Raymond membawa Alastair pulang ke apartemennya, karena tidak mungkin membawa Alastair pulang ke Kediaman Wilson dalam keadaan mabuk. "Huh, masalah cinta memang membuat rumit. Tidak Alastair, tidak Naresh, semuanya menjadi bodoh karena cinta!" Pria itu menggerutu sambil menggeleng-gelengan kepalanya. "Untung aku jomblo.""Aldara ...."Raymond yang tengah membenarkan letak selimut Alastair sontak menghentikan gerakannya saat mendengar lagi nama itu."Sebut saja terus namamya, dan dia tetap tidak akan ke sini!" Raymond menghela napas kasar. "Aku heran sekali, apa cinta benar-benar membuat pria-pria angkuh jadi segila ini?!"Tangannya menghempaskan selimut tebal itu ke atas tubuh Alastair. "Aku menebak pasti kau akan menyebut nama itu lagi dalam tidurmu nanti, Al. Padahal belum tentu wanita itu menyebut namamu dalam tidurnya."Raymond keluar dari kamar dengan helaan napas kasar, ia menuju kamarnya sendiri untuk merebahkan tubuh. Di klub sudah ada orang kepercayaannya yang menjaga. Jadi,
"Aku mengajakmu bekerjasama," ujar Virly yang membuat Rangga mengernyit bingung."Kerjasama apa, ya, Bu?"Virly bangkit dan mencondongkan tubuh ke arah Rangga, ia mulai membisikkan rencana yang sudah dibuatnya kemarin bersama Elle.Pria itu mengulas senyum lebar, ia langsung setuju dengan penawaran Virly."Bagus. Untuk selanjutnya akan kita bicarakan di telepon saja, bisa bahaya kalau Alastair tahu aku datang ke sini.""Baik, Bu. Saya akan menunggu perintah selanjutnya."Wanita itu mengangguk, kemudian ia beranjak keluar ruangan. Menyisakan Rangga yang masih mempertahankan senyum lebar di bibirnya. "Aku yakin akan semakin mudah mendapatkan mu, Dara. Sekarang aku tidak sendiri, dan aku pastikan kau tidak bisa mengelak lagi dariku," gumamnya dengan kekehan lirih.•Di sisi lain, Alastair baru tiba di kantor saat pukul sembilan pagi. Pria itu telat bangun karena pengaruh alkohol yang ia konsumsi semalam. Tanpa pulang ke rumah ia langsung menuju ke kantor untuk bertemu Aldara. Entah kena
Aldara duduk dengan posisi tegap di sofa, seperti ada sesuatu yang menekan kepalanya dan juga rasa tidak nyaman di perut. Semua makanan itu benar-benar habis, tidak tersisa sebutir nasi pun.'Ayo, perut ... ayo sendawa. Perutku biar lega dan nggak mau muntah seperti ini,' batin wanita itu nelangsa. Alastair bangkit dari duduk dan beranjak ke dekat sofa, pria itu melirik sinis ke arah sekretarisnya yang tengah memasang raut datar. Kedua tangannya mencengkram pinggang. Pria itu membusungkan dada dengan mengangkat dagu kokohnya."Enak makanannya?" tanya Alastair."Enak, Pak."Pria itu mengangguk. "Kau harus makan banyak, tubuhmu itu kurus kering. Sangat tidak menggairahkan. Pokoknya aku ingin kau banyak makan makanan bergizi dan olahraga, biar agak terbentuk sedikit bodynya.""I-Iya, Pak.""Ada banyak saldo di black card ku. Kau bisa menggunakan untuk mendaftar kelas gym."Wanita itu kembali mengangguk. "Baik, Pak. Akhir pekan saya akan ke tempat gym."Alastair menghela napas kasar. "Ba
Alastair sampai di kediamannya dan melihat sang Mama tengah bersantai sambil bermain ponsel di ruang tamu.'Tumben Mama nggak marah-marah?' batinnya.Alastair mengedikkan bahu dan lantas naik ke kamarnya, tanpa tahu kalau Elle tengah memperhatikan punggungnya sambil menyunggingkan seringai senyum.'Mama tidak akan memarahimu lagi, Al. Karena Mama sudah punya rencana bagus.'Wanita paruh baya itu semakin mengulas senyum saat melihat sebuah panggilan masuk di ponselnya, tanpa berlama-lama ia langsung menggeser ikon hijau."Halo.""Saat ini kami tengah mengikuti wanita itu, Bu. Taksinya berhenti di perumahan Blue House."Elle mengerutkan kening mendengar ucapan anak buahnya dari seberang telepon. "Blue House? Bukannya itu perumahan elite? Bagaimana bisa dia tinggal di sana?""Rumah nomor 17, Bu," sahut seorang pria dari seberang telepon.Elle mangut-mangut saat tahu itu adalah nomor rumah Ernest, pantas saja Aldara bisa tinggal di sana."Pantau terus. Jangan lupa lakukan yang sudah ku ka
"Aaargh ... aku harus cari ke mana?! Ponselnya juga nggak aktif, aku nggak bisa melacak keberadaannya."Berkali-kali tangannya memukul setir, melampiaskan kekesalan karena tidak dapat menemukan Aldara.'Firasatku nggak baik.'Entah sudah berapa jam Alastair menyusuri jalanan malam itu, ia tidak tahu ke mana perginya Aldara. Akhirnya ia memutuskan pulang, sambil terus berharap semoga Aldara baik-baik saja."Kamu baru pulang, Al?" tanya Elle saat melihat putranya baru memasuki ruang tamu.Alastair melihat jam dinding yang menunjukkan pukul satu malam, biasanya Mamanya memang tidur larut malam karena selalu menunggunya hingga pulang."Mama tadi ke mana saat aku pergi ke pesta?"Wanita paruh baya itu tidak menjawab, ia masih berusaha menormalkan ekspresi wajahnya agar Alastair tidak menangkap keterkejutan di sana."Mama ... di rumah Virly, menemani Mommy Sandra. Kenapa memangnya?" Elle bertanya balik."Yakin ke rumah Mom Sandra? Tidak ke tempat lain?" tanya pria itu sambil memicingkan mat
"Akhirnya selesai juga," gumam Aldara.Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jarumnya menunjukkan pukul sebelas siang. Aldara segera merapikan berkas-berkas itu dan membawanya ke ruangan Alastair, karena pagi ini Ernest belum bisa masuk."Permisi, Pak." Tidak ada jawaban, pria itu masih fokus memperhatikan laptopnya. Aldara melangkah mendekat ke meja kerja Alastair dengan tangannya yang membopong tumpukan berkas."Saya sudah menyelesaikan semuanya, Pak. Untuk dokumen yang masuk ke email juga sudah saya kirimkan salinannya ke surel Bapak."Hening! Alastair masih betah dalam kebisuannya, bahkan mata elang itu tidak terangkat dan tetap terkunci pada layar laptop tersebut."Saya taruh di meja mana, Pak?" tanya Aldara, menahan sakit hati saat dirinya diacuhkan.Posisinya serba salah. sebenarnya ia pun tidak dapat menghindar karena pekerjaannya adalah seorang sekretaris yang akan selalu mendampingi Alastair. Namun, demi keselamatan nyawanya, ia harus membuat jarak dengan
Hari demi hari berlalu begitu cepat, Aldara sudah menyelesaikan sidang pertamanya dibantu oleh pengacara yang telah ia sewa. Tidak ada yang mengganggu kehidupannya selama beberapa minggu ini, bahkan ia tidak mendengar gunjingan tentang dirinya di kantor.Bagaimana semuanya bisa berjalan selancar ini?Ah, entahlah. Aldara berpikir Alastair yang meminta para staf agar tidak menggunjingnya. Namun, bukankah pria itu juga sibuk mempersiapkan rapat tahunan?"Ada apa bengong terus?"Aldara tersentak kaget mendengar suara bariton yang sangat dibencinya itu, ditambah sosok pria itu yang tiba-tiba duduk di hadapannya saat ini."Ternyata kamu suka sama cafe ini, ya? Makanannya memang enak, lebih bervariasi dari makanan di kantin perusahaan. Harganya juga terjangkau, selain itu pelayanannya ramah," jelas Rangga yang membuat Aldara muak.Ia sudah bersyukur hampir satu bulan tidak melihat wajah mantan suaminya, tetapi hari ini Tuhan mengantarkan Rangga yang membuat moodnya langsung anjlok."Ah, dit
Alastair mengantarkan Aldara pulang, meskipun sebelumnya wanita itu menolak, tetapi Aldara tetap kukuh. Apalagi saat mendapati tubuh mungil itu masih gemetaran."Terima kasih, Pak," ucap Aldara, sementara Alastair hanya mengangguk singkat tanpa menoleh sedikitpun ke arah sekretarisnya itu.Tatapannya masih menghunus lurus ke depan, entah apa yang ia pikirkan.Aldara keluar dari mobil dan detik berikutnya kendaraan beroda empat itu langsung melaju kencang, menyisakan Aldara yang berdiri mematung di samping gerbang."Ya sudah lah aku masuk saja, lelah sekali rasanya ...."•Sementara itu Alastair baru saja menghentikan mobil di halaman luas Kediaman Wilson setelah menempuh beberapa menit perjalanan.Kakinya melangkah masuk dan langsung disambut suara lantang sang Mama yang meneriakkan namanya."Kamu apakan Edward, Al?!"Seringai tipis tercipta di sudut bibir Alastair. "Dia mengadu pada Mama?""Edward tidak jadi berinvestasi di perusahaan kita, Al. Dan itu artinya kita harus mencari inve