“Aku akan mendengarmu, jadi katakan saja. Katakan apa pun yang ingin kau katakan Aldephie. Aku pasti akan mendengarmu,” ucap Cleon tegas.
Mungkin memang menjadi kakak dari seorang Anastazja terlalu berat bagi Aldephie. Anastazja memang memiliki wajah yang menawan, tetapi tidak bisa bersikap manis bahkan cenderung keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri. Lihat saja, sudah dua kali dia menghilang tanpa kabar seperti ini. Dia tidak meminta maaf, atau apa pun yang seharusnya dia lakukan untuk menebus kesalahannya.
Kali pertama Anastazja menghilang, mungkin memang sebagian besar kesalahan Aldephie karena tidak mau mendengarkan Anastazja. Namun, kali kedua dia menghilang, hubungan mereka sedang kurang baik. Awalnya, Aldephie mengira Anastazja akan kembali saat makan malam, tetapi sampai pihak sekolah meneleponnya, ia s
Halo, semuanya Terima kasih atas dukungan kalian untuk Secret of Five Gods 🥰 Ikuti terus perjalanan Anastazja dan kawan-kawannya, setiap hari jam 10 pagi Jangan lupa dukung cerita ini dengan rate dan komen. Saya akan sangat menghargainya, terima kasih 😊
“Uh-huh. Black blood. Wow. Informasi yang sangat berguna, Nona Pencuri Raga.” “Anastazja.” “Benar, Anastazja. Jadi, kupikir ini bukan karena darahmu berwarna hitam, benar? Aku sudah berkeliling dunia—melakukan perjalanan dengan tuanku—tapi belum pernah aku melihat darah berwarna hitam ....” Ramirez terlihat memejamkan matanya. Mengingat-ingat mungkin satu kali dia pernah menemui darah dengan warna hitam atau suku dengan darah yang berwarna hitam. “Ya, kau tahu, jika mau pergi ke Barat, Kraken pasti akan menyambutmu untuk dijadikan penelitian selanjutnya. Haha!” Anastazja terdiam mendengar lelucon bodoh Ramirez. Ia terus menatap pemuda licik itu de
“Kau sudah lebih baik?” Ucapan Cleon seolah menarik Aldephie yang sedang berada dalam awang-awang kembali menuju kenyataan. Setelah berdeham beberapa kali, Aldephie membenarkan posisi duduknya. Ia mempersiapkan hati bicara dengan Cleon. Ia memutar kursi yang tadinya menyamping menjadi menghadap Cleon sepenuhnya. Bagaimana pun juga, Cleon harus mendengarkannya kali ini! “Cleon ... sebenarnya ....” Aldephie paham ini adalah kesempatan yang diberikan Dewa padanya. Namun, entah kenapa tenggorokannya seolah tersangkut sesuatu. Ia merasa Cleon berhak untuk tahu segalanya. Segalanya yang selama ini dialaminya. Segalanya yang sudah Anastazja bicarakan padanya. Kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengatakan apa pun ketika kesempatan emas itu datang? Tanpa Aldephie sadari, bulir
“Vahmir! Apa yang terjadi dengan kamarku? Apa seseorang baru saja melempar bom ke dalamnya?” Sore itu, Cleon mencari Vahmir dengan wajah terkejut. Melihat kamarnya yang seperti habis menjadi korban pengeboman, Cleon meminta Vahmir untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Vahmir—pria tua yang cool dan selalu mengenakan jas hitam itu—hanya terdiam menatap majikannya simpatik. “Vahmir, ada apa? Terjadi sesuatu selama aku tidak ada?” “Tuan Muda, mohon maafkan saya. Hakim tertinggi mencari Anda. Beliau menunggu Anda saat ini di ruang kerjanya,” ucap Vahmir tanpa ekspresi. Cleon benar. Ayahnya. Siapa lagi? Sungguh bodoh saat kau pulang ke rumah, menemui kamarmu yang berantakan dengan kondisi hampir semua b
Tidak ada jeritan, pandangan atau apa pun yang mengisyaratkan perasaan simpatik pada Cleon. Semua orang kembali pada aktivitasnya masing-masing. Paman dan bibinya dengan ponsel mereka, ibunya dengan teh bunga mawar, juga Cesar yang menyempatkan diri mengambil buku ke meja sang ayah, lalu membuka dan membacanya. Semuanya tenang, tidak ada pembicaraan apa pun. Tepat, seperti inilah pertemuan keluarga Hakim Tertinggi Pengadilan Alastor. Cleon jatuh dengan posisi telungkup ke bawah. Beberapa kali ia terbatuk. Cleon mencoba kembali untuk bernapas dengan normal. Namun, belum sempat ia bangkit untuk duduk, ayahnya menarik kerah kemejanya yang basah dan ternoda, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Cleon tidak berkutik. Kakinya meronta-ronta mencari pijakan. Lehernya terasa tercekik, dadanya sesak. Keringat bercucuran mengguyur waj
Anastazja tidak peduli ke arah mana kakinya melangkah, ia mempercayakan semua padanya. ‘Gila! Orang-orang itu sudah gila!’ Napasnya pendek-pendek, ditambah udara malam yang dingin membuat dada Anastazja terasa sedikit nyeri. Anastazja menahan sakit di dadanya sampai melihat sebuah halte bus tua yang sepertinya sudah tidak terpakai. Anastazja berbelok, lalu merangkak. Beruntung tubuh sang tuan penasihat terbilang cukup kecil. Karena itu, ia bisa dengan mudah menyembunyikan diri meski di bawah bangku tunggu halte. Ia tahu hal itu akan sia-sia, karena itu bangku panjang itu terbuka lebar sehingga bisa dilihat oleh siapa pun. Karenanya, ia menggunakan sihir untuk menyembunyikan keberadaannya. Mulutnya merapal mantra, menyalurkan energi mistis ke telapak tangan kanan.
Anastazja tidak mengerti bagaimana caranya pedagang itu menghilang begitu saja di hadapannya? Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini seperti adegan-adegan dalam televisi yang selalu dilihatnya? Ia mengembuskan napas keras. Perjalanan yang aneh dengan kondisi yang aneh. Anastazja tidak pernah berpikir kalau dirinya akan terjebak seperti saat ini. Di dalam memori buku yang tidak ada habisnya. Anastazja sudah beberapa kali memikirkan jalan untuk kembali ke dunianya, tetapi sepertinya tidak bisa begitu saja dia kembali. Tidak seperti saat ia memutuskan untuk memasuki memori di buku itu. Anastazja menjerit frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya. Sedikit aneh rasanya karena potongan rambut yang pendek layaknya potongan rambut seorang pria. Anastazja merasa bahwa Tuan Penasihat ini memiliki rambut yang ikal setelah mengacaknya
Udara dingin malam hari Tanah Alastor memang sangat menyiksa bagi siapa pun yang tidak terbiasa. Seolah Dewa ingin menunjukkan perbedaan itu pada dunia bahwa Tanah Alastor menyimpan kekuatan magis yang hanya dimiliki oleh setiap anggota klan-nya. Anastazja, masih setia dengan badan milik si Tuan Penasihat, sedang asyik melakukan percobaan pembobolan terhadap kediaman yang diduga sebagai kediaman salah satu petinggi di Tanah Alastor. Mengingat pada waktu nyata, kediaman itu adalah kediaman yang digunakan secara turun temurun oleh para Hakim tertinggi sejak dulu kala. Anastazja tidak peduli dengan bunyi bising yang ditimbulkan oleh pagar, dia terus saja menyangkutkan kakinya agar bisa melewati gerbang dengan mulus tanpa hambatan—yah, meski gerbang itu sendiri adalah sebuah hambatan yang harus dilewatinya untuk maju satu la
Anastazja membuka mata, menatap langit-langit kamar yang begitu tinggi. Langit-langit yang mewah dengan ukiran sulur pohon di setiap sisi plafonnya. Anastazja berpikir, andai saja dia bisa membawa Aldephie dan Agacia untuk ke sana bersama pasti akan sangat menyenangkan. Kamar yang sangat luas. Bahkan melebihi luas rumahnya saat ini. Fasilitas yang sangat memadai, kasur yang empuk dan nyaman, juga bantal yang lembut. Anastazja menebak bantal itu berisikan bulu angsa yang dibungkus menggunakan kain sutera.