Kehidupan Normal mulai datang perlahan-lahan kini. Sekolah walaupun belum secara penuh telah berjalan kembali. Kyra mulai sibuk mengejar pelajaran yang dari awal sudah tertinggal. Roth benar-benar membantunya dalam mengerjakan catatan.
Alden belum bisa seperti biasa. Sesekali ia termenung di suatu sudut dan kemudian menangis. Kyra bisa memaklumi hal tersebut, tapi tidak bisa membantu apa-apa. Ia tidak memiliki saudara dan selalu terbiasa sendiri. Tania, sahabatnya tidak pernah meninggalkannya. Namun, kehilangan seorang sahabat tentu berbeda dengan kehilangan saudara kembar.
“Aku benar-benar ingin membantu,” kata Kyra pada Roth yang datang setelah bel berbunyi.
Roth melirik ke arah Alden yang diam saja sejak tadi. “Kita akan membantu jika sementara waktu menjauh darinya,” kata pemuda tersebut cukup yakin. Ia melihat Tania mendekati tempat duduk Alden kini.
Kyra bertupang dagu, tatapannya mengatakan ketidaksetujuan, tapi ia tak menye
Brak!Suara keras tersebut membuat kepala Alden terangkat. Ia melihat sebuah tas di atas meja dan gadis yang kemudian duduk di bangku di sampingnya.Lagi? Alden bertanya dalam hati tidak percaya. Ia melirik gadis yang datang bersama tas besar di atas meja. Sudah tiga hari berturut-turut orang yang sama menganggunya. Ia sudah mengakui kalau membuat kesalahan dengan menyiksa diri sendiri. Akan tetapi, gadis ini datang lagi dan lagi, membuat Alden kesal setengah mati.“Aku sudah mengakui kesalahanku, kan? Aku tidak akan menyendiri lagi, sungguh,” kata Alden sungguh-sungguh.Gadis bernama Tania yang menjawab selama hampir lima tahun berturut-turut menjadi ketua siswa tersebut mengangkat kepala dan menatap Alden malas. “Bisakah pandanganmu kamu alihkan ke arah lain? Apa yang kamu lihat?” tanyanya sama sekali tidak bersemangat.Alden melakukan seperti yang diminta dan menemukan seluruh meja kantin penuh kecu
Tania sama dengan gadis lainnya di sekolah. Pasti akan tersipu-sipu jika jatuh cinta. Namun, ia tidak melihat hal itu dilakukan Tania padanya. Jadi, tidak mungkin gadis itu menyimpan perasaan untuknya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.Gadis bernama Tania tersebut muncul kembali dengan tas yang sama besarnya seperti kemarin-kemarin dan juga buku-buku di pangkuannya. Setelah melirik sedikit, Alden memalingkan pandangan dan sibuk dengan tugasnya sendiri.“Bukan begitu.”Ia tersentak ketika Tania menepuk tangannya pelan dan menarik buku yang sedang ditulis. Dari tas sendiri, Tania mengeluarkan sebuah balpoin dan menulis di buku Alden yang direbut.“Seperti ini,” kata Tania. Buku tersebut kembali ke depan Alden.Ia menemukan kesalahan dalam perhitungan alogaritma yang sedang dikerjakan. Alden berdehem sedikit. “Terima kasih,” katanya dingin.Sebagai balasan Tania tersenyum sangat manis hingga d
Hubungan Alden dan Tania nyaris sangat baik sekarang. Walau kadang-kadang Kyra memergoki keduanya sedang berdebat sesuatu yang tidak dimengerti, tapi ia yakin semuanya baik. Sebab ia melihat wajah Tania sangat cerah setiap kali hal tersebut terjadi.“Apa terjadi sesuatu yang hebat?” tanya Roth tiba-tiba.Pemuda yang entah sudah tumbuh berapa senti sejak kejadian penyerangan Vlad itu punya bakal untuk muncul tiba-tiba sekarang. Bukan hanya itu, tampangnya yang semakin hari semakin maskulin membuat jantung Kyra tak aman. Kyra harus berusaha keras untuk tidak menatap langsung ke arah pemuda itu setiap kali bicara.Namun, itu malah membuat Roth semakin ingin mengodanya. Pemuda tersebut selalu saja mendorongkan dirinya ke depan Kyra dengan segala cara dan sepertinya menikmati kecanggungan yang merayap di wajah Kyra.“Tentu saja.” Kyra membusungkan dada dan menunjuk ke arah Alden yang sedang duduk di taman bersama Tania.
“Alvare juga akan kembali seperti Radk, kan?”Saat Kyra ditanya oleh Alden seperti itu, ia tidak bisa menjawabnya. Yang dilakukan kemudian hanya melarikan diri dan terus seperti itu. Ketika mereka harus berkumpul dan kemudian membicarakan banyak hal lalu Alden kembali mendekatinya untuk bisa menanyakan hal yang sama lagi, Kyra akan mengelak. Ia melakukan segala cara untuk melarikan diri. Sampai ia yakin Alden menyerah dan tidak lagi bertanya.Ia menyayangi Alden seperti menyayangi Tania, sahabatnya sejak kecil. Ia sangat gembira ketika keduanya memutuskan untuk menikah dan menjadikan dirinya orang pertama yang menerima kabar tersebut. Ia bahkan mendapatkan lemparan bunga dari Tania.“Aku sangat bahagia!” Tania memeluknya sampai sesak napas saat mengabarkan hal tersebut dengan Alden di belakangnya.Dalam tatapan Alden Kyra bisa menemukan pertanyaan yang dulu diajukan ketika melihat Radk dan Eleanor bersama. Namun, lelaki it
‘Apakah ini akhir?’ gadis itu memandang nanar pada sekeliling. Ia selalu saja bertanya, apakah ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Saat kemudian ia berpikir sesuatu itu adalah pasangan yang saling mencintai, kini dengan tegas akan dihapusnya. Bahkan takdir manusia juga cinta.Gadis itu mendesah. Mana pemuda itu yang berani membuatnya berharap jika semuanya akan baik-baik saja ketika Bersama. Apakah para manusia itu berhasil menangkapnya atau takdirlah yang berhasil menangkap.“Lepaskan aku! LEPAS!”‘Inilah akhir kisah kita Alden, inilah akhirnya.’ Air mata gadis itu jatuh di pipi. Dalam hati ia berharap jika Alden tidak akan datang. Pergilah. Pergilah. Berkali-kali ia mengusir pemuda itu dalam hati. Tapi, suara Alden malah semakin kuat kini menggema.Napasnya yang sudah sesak semakin sesak kini. Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mendesak untuk keluar. Gadis itu tahu itu apa, jiwanya.&nb
Siapa yang berteriak, siapa yang berjanji. Pertanyaan itu menggema dalam otak Kyra. Hanya sesaat sebelum ia terbangun dengan bunyi bom meledak hebat. Lantai porselen dingin menyadarkannya jika kini ia tidak ada lagi di atas tempat tidur. Yang ia alami belakangan ini sama sekali tidak bias disebut sebuah mimpi buruk atau pun mimpi indah. Mimpi itu terkesan begitu nyata hingga Kyra bisa ingat aroma rerumputan yang dicium di sana, di kedalaman mimpinya. Akhirnya bosan memikirkan tidurnya yang sama sekali tak nyaman karena kehadiran mimpi-mimpi itu, diusap wajahnya kasar.“Baik-baik saja dengan mimpimu, sayang?”Aroma harum khas mengelitik indra penciuman Kyra. Ia tersenyum. “Coklat.” Lalu berdiri dengan segera. Ia menerima uluran cairan kental manis yang beraroma relaksasi baginya itu dengan segera. Saat kemudian ia menyadari Sheina—mamanya—menunggu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Lantas ia segera menjawab, “Masih sama sepe
Kyra hampir tidak tidur. Saat ia terlelap, mimpilah yang kini kembali menghantui. Ia terjaga ketika cahaya matahari belum menyentuh tanah Mahrazh dengan lingkaran hitam di bawah mata.“Kamu terlihat mengerikan.” Tania berkomentar ketika ia sampai di ruang makan penginapan. Temannya itu sedang menyeruput secangkir kopi hitam.“Secangkir kopi saat sarapan kurang baik untuk lambung.” Walau berkata demikian, Kyra sendiri juga memesan kopi. Pikirnya ia butuh sesuatu yang membuatnya tetap terjaga. Anak-anak yang lain berdatangan setelah cangkir kopi Tania kosong dan gadis itu bermaksud untuk mengisi lagi.Dari obrolan teman-temannya yang lain, Kyra berpendapat jika bukan hanya dirinya saja yang menggalami malam tak menyenangkan. Hampir semua memiliki malam yang tak tenang. “Apa tidurmu juga tak tenang, Tania?”“Ini hanya karena kita tidak terbiasa dengan lingkungan baru. Jangan ikut-ikutan menyalahkan kutukan untuk sesu
“Sudah kukatakan untuk tidak lagi menemui putra Sang Lord.”Kyra terhenti dengan perasaan jika ia begitu tak asing pada suara yang kemungkinan sedang menyapanya itu. Ia menoleh, menemukan seorang perempuan bewajah sama sepertinya. Kini Kyra merasa sedang berhadapan dengan sebuah cermin.“Aku tidak menemuinya. Dia yang menemuiku.”Dari tindakan dan juga perkataan yang baru saja diutarakan, Kyra tahu hubungannya sedikit tidak baik dengan perempuan berwajah sama denganya yang berdiri di belakang. Jawaban dari perempuan itu kemudian adalah teriakan yang mengantar Kyra kembali ke alam sadar.Kyra melihat kelambu tempat tidur kamar hotelnya beterbangan ditiup angin. Langit batu pualam yang mengatakan kalau ia baru saja bangun dan rasa tenang yang aneh. Untuk beberapa saat kemudian Kyra menyadari sedang menggenggam tangan, ia lanatas menoleh dan menemukan Tania sedang duduk di kursi dengan buku terbuka di pangkuan.“Kamu teru