“Sudah kukatakan untuk tidak lagi menemui putra Sang Lord.”
Kyra terhenti dengan perasaan jika ia begitu tak asing pada suara yang kemungkinan sedang menyapanya itu. Ia menoleh, menemukan seorang perempuan bewajah sama sepertinya. Kini Kyra merasa sedang berhadapan dengan sebuah cermin.
“Aku tidak menemuinya. Dia yang menemuiku.”
Dari tindakan dan juga perkataan yang baru saja diutarakan, Kyra tahu hubungannya sedikit tidak baik dengan perempuan berwajah sama denganya yang berdiri di belakang. Jawaban dari perempuan itu kemudian adalah teriakan yang mengantar Kyra kembali ke alam sadar.
Kyra melihat kelambu tempat tidur kamar hotelnya beterbangan ditiup angin. Langit batu pualam yang mengatakan kalau ia baru saja bangun dan rasa tenang yang aneh. Untuk beberapa saat kemudian Kyra menyadari sedang menggenggam tangan, ia lanatas menoleh dan menemukan Tania sedang duduk di kursi dengan buku terbuka di pangkuan.
“Kamu terus menggigau sepanjang malam. Aku hanya memastikan jika kamu tidak berlari keluar.” Temannya itu kemudian memalingkan wajah setelah berkata.
***
Deman Kyra membaik. Menurut perawat, ia sudah bias kembali mengikuti kegiatan tur yang ditinggalkan kemarin dengan syarat banyak minum. Cuaca di Mahrazh sedang pada puncak, panasnya bias mencapai 45 derajat Celsius dan panas dapat membuat orang jatuh sakit. Kyra menambahkan dalam hati bahwa berhalusinasi juga bisa menjadi efek panas.
Ia berkali-kali mengatakan jika sedang bermimpi saat kembali melihat pemuda bermata biru itu. Masih sama seperti kemarin, hanya mata pemuda itu saja yang tetap hidup.
Mereka berjalan lagi hari ini, kali ini ke perpustakaan kuno dengan jutaan debu dan sebuah tempat yang awalnya disangka Kyra adalah taman dengan banyak gundukan tanah.
“Makam ini adalah milik putra tunggal Valdimart III, meninggal sekitar 150 tahun silam. Dalam catatan kuno yang ditemukan diperpustakaan yang baru saja kita kunjingi, penyebab kematiannya adalah kematian hitam. Ia merupakan orang pertama yang mati karena itu saat masa kepemimpinan ayahnya. Tapi, hal itu tidak bias dipercaya sebab kematian hitam sama sekali tak bias diprediksi dengan jelas. Kaum peneliti berpendapat, mungkin Alden hanya salah satu yang terdeteksi saat itu sebab ia hidup dikalangan bangsawan.”
“Alden?” Tania yang menyadari penyebutan nama pada keterangan.
“Alden, Alden Forde Valdimart.” Pemandu tur menyebutkan dengan lebih lengkap kini.
Kyra susah payah menelan ludah bersikap seolah-olah tak melihat dan tak akan berteriak. Pemuda bermata biru itu kini berada hanya satu langkah di depannya, menatap, menghalangi penglihatan Kyra pada sekitar. Kyra memohon dalam hati supaya tur itu segera berakhir dan rombongan bisa segera pergi. Tapi, pemuda bermata biru itu mengikutinya sejak dari keluar perpustakaan, melayang di tempat yang sama hingga berkali-kali Kyra hampir saja menabrak orang di depannya.
Syukurnya tur berakhir di tempat itu. Kunjungan lainnya kemudian hanya mengantar rombongan kembali ke penginapan. Hingga Kyra bisa bergegas lari kembali ke kamar dengan tak mengindahkan teriakan para guru dan perawat yang menggiring rombongan ke ruang makan. “Jangan terus mengikutiku.” Harusnya suara Kyra terdengar tegas dan menuntut. Namun, yang keluar hanya berupa cicitan ketakutan. Ingat yang sedang ia hadapi tidak nyata.
“Tidakkah semua tempat yang baru saja kamu kunjungi itu mengingatkan akan sesuatu. Janji. Ikrar yang harusnya membuatmu tahu kenapa sekarang ada di sini?”
Kyra yakin jika pertanyaan itu diajukan padanya, tapi ia memilih tak mejawab. Tiba- tiba telinganya berdengung hebat membuat kepala Kyra bagai dihantam sesuatu.
Aku memanggilmu dengan darah, mengikatmu dengan darah, dan mengakhiri semua dengan darah.
Kyra hanya bisa bertanya dalam hati tentang apapun yang baru saja menggema di kepalanya. Berharap tidak aka nada sesuatu buruk yang akan terjadi nanti.
***
Kyra merasa tak aman. Ia bermaksud tidur barang sekejap sebelum pintu kamar diketuk untuk makan malam. Ketika Kyra terjaga, pemuda bermata biru itu sudah duduk di tepi tempat tidur. “Jangan mengangguku.” Dengan kesal Kyra berjalan ke kursi dekat cermin rias dan menjatuhkan diri di sana.
“Jangan pergi, aku merindukanmu.”
Ruat wajah kebingungan dengan cepat muncul di wajah Kyra. “Kamu tidak nyata. Mungkin hanya salah satu dari karakter dalam mimpi yang entah bagaimana sampai muncul juga di dunia nyataku. Aku tidak ingin menjadi gila.”
“Kamu tidak tahu sudah berapa lama aku di sini menunggu. Hingga kemudian aku takut jika janji itu sama sekali tidak bisa aku tepati. Tidak ingatkah kamu pada janji yng kamu ikrarkan hari itu padaku?” Pemuda bermata biru itu seperti hampir menangis saat berkata.
Dalam hati Kyra sama sekali tak ingin menyakiti pemuda itu. Dengan siapa pun pemuda itu kemungkinan berjanji, sepertinya orang itu sudah melupakannya. “Sungguh aku--.” Kyra terdiam, baru saja ada sekelebat ingatan yang menyeruak dalam kepalanya muncul. Seperti sebuah slide film yang sedang diputar. Ada dirinya, pemuda itu, dan banyak orang yang tidak ia kenal berada di suatu tempat. Ia tidak menggenali tempat itu, belum pernah ia datangi sebelumnya. Suara semua orang di sana berdengung dan tak jelas. Tapi ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan dirinya sendiri dan juga pemuda bermata biru ini. Soal menunggu dan ditemukan. “Alden?” tergagap saat menyebutkan nama pemuda bermata biru dan tubuh Kyra gemetar ketakutan. Apakah pemuda di depannya ini adalah hantu, atau intensitas ingatan seseorang yang tetap bertahan menunggu sesuai janji.
“Kamu ingat aku.” Mata biru pemuda itu bersinar, seperti jiwa yang merasuk dan membuat bagian itu terlihat tambah hidup. Jemari Alden kemudian terulur, menyentuh kulit Kyra. Hampir gadis itu terlonjak sebab kaget.
Sentuhan Alden dingin, membuat tubuh Kyra semakin gemetar. “Kamu mau apa?” Saat jari Alden kemudian terulur lagi dan berusaha menyentuh wajah Kyra. Kyra bisa mendengar suaranya melengking saat berkata, “tidak menyentuh’’ pada Alden.
Pemuda itu memandangnya lama. Berbisik kata maaf sebelum kemudian memburam dan menghilang.
Kyra terdiam merasa amat bersalah. Bahkan rasa sedih merayap lebih cepat, membuat air mata Kyra ingin menerjang. Ia tak siap menerima serangan telak di hati yang rasanya sama sekali tak ia paham. Kyra memilih untuk tak berlama-lama di dalam kamar. Udara kamar menjadi cukup buruk kini. Ia tak menemukan orang-orang di ruang makan dan mendengar suara riuh di luar. Setelah mengambil secangkir minuman hangat, Kyra keluar melalui pintu samping di mana keriuhan itu berasal. Api ungun berdetik-detik di depan sana, teman- teman Kyra duduk menggelilingi. Kyra tak berencana turut serta, sambil memeluk dirinya sendiri ia bersandar pada dinding batu berdebu yang setiap hari dikikis angin Mahrazh.
“Jika waktu berhenti beberapa saat saja.”
Jujur, Kyra tak sedang mengobrol dengan siapa pun kini. Ia hanya menyenangi ketika orang-orang berkumpul dan ia menikmatinya dari kejauhan. Namun, saat kemudian menoleh dan menemukan Alden sebagai bonus secara ajaib itu membuat Kyra tersenyum.
“Maaf untuk perkataanku yang sedikit kasar tadi.” Kyra menyampaikan rasa sesalnya.
“Jangan pergi.”
“Kita hanya bertemu beberapa kali, aku bukan orang yang membuat janji denganmu.” Kyra ingin sekali menepuk pundak Alden dan berkata ia ikut berduka atas penantian panjang Alden yang tak membuahkan hasil.
“Aku tidak salah menggenalimu. Kamu adalah dia, aku merindukanmu.” Pemuda bermata biru itu kemudian menggabur dan hilang kembali.
Kyra menarik napas dalam dan menyesap minuman hangatnya perlahan. “Aku ingin berkata mungkin kamu benar. Tapi, aku tak ingin mengotori penantianmu.”
Api ungun di depan sana sedikit lebih besar dari sebelumya, ada dua orang yang sedang melempar kayu dan mendapatkan protes dari sekeliling. Kyra selalu saja suka menikmati keriuhan orang-orang dari kejauhan.
***
Susah payah Kyra menyeret kopernya hingga ke pintu. Diperhatikan lagi kamar yang tiga malam ini ditempati. Ia menghela napas dan berpikir akan merindukan kamar ini suatu saat dengan catatan tanpa gangguan Alden di dalamnya.
Ketukan pada pintu kamar membuat Kyra menoleh. Kyra tak kenal siapa pemuda itu, tapi pemuda itu satu kelas dengannya di sekolah.
“Bergegaslah!” pemuda itu langsung berbalik setelah mengatakan itu.
Tinggallah Kyra kembali kesusahan dengan tas punggung yang terlampau besar dan berat untuknya. Sambil menggumamkan dalam hati jika jarak antara kamar dan parkir tidak terlalu jauh. Ia hampir kehabisan tempat duduk, hanya tersisa sedikit tempat pada bangku belakang, letaknya dekat jendela. Di sampingnya duduk seorang gadis yang rambutnya dipotong lebih pendek dari anak laki-laki dengan tubuh besar. Kyra terjepit tanpa berani berkata untuk sedikit memberi tempat pada tubuhnya yang kecil. Tas besarnya tergeletak di lantai di dekat kaki. Ia berharap ini kali terakhir ia akan melakukan perjalanan dengan kondisi seperti ini.
Bus bergerak dengan lamban. Seolah enggan meninggalkan daratan Mahrazh yang gersang dan panas. AC bus sama sekali tak membantu, diperparah lagi dengan kondisi duduk tergencet, peluh Kyra mengalir bagai mata air.
Bus bahkan berjalan lebih lambat dan akhirnya memilih berhenti sebentar sebab ada angin yang bertiup cepat hingga menimbulkan badai kabut hebat.
“Sepertinya kita akan bermalam di tengah padang pasir.” Gadis tambun di sebelahnya bergumam.
Itu menjadi ketakutan tersendiri untuk Kyra. Dengan posisinya sekarang ia mungkin akan mengalami masalah pada awal berjalan nanti.
“ADA SESUATU DI LUAR!”
Teriakan itu berasal dari arah tempat duduk di depan. Suasana duduk mencekam karena seisi bus mulai memperhatikan kaca bus di tempat masing.
“Apa itu?” yang lain mulai melihat sesuatu dalam besarnya badai kabut diluar bus.
Kyra juga memperhatikan jendela bus di sampingnya. Namun, tidak melihat apa pun yang dilihat penumpang yang lain. Kecuali kabut yang beterbangan di udara. Kyra mundur kaget, ia tidak peduli dengan protes yang disuarakan gadis bertubuh besar yang ditabrak. Ia yakin melihat sesuatu tadi. Sangat jelas, sepasang mata yang bersinar.
Ia menoleh melalui bahunya dan melihat Alden memeluknya dari belakang. Pemuda itu terasa nyata dan hidup, tidak seperti sebelumnya. “Aku akan melindungimu.”
Sontak Kyra memejamkan mata mendengar ucapan Alden.
Kyra bisa merasakan bus terhantam sesuatu yang keras. Ia terjatuh di lantai dengan melindungi kepalanya dengan tangan. Orang-orang mulai berteriak ketakutan. Beberapa lainnya berusaha menyelamatkan diri dengan maju ke depan, salah satunya menginjak bahu Kyra. Rasanya nyeri dan sakit. Bus mungkin terguling, sebab Kyra beberapa kali membentur sesuatu yang keras. Alden masih bergumam di telinga, kemudian ia tak mendengar apa-apa lagi.
Syukurlah kemarin hanya sebuah mimpi. Kalimat itu ia gumamkan dalam hati saat pertama kali setelah membuka mata dan melihat sedikit jika ia menelungkup di ranjang. Ia memejamkan matanya kembali dan berbalik menatap langit-langit, ketika membuka mata dan melihat jika langit-langit kamar itu bukanlah miliknya. Ia meloncat dan terjatuh dengan lutut lebih dulu membentur lantai. Rasa nyeri meyakinkan dirinya jika ia tidak bermimpi.Benar saja, tempat tidurnya berbeda. Bukan Kasur empuk dengan alas sprei putih dan empat bantal di kepala seperti miliknya di rumah. Tapi dipan terbuat dari kayu besar yang berbau manis dengan kaki-kaki besar. Ada tiga lilin yang bersinar di dekat meja kayu dengan kaca dan sisir yang terbuat dari tulang. Jendela kamar tidak terbuka, padahal dari selanya Kyra bisa melihat cahaya menelusuk masuk. Ada sebuah lemari di dekat pintu, kacanya buram. Kamar itu tidak besar dan tidak kecil. Satu yang pasti, tempat itu terasa penggap.“Kyra.&rdq
Sesuatu yang basah dan dingin menyentuh ujung hidung Kyra. Ia menegadah dan melihat bahwa serabut-serabut halus mulai berjatuhan. “Hujan.” Lekas ia berdiri dan memandang Alden. “Kamu juga harus segera kembali ke kastel. Jaraknya tak jauh dari sini, kan?”Alden menggeleng.Kyra berbalik, memutuskam umtuk mulai berlari untuk sampai ke rumah tempat ia datang tadi. Ia harap tidak tersesat di suatu tempat.“Kyra!” Dilihat Alden itu berhenti dan berbalik. “Kamu selalu bisa menemukanku di sini.”Kini giliran Kyra yang memandangi punggung Alden yang berlari menjauh dan hilang. Entah kenapa ia bersyukur masih ada Alden di sini. Serabut hujan semakin deras turun dan Kyra kembali berlari.***Punggung Kyra dengan keras membentur dinding, nyeri. Luna, gadis yang mirip dengan Kyra itu kini memandangnya berang. Sejak melihat Kyra pulang memasuki rumah dari pintu belakang langsung saja ditarik tanpa pertanyaa
Pada suatu masa, ketika para penyihir masih bebas berkeliaran dan mencoba sihirnya. Ketika istana Mahrazh baru saja di bangun, dan taman-taman masih dipenuhi bunga kristal salju. Ketika itu hiduplah seorang gadis yang cantik. Bermata gelap yang bersinar redup. Rambutnya hitam gelap bagai langit malam. Yang paling mempesona adalah suaranya. Kadang-kadang mendayu-dayu, kadang-kadang semanis madu. Nyanyiannya menghiasi mimpi-mimpi para pemuda, tak terkecuali kedua pangeran. Si Sulung dan Si Bungsu. Si sulung selalu dengan terang-terangan mendekati sang gadis. Si Bungsu hanya bisa memandang dari kejauhan. Menjaga supaya sang gadis tetap aman.Si gadis bukan tak tahu jika kedua pangeran itu tertarik padanya. Ia hanya tak ingin kedua pangeran bertengkar memperebutkan dirinya yang orang biasa. Dihati, sebenarnya sang gadis telah memutuskan, telah memilih pemuda. Yang menurutnya terbaik dan yang paling baik.Pada suatu pesta yang diadakan oleh kastel untuk memperingati kelahir
Alden melambai di depan Kyra. “Sedang memikirkan apa?” Alis Alden terangkat sedikit.Kyra menggeleng. “Tidak ada.” Ia berjalan mendahului dan menoleh penuh kekagetan di matanya ketika jemari Alden mengenggam jemarinya.“Jangan sampai tersesat.” Alden menarik Kyra perlahan.Dengan patuh Kyra mengikuti. Berjingkat ketika pemuda di sampingnya berjingkat dan menempel ke dinding ketika pemuda itu melakukan itu. Ia melakukan sama persis dengan yang dilakukan Alden.“Ada penjaga.” Alden berbisik di telinga Kyra. Hembusan napasnya membuat Kyra gemetar.Ia menjulurkan kepala sedikit untuk bisa melihat penjaga yang dikatakan Alden. Ada dua orang dengan baju metal berdiri di sebuah pintu berwarna coklat gelap. Tubuh dua orang itu kekar dan lebih tinggi beberapa inci dari Alden yang jika berdiri di antara kedu orang itu terlihat kecil. “Itu perpustakaan?”Saat Kyra menoleh menatap Alden, pemuda
Kyra membuka mata tiba-tiba. Ia sudah ada di kamarnya kini, kepalanya masih sakit dan sebuah kain basah terjatuh ketika ia mencoba duduk. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Bertemu dengan seorang pemuda dengan mata gelap dan rambut merah. Roth. Nama yang tiba-tiba saja melintas dalam otaknya saat itu. Ia sendiri merasa heran bagaimana bisa terlintas nama itu di dalam pikirannya. Lalu, bagaimana ia bisa ada kembali di sini.“Sudah sadar?”Kyra menoleh perlahan, menatap seorang wanita dengan pakaian pelayan. “Kamu?” Ia tak tahu siapa yang tengah duduk dan kembali memeras kompres basah, meletakkan kembali di kepalanya.“Sebaiknya Anda tidak mencoba melawan, Nona.” Pelayan itu mengenggam tangan Kyra.Kyra tidak tahu pelayan itu berbicara tentang masalah apa. Selain para pelayan dan beberapa penjaga di gerbang depan lalu yang kadang-kadang di temui di belakang. Hanya Ayah yang tidak pernah tampak oleh
Alden berpura-pura tak melihat. Padahal sungguh mati ia terkejut menatap sebuah wajah yang mirip dengan orang yang bersembunyi di belakangnya. Sentuhan jemari Kyra di punggungnya perlahan melemah, kemudian ia tak merasakan lagi. Saat menoleh ia melihat gadis itu berlari. Ia yakin di dalam otak Kyra muncul banyak ketakutan dan di suatu tempat ketika terjatuh gadis itu akan menangis.Alden berbalik. Bermaksud mengejar gadis itu. Ia tak bisa membiarkan Kyra ketakutan sendirian, ia menyukai gadis itu, dan tak peduli dengan wajah lain yang sama dengan Kyra. “Lepaskan aku!” Berseru penuh kemarahan pada gadis dengan wajah Kyra yang menahannya. Setelah mengatakan itu Alden mulai berlari dan telah kehilangan jejak“Dia saudariku.” Gadis dengan wajah Kyra itu memberitahunya.“Aku tak peduli. Aku mencintainya.” Alden bisa menangkap kemarahan dalam tatap mata gadis berwajah Kyra. pemuda itu memilih mundur, ia tak ingin berdebat dengan per
Kyra membuka mata cepat. Apa yang hadir di dalam mimpinya itu begitu nyata. Benarkah itu, apakah itu hanya karena demam yang menyerang belaka. Tapi, belakangan ia tak bisa mengatakan semua yang terjadi hanya mimpi. Setelah terjebak di sini dan menjadi seseorang yang harus mencari tahu diketidak tahuan.Ia melihat Luna di dalam mimpi, ada dirinya juga saat itu. Terikat dan coba berteriak pada Luna untuk menghentikan apa pun yang sedang berusaha dilakukan. Ia tak paham diagram juga tak paham dengan apa pun yang tengah diteriakan Luna di kamar. Ia melihat Roth di sana. Kyra berteriak suapaya membebaskan dirinya dan menghentikan apa yang sedang dilakukan Luna. Roth hanya diam saja.“Aku memanggilmu dengan darah, mengikatmu dengan darah dan mengakhiri semua dengan darah.”Luna mendekat pada Kyra setalah berkata demikian. Sebuah pisau di tangannya. Dengan kejam benda tajam itu disayatkan ke nadi Kyra. Roth berjengit, tapi tak membantu. Samar, Kyra mendenga
Istri tetua penasehat telah hamil tua. Ia sudah kesulitan berjalan. Malam itu ketika cuaca di Mahrazh sama sekali tak bersahabat. Rasa sakit mendera dengan cepat. Mejalar di tulang punggungnya, membuat ia berteriak. Rasanya sudah waktunya kini. Ia menguncang tubuh suami yang tidur di sampingnya. Kaget karena guncangan dan teriakan, tetua penasehat bahkan hampir terjatuh dari tempat tidur.“Ada Apa? Sudah waktunya?” Ia menatap wajah istrinya kemudian mengalih pandangan pada perut sang istri yang membuncit.Sang Istri mengangguk. “ya, sakit sekali.” Perempuan hamil besar itu meringis, berusaha untuk duduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Air mata dan juga peluh bercampur menjadi satu di wajahnya.Tetua penasehat menendang selimut dengan cepat. Sempoyongan sedikit saat berdiri dan berjalan tiba-tiba, masa tua mulai mempengaruhi vitalitasnya. Ia membuka pintu dan menghilang di baliknya dengan cepat. Beberapa pelayan masuk setelah itu dan