‘Apakah ini akhir?’ gadis itu memandang nanar pada sekeliling. Ia selalu saja bertanya, apakah ada sesuatu yang tidak bisa dikendalikan. Saat kemudian ia berpikir sesuatu itu adalah pasangan yang saling mencintai, kini dengan tegas akan dihapusnya. Bahkan takdir manusia juga cinta.
Gadis itu mendesah. Mana pemuda itu yang berani membuatnya berharap jika semuanya akan baik-baik saja ketika Bersama. Apakah para manusia itu berhasil menangkapnya atau takdirlah yang berhasil menangkap.
“Lepaskan aku! LEPAS!”
‘Inilah akhir kisah kita Alden, inilah akhirnya.’ Air mata gadis itu jatuh di pipi. Dalam hati ia berharap jika Alden tidak akan datang. Pergilah. Pergilah. Berkali-kali ia mengusir pemuda itu dalam hati. Tapi, suara Alden malah semakin kuat kini menggema.
Napasnya yang sudah sesak semakin sesak kini. Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang mendesak untuk keluar. Gadis itu tahu itu apa, jiwanya. Teriakan-teriakan orang-orang di sekelilingnya hanyalah berupa gaung kini. Kadang samar, kadang jelas, atatau bercampur keduanya.
“Bangunlah! Bangunlah! Ayo kita pergi dari sini. Dari orang-orang yang buta dan tuli. Kita berdua. Hanya kita.”
Tangis pemuda itu menggaung di telinga gadis itu. Namun, ia sungguh tidak kuat lagi kini. Seluruh tubuhnaya lunglai, tenaganya seolah tersedot kkeluar dengan cepat. Inilah kematian yang dipilihkan oleh orang-orang terdekatnya untuk gadis itu. Racun. Ia masih berusaha tersenyum dengan napas tercekat di antara kerongkongan. “Aku akan kembali, Alden.” Suaranya hanya berupa bisikan tak jelas. Ia yakin Alden bisa mendengarnya.
“Kamu tidak bias meninggalkan aku. Aku mencintaimu. Tidak ada artinya jika aku tidak ….”
“Alden, aku akan kembali. Tunggulah aku. Aku akan kembali dan menemukanmu.” Ia pikir juga bisa menemukan yang satu lagi. Jika dewa memberikannya kesempatan sekali lagi, ia akan merubah semuanya. “Saat aku kembali, mungkin sudah tidak mencintaimu lagi,” bisiknya pelan.
Digenggamnya tangan Alden erat-erat. Ia tahu jika waktunya bahkan tak sampai beberapa lama lagi. Selama yang ia bisa, gadis itu ingin memiliki pemuda itu, mengenggamnya. Tapi, tidak ada takdir yang bias menentang manusia kini. Dengan cepat Alden diseret pergi dan semuanya juga ikut buram.
Aku akan menemukanmu. Tidak peduli berapa lama dan berapa kali mencoba, aku akan kembali dan mencoba lagi hingga semuanya bisa berakhir bahagia.
Siapa yang berteriak, siapa yang berjanji. Pertanyaan itu menggema dalam otak Kyra. Hanya sesaat sebelum ia terbangun dengan bunyi bom meledak hebat. Lantai porselen dingin menyadarkannya jika kini ia tidak ada lagi di atas tempat tidur. Yang ia alami belakangan ini sama sekali tidak bias disebut sebuah mimpi buruk atau pun mimpi indah. Mimpi itu terkesan begitu nyata hingga Kyra bisa ingat aroma rerumputan yang dicium di sana, di kedalaman mimpinya. Akhirnya bosan memikirkan tidurnya yang sama sekali tak nyaman karena kehadiran mimpi-mimpi itu, diusap wajahnya kasar.“Baik-baik saja dengan mimpimu, sayang?”Aroma harum khas mengelitik indra penciuman Kyra. Ia tersenyum. “Coklat.” Lalu berdiri dengan segera. Ia menerima uluran cairan kental manis yang beraroma relaksasi baginya itu dengan segera. Saat kemudian ia menyadari Sheina—mamanya—menunggu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Lantas ia segera menjawab, “Masih sama sepe
Kyra hampir tidak tidur. Saat ia terlelap, mimpilah yang kini kembali menghantui. Ia terjaga ketika cahaya matahari belum menyentuh tanah Mahrazh dengan lingkaran hitam di bawah mata.“Kamu terlihat mengerikan.” Tania berkomentar ketika ia sampai di ruang makan penginapan. Temannya itu sedang menyeruput secangkir kopi hitam.“Secangkir kopi saat sarapan kurang baik untuk lambung.” Walau berkata demikian, Kyra sendiri juga memesan kopi. Pikirnya ia butuh sesuatu yang membuatnya tetap terjaga. Anak-anak yang lain berdatangan setelah cangkir kopi Tania kosong dan gadis itu bermaksud untuk mengisi lagi.Dari obrolan teman-temannya yang lain, Kyra berpendapat jika bukan hanya dirinya saja yang menggalami malam tak menyenangkan. Hampir semua memiliki malam yang tak tenang. “Apa tidurmu juga tak tenang, Tania?”“Ini hanya karena kita tidak terbiasa dengan lingkungan baru. Jangan ikut-ikutan menyalahkan kutukan untuk sesu
“Sudah kukatakan untuk tidak lagi menemui putra Sang Lord.”Kyra terhenti dengan perasaan jika ia begitu tak asing pada suara yang kemungkinan sedang menyapanya itu. Ia menoleh, menemukan seorang perempuan bewajah sama sepertinya. Kini Kyra merasa sedang berhadapan dengan sebuah cermin.“Aku tidak menemuinya. Dia yang menemuiku.”Dari tindakan dan juga perkataan yang baru saja diutarakan, Kyra tahu hubungannya sedikit tidak baik dengan perempuan berwajah sama denganya yang berdiri di belakang. Jawaban dari perempuan itu kemudian adalah teriakan yang mengantar Kyra kembali ke alam sadar.Kyra melihat kelambu tempat tidur kamar hotelnya beterbangan ditiup angin. Langit batu pualam yang mengatakan kalau ia baru saja bangun dan rasa tenang yang aneh. Untuk beberapa saat kemudian Kyra menyadari sedang menggenggam tangan, ia lanatas menoleh dan menemukan Tania sedang duduk di kursi dengan buku terbuka di pangkuan.“Kamu teru
Syukurlah kemarin hanya sebuah mimpi. Kalimat itu ia gumamkan dalam hati saat pertama kali setelah membuka mata dan melihat sedikit jika ia menelungkup di ranjang. Ia memejamkan matanya kembali dan berbalik menatap langit-langit, ketika membuka mata dan melihat jika langit-langit kamar itu bukanlah miliknya. Ia meloncat dan terjatuh dengan lutut lebih dulu membentur lantai. Rasa nyeri meyakinkan dirinya jika ia tidak bermimpi.Benar saja, tempat tidurnya berbeda. Bukan Kasur empuk dengan alas sprei putih dan empat bantal di kepala seperti miliknya di rumah. Tapi dipan terbuat dari kayu besar yang berbau manis dengan kaki-kaki besar. Ada tiga lilin yang bersinar di dekat meja kayu dengan kaca dan sisir yang terbuat dari tulang. Jendela kamar tidak terbuka, padahal dari selanya Kyra bisa melihat cahaya menelusuk masuk. Ada sebuah lemari di dekat pintu, kacanya buram. Kamar itu tidak besar dan tidak kecil. Satu yang pasti, tempat itu terasa penggap.“Kyra.&rdq
Sesuatu yang basah dan dingin menyentuh ujung hidung Kyra. Ia menegadah dan melihat bahwa serabut-serabut halus mulai berjatuhan. “Hujan.” Lekas ia berdiri dan memandang Alden. “Kamu juga harus segera kembali ke kastel. Jaraknya tak jauh dari sini, kan?”Alden menggeleng.Kyra berbalik, memutuskam umtuk mulai berlari untuk sampai ke rumah tempat ia datang tadi. Ia harap tidak tersesat di suatu tempat.“Kyra!” Dilihat Alden itu berhenti dan berbalik. “Kamu selalu bisa menemukanku di sini.”Kini giliran Kyra yang memandangi punggung Alden yang berlari menjauh dan hilang. Entah kenapa ia bersyukur masih ada Alden di sini. Serabut hujan semakin deras turun dan Kyra kembali berlari.***Punggung Kyra dengan keras membentur dinding, nyeri. Luna, gadis yang mirip dengan Kyra itu kini memandangnya berang. Sejak melihat Kyra pulang memasuki rumah dari pintu belakang langsung saja ditarik tanpa pertanyaa
Pada suatu masa, ketika para penyihir masih bebas berkeliaran dan mencoba sihirnya. Ketika istana Mahrazh baru saja di bangun, dan taman-taman masih dipenuhi bunga kristal salju. Ketika itu hiduplah seorang gadis yang cantik. Bermata gelap yang bersinar redup. Rambutnya hitam gelap bagai langit malam. Yang paling mempesona adalah suaranya. Kadang-kadang mendayu-dayu, kadang-kadang semanis madu. Nyanyiannya menghiasi mimpi-mimpi para pemuda, tak terkecuali kedua pangeran. Si Sulung dan Si Bungsu. Si sulung selalu dengan terang-terangan mendekati sang gadis. Si Bungsu hanya bisa memandang dari kejauhan. Menjaga supaya sang gadis tetap aman.Si gadis bukan tak tahu jika kedua pangeran itu tertarik padanya. Ia hanya tak ingin kedua pangeran bertengkar memperebutkan dirinya yang orang biasa. Dihati, sebenarnya sang gadis telah memutuskan, telah memilih pemuda. Yang menurutnya terbaik dan yang paling baik.Pada suatu pesta yang diadakan oleh kastel untuk memperingati kelahir
Alden melambai di depan Kyra. “Sedang memikirkan apa?” Alis Alden terangkat sedikit.Kyra menggeleng. “Tidak ada.” Ia berjalan mendahului dan menoleh penuh kekagetan di matanya ketika jemari Alden mengenggam jemarinya.“Jangan sampai tersesat.” Alden menarik Kyra perlahan.Dengan patuh Kyra mengikuti. Berjingkat ketika pemuda di sampingnya berjingkat dan menempel ke dinding ketika pemuda itu melakukan itu. Ia melakukan sama persis dengan yang dilakukan Alden.“Ada penjaga.” Alden berbisik di telinga Kyra. Hembusan napasnya membuat Kyra gemetar.Ia menjulurkan kepala sedikit untuk bisa melihat penjaga yang dikatakan Alden. Ada dua orang dengan baju metal berdiri di sebuah pintu berwarna coklat gelap. Tubuh dua orang itu kekar dan lebih tinggi beberapa inci dari Alden yang jika berdiri di antara kedu orang itu terlihat kecil. “Itu perpustakaan?”Saat Kyra menoleh menatap Alden, pemuda
Kyra membuka mata tiba-tiba. Ia sudah ada di kamarnya kini, kepalanya masih sakit dan sebuah kain basah terjatuh ketika ia mencoba duduk. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi sebelumnya. Bertemu dengan seorang pemuda dengan mata gelap dan rambut merah. Roth. Nama yang tiba-tiba saja melintas dalam otaknya saat itu. Ia sendiri merasa heran bagaimana bisa terlintas nama itu di dalam pikirannya. Lalu, bagaimana ia bisa ada kembali di sini.“Sudah sadar?”Kyra menoleh perlahan, menatap seorang wanita dengan pakaian pelayan. “Kamu?” Ia tak tahu siapa yang tengah duduk dan kembali memeras kompres basah, meletakkan kembali di kepalanya.“Sebaiknya Anda tidak mencoba melawan, Nona.” Pelayan itu mengenggam tangan Kyra.Kyra tidak tahu pelayan itu berbicara tentang masalah apa. Selain para pelayan dan beberapa penjaga di gerbang depan lalu yang kadang-kadang di temui di belakang. Hanya Ayah yang tidak pernah tampak oleh
“Alvare juga akan kembali seperti Radk, kan?”Saat Kyra ditanya oleh Alden seperti itu, ia tidak bisa menjawabnya. Yang dilakukan kemudian hanya melarikan diri dan terus seperti itu. Ketika mereka harus berkumpul dan kemudian membicarakan banyak hal lalu Alden kembali mendekatinya untuk bisa menanyakan hal yang sama lagi, Kyra akan mengelak. Ia melakukan segala cara untuk melarikan diri. Sampai ia yakin Alden menyerah dan tidak lagi bertanya.Ia menyayangi Alden seperti menyayangi Tania, sahabatnya sejak kecil. Ia sangat gembira ketika keduanya memutuskan untuk menikah dan menjadikan dirinya orang pertama yang menerima kabar tersebut. Ia bahkan mendapatkan lemparan bunga dari Tania.“Aku sangat bahagia!” Tania memeluknya sampai sesak napas saat mengabarkan hal tersebut dengan Alden di belakangnya.Dalam tatapan Alden Kyra bisa menemukan pertanyaan yang dulu diajukan ketika melihat Radk dan Eleanor bersama. Namun, lelaki it
Hubungan Alden dan Tania nyaris sangat baik sekarang. Walau kadang-kadang Kyra memergoki keduanya sedang berdebat sesuatu yang tidak dimengerti, tapi ia yakin semuanya baik. Sebab ia melihat wajah Tania sangat cerah setiap kali hal tersebut terjadi.“Apa terjadi sesuatu yang hebat?” tanya Roth tiba-tiba.Pemuda yang entah sudah tumbuh berapa senti sejak kejadian penyerangan Vlad itu punya bakal untuk muncul tiba-tiba sekarang. Bukan hanya itu, tampangnya yang semakin hari semakin maskulin membuat jantung Kyra tak aman. Kyra harus berusaha keras untuk tidak menatap langsung ke arah pemuda itu setiap kali bicara.Namun, itu malah membuat Roth semakin ingin mengodanya. Pemuda tersebut selalu saja mendorongkan dirinya ke depan Kyra dengan segala cara dan sepertinya menikmati kecanggungan yang merayap di wajah Kyra.“Tentu saja.” Kyra membusungkan dada dan menunjuk ke arah Alden yang sedang duduk di taman bersama Tania.
Tania sama dengan gadis lainnya di sekolah. Pasti akan tersipu-sipu jika jatuh cinta. Namun, ia tidak melihat hal itu dilakukan Tania padanya. Jadi, tidak mungkin gadis itu menyimpan perasaan untuknya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi.Gadis bernama Tania tersebut muncul kembali dengan tas yang sama besarnya seperti kemarin-kemarin dan juga buku-buku di pangkuannya. Setelah melirik sedikit, Alden memalingkan pandangan dan sibuk dengan tugasnya sendiri.“Bukan begitu.”Ia tersentak ketika Tania menepuk tangannya pelan dan menarik buku yang sedang ditulis. Dari tas sendiri, Tania mengeluarkan sebuah balpoin dan menulis di buku Alden yang direbut.“Seperti ini,” kata Tania. Buku tersebut kembali ke depan Alden.Ia menemukan kesalahan dalam perhitungan alogaritma yang sedang dikerjakan. Alden berdehem sedikit. “Terima kasih,” katanya dingin.Sebagai balasan Tania tersenyum sangat manis hingga d
Brak!Suara keras tersebut membuat kepala Alden terangkat. Ia melihat sebuah tas di atas meja dan gadis yang kemudian duduk di bangku di sampingnya.Lagi? Alden bertanya dalam hati tidak percaya. Ia melirik gadis yang datang bersama tas besar di atas meja. Sudah tiga hari berturut-turut orang yang sama menganggunya. Ia sudah mengakui kalau membuat kesalahan dengan menyiksa diri sendiri. Akan tetapi, gadis ini datang lagi dan lagi, membuat Alden kesal setengah mati.“Aku sudah mengakui kesalahanku, kan? Aku tidak akan menyendiri lagi, sungguh,” kata Alden sungguh-sungguh.Gadis bernama Tania yang menjawab selama hampir lima tahun berturut-turut menjadi ketua siswa tersebut mengangkat kepala dan menatap Alden malas. “Bisakah pandanganmu kamu alihkan ke arah lain? Apa yang kamu lihat?” tanyanya sama sekali tidak bersemangat.Alden melakukan seperti yang diminta dan menemukan seluruh meja kantin penuh kecu
Kehidupan Normal mulai datang perlahan-lahan kini. Sekolah walaupun belum secara penuh telah berjalan kembali. Kyra mulai sibuk mengejar pelajaran yang dari awal sudah tertinggal. Roth benar-benar membantunya dalam mengerjakan catatan.Alden belum bisa seperti biasa. Sesekali ia termenung di suatu sudut dan kemudian menangis. Kyra bisa memaklumi hal tersebut, tapi tidak bisa membantu apa-apa. Ia tidak memiliki saudara dan selalu terbiasa sendiri. Tania, sahabatnya tidak pernah meninggalkannya. Namun, kehilangan seorang sahabat tentu berbeda dengan kehilangan saudara kembar.“Aku benar-benar ingin membantu,” kata Kyra pada Roth yang datang setelah bel berbunyi.Roth melirik ke arah Alden yang diam saja sejak tadi. “Kita akan membantu jika sementara waktu menjauh darinya,” kata pemuda tersebut cukup yakin. Ia melihat Tania mendekati tempat duduk Alden kini.Kyra bertupang dagu, tatapannya mengatakan ketidaksetujuan, tapi ia tak menye
Kehidupan Normal mulai datang perlahan-lahan kini. Sekolah walaupun belum secara penuh telah berjalan kembali. Kyra mulai sibuk mengejar pelajaran yang dari awal sudah tertinggal. Roth benar-benar membantunya dalam mengerjakan catatan.Alden belum bisa seperti biasa. Sesekali ia termenung di suatu sudut dan kemudian menangis. Kyra bisa memaklumi hal tersebut, tapi tidak bisa membantu apa-apa. Ia tidak memiliki saudara dan selalu terbiasa sendiri. Tania, sahabatnya tidak pernah meninggalkannya. Namun, kehilangan seorang sahabat tentu berbeda dengan kehilangan saudara kembar.“Aku benar-benar ingin membantu,” kata Kyra pada Roth yang datang setelah bel berbunyi.Roth melirik ke arah Alden yang diam saja sejak tadi. “Kita akan membantu jika sementara waktu menjauh darinya,” kata pemuda tersebut cukup yakin. Ia melihat Tania mendekati tempat duduk Alden kini.Kyra bertupang dagu, tatapannya mengatakan ketidaksetujuan, tapi ia tak menye
Grenada tidak mengatakan apapun. Bahkan saat Alden menguncangnya berkali-kali. Ia tetap bungkam ketika pertugas keamanan meringkusnya. Begitu jenazah Alvare telah dibawa ambulans untuk autopsy kepolisian, Linden memaksa Alden untuk ikut pulang bersama Kyra, Roth, dan dirinya. Mereka tidak bisa membiarkan Alden sendirian di depan kamar mayat menunggu tubuh Alvare selesai diautopsi.Sama dengan Grenada, Alden juga tidak mengatakan apa-apa. Ia berjalan seolah tidak melihat apapun. Bahkan tidak merasakan ketika menabrak Shiena saat melewati pintu masuk.“Ada apa dengan dia?” tanya Shiena kesal. “Mana Alvare?”Linden menepuk bahu Shiena dan mengeleng. “Akan aku jelaskan di dalam. Ayo kitam masuk,” ajak Linden.Kyra dan Roth juga terlihat tidak semangat. Gadis di samping Roth masih sesegukan karena menangis. Ia tak menyangka harus melihat hal mengerikan seperti itu setelah banyak hal selama ini.“Kamu baik-baik s
“Alvare ada di kamarnya?” tanya Kyra.Ia berpura-pura perlu bertemu dengan Alvare karena itu menyuruh Alden memanggil saudara kembar pemuda itu. Lalu dilihatnya Alden mengeleng pelan.“Kalau Grenada?” tanya Kyra kali ini mulai khawatir.Ia mendengar pembicaraan kedua orang itu tadi saat akan memanggil Alvare ke atas. Begitu Alvare terlihat tidak bersemangat dan hanya mengikuti Alden dengan pandangan matanya saja. Kyra yakin akan terjadi sesuatu. Makanya ia semakin cemas karena sudah cukup lama kedua orang tersebut tak tampak.“Apa aku harus memeriksanya?” tanya Roth yang sejak tadi hanya menikmati gelas berisi coklat panas yang dibagi-bagikan Shiena.“Bisakah?” tanya Kyra.Entah kenapa untuk saat ini Kyra tidak mau berpapasan dengan Grenada. Ada sesuatu pada gadis itu yang tidak disukainya. Karena itu mendengar Roth menawarkan diri ia sangat senang. Ia mengucapkan terima kasih pad
“Alvare ada di kamarnya?” tanya Kyra.Ia berpura-pura perlu bertemu dengan Alvare karena itu menyuruh Alden memanggil saudara kembar pemuda itu. Lalu dilihatnya Alden mengeleng pelan.“Kalau Grenada?” tanya Kyra kali ini mulai khawatir.Ia mendengar pembicaraan kedua orang itu tadi saat akan memanggil Alvare ke atas. Begitu Alvare terlihat tidak bersemangat dan hanya mengikuti Alden dengan pandangan matanya saja. Kyra yakin akan terjadi sesuatu. Makanya ia semakin cemas karena sudah cukup lama kedua orang tersebut tak tampak.“Apa aku harus memeriksanya?” tanya Roth yang sejak tadi hanya menikmati gelas berisi coklat panas yang dibagi-bagikan Shiena.“Bisakah?” tanya Kyra.Entah kenapa untuk saat ini Kyra tidak mau berpapasan dengan Grenada. Ada sesuatu pada gadis itu yang tidak disukainya. Karena itu mendengar Roth menawarkan diri ia sangat senang. Ia mengucapkan terima kasih pada Roth dan men