Tidak banyak hal yang bisa Anastazja harapkan, termasuk pengharapannya sendiri. Kini, di hadapannya terdapat sebuah monumen buatan tangan dengan ukiran bertuliskan ‘Yang Selalu Berada dalam Kenangan Kami, Fleur Alastor’. Anastazja terdiam sejenak, lalu memutuskan berdoa untuk ketenangan sosok yang sedang tertidur dengan damai, Fleur Alastor.
“Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaan ini. Rasanya rindu, sepi, dan gundah menjadi satu. Satu yang aku tahu, kehilangan seseorang yang mencintai dan sangat kita cintai akan memberikan dampak besar bagi kita semua. Kau juga begitu kan, Sean?”
Anastazja menepuk-nepuk dadanya yang terasa perih. Ia tahu, tubuh Sean mengenali segalanya. Termasuk perasaan sedih akan kepergian ibunya. Anastazja teringat hari di mana ia dan Aldephie kehilangan sosok ayah.
Halo semuanya, mohon maaf atas keterlambatan updatenya. Karena satu dan lain hal. Terima kasih atas segala pengertian dan cinta yang sudah kalian berikan untuk Secret of Five Gods ini 😊 Jangan lupa beri like, komen dan ulasannya ya. Sampai bertemu di chapter selanjutnya Salam hangat
“Cesar sialan! Aku harus melakukan sesuatu!” Cleon menggigit kuku ibu jari kanannya. Menandakan hatinya sedang dilanda akan perasaan resah akan ucapan Cesar sebelumnya. Kenapa segalanya menjadi kian rumit? Cleon hanya ingin Anastazja kembali dan mereka menjalani hari-hari normal mereka seperti biasa. Setelah kelas selesai, Cleon akan menunggunya di bangku dekat gerbang sekolah dan mereka akan bepergian ke satu tempat untuk melukis. Ya, sesederhana keinginan seorang anak akan perhatian dari orang tuanya. Tidak peduli kandung atau bukan, seorang anak hanyalah seorang anak. Sampai kapan pun, yang dicari oleh seorang anak adalah kasih sayang orang tua. “Tidak, Tuan muda. Anda harus istirahat penuh untuk memulihkan tenaga dan luka-luka Anda. Bagaimana saya harus menje
Di dalam rumahnya, Fleur membuat sebuah ruangan yang tersembunyi. Jauh dari pengetahuan orang-orang di luar sana. Ruangan dengan pintu masuk melalui tangga menuju bawah tanah. Fleur menyembunyikan pintu yang berada di lantai dengan cara menutupinya dengan sebuah karpet lantai, tidak lupa ia meletakkan sofa dengan tampungan satu seat di atasnya agar tidak dicurigai oleh siapa pun. Tanpa sengaja, Anastazja menemukan pintu itu saat dia jatuh terduduk karena perasaan terkejut melihat potongan memori mengenai Fleur. Anastazja tidak memiliki petunjuk sama sekali mengenai tentang orang-orang yang menyerang Fleur. Anastazja bahkan tidak tahu siapa orang yang sedang dibicarakan oleh mereka pada Fleur. Potongan memori hanya menunjukkan sampai saat orang-orang tak dikenal i
“Tuan Vahmir! Tuan Vahmir!” Seorang pelayan wanita berlari tergopoh-gopoh menuju ruang kerja Vahmir. Dengan tidak sabar, pelayan itu terus menerus mengetuk pintu ruangan. Tepat seperti nama yang diberikan orang-orang untuknya, ‘Manusia Kilat’, Vahmir membuka pintu secepat ketukan ketiga sang pelayan. “Ada apa?” “Tuan Vahmir ... Tuan muda ....” Melihat wajah pelayan yang pucat dan panik, Vahmir tidak membuang waktu dengan menunggu pelayan menyempurnakan kalimatnya. Ia bergegas mendatangi kamar Cleon. Tepat seperti dugaannya. Begitu pintu terbuka, tidak ada sosok bocah manja yang selalu membangkang akan peraturan yang tidak sesuai dengan maunya. Vah
Anastazja membuka matanya perlahan. Samar-samar tercium wangi teh chamomile yang sudah masuk daftar kesukaannya yang baru. Ia berusaha untuk bangun dengan menopang tubuhnya dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegangi kepalanya yang terasa sakit saat ia menggerakkan tubuhnya meski hanya membuat perubahan sebanyak satu sentimeter. “Ugh!” Anastazja mengerang. “Ah, kau sudah lebih baik?” Nyonya Emma datang dengan celemek merah muda motif kotak-kotak. “Aku ... apa yang terjadi ...?” Anastazja melihat sekeliling. Ia cukup ingat lokasi terakhir tempatnya berada bukanlah di atas sofa yang terdapat dalam ruang penerima tamu. “Oh, sayangku, aku turut prihatin dengan kebakaran yang melalap rumah Fleur.
“Shit! Kenapa mereka begitu keras kepala, huh!” Cleon berteriak seraya menengok ke belakang, memandang beberapa mobil Polisi Alastor yang masih setia dalam pengejarannya. ‘Aku harus cari cara! Sudah bagus aku bisa kabur, aku belum bisa kembali ke penjara itu sekarang. Atau mungkin tidak untuk selamanya!’ batinnya terus menerus membakar keinginannya agar semakin kuat tekadnya kabur. “Penunggang kuda putih di depan, harap menepi! Sekali lagi, penunggang kuda putih yang berada di depan kami, harap segera menepi dan bekerja sama dengan kami!” “Penjahat bodoh sekali pun tidak akan pernah berhenti jika Polisi memintanya!” Cleon menjulurkan lidahnya pada
Jika pertanyaan seperti ‘siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?’ terus berlangsung, maka bisa dipastikan tidak ada orang yang akan dengan suka rela menjawab bahwa dirinyalah yang bertanggung jawab akan peristiwa itu. Setidaknya, tidak terlalu memercayai orang lain adalah kunci yang harus selalu Anastazja pegang dengan teguh. Entah sudah berapa kali pengkhianatan menyempurnakan harinya, bodohnya, Anastazja terus saja termakan bujuk rayunya yang mematikan seperti racun. Cerberus duduk dengan mengangkat sebelah kakinya menumpu pada kakinya yang lain. Tangannya bersedekap sempurna, kepalanya menengok ke arah luar jendela mobil. Armor masih melekat di tubuhnya yang besar dan kekar. Dengan jubah merah juga pelindung kepala berbentuk kepala salah satu anjing Cerberus, terlihat sekali bagaimana pria itu mengintimidasi sekitarnya.
Seolah memandang ke dalam sebuah rasa hampa yang tidak memiliki apa pun di dalamnya, Anastazja merasa tertekan dengan beberapa lembar kertas putih yang kini menggeletak dengan manis di atas meja kerjanya. Seharusnya, pena dan tinta hitam itu bergerak dengan tempo yang teratur sehingga membuat sebuah pesan yang tersusun secara sistematik dan rapi. Namun, apa daya, sel-sel otaknya bahkan tidak bisa diajak kerja sama karena terlalu berat baginya menerima segala perubahan-perubahan yang terjadi. Hanya untuk pekerjaan semudah merangkai diksi-diksi indah pun membuat kepalanya berdenyut kesakitan. Malam terakhir, malam penentuan. Jika Anastazja masih tidak memahami apa yang harus ia tuliskan pada Hydra esok pagi, Cerberus akan meluncurkan setiap pasukannya untuk meruntuhkan perbatasan.
“Apa?” Anastazja membulatkan matanya, tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Kubilang, kau bersiap sekarang. Aku akan menunggumu,” ujar Cerberus meninggalkan Sean tanpa b**a-basi. “T-tunggu! Kau bilang, kau akan memberiku waktu sampai besok?” Anastazja menarik jubah Cerberus. “Memang. Aku menepati janjiku.” “T-tapi, matahari bahkan belum terbit!” “Pergantian hari tidak terjadi ketika matahari terbit, black blood. Aku menepati janjiku. Memberikan waktu tiga hari untuk kau mengingat semuanya, tetapi sepertinya kau tidak mampu melakukan itu. Maka aku akan berangkat tetap denganmu. Aku tahu kau akan mengingat kembali jika kita memulai, bukan?”
Shi yang memasuki ruangan, disambut oleh dongakan kepala Aldephie. Dengan wajah berhiaskan senyum puas, Shi berjalan mendekat. Tidak ada reaksi penolakan yang biasanya Aldephie keluarkan. Hanya sebuah tatapan kosong. Matanya seperti seekor ikan yang mati. "Kekasih yang kau cintai itu sudah tidak lagi di sini. Dia hanya menitipkan ini untukmu," ungkap Shi seraya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jas hitamnya. Aldephie tidak mengatakan apa pun. Hanya menerima uluran sepucuk surat dan mengambilnya dari tangan Shi. Kepergian Cleon untuk menemani Anastazja cukup memukul habis kekuatan batinnya. Bukankah seharusnya seseorang memberitahu mereka jika Anastazja sudah kembali? Kenapa justru memisahkan mereka semua dan mengirimnya ke tempat yang tidak dikenalinya? Aldephie paham, seharusnya ia merasa lebih tenang kar
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p