Sesuatu yang basah dan dingin menyentuh ujung hidung Kyra. Ia menegadah dan melihat bahwa serabut-serabut halus mulai berjatuhan. “Hujan.” Lekas ia berdiri dan memandang Alden. “Kamu juga harus segera kembali ke kastel. Jaraknya tak jauh dari sini, kan?”
Alden menggeleng.
Kyra berbalik, memutuskam umtuk mulai berlari untuk sampai ke rumah tempat ia datang tadi. Ia harap tidak tersesat di suatu tempat.
“Kyra!” Dilihat Alden itu berhenti dan berbalik. “Kamu selalu bisa menemukanku di sini.”
Kini giliran Kyra yang memandangi punggung Alden yang berlari menjauh dan hilang. Entah kenapa ia bersyukur masih ada Alden di sini. Serabut hujan semakin deras turun dan Kyra kembali berlari.
***
Punggung Kyra dengan keras membentur dinding, nyeri. Luna, gadis yang mirip dengan Kyra itu kini memandangnya berang. Sejak melihat Kyra pulang memasuki rumah dari pintu belakang langsung saja ditarik tanpa pertanyaan terlebih dahulu.
“Aku sudah bilang jangan temui Alden lagi!” Luna berteriak padanya.
Kening Kyra mengernyit. Ada masalah apa dengan menemui Alden, kemudian ia menyadari jika Luna menyukai Alden. “Kamu menyukainya?”
Wajah Luna yang sejak tadi telah memerah, kini lebih ranum lagi. Ia menghentakkan tubuh Kyra hingga jatuh ke lantai. “Bukan hanya karena itu.” Kemudian Luna mondar-mandir. “Jika dia tahu kamu adalah salah satu dari kembar maka habislah.”
Kyra tak paham. Ia membenarkan keadaan kini yang membuat siapapun akan mengatakan Kyra kembar. Tapi, kenapa itu bisa jadi berbahaya. “Kita hanya mirip, tidak saling membunuh untuk menjadi sesuatu yang berbahaya.”
“Katamu memang begitu, tapi mereka tak tahu.” Luna berhenti mondar mandir dan berdiri di depan Kyra lagi. Kyra mendonggak untuk bisa melihat wajah Luna. “Kembar terlarang di Mahrazh.”
Kyra berdiri, berpegangan pada tepi dinding yang tak datar. “Apa?” Kini ia bisa melihat wajah Luna dengan jelas.
“Anak pertama adalah penerus keluarga. Tapi, kembar yang lahir terakhir adalah penyihir. Kamu mugkin menyangkal ini sebab adalah bungsu. Di Mahrazh sejak munculnya kematian hitam, penyihir itu terlarang. Kamu suka membaca, kan, pasti di dalam buku-buku itu tertulis berapa banyak penyihir yang tersisa di Mahrazh.” Luna meninggalkannya setelah mejelaskan itu.
***
Banyak sekali buku-buku yang ada di dalam lemari di dekat pintu. Materi sejarah, bukan favorit Kyra. Namun, jika ia ingin sedikit lebih pintar tentang tempat berada kini, mau tak mau harus dibaca. Syukurlah, huruf yang dipakai masih bisa Kyra pahami. Jika tidak, maka saat itu juga habislah ia.
Cukup banyak kisah tentang bungsu dan juga kematian hitam. Dari dua buah buku yang dibaca dengan cara kilat—hanya materi yang itu saja—Kyra tahu jika keduanya dilarang setelah pewaris kembar Mahrazh lahir.
Dikatakan saat itu istri Lord Valdimart I sangat sulit untuk hamil. Setelah beberapa kali keguguran di usianya yang hampir kepala empat, istri Sang Lord kemudian hamil. Lord yang begitu bahagia melakukan segala cara untuk melindungi istri dan juga anak dalam kandungan. Bukan hanya menaruh pengawalan yang begitu ketat, sang Lord juga mengambil jimat dari banyak penyihir. Semuanya adalah untuk melindungi penerusnya. Namun, tidak semua penyihir hanya memberikan keberuntungan untuk sang bayi. Diantaranya memberikan beberapa jimat yang mungkin berisi kutukan.
Kutukan itu melekat kepada si bungsu. Beberapa lama setelah mereka lahir, perawat si bungsu mati dengan mengenaskan. Penyakit aneh menyerangnya tiba-tiba. Dalam kurun waktu hanya beberapa bulan saja, penyakit aneh itu menyerang cukup banyak korban. Semuanya adalah orang-orang yang berhubungan dengan si bungsu. Hal itu menjadi perhatian setelah istri sang Valdimart yang kemudian menjadi korban. Takut jika nanti penyakit aneh itu kemudian menyerang sulung dan dirinya, si bungsu yang kala itu berusia 15 tahun dihukum mati. Sejak saat itulah, kembar kemudian dilarang di Mahrazh.
Kyra menutup buku. “Jahat.” Bukankah tidak ada yang tahu kapan kematian akan datang dan dengan cara apa, lalu kenapa menyalahkan pada seorang anak yang bahkan tak tahu apa-apa. Mungkin saja kematian hitam adalah salah satu penyakit yang pada masa Kyra memiliki nama ilmiah dan punya obat. Kyra sadar kini jika hidupnya terancam. Di Mahrazh kini, ia tak lebih sebuah wabah.
“Apa ada anak kembar di Mahrazh yang hidup?” Kyra tahu jika berbahaya menanyakan hal itu pada orang lain, tetapi Luna tak mau menjawab. Pilihannya kemudian jatuh pada Alden.
“Ayahmu tak memberitahu soal ini?” Alden memandang Kyra terbalik. Pemuda itu sedang pamer bergelantungan di dahan yang tak terlalu tinggi.
“Jawab saja,” pinta Kyra.
“Tidak ada. Kecuali kelahirannya disembunyikan. Tetapi, jika ketahuan bukan saja bungsu yang akan dihukum.”
Kyra menelan ludah mendengarnya. Jadi kelahiran Luna dan saudara kembar Luna yang kini digantikan posisinya oleh Kyra adalah sebuah rahasia. Pantaslah Luna selalu saja berteriak. “Kalau soal kematian hitam?”
Alden diam sebentar. Ia sudah turun dari pohon dan duduk di tanah kering di depan Kyra. “Itu wabah yang mematikan.”
“Wabah? Bukannya itu sebuah kutukan?”
“Ya, kutukan yang lebih seperti wabah mematikan. Kamu tidak tahu bagaimana kamu bisa sakit dan tidak ada penangkal untuk itu. Tapi, selama tidak ada kembar, semua terkendali.” Alden mengangguk-angguk.
Itu artinya Alden juga akan membunuh Kyra jika tahu kebenaran. Mengingat ia akan mati kalau ketahuan, susah payah Kyra menelan ludah. “Bukankah kutukan ada penangkalnya?” Itu yang sering ia baca di buku-buku dongeng masa kecil.
“Memang, tapi sayangnya yang satu ini tidak.” Alden menggeleng dengan yakin.
Kyra menggigit bibirnya, terdiam. Lalu ia berdiri, dengan sedikit melompat melangkah menghindari jeratan akar oak. Beberapa kali terdengar suara Alden memanggil dari kejauhan, tapi tak diindahkan Kyra.
Tempat tujuannya kini hanyalah kamar, tempat sebuah lemari tiga pintu yang terbuat dari kayu. Di salah satu ruangan persegi panjang di lemari itu, ada setumpuk buku-buku. Kemarin-kemarin Kyra sama sekali tak berniat untuk memeriksa buku-buku itu. Tidak sopan memeriksa barang orang lain, walau kini ia telah mengambil peran sebagai si pemilik barang.
Tanpa banyak pikir, Kyra mulai mengeluarkan buku itu satu persatu. Membaca judul, membalik beberapa halaman kemudian melemparnya ketika hal yang dicari tidak ada di dalam sana. Ia sudah memeriksa sekitar lima belas buah buku dan tak satu pun keterangan di dalam buku menyebutkan tentang yang dicari. Buku terakhir ia lempar sembarangan, tidak lagi tepat ke atas kasur.
“Apa sekarang kamu berencana untuk membakar semua buku ini?”
Kyra mendongak dan menoleh, terkesiap pada keberadaan Luna di ambang pintu dan keberadaan buku yang dilempar sebelumnya di kaki Luna. “Maaf.” Kyra menunduk dan berusaha meraih buku yang terlempar, tapi nyatanya tak terjangkau. Luna menendangnya hingga buku itu ada di samping Kyra.
AApa yang sedang kamu cari?” Gadis yang memiliki wajah hampir mirip Kyra itu bertanya sambil memeluk tubuhnya.
“Itu--.” Kyra terdiam, haruskah ia menceritakan pada Luna. “Kamu tahu soal Si Awal?”
“Itu dongeng.” Reaksi Luna sama persis dengan reaksi Alden tadi. Menciutkan semangat Kyra, seolah mengatakan padanya jika tidak ada kesempatan untuk kembali bertemu mama dan Tania, serta orang-orang lainnya yang tak diingat Kyra.
“Aku tidak memiliki buku tentang itu di sini.” Kyra tidak terlalu berharap jika Luna membantunya mencari. Gadis itu terlalu sibuk untuk semua kerepotan yang dipikirkan Kyra. Saat Kyra mengangkat kepalanya dan kembali menoleh, Luna sudah tidak ada lagi di ambang pintu. Tahulah Kyra jika sejak tadi ia bicara sendirian saja.
Kyra mendesah kecewa. Lalu bertanya pada dirinya senidiri, apakah dari tadi ia ingin pertolongan dan memaki dirinya yang tadi sangat bodoh. Bunyi debaman pelan di sampingnya, kembali membuat Kyra menoleh.
“Hanya buku saja yang kamu pikirkan, sesekali bantulah orang-orang dengan tidak membuat pekerjaan mereka bertambah.” Luna pergi lagi.
Kyra tersenyum, berterima kasih berkali-kali, lalu mengingat-ingat mirip siapa Luna kini.
Pada suatu masa, ketika para penyihir masih bebas berkeliaran dan mencoba sihirnya. Ketika istana Mahrazh baru saja di bangun, dan taman-taman masih dipenuhi bunga kristal salju. Ketika itu hiduplah seorang gadis yang cantik. Bermata gelap yang bersinar redup. Rambutnya hitam gelap bagai langit malam. Yang paling mempesona adalah suaranya. Kadang-kadang mendayu-dayu, kadang-kadang semanis madu. Nyanyiannya menghiasi mimpi-mimpi para pemuda, tak terkecuali kedua pangeran. Si Sulung dan Si Bungsu. Si sulung selalu dengan terang-terangan mendekati sang gadis. Si Bungsu hanya bisa memandang dari kejauhan. Menjaga supaya sang gadis tetap aman.Si gadis bukan tak tahu jika kedua pangeran itu tertarik padanya. Ia hanya tak ingin kedua pangeran bertengkar memperebutkan dirinya yang orang biasa. Dihati, sebenarnya sang gadis telah memutuskan, telah memilih pemuda. Yang menurutnya terbaik dan yang paling baik.Pada suatu pesta yang diadakan oleh kastel untuk memperingati kelahir
Alden melambai di depan Kyra. “Sedang memikirkan apa?” Alis Alden terangkat sedikit.Kyra menggeleng. “Tidak ada.” Ia berjalan mendahului dan menoleh penuh kekagetan di matanya ketika jemari Alden mengenggam jemarinya.“Jangan sampai tersesat.” Alden menarik Kyra perlahan.Dengan patuh Kyra mengikuti. Berjingkat ketika pemuda di sampingnya berjingkat dan menempel ke dinding ketika pemuda itu melakukan itu. Ia melakukan sama persis dengan yang dilakukan Alden.“Ada penjaga.” Alden berbisik di telinga Kyra. Hembusan napasnya membuat Kyra gemetar.Ia menjulurkan kepala sedikit untuk bisa melihat penjaga yang dikatakan Alden. Ada dua orang dengan baju metal berdiri di sebuah pintu berwarna coklat gelap. Tubuh dua orang itu kekar dan lebih tinggi beberapa inci dari Alden yang jika berdiri di antara kedu orang itu terlihat kecil. “Itu perpustakaan?”Saat Kyra menoleh menatap Alden, pemuda
Kyra membuka mata tiba-tiba. Ia sudah ada di kamarnya kini, kepalanya masih sakit dan sebuah kain basah terjatuh ketika ia mencoba duduk. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Bertemu dengan seorang pemuda dengan mata gelap dan rambut merah. Roth. Nama yang tiba-tiba saja melintas dalam otaknya saat itu. Ia sendiri merasa heran bagaimana bisa terlintas nama itu di dalam pikirannya. Lalu, bagaimana ia bisa ada kembali di sini.“Sudah sadar?”Kyra menoleh perlahan, menatap seorang wanita dengan pakaian pelayan. “Kamu?” Ia tak tahu siapa yang tengah duduk dan kembali memeras kompres basah, meletakkan kembali di kepalanya.“Sebaiknya Anda tidak mencoba melawan, Nona.” Pelayan itu mengenggam tangan Kyra.Kyra tidak tahu pelayan itu berbicara tentang masalah apa. Selain para pelayan dan beberapa penjaga di gerbang depan lalu yang kadang-kadang di temui di belakang. Hanya Ayah yang tidak pernah tampak oleh
Alden berpura-pura tak melihat. Padahal sungguh mati ia terkejut menatap sebuah wajah yang mirip dengan orang yang bersembunyi di belakangnya. Sentuhan jemari Kyra di punggungnya perlahan melemah, kemudian ia tak merasakan lagi. Saat menoleh ia melihat gadis itu berlari. Ia yakin di dalam otak Kyra muncul banyak ketakutan dan di suatu tempat ketika terjatuh gadis itu akan menangis.Alden berbalik. Bermaksud mengejar gadis itu. Ia tak bisa membiarkan Kyra ketakutan sendirian, ia menyukai gadis itu, dan tak peduli dengan wajah lain yang sama dengan Kyra. “Lepaskan aku!” Berseru penuh kemarahan pada gadis dengan wajah Kyra yang menahannya. Setelah mengatakan itu Alden mulai berlari dan telah kehilangan jejak“Dia saudariku.” Gadis dengan wajah Kyra itu memberitahunya.“Aku tak peduli. Aku mencintainya.” Alden bisa menangkap kemarahan dalam tatap mata gadis berwajah Kyra. pemuda itu memilih mundur, ia tak ingin berdebat dengan per
Kyra membuka mata cepat. Apa yang hadir di dalam mimpinya itu begitu nyata. Benarkah itu, apakah itu hanya karena demam yang menyerang belaka. Tapi, belakangan ia tak bisa mengatakan semua yang terjadi hanya mimpi. Setelah terjebak di sini dan menjadi seseorang yang harus mencari tahu diketidak tahuan.Ia melihat Luna di dalam mimpi, ada dirinya juga saat itu. Terikat dan coba berteriak pada Luna untuk menghentikan apa pun yang sedang berusaha dilakukan. Ia tak paham diagram juga tak paham dengan apa pun yang tengah diteriakan Luna di kamar. Ia melihat Roth di sana. Kyra berteriak suapaya membebaskan dirinya dan menghentikan apa yang sedang dilakukan Luna. Roth hanya diam saja.“Aku memanggilmu dengan darah, mengikatmu dengan darah dan mengakhiri semua dengan darah.”Luna mendekat pada Kyra setalah berkata demikian. Sebuah pisau di tangannya. Dengan kejam benda tajam itu disayatkan ke nadi Kyra. Roth berjengit, tapi tak membantu. Samar, Kyra mendenga
Istri tetua penasehat telah hamil tua. Ia sudah kesulitan berjalan. Malam itu ketika cuaca di Mahrazh sama sekali tak bersahabat. Rasa sakit mendera dengan cepat. Mejalar di tulang punggungnya, membuat ia berteriak. Rasanya sudah waktunya kini. Ia menguncang tubuh suami yang tidur di sampingnya. Kaget karena guncangan dan teriakan, tetua penasehat bahkan hampir terjatuh dari tempat tidur.“Ada Apa? Sudah waktunya?” Ia menatap wajah istrinya kemudian mengalih pandangan pada perut sang istri yang membuncit.Sang Istri mengangguk. “ya, sakit sekali.” Perempuan hamil besar itu meringis, berusaha untuk duduk dan bersandar di kepala tempat tidur. Air mata dan juga peluh bercampur menjadi satu di wajahnya.Tetua penasehat menendang selimut dengan cepat. Sempoyongan sedikit saat berdiri dan berjalan tiba-tiba, masa tua mulai mempengaruhi vitalitasnya. Ia membuka pintu dan menghilang di baliknya dengan cepat. Beberapa pelayan masuk setelah itu dan
Kyra kembali dari bermain. Ia menarik roknya untuk menutupi lutut. Tapi, Shiena tahu apa yang terjadi. Putrinya itu menghilang ke dalam kamar sebentar dan muncul setelah menganti pakaian.“Kemarikan lututmu.”Kyra tersentak. Berdiri mematung selama beberapa detik di ruang sulam dan perlahan mulai mendekat ke Shiena. “Aku tidak apa-apa.” Ia berbohong.“Apakah lagi-lagi kakakmu yang melakukan ini?” Shiena tanpa persetujuan menunduk memeriksa. Lutut Kyra memar kehijauan, ada luka berdarah yang belum kering. Semua luka didapat bersamaan dengan luka lainnya.Gadis kecil itu menggeleng. “Tidak. Bukan kakak, ia tidak melakukan apa pun.” Kembali Kyra berbohong.“Kamu ingat soal kebohongan yang Ibu ajarkan Minggu lalu padamu.” Shiena dengan sigap membersihkan luka dan memberi obat berupa salep. Ia meniup ketika dilihatnya Kyra mengernyit menahan sakit. Gadis kecil itu sama sekali tidak menangis.
Sejak saat itu Kyra sering bertemu dengan pemuda itu. Yang selalu memilih untuk mengunjungi Kyra ketika matahari telah terbenam. Tidak ada yang pernah bertemu dengan teman Kyra ini, sebab anak itu pandai sekali bersembunyi. Bahkan ketika mereka tengah berlarian di taman belakag, lalu berpapasan dengan pelayan atau penjaga, anak itu pastilah sudah menghilang ketika Kyra menoleh untuk menyuruh bersembunyi.“Aku selalu saja kalah ketika bersembunyi darimu.” Kyra menggeluh suatu malam setelah selesai bermain dan anak itu selalu berhasil menemukannya. Padahal Kyra sudah dengan hati-hati bersembunyi dalam seonggok besar daun yang baru selesai di sapu.Anak itu hanya tersenyum. Duduk di dekat jendela yang berbatasan dengan taman belakang. Ia menatap keluar sebentar dan masih belum mengatakan apa-apa.“Sudah seminggu dan kamu belum juga memberitahu namamu. Katakana padaku.” Kyra meloncat dari atas ranjang dan berdiri sempurna. Kini ia bersa