Hari Minggu telah tiba. Reina dan Regan bersiap untuk datang ke acara pernikahan Amira. Hari itu Reina belum jadi menemui Amel. Entah mengapa kakak tirinya tersebut juga tidak menghubunginya lagi. Reina terpaksa berbohong kepada Regan. Ia tidak menceritakan tentang Amel kepada suaminya tersebut. Mungkin yang menyuruh Amel telepon adalah ayahnya yang sedang rindu. Atau mungkin kakak Reina tersebut hanya iseng-iseng saja. “Sayang ... sudah siap?” tanya Regan penuh antusias. Reina mengangguk pelan. Ia dirias di salon mansion dengan make up yang tidak terlalu menor ataupun berlebihan. Mereka sama-sama mengenakan pakaian warna hitam. Regan memperhatikan penampilan sang istri dari atas sampai bawah tanpa berkedip. “Kamu sangat cantik, Sayang.” Regan mengecup pelan punggung tangan istrinya. Sementara Reina terlihat malu-malu kucing. Reina merasa cukup lega karena Kimberly sudah dijemput orang tua mereka. Dan Claudia tentu saja tidak bisa menahan wanita itu untuk tidak pergi. “Sedang
Regan memberikan ucapan selamat kepada Jeffan seraya menyerahkan kado yang dibawanya.“Selamat, Jeffan. Akhirnya sold out juga.”Tangan kanan Regan menggenggam tangan Jeffan. Sedangkan tangan kirinya menepuk pundak Jeffan dan berusaha memeluknya.“Kadonya besar sekali, Bos!” Jeffan merasa terharu. Beberapa hari yang lalu ia sudah mendapatkan sebuah mobil. Dan sekarang Regan masih memberinya lagi hadiah yang tak kalah mahal.“Sudah, jangan cengeng!” Regan meninju bahu Jeffan. Ia masih tak percaya jika asisten kepercayaannya itu sudah menikah.Mereka mengambil foto berempat. Namun hanya sekali. Selanjutnya Amira tidak mau ikut. Entah kenapa.‘Mengapa rasanya aneh melihat Amira. Sepertinya dia tidak benar-benar bahagia. Sementara Jeffan terlihat sangat mencintainya. Apa yang terjadi kepada Amira?’ batin Reina bertanya-tanya.“Ayo, Sayang. Kita foto lagi. Kok malah bengong, sih?!” Ucapan Regan menyadarkan Reina. Wanita itu tersenyum kikuk di hadapan suaminya.Beberapa jam telah berlalu. R
Keesokan harinya Regan dan Reina benar-benar keluar dari rumah mansion mewah itu. “Kalian yakin mau tinggal sendirian?” tanya Justin sedikit terkejut. Walau bagaimanapun ia nyaman tinggal bersama anak kandungnya itu. “Iya, Pa. Tekad kami sudah bulat. Lebih baik kami mencoba hidup mandiri.” “Baiklah. Papa cuma bisa merestui. Kalau ada apa-apa beri kabar. Papa tinggu kabar baik dari kalian.” Claudia muncul dari belakang. Ia ikut menghampiri Regan dan Reina. “Kenapa pergi dari sini? Sudah bosan?” tanya wanita itu sinis. “Sudah, Ma ... tidak perlu seperti ini. Biarkan saja mereka hidup mandiri. Mereka juga butuh privasi.” “Kenapa Papa jadi belain mereka?” Claudia merasa kecewa. “Baiklah. Mama tunggu kabar kehamilan dari kamu secepatnya. Jangan lama-lama.” “Kami pamit, Ma.” Regan menyalami papa dan mamanya. Begitupun Reina meski tak disambut dengan baik oleh Claudia. Regan mengajak Reina menempati rumah baru mereka. “Pak Regan ... kita tidak jadi tinggal di apartemen?”
Danny sedang duduk bersama Amel. Putrinya itu terlihat sangat sibuk dengan ponselnya.“Amel ... tolong hubungi, Reina. Katakan jika ayah rindu kepadanya.”Lelaki paruh baya itu terbatuk-batuk. Ia merasakan jika kesehatannya semakin menurun. Danny merindukan putri kesayangannya.“Kenapa sih, Yah? Ayah butuh uang? Amel lagi nggak punya nih. Maaf.”“Bukan begitu, Amel. Ayah cuma—”“Iya deh nanti Amel kasih tau, Reina.” Wanita itu membatin di dalam hatinya. ‘Aku juga lagi butuh dia.’“Kenapa tidak mencoba menghubunginya sekarang? Oh, ya. Hari ini ayah lihat kamu tidak masuk kerja,” ungkap Danny kemudian. “Kamu kapan menikah, Amel?”“Belum ada yang cocok, Ayah. Amel masuk dulu ke kamar.” Tanpa melihat ke arah Danny, Amel langsung pergi begitu saja. Sepertinya ia kesal mendengar pertanyaan ayah tirinya.Danny geleng-geleng kepala. Umur Amel sudah sangat cukup untuk menikah. Sementara Reina saja sudah menikah dan bahagia bersama Regan. “Apakah sebaiknya aku jodohkan Amel dengan anak temanku?
“Sebaiknya kita segera pulang, Reina. Perasaanku jadi tidak enak,” ajak Regan setelah menunggu beberapa menit lamanya di tempat itu.“Pak Regan benar.” Mereka berjalan beriringan hingga ponsel Reina berdering. “Sebentar, Pak. Reina angkat dulu teleponnya.”“Apa?” Reina merasa sedih setelah berbicara dalam telepon.“Ada apa, Sayang? Siapa yang telepon?” tanya Regan khawatir.“Ayah jatuh dan tak sadarkan diri, Pak. Sebaiknya kita segera ke rumah Ayah.”“Baiklah, ayo!” Cepat-cepat mereka masuk ke dalam mobil.Reina terlihat sangat resah. Ia takut Danny kenapa-napa.“Kamu tenang, ya? Semoga ayah baik-baik saja. Aku yakin jika Ayah adalah lelaki yang kuat.”Reina mengangguk lemah. Kini ia merasa sedikit tenang setelah Regan menyemangatinya.Tiba di rumah Danny, Reina langsung berjalan cepat dan mengetuk pintu rumah di hadapannya. Regan memang telah memberikan rumah yang layak kepada keluarga Reina. Seperti janjinya dulu saat menawari pernikahan kontrak kepada wanita itu. Hanya saja Reina
Rafa mengangguk semangat.“Kakak khawatir ya sama Kak Regan? Dia kok nggak nyariin Kakak, ya?” Rafa mendongakkan kepalanya. Melirik ke atas seolah tampak berpikir.Tiba-tiba Reina teringat akan kejadian tadi. ‘Jangan-jangan Pak Regan masih digodain Kak Amel. Ah, tidak! Reina tidak rela.’Wanita itu geleng-geleng kepala.“Kenapa Kak Reina? Mikirin apa sih?” tanya Rafa penasaran.“Em ... tidak apa-apa, Sayang. Sebaiknya kamu segera tidur, ya? Sekarang sudah malam.” Jemari Reina mengusap lembut kepala adiknya.Rafa menganggukkan kepalanya. Ia meminta Reina menyanyikan lagu untuknya.Beberapa menit telah berlalu. Rafa sudah tertidur begitu lelap. Reina pun ingin ikut tidur karena merasa capek. Ia sampai melupakan suaminya.Namun tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk dari luar.“Siapa?” tanya Reina.Tak ada jawaban.“Pasti Pak Regan! Malas sekali.” Reina mencoba tak menghiraukan, tetapi pintu terus-menerus diketuk dari luar.Dengan terpaksa Reina bangkit dari kasur. Ia berjalan pelan mem
Setelah kepergian ulat bulu satu itu, Regan memeriksa isi bekal makan siangnya. Lelaki itu tersenyum manis lalu mulai mengirim pesan kepada Reina.[Terima kasih makan siangnya, Sayang.]Regan menanti balasan pesan dari Reina sambil menikmati makanan yang ada di depannya. Berkat makan siang itu, moodnya kembali membaik.“Semoga Pak Regan suka dengan makanannya. Maaf tidak bisa datang sendiri. Apakah Kak Amel berbuat macam-macam kepada Bapak, hem?”Balasan pesan dari Reina sukses membuat Regan senyum-senyum. Ia senang jika istrinya cemburu.[Makanannya sangat enak. Kamu sangat mengerti jika aku merindukan masakan kamu. Apalagi orangnya. Amel ke sini meminta uang karena aku belum sempat mengirimkan uang untuknya dan untuk kebutuhan keluarga.]Reina merasa tidak enak hati kepada Regan. Tetapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.“Maafkan Reina ya Pak Regan. Keluarga Reina jadi memanfaatkan Bapak.”[Kenapa harus meminta maaf? Ini semua sudah janjiku. Aku juga sudah mengirimkan uang untukmu.
Regan memeriksa ponselnya yang sejak tadi berdering. Ia mendapatkan laporan dari anak buahnya.“Astaga, aku sampai melupakan tentang hal ini. Sebaiknya aku segera ke sana sekarang.”Regan segera meninggalkan ruangannya. Ia berkendara dengan kecepatan sedang.***Setelah Xavier mengantarkan mamanya pulang ke mansion, ia memilih untuk kembali ke rumah yang lama. Rumah yang rencananya akan ia tinggali bersama istri barunya nanti.Meski Xavier kini sangat membenci Justin, namun ia sadar membutuhkan harta dari lelaki itu.Xavier merasa hampir gila. Ia mulai menjalani kehidupan seperti dulu. Menghabiskan waktunya dengan bermain wanita dan mabuk-mabukan.“Aku benci kamu, Justin keparat! Berani sekali menduakan mamaku!” Xavier berteriak. Membuang botol yang kosong ke dinding kamar.Sementara Justin baru saja berpamitan dengan Kimberly. Ia harus mengambil sesuatu di rumah lamanya.“Jika ada apa-apa, segera hubungi aku.”Setelah berkendara cukup lama, akhirnya Regan sampai di tempat yang dituju
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko