Alden melambai di depan Kyra. “Sedang memikirkan apa?” Alis Alden terangkat sedikit.
Kyra menggeleng. “Tidak ada.” Ia berjalan mendahului dan menoleh penuh kekagetan di matanya ketika jemari Alden mengenggam jemarinya.
“Jangan sampai tersesat.” Alden menarik Kyra perlahan.
Dengan patuh Kyra mengikuti. Berjingkat ketika pemuda di sampingnya berjingkat dan menempel ke dinding ketika pemuda itu melakukan itu. Ia melakukan sama persis dengan yang dilakukan Alden.
“Ada penjaga.” Alden berbisik di telinga Kyra. Hembusan napasnya membuat Kyra gemetar.
Ia menjulurkan kepala sedikit untuk bisa melihat penjaga yang dikatakan Alden. Ada dua orang dengan baju metal berdiri di sebuah pintu berwarna coklat gelap. Tubuh dua orang itu kekar dan lebih tinggi beberapa inci dari Alden yang jika berdiri di antara kedu orang itu terlihat kecil. “Itu perpustakaan?”
Saat Kyra menoleh menatap Alden, pemuda
Kyra membuka mata tiba-tiba. Ia sudah ada di kamarnya kini, kepalanya masih sakit dan sebuah kain basah terjatuh ketika ia mencoba duduk. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Bertemu dengan seorang pemuda dengan mata gelap dan rambut merah. Roth. Nama yang tiba-tiba saja melintas dalam otaknya saat itu. Ia sendiri merasa heran bagaimana bisa terlintas nama itu di dalam pikirannya. Lalu, bagaimana ia bisa ada kembali di sini.“Sudah sadar?”Kyra menoleh perlahan, menatap seorang wanita dengan pakaian pelayan. “Kamu?” Ia tak tahu siapa yang tengah duduk dan kembali memeras kompres basah, meletakkan kembali di kepalanya.“Sebaiknya Anda tidak mencoba melawan, Nona.” Pelayan itu mengenggam tangan Kyra.Kyra tidak tahu pelayan itu berbicara tentang masalah apa. Selain para pelayan dan beberapa penjaga di gerbang depan lalu yang kadang-kadang di temui di belakang. Hanya Ayah yang tidak pernah tampak oleh
Alden berpura-pura tak melihat. Padahal sungguh mati ia terkejut menatap sebuah wajah yang mirip dengan orang yang bersembunyi di belakangnya. Sentuhan jemari Kyra di punggungnya perlahan melemah, kemudian ia tak merasakan lagi. Saat menoleh ia melihat gadis itu berlari. Ia yakin di dalam otak Kyra muncul banyak ketakutan dan di suatu tempat ketika terjatuh gadis itu akan menangis.Alden berbalik. Bermaksud mengejar gadis itu. Ia tak bisa membiarkan Kyra ketakutan sendirian, ia menyukai gadis itu, dan tak peduli dengan wajah lain yang sama dengan Kyra. “Lepaskan aku!” Berseru penuh kemarahan pada gadis dengan wajah Kyra yang menahannya. Setelah mengatakan itu Alden mulai berlari dan telah kehilangan jejak“Dia saudariku.” Gadis dengan wajah Kyra itu memberitahunya.“Aku tak peduli. Aku mencintainya.” Alden bisa menangkap kemarahan dalam tatap mata gadis berwajah Kyra. pemuda itu memilih mundur, ia tak ingin berdebat dengan per
Kyra membuka mata cepat. Apa yang hadir di dalam mimpinya itu begitu nyata. Benarkah itu, apakah itu hanya karena demam yang menyerang belaka. Tapi, belakangan ia tak bisa mengatakan semua yang terjadi hanya mimpi. Setelah terjebak di sini dan menjadi seseorang yang harus mencari tahu diketidak tahuan.Ia melihat Luna di dalam mimpi, ada dirinya juga saat itu. Terikat dan coba berteriak pada Luna untuk menghentikan apa pun yang sedang berusaha dilakukan. Ia tak paham diagram juga tak paham dengan apa pun yang tengah diteriakan Luna di kamar. Ia melihat Roth di sana. Kyra berteriak suapaya membebaskan dirinya dan menghentikan apa yang sedang dilakukan Luna. Roth hanya diam saja.“Aku memanggilmu dengan darah, mengikatmu dengan darah dan mengakhiri semua dengan darah.”Luna mendekat pada Kyra setalah berkata demikian. Sebuah pisau di tangannya. Dengan kejam benda tajam itu disayatkan ke nadi Kyra. Roth berjengit, tapi tak membantu. Samar, Kyra mendenga
Istri tetua penasehat telah hamil tua. Ia sudah kesulitan berjalan. Malam itu ketika cuaca di Mahrazh sama sekali tak bersahabat. Rasa sakit mendera dengan cepat. Mejalar di tulang punggungnya, membuat ia berteriak. Rasanya sudah waktunya kini. Ia menguncang tubuh suami yang tidur di sampingnya. Kaget karena guncangan dan teriakan, tetua penasehat bahkan hampir terjatuh dari tempat tidur.“Ada Apa? Sudah waktunya?” Ia menatap wajah istrinya kemudian mengalih pandangan pada perut sang istri yang membuncit.Sang Istri mengangguk. “ya, sakit sekali.” Perempuan hamil besar itu meringis, berusaha untuk duduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Air mata dan juga peluh bercampur menjadi satu di wajahnya.Tetua penasehat menendang selimut dengan cepat. Sempoyongan sedikit saat berdiri dan berjalan tiba-tiba, masa tua mulai mempengaruhi vitalitasnya. Ia membuka pintu dan menghilang di baliknya dengan cepat. Beberapa pelayan masuk setelah itu dan
Kyra kembali dari bermain. Ia menarik roknya untuk menutupi lutut. Tapi, Shiena tahu apa yang terjadi. Putrinya itu menghilang ke dalam kamar sebentar dan muncul setelah menganti pakaian.“Kemarikan lututmu.”Kyra tersentak. Berdiri mematung selama beberapa detik di ruang sulam dan perlahan mulai mendekat ke Shiena. “Aku tidak apa-apa.” Ia berbohong.“Apakah lagi-lagi kakakmu yang melakukan ini?” Shiena tanpa persetujuan menunduk memeriksa. Lutut Kyra memar kehijauan, ada luka berdarah yang belum kering. Semua luka didapat bersamaan dengan luka lainnya.Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak. Bukan kakak, ia tidak melakukan apa pun.” Kembali Kyra berbohong.“Kamu ingat soal kebohongan yang Ibu ajarkan Minggu lalu padamu.” Shiena dengan sigap membersihkan luka dan memberi obat berupa salep. Ia meniup ketika dilihatnya Kyra mengernyit menahan sakit. Gadis kecil itu sama sekali tidak menangis.
Sejak saat itu Kyra sering bertemu dengan pemuda itu. Yang selalu memilih untuk mengunjungi Kyra ketika matahari telah terbenam. Tidak ada yang pernah bertemu dengan teman Kyra ini, sebab anak itu pandai sekali bersembunyi. Bahkan ketika mereka tengah berlarian di taman belakag, lalu berpapasan dengan pelayan atau penjaga, anak itu pastilah sudah menghilang ketika Kyra menoleh untuk menyuruh bersembunyi.“Aku selalu saja kalah ketika bersembunyi darimu.” Kyra menggeluh suatu malam setelah selesai bermain dan anak itu selalu berhasil menemukannya. Padahal Kyra sudah dengan hati-hati bersembunyi dalam seonggok besar daun yang baru selesai di sapu.Anak itu hanya tersenyum. Duduk di dekat jendela yang berbatasan dengan taman belakang. Ia menatap keluar sebentar dan masih belum mengatakan apa-apa.“Sudah seminggu dan kamu belum juga memberitahu namamu. Katakana padaku.” Kyra meloncat dari atas ranjang dan berdiri sempurna. Kini ia bersa
Aneh sekali, Roth tidak terlihat di mana pun selama tiga hari. Kyra yang dalam kesehariannya ditemani pemuda itu merasa amat kesepian. Ia tidak tahu bagaimana memanggil Roth dan di mana bisa menemukan pemuda itu. Kyra mendengus, mengeluh berkepanjangan atas tak tahu dirinya tentang Roth. Saat nanti bertemu lagi dengan Roth, ia akan tanyakan di mana Roth tinggal.Langkah Kyra terhenti tepat di batas jalan. Ia memandang pada tonjolan akar pohon oak, tempat di mana Roth sering duduk ketika menemani Kyra. Ada seseorang yang sudah mengambil alih, Kyra pernah bertemu. Pada saat pengejaran para prajurit beberapa hari lalu. Si pemuda sombong yang mengharuskan Kyra menggenal dirinya. Kyra berbalik akan pergi.“Hei! Kenapa pergi!” Pemuda itu berteriak menghentikan langkah Kyra.“Apa boleh buat, tempatku sudah diambil alih.” Kyra berujar pelan. Berharap pemuda itu tidak mendengar. Ia memilih untuk melanjutkan langkahnya lagi.Pemuda itu mence
Ibu lebih menyayangi Kyra ketimbang dirinya. Fakta itulah yang terlihat di masa kanak-kanak Luna. Membuatnya kadang-kadang melakukan kejahatan pada saudara kembar yang dirahasiakan itu. Ya, dirahasiakan. Ayah memberi tahu seperti itu. Jika ada orang selain pelayan dan keluarga yang tahu, maka Ayah akan mendapat masalah.Luna sama sekali tak meneteskan air mata ketika Ibu dimakamkan. Kyra tentu saja tak akan ada di sini. Ayah tak suka Kyra terlihat. Ia tersenyum di depan lukisan Ibu di batu nisan. “Sekarang Kyra Ibu akan sendirian, apa yang akan Ibu lakukan?”Ia ingin memberi pelajaran pada Kyra. Karena itu ia membuka kunci kamar Kyra. Jika Kyra terlihat oleh satu orang saja, maka Ayah akan segera mengasingkannya. Begitu ancamnya ketika Kyra hampir telihat tamu Ibu sekitar beberapa bulan lalu. Bukan pada Kyra Ayah berkata, tetapi pada Ibu. Ia mengintip di sela pintu ketika saudara kembarnya itu lewat. “Kamu tahu, aku ingin saudaraku mendapat masa