Tok! Tok! Tok!Tangan kekar itu sontak berhenti dan langsung melemparkan tatapan nyalang ke arah pintu. Rahangnya menegas seakan begitu kesal ada yang mengganggu kesenangannya."Sialan! Awas saja kalau tidak penting. Aku akan memarahinya habis-habisan."Alastair bangkit dan langsung membenarkan jas nya, ia menoleh ke arah Aldara yang masih tergeletak di sofa."Kau mau orang lain memergoki mu dalam keadaan seperti ini, heh?! Cepat bangun!" sentaknya yang lantas membuat wanita itu bangkit.Aldara membenahi penampilannya, kemudian mengambil asal salah satu berkas yang ada di atas meja Alastair. Jemarinya membuka berkas itu dan berlagak sedang membaca, sementara Alastair sudah membuka pintu untuk mempersilakan Ernest masuk.'Huh, beruntung Ernest yang ke sini. Kalau staf lain bisa jadi gosip nanti,' batin wanita itu.Setelah Ernest keluar dari ruangan ini, Aldara langsung berdiri yang tak ayal membuat Alastair mengernyit bingung."Mau apa kau?" tanya pria itu."Eum ... saya mau kembali ke
Pikiran Aldara tidak bisa fokus selama meeting, ia terus berpikir siapa kira-kira yang menyebarkan gosip tentangnya.Hingga Alastair menggelandang tangannya tanpa aba-aba, membuatnya memekik kaget di hadapan para peserta meeting. Pria itu menyeretnya keluar, tanpa peduli semua pasang mata tengah menatap ke arah mereka.Saat ini Aldara sangat malu dengan semua kepala staf."Argh!" rintih wanita itu saat merasakan punggungnya sakit ketika Alastair menghantamkan tubuhnya ke tembok.Apa maksud pria itu?"Kau ini bodoh atau bagaimana?! Bukannya aku sudah memintamu untuk fokus? Tapi kenapa saat meeting tadi kau bengong saja?! Pikiranmu ke mana, hah ...?!" sentak Alastair tepat di depan wajah cantik itu.Aldara gelagapan, ia tidak sadar kalau sedari dari tadi pikirannya melanglang entah ke mana. "P-Pak—" Wanita sontak memejamkan mata tanpa melanjutkan ucapannya saat tiba-tiba tangan Alastair memukul dinding.Ia baru melihat bosnya semarah ini."Meskipun tadi hanya meeting kecil dengan beber
"Jangan diam saja saat direndahkan seperti itu, aku tidak suka orang-orang lemah!" bisik Alastair."Saya sebenarnya malas meladeni, tapi dia terus nyerocos sampai membuat kuping saya panas. Lalu tiba-tiba istrinya datang, dan dia malah memutar balikkan fakta sampai akhirnya istrinya menampar saya tadi," jelas Aldara.Alastair melirik ke arah wanita yang berjalan di sampingnya itu, kemudian kembali mengalihkan pandangan ke depan. "Ini terakhir kali, besok-besok kalau dia menghinamu lagi langsung tampar saja. Bukan malah kau yang ditampar dan tetap diam saja seperti tadi!""Iya, Pak. Saya tadi syok.""Syok atau pasrah saja? Kau ini juga agak-agak, Aldara. Dihina selalu diam, ditindas tidak bergerak membalas. Kalau tadi aku tidak datang mungkin kau masih jadi bulan-bulanan mereka di sana."Aldara mengangguk aku mendengar sentakan Bosnya. Namun, ia bersyukur masih ada yang membelanya di saat orang lain sibuk menggunjingkan namanya."Baik, Pak. Saya akan mengingat-ingat hal itu.""Jangan h
Raymond membawa Alastair pulang ke apartemennya, karena tidak mungkin membawa Alastair pulang ke Kediaman Wilson dalam keadaan mabuk. "Huh, masalah cinta memang membuat rumit. Tidak Alastair, tidak Naresh, semuanya menjadi bodoh karena cinta!" Pria itu menggerutu sambil menggeleng-gelengan kepalanya. "Untung aku jomblo.""Aldara ...."Raymond yang tengah membenarkan letak selimut Alastair sontak menghentikan gerakannya saat mendengar lagi nama itu."Sebut saja terus namamya, dan dia tetap tidak akan ke sini!" Raymond menghela napas kasar. "Aku heran sekali, apa cinta benar-benar membuat pria-pria angkuh jadi segila ini?!"Tangannya menghempaskan selimut tebal itu ke atas tubuh Alastair. "Aku menebak pasti kau akan menyebut nama itu lagi dalam tidurmu nanti, Al. Padahal belum tentu wanita itu menyebut namamu dalam tidurnya."Raymond keluar dari kamar dengan helaan napas kasar, ia menuju kamarnya sendiri untuk merebahkan tubuh. Di klub sudah ada orang kepercayaannya yang menjaga. Jadi,
"Aku mengajakmu bekerjasama," ujar Virly yang membuat Rangga mengernyit bingung."Kerjasama apa, ya, Bu?"Virly bangkit dan mencondongkan tubuh ke arah Rangga, ia mulai membisikkan rencana yang sudah dibuatnya kemarin bersama Elle.Pria itu mengulas senyum lebar, ia langsung setuju dengan penawaran Virly."Bagus. Untuk selanjutnya akan kita bicarakan di telepon saja, bisa bahaya kalau Alastair tahu aku datang ke sini.""Baik, Bu. Saya akan menunggu perintah selanjutnya."Wanita itu mengangguk, kemudian ia beranjak keluar ruangan. Menyisakan Rangga yang masih mempertahankan senyum lebar di bibirnya. "Aku yakin akan semakin mudah mendapatkan mu, Dara. Sekarang aku tidak sendiri, dan aku pastikan kau tidak bisa mengelak lagi dariku," gumamnya dengan kekehan lirih.•Di sisi lain, Alastair baru tiba di kantor saat pukul sembilan pagi. Pria itu telat bangun karena pengaruh alkohol yang ia konsumsi semalam. Tanpa pulang ke rumah ia langsung menuju ke kantor untuk bertemu Aldara. Entah kena
Aldara duduk dengan posisi tegap di sofa, seperti ada sesuatu yang menekan kepalanya dan juga rasa tidak nyaman di perut. Semua makanan itu benar-benar habis, tidak tersisa sebutir nasi pun.'Ayo, perut ... ayo sendawa. Perutku biar lega dan nggak mau muntah seperti ini,' batin wanita itu nelangsa. Alastair bangkit dari duduk dan beranjak ke dekat sofa, pria itu melirik sinis ke arah sekretarisnya yang tengah memasang raut datar. Kedua tangannya mencengkram pinggang. Pria itu membusungkan dada dengan mengangkat dagu kokohnya."Enak makanannya?" tanya Alastair."Enak, Pak."Pria itu mengangguk. "Kau harus makan banyak, tubuhmu itu kurus kering. Sangat tidak menggairahkan. Pokoknya aku ingin kau banyak makan makanan bergizi dan olahraga, biar agak terbentuk sedikit bodynya.""I-Iya, Pak.""Ada banyak saldo di black card ku. Kau bisa menggunakan untuk mendaftar kelas gym."Wanita itu kembali mengangguk. "Baik, Pak. Akhir pekan saya akan ke tempat gym."Alastair menghela napas kasar. "Ba
Alastair sampai di kediamannya dan melihat sang Mama tengah bersantai sambil bermain ponsel di ruang tamu.'Tumben Mama nggak marah-marah?' batinnya.Alastair mengedikkan bahu dan lantas naik ke kamarnya, tanpa tahu kalau Elle tengah memperhatikan punggungnya sambil menyunggingkan seringai senyum.'Mama tidak akan memarahimu lagi, Al. Karena Mama sudah punya rencana bagus.'Wanita paruh baya itu semakin mengulas senyum saat melihat sebuah panggilan masuk di ponselnya, tanpa berlama-lama ia langsung menggeser ikon hijau."Halo.""Saat ini kami tengah mengikuti wanita itu, Bu. Taksinya berhenti di perumahan Blue House."Elle mengerutkan kening mendengar ucapan anak buahnya dari seberang telepon. "Blue House? Bukannya itu perumahan elite? Bagaimana bisa dia tinggal di sana?""Rumah nomor 17, Bu," sahut seorang pria dari seberang telepon.Elle mangut-mangut saat tahu itu adalah nomor rumah Ernest, pantas saja Aldara bisa tinggal di sana."Pantau terus. Jangan lupa lakukan yang sudah ku ka
"Aaargh ... aku harus cari ke mana?! Ponselnya juga nggak aktif, aku nggak bisa melacak keberadaannya."Berkali-kali tangannya memukul setir, melampiaskan kekesalan karena tidak dapat menemukan Aldara.'Firasatku nggak baik.'Entah sudah berapa jam Alastair menyusuri jalanan malam itu, ia tidak tahu ke mana perginya Aldara. Akhirnya ia memutuskan pulang, sambil terus berharap semoga Aldara baik-baik saja."Kamu baru pulang, Al?" tanya Elle saat melihat putranya baru memasuki ruang tamu.Alastair melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu malam, biasanya Mamanya memang tidur larut malam karena selalu menunggunya hingga pulang."Mama tadi ke mana saat aku pergi ke pesta?"Wanita paruh baya itu tidak menjawab, ia masih berusaha menormalkan ekspresi wajahnya agar Alastair tidak menangkap keterkejutan di sana."Mama ... di rumah Virly, menemani Mommy Sandra. Kenapa memangnya?" Elle bertanya balik."Yakin ke rumah Mom Sandra? Tidak ke tempat lain?" tanya pria itu sambil memicingkan mat