Siapa yang berteriak, siapa yang berjanji. Pertanyaan itu menggema dalam otak Kyra. Hanya sesaat sebelum ia terbangun dengan bunyi bom meledak hebat. Lantai porselen dingin menyadarkannya jika kini ia tidak ada lagi di atas tempat tidur. Yang ia alami belakangan ini sama sekali tidak bias disebut sebuah mimpi buruk atau pun mimpi indah. Mimpi itu terkesan begitu nyata hingga Kyra bisa ingat aroma rerumputan yang dicium di sana, di kedalaman mimpinya. Akhirnya bosan memikirkan tidurnya yang sama sekali tak nyaman karena kehadiran mimpi-mimpi itu, diusap wajahnya kasar.
“Baik-baik saja dengan mimpimu, sayang?”
Aroma harum khas mengelitik indra penciuman Kyra. Ia tersenyum. “Coklat.” Lalu berdiri dengan segera. Ia menerima uluran cairan kental manis yang beraroma relaksasi baginya itu dengan segera. Saat kemudian ia menyadari Sheina—mamanya—menunggu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Lantas ia segera menjawab, “Masih sama seperti biasanya, Ma.” Setelah itu ia kembali menyeruput dengan tenang.
“Tadi Tania menelpon.” Shiena memandangi putrinya itu, intens. “Kamu yakin tidak melupakan sesuatu, Kyra?”
Sambil menjilat bibirnya, Kyra berpikir. Hari ini libur, jika bukan sesuatu yang penting, Tania tak akan menghubungi Kyra. “ASTAGA!” ia meloncat ke kamar mandi setelah menyerahkan mug yang hampir jatuh ke lantai karena Kyra bukannya menyerahkan lebih tepatnya melempar mug tersebut.
“Sebenarnya saat membawa coklat hangat kemari, Tania sudah menelepon dua kali.’” Shiena tertawa saat melihat bibir putrinya penuh busa pasta gigi. “Dia bilang untuk tidak membangunkanmu dan membiarkanmu ingat sendiri pada tugas.” Mama pergi dengan mug kosong keluar kamar. Kyra yakin mendengar teriakan Shiena di tangga untuk bergegas.
Tidak sampai lima menit, Kyra telah menyandang tas besar yang tidak sepadan dengan porsi badannya yang kecil. Melayangkan kecupan singkat pada pipi Shiena, lantas ia berlari kencang menuju halte bus di ujung jalan. Sekitar 500 meter di sebelah utara.
Dari kejauhan Kyra bisa melihat sebuah bus besar parkir di halte. Ia berharap dalam hati, semoga saja penghuni bus tidak berubah menjadi kanibal ketika ia datang. Dari banyak alasan mereka tidak menyukainya, kini bertambah satu alasan lagi.
“Baguslah kamu masih ingat dengan study tour kita.”
Kyra seketika memejamkan mata. Apakah kali ini ia akan mati atau kemudian lagi-lagi Tania memaafkannya. Mereka berteman, untuk itu Kyra yakin yang kedualah yang akan terjadi. “Ma-af.” Gagap Kyra menyampaikan penyesalannya.
Dengusan penuh emosi diterima Kyra lapang dada.
“Jangan minta maaf padaku. Bukan hanya aku yang mengikuti tur ini.” Gadis yang menunggu Kyra menegakkan punggungnya. “Tapi, memang karena aku kamu mendapatkan kompensasi ini. Aku harap ini yang terakhir Kyra. Yang terakhir.” Gadis itu naik ke atas bus lebih dulu.
Kyra memandang punggung tania lama sebelum teriakan gadis itu membuatnya terlonjak. Bergegas ia naik, tentu saja seraya menunduk. Janagan samapai melihat tatapan membunuh yang lain.
***
Tania pertama kali bertemu dengan Kyra saat ia berusia tujuh tahun. Untuk anak usianya, Tania tergolong anak yang pintar dan Kyra, Tania tak bisa menjelaskan bagaimana Kyra saat itu selain anak pemalu, ceroboh dan menyebalkan. Kyra bersembunyi ketika pertama kali bertemu dengannya, terjatuh saat berjalan sendirian di taman depan rumah—saat itu Tania melihat itu dari jendela—Tania yakin jika itu menyakitkan, dan ia selalu saja mendapat perhatian lebih karena dua sifat tersebut, menyebalkan.
Sebuah hal mengherankan sampai saat ini Tania masih saja bertahan bersama Kyra. Ia sempat berpikir, gadis menyebalkan itu mensugestinya untuk patuh.
“Tania.” Pelan sekali gadis itu memanggil dan Tania hanya bias mendengus. “Tania.” Kali ini gadis itu melambaikan tangan di depan Tania.
Tania berpikir untuk mengabaikan, tetapi tetap menyahut. “Apa?” Suaranya terdengar ketus dan menyebalkan.
“Kau marah padaku?”
Pertanyaan ajaib pikir Tania cepat. Kadang dalam hatinya berniat dengan sungguh-sungguh untuk membuat Kyra menangis sedikit atau banyak. “Menurutmu?”
“Kamu marah padaku. Lebih banyak dari sebelumya.” Gadis itu mengosokan kedua telapak tangannya seperti orang kedinginan.
“Baguslah kalau kamu menyadarinya.” Tania masih tetap fokus pada pekerjaan sebelumnya, menatap buku agenda. “Sekali saja dalam hidupmu, bisakah melakukan sesuatu dengan benar?” Lebih kepada frustasi pertanyaan itu diajukan Tania.
Kyra terdiam. Ia tahu kesalahan yang sudah diperbuat. Bahkan jika dijadikan sebuah daftar maka itu akan menjadi sangat panjang. “Maafkan aku.” Jujur Kyra menyesal untuk semua hal yang sudah terjadi.
“Aku tidak ingin bicara denganmu, tidurlah.” Ia tidak ingin terlibat obrolan dengan Kyra kini. “Dan kalian berhentilah mengurusi orang lain.” Tania melihat melalui bahu pada beberapa anak yang sejak tadi berbisik-bisk tentang Kyra. Kyra memang pemalu, ceroboh, dan menyebalkan. Akan tetapi, hanya dirinya yang berhak menghakimi Kyra, bukan orang lain yang tak tahu apa-apa.
***
Mahrazh adalah sebuah tempat gersang yang terletak di arah matahari terbenam. Kata orang hal itu karena sebuah kutukan dan yang lainnya berpendapat jika hal itu semua dapat dijelaskan secara ilmiah. Perjalanan menuju Mahrazh sendiri setiap tahun dilakukan oleh sekolah tempat Tania dan Kyra belajar. Pertama sebagai bahan penelitian untuk para murid tentang sejarah Mahrazh. Juga sebagai sarana refreshing. Mahrazh yang gersang masih punya daya tarik tersendiri.
Mahrazh terletak sekitar 567 mil dari kota Raven. Jalannya sama sekali tidak ramai malah tergolong sepi. Perjalanan memakan waktu sekitar 6-8 jam. Melewati pinggiran kota Raven terlebih dahulu dan memasuki savana sebelum akhirnya samapai ke Mahrazh.
Kyra ….
Apakah ini adalah mimpi yang sama seperti sebelumnya, mimpi yang selalu hadir hampir setiap malam belakangan. Jika benar, maka tidur yang harusnya menenangkan miliknya kembali terampas.
Akhirnya kamu datang, akhirnya kamu menepati janji ….
Janji, kepada siapa ia berjanji. Berkali- kali ia meyakinkan diri jika suara-suara itu hanya salah satu mimpi tanpa visi. Namun, kata janji menyeruak lebih dalam dari yang dikira. Ada sesuatu pada kata itu yang benar bahkan sakral.
“Kyra.” Kali ini suara itu lebih jelas dari sebelumnya. “Kyra.” Bahkan cukup nyata untuk menyuruh otaknya bangun dengan segera. “KYRA!” Kyra terjatuh dari atas tempat duduk, matanya terbuka dan dilihatnya Tania berkacak pinggang. “Aku tidak kemari untuk mengurusimu.” Teman Kyra itu tampak kesal dan kemudian berbalik pergi menuju pintu bus.
Saat kaki Kyra menyetuh tanah berpasir milik Mahrazh, angin dingin menampar Kyra dengan keras. Suasana sudah gelap dan Kyra takut sekali pada keadaan seperti itu. Kyra selalu merasa diperhatikan dari dalam ruang gelap yang juga tidak bias disentuhnya. “Tunggu!” Disusul Tania yang sudah jauh berjalan dengan kepayahan membawa beban pada tas.
Penginapan itu hampir keseluruhannya terbuat dari marmer putih. Dinding-dindingnya berdiri kokoh dan dingin. Pemilik mengatakan jika semuanya masih bangunan asli rumah gaya Mahrazh jaman dahulu. Katanya hanya furniture di dalam yang ditambahi di sana-sini sebagai pemanis.
Salah satu teman sekolah Kyra berkata jika tempat itu menyeramkan. Kyra dengan jujur mengakui hal itu pula dalam hati. Kamar Kyra sendiri terletak paling ujung. Melewati beberapa lorong yang panjang dan sedikit gelap. Tida ada jendela di lorong-lorong yang dilewatinya. Namun, hampir di sisi semua dinding di lororng terakhir tempat kamarnya berada berisi jendela yang menghadap pada tanah kosong Mahrazh. Pada dinding tanpa jendela lainnya,Kyra menemukan sebuah lukisan yang aneh. Sebuah pohon dengan latar merah berbentuk lingkaran. Pada lain kesempatan ketika ia bertanya pada pemilik yang tengah menyiapkan sarapan, pohon itu adalah lambang sesuatu yang menyeramkan. Kyra sejak itu tak mau lagi menoleh pada lukisan yang menurutnya indah itu.
Kamar Kyra terdiri dari beberapa perabotan selain tempat tidur dengan tiang-tiang yang mencakar langit-langit. Kelambu tipis warna putih melilit tiang-tiang itu. Dua buah nakas mengapit tempat tidur yang cukup besar, pasti bisa ditiduri tiga anak. Namun, setiap anak di sekolah yang ikut perjalanan ini mendapatkan kamar masing-masing.
Kyra tak berencana mengemas tas. Ia lebih merasa aman jiak semua barang yang dibawa tetap di dalam tas. Kalau-kalau ada kejadian yang mengharuskan Kyra bergegas berkemas, meyakinkan dirinya sendiri tidak akan ada barang yang tertinggal.
Baru saja beberapa detik memejamkan mata, kembali Kyra mendengar suara. Ia bertanya pada dirinya, apakah kini ia bahkan bermimpi dengan keadaan sadar juga. Kesal dengan sesuatu yang dialami, Kyra duduk sambil mendengus. Tatapannya bertemu dengan tatapan lain kini. Bola mata berwarna biru yang dingin dan temaram. Tapi, bukankah dirinya sendirian saja di kamar.
Tanialah yang muncul pertama kali di pintu kamar Kyra.
“Jangan bilang ini adalah salah satu serangga yang kamu takuti.” Temannya itu merunggut ketika diajak masuk ke dalam kamar.
Kyra tidak bicara. Ia hanya memilih memegang erat-erat lengan Tania dan saat masuk kamar bersembunyi di balik punggung temannya itu. Kekagetan masih membuat suara Kyra bersembunyi di dasar kerongkongan. “A-da seseorang.” Tergagap ia berkata ketika keberanian muncul sedikit.
Tania menoleh melalui bahu mencari kebohongan pada nada raut wajah Kyra, tapi tak menemukannya. Kyra takut hampir pada semua hal, bahkan kadang gadis itu terlonjak hanya karena melihat bayangan diri sendiri yang memanjang disinari matahari. “Tidak ada seorang pun di sini, kamu pasti bermimpi.” Tania berbalik akan pergi. Namun, Kyra dengan segera pula menahannya. “Apa?” Perasaan jengkel Tania timbul.
“Tapi tadi itu memang ada seseorang.” Kyra berusaha meyakinkan, agar temannya itu mau barang sebentar menemani.
“Tidak ada siapa pun.” Tania memutari kamar, mendekati setiap sudut yang sedikit gelap dengan mengayun-ayunkan tangan. “Jangan merepotkanku, kumohon! Bukan Cuma kamu yang merasa lelah.” Kali ini bahkan tatapan memelas paling hiba Kyra tak bisa menahan Tania.
Pintu kamar berdebam tertutup di belakang. Bersamaan dengan pertanyaan yang muncul di diri Kyra.
Kyra hampir tidak tidur. Saat ia terlelap, mimpilah yang kini kembali menghantui. Ia terjaga ketika cahaya matahari belum menyentuh tanah Mahrazh dengan lingkaran hitam di bawah mata.“Kamu terlihat mengerikan.” Tania berkomentar ketika ia sampai di ruang makan penginapan. Temannya itu sedang menyeruput secangkir kopi hitam.“Secangkir kopi saat sarapan kurang baik untuk lambung.” Walau berkata demikian, Kyra sendiri juga memesan kopi. Pikirnya ia butuh sesuatu yang membuatnya tetap terjaga. Anak-anak yang lain berdatangan setelah cangkir kopi Tania kosong dan gadis itu bermaksud untuk mengisi lagi.Dari obrolan teman-temannya yang lain, Kyra berpendapat jika bukan hanya dirinya saja yang menggalami malam tak menyenangkan. Hampir semua memiliki malam yang tak tenang. “Apa tidurmu juga tak tenang, Tania?”“Ini hanya karena kita tidak terbiasa dengan lingkungan baru. Jangan ikut-ikutan menyalahkan kutukan untuk sesu
“Sudah kukatakan untuk tidak lagi menemui putra Sang Lord.”Kyra terhenti dengan perasaan jika ia begitu tak asing pada suara yang kemungkinan sedang menyapanya itu. Ia menoleh, menemukan seorang perempuan bewajah sama sepertinya. Kini Kyra merasa sedang berhadapan dengan sebuah cermin.“Aku tidak menemuinya. Dia yang menemuiku.”Dari tindakan dan juga perkataan yang baru saja diutarakan, Kyra tahu hubungannya sedikit tidak baik dengan perempuan berwajah sama denganya yang berdiri di belakang. Jawaban dari perempuan itu kemudian adalah teriakan yang mengantar Kyra kembali ke alam sadar.Kyra melihat kelambu tempat tidur kamar hotelnya beterbangan ditiup angin. Langit batu pualam yang mengatakan kalau ia baru saja bangun dan rasa tenang yang aneh. Untuk beberapa saat kemudian Kyra menyadari sedang menggenggam tangan, ia lanatas menoleh dan menemukan Tania sedang duduk di kursi dengan buku terbuka di pangkuan.“Kamu teru
Syukurlah kemarin hanya sebuah mimpi. Kalimat itu ia gumamkan dalam hati saat pertama kali setelah membuka mata dan melihat sedikit jika ia menelungkup di ranjang. Ia memejamkan matanya kembali dan berbalik menatap langit-langit, ketika membuka mata dan melihat jika langit-langit kamar itu bukanlah miliknya. Ia meloncat dan terjatuh dengan lutut lebih dulu membentur lantai. Rasa nyeri meyakinkan dirinya jika ia tidak bermimpi.Benar saja, tempat tidurnya berbeda. Bukan Kasur empuk dengan alas sprei putih dan empat bantal di kepala seperti miliknya di rumah. Tapi dipan terbuat dari kayu besar yang berbau manis dengan kaki-kaki besar. Ada tiga lilin yang bersinar di dekat meja kayu dengan kaca dan sisir yang terbuat dari tulang. Jendela kamar tidak terbuka, padahal dari selanya Kyra bisa melihat cahaya menelusuk masuk. Ada sebuah lemari di dekat pintu, kacanya buram. Kamar itu tidak besar dan tidak kecil. Satu yang pasti, tempat itu terasa penggap.“Kyra.&rdq
Sesuatu yang basah dan dingin menyentuh ujung hidung Kyra. Ia menegadah dan melihat bahwa serabut-serabut halus mulai berjatuhan. “Hujan.” Lekas ia berdiri dan memandang Alden. “Kamu juga harus segera kembali ke kastel. Jaraknya tak jauh dari sini, kan?”Alden menggeleng.Kyra berbalik, memutuskam umtuk mulai berlari untuk sampai ke rumah tempat ia datang tadi. Ia harap tidak tersesat di suatu tempat.“Kyra!” Dilihat Alden itu berhenti dan berbalik. “Kamu selalu bisa menemukanku di sini.”Kini giliran Kyra yang memandangi punggung Alden yang berlari menjauh dan hilang. Entah kenapa ia bersyukur masih ada Alden di sini. Serabut hujan semakin deras turun dan Kyra kembali berlari.***Punggung Kyra dengan keras membentur dinding, nyeri. Luna, gadis yang mirip dengan Kyra itu kini memandangnya berang. Sejak melihat Kyra pulang memasuki rumah dari pintu belakang langsung saja ditarik tanpa pertanyaa
Pada suatu masa, ketika para penyihir masih bebas berkeliaran dan mencoba sihirnya. Ketika istana Mahrazh baru saja di bangun, dan taman-taman masih dipenuhi bunga kristal salju. Ketika itu hiduplah seorang gadis yang cantik. Bermata gelap yang bersinar redup. Rambutnya hitam gelap bagai langit malam. Yang paling mempesona adalah suaranya. Kadang-kadang mendayu-dayu, kadang-kadang semanis madu. Nyanyiannya menghiasi mimpi-mimpi para pemuda, tak terkecuali kedua pangeran. Si Sulung dan Si Bungsu. Si sulung selalu dengan terang-terangan mendekati sang gadis. Si Bungsu hanya bisa memandang dari kejauhan. Menjaga supaya sang gadis tetap aman.Si gadis bukan tak tahu jika kedua pangeran itu tertarik padanya. Ia hanya tak ingin kedua pangeran bertengkar memperebutkan dirinya yang orang biasa. Dihati, sebenarnya sang gadis telah memutuskan, telah memilih pemuda. Yang menurutnya terbaik dan yang paling baik.Pada suatu pesta yang diadakan oleh kastel untuk memperingati kelahir
Alden melambai di depan Kyra. “Sedang memikirkan apa?” Alis Alden terangkat sedikit.Kyra menggeleng. “Tidak ada.” Ia berjalan mendahului dan menoleh penuh kekagetan di matanya ketika jemari Alden mengenggam jemarinya.“Jangan sampai tersesat.” Alden menarik Kyra perlahan.Dengan patuh Kyra mengikuti. Berjingkat ketika pemuda di sampingnya berjingkat dan menempel ke dinding ketika pemuda itu melakukan itu. Ia melakukan sama persis dengan yang dilakukan Alden.“Ada penjaga.” Alden berbisik di telinga Kyra. Hembusan napasnya membuat Kyra gemetar.Ia menjulurkan kepala sedikit untuk bisa melihat penjaga yang dikatakan Alden. Ada dua orang dengan baju metal berdiri di sebuah pintu berwarna coklat gelap. Tubuh dua orang itu kekar dan lebih tinggi beberapa inci dari Alden yang jika berdiri di antara kedu orang itu terlihat kecil. “Itu perpustakaan?”Saat Kyra menoleh menatap Alden, pemuda
Kyra membuka mata tiba-tiba. Ia sudah ada di kamarnya kini, kepalanya masih sakit dan sebuah kain basah terjatuh ketika ia mencoba duduk. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Bertemu dengan seorang pemuda dengan mata gelap dan rambut merah. Roth. Nama yang tiba-tiba saja melintas dalam otaknya saat itu. Ia sendiri merasa heran bagaimana bisa terlintas nama itu di dalam pikirannya. Lalu, bagaimana ia bisa ada kembali di sini.“Sudah sadar?”Kyra menoleh perlahan, menatap seorang wanita dengan pakaian pelayan. “Kamu?” Ia tak tahu siapa yang tengah duduk dan kembali memeras kompres basah, meletakkan kembali di kepalanya.“Sebaiknya Anda tidak mencoba melawan, Nona.” Pelayan itu mengenggam tangan Kyra.Kyra tidak tahu pelayan itu berbicara tentang masalah apa. Selain para pelayan dan beberapa penjaga di gerbang depan lalu yang kadang-kadang di temui di belakang. Hanya Ayah yang tidak pernah tampak oleh
Alden berpura-pura tak melihat. Padahal sungguh mati ia terkejut menatap sebuah wajah yang mirip dengan orang yang bersembunyi di belakangnya. Sentuhan jemari Kyra di punggungnya perlahan melemah, kemudian ia tak merasakan lagi. Saat menoleh ia melihat gadis itu berlari. Ia yakin di dalam otak Kyra muncul banyak ketakutan dan di suatu tempat ketika terjatuh gadis itu akan menangis.Alden berbalik. Bermaksud mengejar gadis itu. Ia tak bisa membiarkan Kyra ketakutan sendirian, ia menyukai gadis itu, dan tak peduli dengan wajah lain yang sama dengan Kyra. “Lepaskan aku!” Berseru penuh kemarahan pada gadis dengan wajah Kyra yang menahannya. Setelah mengatakan itu Alden mulai berlari dan telah kehilangan jejak“Dia saudariku.” Gadis dengan wajah Kyra itu memberitahunya.“Aku tak peduli. Aku mencintainya.” Alden bisa menangkap kemarahan dalam tatap mata gadis berwajah Kyra. pemuda itu memilih mundur, ia tak ingin berdebat dengan per