Anastazja tidak mengerti bagaimana caranya pedagang itu menghilang begitu saja di hadapannya? Ia bertanya-tanya dalam hati, apakah ini seperti adegan-adegan dalam televisi yang selalu dilihatnya?
Ia mengembuskan napas keras. Perjalanan yang aneh dengan kondisi yang aneh. Anastazja tidak pernah berpikir kalau dirinya akan terjebak seperti saat ini. Di dalam memori buku yang tidak ada habisnya. Anastazja sudah beberapa kali memikirkan jalan untuk kembali ke dunianya, tetapi sepertinya tidak bisa begitu saja dia kembali. Tidak seperti saat ia memutuskan untuk memasuki memori di buku itu.
Anastazja menjerit frustasi. Ia mengacak-acak rambutnya. Sedikit aneh rasanya karena potongan rambut yang pendek layaknya potongan rambut seorang pria. Anastazja merasa bahwa Tuan Penasihat ini memiliki rambut yang ikal setelah mengacaknya
Halo, semuanya Terima kasih atas dukungan kalian untuk Secret of Five Gods 🥰 Ikuti terus perjalanan Anastazja dan kawan-kawannya, setiap hari jam 10 pagi Jangan lupa dukung cerita ini dengan rate dan komen. Saya akan sangat menghargainya, terima kasih 😊
Udara dingin malam hari Tanah Alastor memang sangat menyiksa bagi siapa pun yang tidak terbiasa. Seolah Dewa ingin menunjukkan perbedaan itu pada dunia bahwa Tanah Alastor menyimpan kekuatan magis yang hanya dimiliki oleh setiap anggota klan-nya. Anastazja, masih setia dengan badan milik si Tuan Penasihat, sedang asyik melakukan percobaan pembobolan terhadap kediaman yang diduga sebagai kediaman salah satu petinggi di Tanah Alastor. Mengingat pada waktu nyata, kediaman itu adalah kediaman yang digunakan secara turun temurun oleh para Hakim tertinggi sejak dulu kala. Anastazja tidak peduli dengan bunyi bising yang ditimbulkan oleh pagar, dia terus saja menyangkutkan kakinya agar bisa melewati gerbang dengan mulus tanpa hambatan—yah, meski gerbang itu sendiri adalah sebuah hambatan yang harus dilewatinya untuk maju satu la
Anastazja membuka mata, menatap langit-langit kamar yang begitu tinggi. Langit-langit yang mewah dengan ukiran sulur pohon di setiap sisi plafonnya. Anastazja berpikir, andai saja dia bisa membawa Aldephie dan Agacia untuk ke sana bersama pasti akan sangat menyenangkan. Kamar yang sangat luas. Bahkan melebihi luas rumahnya saat ini. Fasilitas yang sangat memadai, kasur yang empuk dan nyaman, juga bantal yang lembut. Anastazja menebak bantal itu berisikan bulu angsa yang dibungkus menggunakan kain sutera.
Anastazja melangkah gontai keluar ruang makan. Apa kau berpikir bahwa sarapan bersama seseorang yang dianggap Dewa akan menyenangkan? Nyatanya tidak sama sekali! Anastazja terus menerus berusaha untuk tetap terlihat keren. Agar tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana sulitnya ia mengendalikan jantungnya yang terus menerus melorot dari tempat semula. Ketegasan dan ketangkasan milik Cerberus memang bukanlah isapan jempol belaka. Namun, sepertinya pemerintah banyak menyembunyikan kekejaman yang sebenarnya. Cerberus terlalu percaya diri, sayang, dia sebodoh yang dituliskan dalam buku bersampul hijau itu. Tidak ada orang pintar yang akan membeberkan begitu saja rencananya saat sarapan pagi. Termasuk Anastazja. ‘Benar! Buku sampul hijau itu seharusnya berada di sini. Aku harus mencari ruang kerja milik Tuan Penasihat untuk m
Tanah Alastor. Sebutan yang sangat sesuai untuk tempat yang terkenal akan kutukannya. Sebuah daratan indah yang penuh akan hal-hal asing. Hal-hal yang kemudian melahirkan rasa egois dan tamak secara bersamaan. Dua dasar sifat manusia yang mengantarkan hidup pada kehancuran. Dari sekelompok orang yang tersisih, terciptalah sebuah anekdot mengenai darah yang sudah tidak murni. Darah yang tercampur kutukan itu akan menghitam sehingga terpancar melalui bola matanya. Kemudian, black blood menjadi panggilan yang selalu tersemat dari lidahnya saat memanggil orang-orang sepertiku. *** Anastazja menatap keluar jendela. Hamparan pertanian yang luas, sangat hijau memanjakan mata. Tikar bumi, begitulah Aldephie menyebutnya dulu. Tikar yang sangat indah dan menyejukkan.
“Tuan Cleon? Tuan Cleon sudah sadar! Cepat, panggil Vahmir, cepat!” Jerit perasaan lega sekaligus bahagia menyambut Cleon yang baru saja mampu membuka matanya. Entah sudah berapa lama ia tertidur, ia hanya merasa tubuhnya sangat sakit dan pegal di saat yang sama. Biasanya, ketika ada bagian tubuhnya yang sakit, Cleon akan memijat bagian yang terasa pegal menggunakan kedua tangannya sendiri. Namun, hari itu ia sama sekali tidak bisa bergerak! Hampir seluruh tubuhnya dipenuhi oleh perban-perban yang menutupi dirinya. Matanya terasa sangat lengket, tetapi ia masih bisa mengenali pelayan yang ada di hadapannya. Mulutnya ingin sekali bergerak meminta segelas air untuk tenggorokannya yang kering. Rasanya tenggorokannya baru saja memuntahkan seluruh isi perutnya keluar. Segelas air mungkin bisa meredakan mual juga membasahi bib
Cleon paham bahwa hal itu sangat mengganggu Vahmir, tetapi pria paruh baya yang sudah menghabiskan hampir dari setengah umurnya untuk merawat Cleon ini memilih untuk tetap diam dan tidak menanggapi apa pun. Ia ingin memastikan segalanya sampai selesai, baru memberi tanggapan. Bukan mengambil keputusan dari sesuatu yang hanya didengarnya secara sepotong-sepotong. “Salah satu alasan mereka dikucilkan adalah ketakutan pemerintah akan pemberontakan yang terulang. Pemerintah mengerti bahwa black blood mampu membunuh tanpa menyentuh. Sesuatu yang bahkan pedang pun tidak dapat menebas dan mengalahkannya.” Lagi-lagi Vahmir terdiam. Ia masih belum menangkap alasan Cleon bertahan di sisi Anastazja. “Kudengar, pemberontakan hampir terjadi saat kakek tua baru dilantik sebaga
Cuaca yang cerah, kicauan para burung yang terdengar riang dari arah hutan, juga sepotong pie apel yang terhidang dengan manis di atas piring kecil dengan sempurna memulai babak baru dari sepotong kisah yang sulit dimengerti. Anastazja masih menunduk. Ketegangannya terlihat dari cara ia duduk, yaitu duduk dengan badan tegak dan kaku. Berbanding terbalik dengan wanita paruh baya yang sebelumnya sempat memeluknya dengan erat. Wajah yang terlihat sudah termakan usia itu tersenyum bahagia. Seakan segala sesuatu yang mengganjal hatinya sudah selesai. Dalam otaknya, Anastazja masih terus menebak mengenai hal-hal yang sebelum dan nanti akan terjadi padanya. Namun, hal pertama yang harus ia lakukan saat ini adalah; mengetahui nama dari wanita yang kini sedang bersenandung menuangkan teh pada cangkir motif morning glory yang ia letakkan di atas meja.
Tidak banyak hal yang bisa Anastazja harapkan, termasuk pengharapannya sendiri. Kini, di hadapannya terdapat sebuah monumen buatan tangan dengan ukiran bertuliskan ‘Yang Selalu Berada dalam Kenangan Kami, Fleur Alastor’. Anastazja terdiam sejenak, lalu memutuskan berdoa untuk ketenangan sosok yang sedang tertidur dengan damai, Fleur Alastor. “Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan ini. Rasanya rindu, sepi, dan gundah menjadi satu. Satu yang aku tahu, kehilangan seseorang yang mencintai dan sangat kita cintai akan memberikan dampak besar bagi kita semua. Kau juga begitu kan, Sean?” Anastazja menepuk-nepuk dadanya yang terasa perih. Ia tahu, tubuh Sean mengenali segalanya. Termasuk perasaan sedih akan kepergian ibunya. Anastazja teringat hari di mana ia dan Aldephie kehilangan sosok ayah.