska adalah ide yang paling baik. Sedangkan di sisi lain, Julian sedang uring-uringan karena pekerjaannya yang tidak kunjung selesai padahal Julian sudah ada janji makan malam bersama dengan Fagas dan Marvel
“Betah banget sih pegang tangan saya, tangan saya bikin nyaman ya, Tuan Muda.” Ruby melirik Julian lalu menatap tangannya yang digenggam si Julian. Julian buru-buru menarik tangannya, Julian menelan ludah karena salah tingkah. Semua itu hanya spontan, jujur saja Julian tidak ada niatan untuk memegang tangan Ruby meskipun rasanya tangan Ruby itu menang hangat. “Maaf saya nggak sengaja, kamu harus bantuin saya.” Julian duduk lagi di atas kursi kebesarannya. “Sengaja juga nggak apa-apa tuh, Tuan Muda.” Ruby mengedipkan sebelah matanya, Ruby senang sekali melihat wajah Julian yang memerah. Bukan karena Ruby suka Julian, Ruby hanya merasa puas melihat Julian gugup seperti sekarang. “Saya mau bantuin asalkan sesuai perjanjian tadi, Tuan Muda. Dua juta harus masuk ke dalam rekening saya setelah semua pekerjaan selesai.” Ruby memastikan kesepakatan terlebih dahulu. “Jangan banyak bicara lagi, uang dua juta hanya kecil bagi saya.” Julian tidak
"loh, Ruby kamu mau ke mana? Bukannya Kamu baru pulang ya?" tanya Ana. Ana yang sejak tadi duduk di depan kontrakan sepetaknya jelas melihat Ruby pulang diantar oleh mobil mewah dan sekarang Ruby sudah hendak keluar lagi. "Ternyata di dalam nggak ada yang bisa dimakan sama sekali, Na. Aku mau keluar cari makan dulu, bodohnya lagi pasti jalan tadi aku nggak mampir beli makan dulu di jalan," jawab Ruby."Kebetulan banget kalau gitu, tadi pas mau pulang kerja ternyata makanannya banyak yang kelebihan. bos aku nawarin buat aku bawa pulang aja beberapa menu makanan, makan di tempat aku aja. Aku nggak mungkin bisa habisin makanan sebanyak itu sendirian." Ana mengajak Ruby untuk makan di tempatnya.Ana ini bekerja di salah satu cafe yang tidak jauh dari kontrakan ini. Ana memang sering membawa banyak makanan dari cafe karena Ana mendapatkan atasan yang sangat baik padanya."Pas banget kalau gitu, sebenarnya aku juga males keluar lagi." Ruby tidak mungkin menolak rezeki.
“Jadi kamu benar-benar diantar pulang sama si tuan muda?” Friska tidak menyangka seorang Julian mau mengantar sekretarisnya pulang. “Iya, Kak. Nggak cuma itu, aku dapat bonus dua juta dari hasil bantuin dia lembur.” Ruby tersenyum mengingat saldo rekening nya sudah bertambah. “Untung banyak dong kamu hari ini? Udah dapat bonus sebanyak itu, pulang dianterin nggak perlu keluar duit buat ongkos lagi, dan sekarang makan juga numpang sama aku.” Ana membicarakan keberuntungan yang didapatkan oleh Ruby. “Banget, Ana. Tuan Julian itu nggak cuma nyebelin aja, kalau lagi kepepet kayak tadi ternyata dia juga gampang dimanfaatin.” Ruby merasa dialah yang menjadi bos hari ini. “Kalau aja Tuan Julian suka kamu, gimana?” Mendadak Friska memikirkan hal yang satu ini. Sikap Julian terhadap Ruby itu sangat berbeda, siapa tau saja Julian benar-benar tertarik pada sekretarisnya sendiri. “Aku yang nggak mau, Kak. Meskipun si tuan muda itu ganteng dan kaya
Beberapa hari setelah pertemuan dengan klien, Ruby mulai menyadari perubahan dalam cara Julian memperlakukannya. Tidak ada lagi godaan sembrono atau lelucon menggoda yang biasa pria itu lontarkan. Sebaliknya, Julian tampak lebih serius, lebih fokus, dan—anehnya—lebih perhatian daripada biasanya.Bukan berarti Julian berhenti menjadi pria menyebalkan yang selalu menyulitkan hidupnya. Tidak. Dia masih Julian yang sama—sombong, percaya diri, dan selalu tahu cara membuat Ruby kesal. Tapi ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional.Hari itu, Ruby baru saja menyelesaikan laporan penting ketika suara ketukan di pintunya terdengar."Masuk," katanya tanpa melihat siapa yang datang.Julian masuk dengan langkah santai, tetapi kali ini tanpa senyum khasnya. Ruby langsung tahu ada sesuatu yang serius."Ada apa?" tanyanya, meletakkan berkas yang sedang ia baca.Julian menghela napas sebelum duduk di kursi di depan mejanya. "Aku baru saja da
Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Julian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh cinta.Masalahnya? Ia tidak tahu bagaim
Julian menatapnya sebentar sebelum mengeluarkan ponselnya. "Bagaimana cara membuat bubur?"Ruby tertawal. "Serius?""Aku tidak sering memasak," jawab Julian santai.Ruby tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya melihat Julian yang dengan susah payah mencoba membuat bubur saja sudah cukup membuatnya merasa lebih baik.Beberapa hari setelah Ruby sembuh, Julian menjemputnya sepulang kerja."Aku tidak ingat punya janji denganmu," kata Ruby sambil menaikkan satu alis.Julian menyalakan mesin mobil dan menoleh ke arahnya. "Anggap saja ini kompensasi karena aku sudah merawatmu saat sakit."Ruby mengerutkan dahi. "Kompensasi? Aku bahkan tidak memintamu datang.""Tapi aku tetap melakukannya," kata Julian dengan santai. "Jadi, sebagai balasannya, kau harus makan malam denganku."Ruby ingin membalas, tetapi entah kenapa, ia tidak bisa menolak.Mereka akhirnya pergi ke sebuah restoran kecil di pinggi
Ketika Bos Jatuh Cinta Terlebih DahuluJulian pertama kali sadar akan perasaannya pada Ruby saat wanita itu melemparkan setumpuk berkas ke mejanya dengan ekspresi jengkel."Ini semua laporan keuangan yang kau minta, Bos. Dan ya, aku sudah mengeceknya tiga kali, jadi kalau masih ada kesalahan, mungkin dunia memang sedang hancur," kata Ruby dengan nada ketus sebelum berbalik pergi.Julian hanya menatapnya, sedikit terpesona. Bukan hanya karena kecantikan Ruby—itu sudah jelas sejak awal—tetapi karena sikapnya yang selalu penuh percaya diri, tidak pernah takut menantangnya.Sejak saat itu, ia mulai memperhatikan hal-hal kecil.Cara Ruby mengerutkan dahi saat fokus bekerja. Cara ia mengangkat satu alisnya setiap kali Julian mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal. Cara ia tetap setia di sampingnya meskipun Julian adalah bos yang menyebalkan.Dan ketika ia menyadari bahwa ia menghabiskan lebih banyak waktu memikirkan Ruby dibanding merger perusahaan, Julian tahu bahwa ia benar-benar jatuh
Ruby menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik kata-katanya. Julian bukan tipe pria yang mudah mengakui kehebatan orang lain. Ia selalu memiliki kepercayaan diri yang tinggi, seakan dunia ini bisa ia kendalikan sesuka hati. Tapi kali ini, nadanya terdengar tulus.“Tentu saja kamu bisa belajar,” jawab Ruby akhirnya. “Selama ini, kamu selalu mengandalkan aku untuk menyelesaikan kekacauanmu.”Julian terkekeh pelan, lalu melangkah lebih dekat. “Mungkin aku memang mengandalkanmu. Tapi mungkin juga, aku hanya menikmati bekerja bersamamu.”Ruby menahan napas. Ada sesuatu dalam tatapan Julian yang membuatnya merasa tidak nyaman—bukan karena ia tidak menyukainya, tapi karena ia takut bagaimana perasaan itu mulai mengakar lebih dalam dari yang ia harapkan.Ia menepis perasaan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. “Kalau kamu hanya mau menggombal, aku masih ada laporan yang harus kuselesaikan.”Julian menatapnya selama beberapa detik
Beberapa hari setelah pertemuan dengan klien, Ruby mulai menyadari perubahan dalam cara Julian memperlakukannya. Tidak ada lagi godaan sembrono atau lelucon menggoda yang biasa pria itu lontarkan. Sebaliknya, Julian tampak lebih serius, lebih fokus, dan—anehnya—lebih perhatian daripada biasanya.Bukan berarti Julian berhenti menjadi pria menyebalkan yang selalu menyulitkan hidupnya. Tidak. Dia masih Julian yang sama—sombong, percaya diri, dan selalu tahu cara membuat Ruby kesal. Tapi ada sesuatu yang berbeda di antara mereka, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional.Hari itu, Ruby baru saja menyelesaikan laporan penting ketika suara ketukan di pintunya terdengar."Masuk," katanya tanpa melihat siapa yang datang.Julian masuk dengan langkah santai, tetapi kali ini tanpa senyum khasnya. Ruby langsung tahu ada sesuatu yang serius."Ada apa?" tanyanya, meletakkan berkas yang sedang ia baca.Julian menghela napas sebelum duduk di kursi di depan mejanya. "Aku baru saja da
“Jadi kamu benar-benar diantar pulang sama si tuan muda?” Friska tidak menyangka seorang Julian mau mengantar sekretarisnya pulang. “Iya, Kak. Nggak cuma itu, aku dapat bonus dua juta dari hasil bantuin dia lembur.” Ruby tersenyum mengingat saldo rekening nya sudah bertambah. “Untung banyak dong kamu hari ini? Udah dapat bonus sebanyak itu, pulang dianterin nggak perlu keluar duit buat ongkos lagi, dan sekarang makan juga numpang sama aku.” Ana membicarakan keberuntungan yang didapatkan oleh Ruby. “Banget, Ana. Tuan Julian itu nggak cuma nyebelin aja, kalau lagi kepepet kayak tadi ternyata dia juga gampang dimanfaatin.” Ruby merasa dialah yang menjadi bos hari ini. “Kalau aja Tuan Julian suka kamu, gimana?” Mendadak Friska memikirkan hal yang satu ini. Sikap Julian terhadap Ruby itu sangat berbeda, siapa tau saja Julian benar-benar tertarik pada sekretarisnya sendiri. “Aku yang nggak mau, Kak. Meskipun si tuan muda itu ganteng dan kaya
"loh, Ruby kamu mau ke mana? Bukannya Kamu baru pulang ya?" tanya Ana. Ana yang sejak tadi duduk di depan kontrakan sepetaknya jelas melihat Ruby pulang diantar oleh mobil mewah dan sekarang Ruby sudah hendak keluar lagi. "Ternyata di dalam nggak ada yang bisa dimakan sama sekali, Na. Aku mau keluar cari makan dulu, bodohnya lagi pasti jalan tadi aku nggak mampir beli makan dulu di jalan," jawab Ruby."Kebetulan banget kalau gitu, tadi pas mau pulang kerja ternyata makanannya banyak yang kelebihan. bos aku nawarin buat aku bawa pulang aja beberapa menu makanan, makan di tempat aku aja. Aku nggak mungkin bisa habisin makanan sebanyak itu sendirian." Ana mengajak Ruby untuk makan di tempatnya.Ana ini bekerja di salah satu cafe yang tidak jauh dari kontrakan ini. Ana memang sering membawa banyak makanan dari cafe karena Ana mendapatkan atasan yang sangat baik padanya."Pas banget kalau gitu, sebenarnya aku juga males keluar lagi." Ruby tidak mungkin menolak rezeki.
“Betah banget sih pegang tangan saya, tangan saya bikin nyaman ya, Tuan Muda.” Ruby melirik Julian lalu menatap tangannya yang digenggam si Julian. Julian buru-buru menarik tangannya, Julian menelan ludah karena salah tingkah. Semua itu hanya spontan, jujur saja Julian tidak ada niatan untuk memegang tangan Ruby meskipun rasanya tangan Ruby itu menang hangat. “Maaf saya nggak sengaja, kamu harus bantuin saya.” Julian duduk lagi di atas kursi kebesarannya. “Sengaja juga nggak apa-apa tuh, Tuan Muda.” Ruby mengedipkan sebelah matanya, Ruby senang sekali melihat wajah Julian yang memerah. Bukan karena Ruby suka Julian, Ruby hanya merasa puas melihat Julian gugup seperti sekarang. “Saya mau bantuin asalkan sesuai perjanjian tadi, Tuan Muda. Dua juta harus masuk ke dalam rekening saya setelah semua pekerjaan selesai.” Ruby memastikan kesepakatan terlebih dahulu. “Jangan banyak bicara lagi, uang dua juta hanya kecil bagi saya.” Julian tidak
Saat sampai di ruangannya pun, Ruby masih memikirkan Julian yang bisa dengan mudah mengubah-ubah sikapnya. Kalau berpikir Julian itu punya kepribadian ganda, sepertinya itu terlalu berlebihan. Ruby tidak bisa terlalu fokus pada pekerjaannya gara-gara Julian yang menunjukkan sikap yang berbeda padanya dan pada orang lain. ‘Andai aja si tuan muda arogant itu juga dingin sama aku, pasti aku akan bekerja dengan tenang tanpa gangguan si bos tengil,’ celoteh Ruby dalam hati. Ruby selalu saja merasa kesal setiap ingat dengan betapa tengilnya kelakuan atasannya sendiri. “Aku harus tanya Sola ini ke Kak Friska saat pulang dari kantor nanti.” Ruby menganggukkan kepalanya, Ruby rasa dengan bertanya pada Friska adalah ide yang paling baik. Sedangkan di sisi lain, Julian sedang uring-uringan karena pekerjaannya yang tidak kunjung selesai padahal Julian sudah ada janji makan malam bersama dengan Fagas dan Marvel