Regan memeriksa ponselnya yang sejak tadi berdering. Ia mendapatkan laporan dari anak buahnya.“Astaga, aku sampai melupakan tentang hal ini. Sebaiknya aku segera ke sana sekarang.”Regan segera meninggalkan ruangannya. Ia berkendara dengan kecepatan sedang.***Setelah Xavier mengantarkan mamanya pulang ke mansion, ia memilih untuk kembali ke rumah yang lama. Rumah yang rencananya akan ia tinggali bersama istri barunya nanti.Meski Xavier kini sangat membenci Justin, namun ia sadar membutuhkan harta dari lelaki itu.Xavier merasa hampir gila. Ia mulai menjalani kehidupan seperti dulu. Menghabiskan waktunya dengan bermain wanita dan mabuk-mabukan.“Aku benci kamu, Justin keparat! Berani sekali menduakan mamaku!” Xavier berteriak. Membuang botol yang kosong ke dinding kamar.Sementara Justin baru saja berpamitan dengan Kimberly. Ia harus mengambil sesuatu di rumah lamanya.“Jika ada apa-apa, segera hubungi aku.”Setelah berkendara cukup lama, akhirnya Regan sampai di tempat yang dituju
Regan harus pulang ke rumah lagi. Ia mendapat kabar dari Bi Nita jika mamanya berusaha untuk bunuh diri. CEO tampan itu melajukan mobilnya sangat kencang. Ia ingin segera tiba di rumah. Regan berlari menuju kamar setelah sampai di depan rumahnya. “Bi ... apa yang terjadi?” tanya Regan merasa gelisah. Rupanya Dokter Morgan sudah tiba di terlebih dahulu dan memberikan obat penenang untuk Olivia. “Bagaimana bisa terjadi, Bi?” Regan bertanya lagi kepada Bi Nita. “Tadi bibi bermaksud mengupaskan buah buat Nyonya Olivia. Tetapi tiba-tiba Beliau datang dari belakang dan merebut pisaunya. Untung bibi bisa bergerak dengan cepat.” “Syukurlah, Bi. Lain kali lebih berhati-hati lagi ya, Bi.” Dokter Morgan keluar dari kamar. Ia pun ikut merasa khawatir. “Mama kamu sudah tertidur. Pak Regan yang sabar, ya?” Dokter itu terlihat sangat sabar dan peduli terhadap keluarga Regan. Sejak dulu dia memang menjadi dokter kepercayaan. Hanya saja lelaki tampan itu masih betah menjomblo sampai sekarang
“Aku katakan kepadamu, Sayang. Kamu tidak perlu meminta maaf. Justru seharusnya aku yang minta maaf. Aku beberapa kali mengabaikan panggilan darimu.” Regan mengecup singkat bibir sang istri. “Oh, iya. Pokoknya besok gantian aku yang memberikan hadiah kepadamu. Masak iya belanja cuma buat keluarga? Rugi, dong!”“Pak Regan!” Reina mencubit pinggang suaminya. Membuat Regan menjerit karena refleks.“Apakah ada masalah? Sehingga membuat suamiku yang paling ganteng ini mengabaikan pesan-pesan dan panggilan dariku? Hem?” Reina menyatukan hidungnya pada hidung Regan. Membuat lelaki itu tersenyum gemas.“Ada yang ingin aku sampaikan kepadamu, Sayang. Ini tentang Mama.”“Mama? Maksud Bapak?” Reina tidak paham apa maksud ucapan dari suaminya itu.“Sayang ... Mama Olivia masih hidup. Mama kita.” Regan terlihat sedih. Ia mengingat kembali bagaimana mamanya disekap di dalam gudang.“Selama ini Papa menyembunyikan Mama. Dia menyebarkan informasi bahwa Mama sudah meninggal. Itu agar dia bisa menikahi
“Wah, Pak Regan tenang saja. Nyonya Olivia sudah tidak ngamuk lagi tadi. Setelah makan dan minum obat, Nyonya langsung tidur.” Regan mengajak Reina untuk melihat keadaan mamanya. Benar saja, wanita paruh baya itu tampak tertidur dengan sangat lelap. Reina memandangi lekat-lekat raut wajah Olivia. Ia berharap setelah ini bisa menemukan sosok ibu yang baik hati. “Ternyata wajah Pak Regan sangat mirip dengan Mama.” “Benarkah itu?” Regan mendekatkan wajahnya. “Eh, mau ngapain?” Reina langsung mengulurkan tangannya di depan wajah sang suami. “Sayang ... sekarang sudah saatnya.” Regan menutup pintu kamar sang mama dengan sangat pelan. Dengan gerakan tiba-tiba, lelaki itu langsung mengangkat tubuh sang istri ala bridal style. Hampir saja Reina berteriak. Untung saja masih bisa ia tahan. Tentu wanita itu tidak mau menganggu ketenangan tidur Olivia dengan teriakannya. Regan membaringkan tubuh Reina dengan perlahan. “Sayang .. semoga setelah ini kau segera hamil. Pasti Mama sangat senang
“Iya ... kamu sangat cantik, Sayang. Tidak salah Regan memilih kamu menjadi istrinya.” Tangan Olivia terulur mengusap rambut Reina. Regan tersenyum senang. Begitupun Reina yang tak menyangka jika sang mama mertua kini sedang memujinya. “Sayang ... jangan menunduk terus, dong!” peringat Regan merasa gemas. Reina tersenyum malu-malu. Ia melirik ke arah Regan hingga suaminya tersebut baru ingat niat mereka datang ke rumah itu. “Kalau begitu kita makan sama-sama ya, Ma?” ajak Regan kepada Olivia. “Iya, Sayang.” Reina membantu memapah tubuh sang mama sampai ke meja makan. “Mari makan,” ucap Regan bersemangat. Ia membatin di dalam hatinya. ‘Ini seperti masakan Reina. Sangat lezat.’ Olivia terlihat lahap saat makan. Membuat Reina merasa bahagia. “Makanan sangat lezat. Apakah kamu yang memasak, Sayang?” tanya Olivia kepada Reina. Reina merasa heran. Ia pikir Olivia tidak akan menyadari jika dirinya yang telah memasak semua makanan itu. Wanita itu pun menganggukkan kepalanya. “Iya,
Reina menggelengkan kepalanya. “Tidak, Pak. Bapak tidak perlu mengatakannya lagi. Reina juga salah. Reina sudah membuat pekerjaan menjadi terbengkalai.”“Reina ... aku benar-benar minta maaf. Terima kasih, sudah selalu setia di sampingku. Setelah ini aku akan berusaha untuk lebih sabar lagi.”Reina menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menunjukkan sesuatu kepada Regan.“Pak Regan, ini semua laporan yang Bapak butuhkan untuk rapat dewan direksi nanti siang. Saya juga sudah mengatur ulang jadwal Bapak agar tidak ada gangguan,” kata Reina kembali ke mode profesional.“Reina ... sebenarnya aku sedang tidak membutuhkan ini sekarang. Aku ingin fokus pada jadwal presentasi investor besok,” balas Regan yang mulai adu argumen lagi dengan sekretarisnya itu.Reina kembali dibuat naik darah. Tetapi ia mencoba tetap tenang. “Pak Regan, tolong dengarkan Reina. Rapat dewan direksi juga sangat penting. Kita perlu memastikan semua laporan lengkap dan siap untuk dibahas.”Regan mendongak dengan tatapan
“Rahasia,” ucap Reina seraya berlari meninggalkan Regan. “Sayang, tunggu. Jangan berlarian seperti anak kecil.” Regan geleng-geleng kepala. Merasa gemas dengan sikap istrinya. Reina duduk di bawah pohon. Menanti kedatangan Regan dengan tidak sabar. “Ayo dong, Pak. Buruan ke sini. Reina sudah haus.” Wanita itu berbicara sambil tangannya menyentuh tenggorokan. Mengisyaratkan bahwa dirinya benar-benar ingin minum yang segar-segar. Regan datang lalu menyentil kening istrinya. “Siapa suruh lari-lari, hem?!” Reina hanya tersenyum cengengesan. Memamerkan giginya yang putih dan rapi. *** Restoran “L'Amour” baru saja dibuka di seberang jalan dari kantor mereka. Restoran itu terkenal dengan menu modern dan suasana yang nyaman. Regan dan Reina memutuskan untuk mencoba tempat baru tersebut. Mereka bergandengan tangan menyeberangi jalan yang ramai menuju pintu restoran dengan perasaan penuh harap. “Selamat siang, selamat datang di restoran L'Amour,” sambut seorang pelayan muda dengan sen
Reina tersenyum bangga melihat keberanian suaminya. Ia langsung menggamit lengan CEO tampan itu. “Pak Regan sangat hebat. Reina jadi pengen seperti Bapak.” “Siapa dulu istrinya.” Regan menjawil dagu Reina. Mereka berdua pun berjalan beriringan untuk kembali ke kantor. Tiba di kantor, keduanya segera menuju lift. Reina mendekati Regan. Memastikan tidak ada luka di bagian tubuhnya. “Aku tidak apa-apa, Sayang. Tidak perlu khawatir seperti ini.” Reina kembali memamerkan senyuman termanisnya. “Pak Regan, ada yang ingin Reina sampaikan.” Wanita itu terlihat malu-malu. “Ada apa istriku, Sayang? Katakan saja. Apa yang kamu inginkan, hem?” “Melihat ibu-ibu tadi tidak bisa melawan, Reina jadi ingin mempelajari ilmu bela diri. Bolehkah Reina ikut kelas bela diri? Tae kwon do misalnya,” ungkap Reina jujur. Regan memperhatikan penampilan istrinya dari atas sampai bawah. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Lalu lelaki itu berucap dengan tenang. “Tentu saja boleh, Sayang. Kamu
Hari pernikahan Xavier dan Karin telah tiba. Udara pagi terasa segar dan cerah, seakan menyambut kebahagiaan yang akan segera berlangsung. Keluarga dan sahabat berkumpul di sebuah taman indah yang telah dihias dengan bunga-bunga warna-warni dan lampu-lampu gemerlapan. Suasana penuh dengan tawa dan senyum. Regan dan Reina tiba lebih awal bersama bayi kembar mereka, Alana dan Bianca, yang tertidur pulas di kereta dorong. Mereka disambut oleh Olivia dan Danny yang sudah tak sabar menantikan momen bahagia itu. “Aku tak percaya Xavier akhirnya menemukan kebahagiaan bersama Karin,” ucap Reina dengan mata berkaca-kaca. “Dia memang pantas mendapatkannya,” jawab Regan sambil tersenyum, merangkul Reina yang terlihat anggun dalam gaun biru muda. “Kita semua pantas bahagia.” Tak lama kemudian, para tamu mulai berdatangan. Leon, mantan pacar Reina dan Karin juga hadir dengan pasangan barunya. Mereka tampak sangat bahagia, saling berpegangan tangan dan tertawa bersama. Leon menghampiri Reg
Tanpa disangka, suatu hari Regan menemukan fakta baru yang mengejutkan. Saat itu, dia sedang bekerja di ruangannya. Berkas-berkas tersebar di atas meja ketika ponselnya berdering. Panggilan itu berasal dari salah satu anak buah kepercayaannya. “Ada apa, Roni?” tanya Regan sambil menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ada perkembangan baru, Pak Regan. Kami berhasil melacak beberapa transaksi mencurigakan yang berhubungan dengan Shadow Phoenix. Dan yang mengejutkan, ada keterlibatan Alex Ricardo di dalamnya,” lapor Roni. Regan terdiam sejenak, mencerna informasi tersebut. “Apa kamu yakin? Alex Ricardo? Bukankah dia masih berada di dalam penjara?” “Betul, Pak. Tapi tampaknya dia masih mengendalikan beberapa hal dari dalam penjara. Kami menemukan bukti bahwa beberapa anak buahnya masih menjalankan perintahnya dan menggunakan nama Shadow Phoenix untuk menyamarkan identitas asli mereka,” jelas Roni. Regan merasakan darahnya mendidih. “Teruskan penyelidikannya, Roni. Dan pastikan ki
Tanpa terasa, usia kehamilan Reina sudah memasuki trimester ketiga. Perutnya semakin membesar, membuatnya sulit menemukan posisi tidur yang nyaman. Setiap malam menjadi tantangan baru bagi Reina. Sementara Regan berusaha sebaik mungkin untuk membuat istrinya merasa nyaman dan bisa tidur nyenyak. Malam itu setelah mencoba berbagai posisi tidur dan tidak menemukan yang pas, Reina merasa frustasi. Ia berguling-guling di tempat tidur sambil menghela napas panjang. Regan yang melihatnya merasa kasihan dan ingin membantu. “Ada yang bisa aku lakukan, Sayang?” tanya Regan lembut. Ia duduk di tepi tempat tidur dan mengelus rambut istrinya. Reina menggeleng lemah. “Aku tidak tahu, Pak Regan. Aku sudah mencoba semua posisi tapi tetap saja tidak nyaman. Perutku terlalu besar.” Regan berpikir sejenak, lalu tersenyum. “Bagaimana kalau kita coba sesuatu yang baru? Tunggu sebentar.” Ia keluar dari kamar dan kembali dengan bantal-bantal tambahan. “Ayo, kita coba dengan bantal-banta
Pagi itu di kantor, suasana di ruang CEO terasa lebih sibuk dari biasanya. Regan tengah tenggelam dalam tumpukan dokumen dan panggilan telepon yang tak henti-hentinya. Di luar ruangan, para karyawan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sedangkan Reina pergi ke toilet sebentar untuk menyegarkan diri. Saat Reina keluar dari ruangan, pintu lift terbuka dan dua orang masuk ke lantai itu. Claudia dan Xavier melangkah dengan hati-hati menuju kantor CEO. Claudia tampak sedikit gugup, sementara Xavier berusaha tampak tenang meskipun jelas terlihat gelisah. Mereka mengetuk pintu dan menunggu sebentar sebelum mendengar suara Regan dari dalam yang mempersilakan mereka masuk. Ketika pintu terbuka, Claudia dan Xavier masuk dengan hati-hati. Regan yang tadinya duduk di balik mejanya langsung berdiri. Ekspresi wajahnya berubah dari fokus keheranan. “Mama Claudia? Xavier? Apa yang membawa kalian berdua datang ke sini?” tanya Regan dengan nada sedikit terkejut. Claudia mendekat de
Saat kehamilan Reina menginjak usia lima bulan, Regan memutuskan untuk mengajak Reina jalan-jalan di taman kota. Hari itu cerah, dengan langit biru dan angin sepoi-sepoi yang membuat suasana terasa sejuk. Reina tampak sangat bahagia, mengenakan gaun hamil berwarna pastel yang membuat perutnya yang semakin membesar terlihat menawan. Regan tak henti-hentinya tersenyum, menikmati momen kebersamaan mereka. Mereka berjalan-jalan sambil menikmati pemandangan taman yang indah. Banyak anak-anak bermain di taman bermain, pasangan-pasangan duduk di bangku menikmati suasana, dan para pedagang menjajakan makanan ringan di kios-kios kecil di sepanjang jalan setapak. “Ini hari yang sangat indah, ya?” ungkap Reina sambil menggenggam tangan Regan erat. “Ya, benar-benar indah,” jawab Regan, menatap istrinya dengan penuh cinta. “Aku senang kita bisa meluangkan waktu bersama seperti ini.” Mereka melanjutkan berjalan, berhenti sesekali untuk melihat bunga-bunga yang sedang mekar dan menikmati
Kehamilan Reina telah memasuki usia empat bulan dan perutnya mulai terlihat membesar. Setiap hari Regan semakin takjub melihat perubahan pada tubuh istrinya dan merasa tidak sabar untuk menyambut kehadiran anak mereka. Pagi itu Regan memutuskan untuk membawa Reina ke klinik untuk melakukan USG. “Sayang, hari ini kita akan ke klinik untuk melihat bayi kita,” ucap Regan dengan senyum lebar. Reina tersenyum bahagia, merasa tak sabar untuk melihat perkembangan bayinya. “Aku tidak sabar, Pak Regan. Pasti mereka sudah semakin besar sekarang.” Regan mengangguk. "Aku juga sangat bersemangat. Ayo kita bersiap-siap." Setelah bersiap-siap, mereka berdua berangkat ke klinik dengan penuh semangat. Dalam perjalanan, mereka terus berbicara tentang rencana masa depan dan bagaimana mereka akan merawat anak mereka. Regan menggenggam tangan Reina dengan erat, memberikan rasa tenang dan nyaman. Sesampainya di klinik, mereka disambut oleh dokter dan perawat yang ramah. “Selamat pag
Reina berdiri di dekat jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Matanya menyapu pemandangan yang indah, tetapi pikirannya jauh dari sana. Di luar, matahari mulai terbenam, menyinari langit dengan warna-warna keemasan, tetapi dalam hati Reina, ada kegelapan yang sulit hilang. Regan, yang baru saja selesai menutup laptopnya setelah bekerja seharian dari rumah mulai memperhatikan istrinya. Ia berjalan mendekat dan dengan lembut meletakkan tangannya di bahu Reina. “Ada apa, Sayang?” tanyanya dengan suara penuh perhatian. Reina tersentak dari lamunannya dan menoleh ke arah Regan. “Aku masih memikirkan Kak Amel,” jawabnya dengan suara lirih. “Aku merasa bersalah dan cemas tentang apa yang terjadi padanya.” “Sayang, kamu sudah melakukan yang terbaik. Kadang-kadang, kita tidak bisa mengendalikan semua yang terjadi di sekitar kita. Apa yang terjadi pada Amel adalah akibat dari pilihannya sendiri.” “Tapi, aku tetap merasa harus melakukan sesuatu,” lanjut Reina dengan nad
Linda dan Amel tampak berjalan menuju mereka. Kehadiran dua orang itu seakan membawa aura negatif. Amel, dengan tatapan jahat, mulai merencanakan sesuatu yang licik terhadap Reina. Linda dan Amel berpura-pura bergabung dengan kebersamaan keluarga Danny, tapi Amel dengan hati-hati mendekati Reina yang sedang berjalan di atas bebatuan. Amel mengatur langkahnya agar Reina terpeleset di atas batu licin. Namun, rencana jahat itu berbalik. Saat Amel mendorong Reina, dirinya sendiri yang kehilangan keseimbangan. Amel terjatuh keras di atas batu tajam. Semua orang terkejut dan bergegas menghampiri. Linda berteriak panik, “Amel! Apa yang terjadi?!” Regan, yang melihat situasi tersebut, segera memanggil bantuan. Amel tampak mengalami pendarahan hebat. Regan memeluk Reina erat-erat, memastikan dia baik-baik saja. “Kamu tidak apa-apa, Sayang?” tanyanya dengan penuh kekhawatiran. Reina mengangguk. “Aku baik-baik saja, Pak Regan. Tapi Kak Amel ... dia tampak sangat parah.” Ambulans segera
Liburan keluarga besar ke pantai adalah momen yang ditunggu-tunggu oleh seluruh anggota keluarga. Reina dan Regan memang telah merencanakan hal itu jauh-jauh hari. Hanya saja baru terealisasi saat ini. Dengan persiapan yang matang, mereka berangkat dari rumah dengan semangat tinggi. Olivia, Bi Nita, Danny, Rafa, Alya, dan Bi Siti bergabung dalam perjalanan tersebut, ikut memastikan tidak ada yang tertinggal. Mereka membawa perbekalan lengkap, termasuk makanan, minuman, mainan pantai, dan berbagai kebutuhan lainnya. Sesampainya di pantai, suasana langsung berubah menjadi ceria. Mereka menata tempat dengan menyiapkan tenda, menggelar tikar, dan menata makanan piknik. Rafa dan Alya segera berlari ke air, bermain dengan ombak dan tertawa riang. Danny dan Bi Siti membantu Olivia dan Bi Nita menyiapkan makanan. Regan dan Reina berkeliling, memastikan semuanya tertata dengan baik. “Ayah, jangan terlalu jauh, ya!” teriak Reina sambil melambai ke arah Danny yang sedang membawa ko