“Maafkan aku sudah melibatkanmu, Tuan ....” Aldephie menatap Cleon dengan tatapan serba salah.
“Jangan panggil aku begitu, Aldephie. Lagi pula, tidak ada orang di sini,” ucap Cleon sesekali menyeruput teh pesanannya.
Musim dingin belum tiba, tetapi Cleon sudah tidak memiliki minat untuk pergi kuliah. Dia sudah mencoba pergi ke sana hanya untuk menemui dosennya. Namun, setibanya di sana, lelaki itu bahkan tidak peduli dengan penjelasan mengenai Hukum Teritorial Batas Wilayah, salah satu mata kuliah yang saat ini sedang menjadi fokus utama di tahun ketiganya. Cleon tidak peduli mengenai pembagian wilayah Negeri Selatan, seberapa jauh Negeri Selatan terbentang dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, keunggulan dari mata kuliah tersebut hanya untuk memudahkan mereka-mereka yang ingin bergabung bersama militer nanti. Mungkin berguna jika Cleon memang akan turun ke medan tempur. Namun, Cleon tidak berniat untuk itu. Dia bahk
Halo, semuanya Terima kasih atas dukungan kalian untuk Secret of Five Gods 🥰 Ikuti terus perjalanan Anastazja dan kawan-kawannya, setiap hari jam 10 pagi Jangan lupa dukung cerita ini dengan rate dan komen. Saya akan sangat menghargainya, terima kasih 😊
Ramirez sigap mencabut granat kecil yang ia gantung di balik bajunya, lalu mendorong tubuh pria itu dengan mudah. Wajahnya berubah marah, tetapi Ramirez tidak peduli. Setelah ia meludahi sepatu Ramirez, pria itu berdiri dan meninggalkan mereka di tengah keramaian pasar. Anastazja melihat sekeliling, mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi. Namun, lagi-lagi situasinya membuat nalarnya tidak bekerja dengan baik. Biasanya pada saat seperti ini, polisi Alastor dari Pengadilan Tertinggi akan datang, tapi apa? Tidak ada seorang pun peduli pada kericuhan barusan. Antara takjub dan bingung, Anastazja tidak mengerti mana yang harus ia rasakan? “Tuan, Anda baik-baik saja? Tidak ada luka serius?” Ramirez memutar badannya untuk memastikan bahwa Anastazja—tuannya—tidak mendapatkan luka serius. Namun, ia mendapati Anastazja hanya berdiri mematung menatapnya bingung. Berikutnya, Anastazja menunjuk granat
“Aku akan mendengarmu, jadi katakan saja. Katakan apa pun yang ingin kau katakan Aldephie. Aku pasti akan mendengarmu,” ucap Cleon tegas. Mungkin memang menjadi kakak dari seorang Anastazja terlalu berat bagi Aldephie. Anastazja memang memiliki wajah yang menawan, tetapi tidak bisa bersikap manis bahkan cenderung keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri. Lihat saja, sudah dua kali dia menghilang tanpa kabar seperti ini. Dia tidak meminta maaf, atau apa pun yang seharusnya dia lakukan untuk menebus kesalahannya. Kali pertama Anastazja menghilang, mungkin memang sebagian besar kesalahan Aldephie karena tidak mau mendengarkan Anastazja. Namun, kali kedua dia menghilang, hubungan mereka sedang kurang baik. Awalnya, Aldephie mengira Anastazja akan kembali saat makan malam, tetapi sampai pihak sekolah meneleponnya, ia s
“Uh-huh. Black blood. Wow. Informasi yang sangat berguna, Nona Pencuri Raga.” “Anastazja.” “Benar, Anastazja. Jadi, kupikir ini bukan karena darahmu berwarna hitam, benar? Aku sudah berkeliling dunia—melakukan perjalanan dengan tuanku—tapi belum pernah aku melihat darah berwarna hitam ....” Ramirez terlihat memejamkan matanya. Mengingat-ingat mungkin satu kali dia pernah menemui darah dengan warna hitam atau suku dengan darah yang berwarna hitam. “Ya, kau tahu, jika mau pergi ke Barat, Kraken pasti akan menyambutmu untuk dijadikan penelitian selanjutnya. Haha!” Anastazja terdiam mendengar lelucon bodoh Ramirez. Ia terus menatap pemuda licik itu de
“Kau sudah lebih baik?” Ucapan Cleon seolah menarik Aldephie yang sedang berada dalam awang-awang kembali menuju kenyataan. Setelah berdeham beberapa kali, Aldephie membenarkan posisi duduknya. Ia mempersiapkan hati bicara dengan Cleon. Ia memutar kursi yang tadinya menyamping menjadi menghadap Cleon sepenuhnya. Bagaimana pun juga, Cleon harus mendengarkannya kali ini! “Cleon ... sebenarnya ....” Aldephie paham ini adalah kesempatan yang diberikan Dewa padanya. Namun, entah kenapa tenggorokannya seolah tersangkut sesuatu. Ia merasa Cleon berhak untuk tahu segalanya. Segalanya yang selama ini dialaminya. Segalanya yang sudah Anastazja bicarakan padanya. Kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengatakan apa pun ketika kesempatan emas itu datang? Tanpa Aldephie sadari, bulir
“Vahmir! Apa yang terjadi dengan kamarku? Apa seseorang baru saja melempar bom ke dalamnya?” Sore itu, Cleon mencari Vahmir dengan wajah terkejut. Melihat kamarnya yang seperti habis menjadi korban pengeboman, Cleon meminta Vahmir untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Vahmir—pria tua yang cool dan selalu mengenakan jas hitam itu—hanya terdiam menatap majikannya simpatik. “Vahmir, ada apa? Terjadi sesuatu selama aku tidak ada?” “Tuan Muda, mohon maafkan saya. Hakim tertinggi mencari Anda. Beliau menunggu Anda saat ini di ruang kerjanya,” ucap Vahmir tanpa ekspresi. Cleon benar. Ayahnya. Siapa lagi? Sungguh bodoh saat kau pulang ke rumah, menemui kamarmu yang berantakan dengan kondisi hampir semua b
Tidak ada jeritan, pandangan atau apa pun yang mengisyaratkan perasaan simpatik pada Cleon. Semua orang kembali pada aktivitasnya masing-masing. Paman dan bibinya dengan ponsel mereka, ibunya dengan teh bunga mawar, juga Cesar yang menyempatkan diri mengambil buku ke meja sang ayah, lalu membuka dan membacanya. Semuanya tenang, tidak ada pembicaraan apa pun. Tepat, seperti inilah pertemuan keluarga Hakim Tertinggi Pengadilan Alastor. Cleon jatuh dengan posisi telungkup ke bawah. Beberapa kali ia terbatuk. Cleon mencoba kembali untuk bernapas dengan normal. Namun, belum sempat ia bangkit untuk duduk, ayahnya menarik kerah kemejanya yang basah dan ternoda, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Cleon tidak berkutik. Kakinya meronta-ronta mencari pijakan. Lehernya terasa tercekik, dadanya sesak. Keringat bercucuran mengguyur waj
Anastazja tidak peduli ke arah mana kakinya melangkah, ia mempercayakan semua padanya. ‘Gila! Orang-orang itu sudah gila!’ Napasnya pendek-pendek, ditambah udara malam yang dingin membuat dada Anastazja terasa sedikit nyeri. Anastazja menahan sakit di dadanya sampai melihat sebuah halte bus tua yang sepertinya sudah tidak terpakai. Anastazja berbelok, lalu merangkak. Beruntung tubuh sang tuan penasihat terbilang cukup kecil. Karena itu, ia bisa dengan mudah menyembunyikan diri meski di bawah bangku tunggu halte. Ia tahu hal itu akan sia-sia, karena itu bangku panjang itu terbuka lebar sehingga bisa dilihat oleh siapa pun. Karenanya, ia menggunakan sihir untuk menyembunyikan keberadaannya. Mulutnya merapal mantra, menyalurkan energi mistis ke telapak tangan kanan.
Anastazja tidak mengerti bagaimana caranya pedagang itu menghilang begitu saja di hadapannya? Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini seperti adegan-adegan dalam televisi yang selalu dilihatnya? Ia mengembuskan napas keras. Perjalanan yang aneh dengan kondisi yang aneh. Anastazja tidak pernah berpikir kalau dirinya akan terjebak seperti saat ini. Di dalam memori buku yang tidak ada habisnya. Anastazja sudah beberapa kali memikirkan jalan untuk kembali ke dunianya, tetapi sepertinya tidak bisa begitu saja dia kembali. Tidak seperti saat ia memutuskan untuk memasuki memori di buku itu. Anastazja menjerit frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya. Sedikit aneh rasanya karena potongan rambut yang pendek layaknya potongan rambut seorang pria. Anastazja merasa bahwa Tuan Penasihat ini memiliki rambut yang ikal setelah mengacaknya