“Mabuk laut?”
Anastzja tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari pemuda yang membawakan handuk dan baju gantinya—ia baru tahu setelahnya kalau pemuda itu bernama Ramirez.
Ramirez mengangguk mantap. Seolah tidak ada keraguan sedikit pun dari perkataannya. Baru beberapa menit yang lalu Anastazja selesai dengan baju basahnya. Ia lalu menemui Ramirez dan menanyakan alasan kenapa ia bisa tenggelam di laut saat kapal akan berlabuh? Terdengar sangat tidak keren bagi Anastazja.
Hal mengejutkan lainnya adalah Ramirez mengatakan bahwa Anastazja mengalami mabuk laut yang parah. Beberapa kru kapal yang menjadi saksi mengatakan kalau pemilik fisik yang ditumpangi Anastazja tergelincir saat ia akan mengeluarkan isi perutnya ke dalam laut.
Tidak peduli bagaimana dinginnya udara malam hari di penghujung musim gugur, ia hanya berlari layaknya roket membelah langit menuju rumah Anastazja. Ada sesuatu. Sesuatu yang harus ia sampaikan pada Aldephie mengenai adiknya, Anastazja. Berbeda dengan Cleon yang tinggal di pusat kota, Anastazja—juga semua warga black blood—hanya diperbolehkan tinggal di pinggir kota yang posisinya lebih mendekati hutan dari pada ke arah kota. Butuh waktu sekitar lima puluh menit untuk mencapai rumahnya Anastazja, tetapi Cleon tidak peduli. Tidak ada bedanya dengan lomba lari maraton yang biasa dia ikuti. Tidak ada hal yang dia pikirkan saat ini kecuali Anastazja. Benar, kecuali Anastazja seorang. Sampai ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa sosok yang sangat ingin dia lihat kini sedang berdiri membukakan pintu untuknya. Wajahnya
“Maafkan aku sudah melibatkanmu, Tuan ....” Aldephie menatap Cleon dengan tatapan serba salah. “Jangan panggil aku begitu, Aldephie. Lagi pula, tidak ada orang di sini,” ucap Cleon sesekali menyeruput teh pesanannya. Musim dingin belum tiba, tetapi Cleon sudah tidak memiliki minat untuk pergi kuliah. Dia sudah mencoba pergi ke sana hanya untuk menemui dosennya. Namun, setibanya di sana, lelaki itu bahkan tidak peduli dengan penjelasan mengenai Hukum Teritorial Batas Wilayah, salah satu mata kuliah yang saat ini sedang menjadi fokus utama di tahun ketiganya. Cleon tidak peduli mengenai pembagian wilayah Negeri Selatan, seberapa jauh Negeri Selatan terbentang dan lain sebagainya. Pada akhirnya, keunggulan dari mata kuliah tersebut hanya untuk memudahkan mereka-mereka yang ingin bergabung bersama militer nanti. Mungkin berguna jika Cleon memang akan turun ke medan tempur. Namun, Cleon tidak berniat untuk itu. Dia bahk
Ramirez sigap mencabut granat kecil yang ia gantung di balik bajunya, lalu mendorong tubuh pria itu dengan mudah. Wajahnya berubah marah, tetapi Ramirez tidak peduli. Setelah ia meludahi sepatu Ramirez, pria itu berdiri dan meninggalkan mereka di tengah keramaian pasar. Anastazja melihat sekeliling, mencoba untuk menjelaskan apa yang terjadi. Namun, lagi-lagi situasinya membuat nalarnya tidak bekerja dengan baik. Biasanya pada saat seperti ini, polisi Alastor dari Pengadilan Tertinggi akan datang, tapi apa? Tidak ada seorang pun peduli pada kericuhan barusan. Antara takjub dan bingung, Anastazja tidak mengerti mana yang harus ia rasakan? “Tuan, Anda baik-baik saja? Tidak ada luka serius?” Ramirez memutar badannya untuk memastikan bahwa Anastazja—tuannya—tidak mendapatkan luka serius. Namun, ia mendapati Anastazja hanya berdiri mematung menatapnya bingung. Berikutnya, Anastazja menunjuk granat
“Aku akan mendengarmu, jadi katakan saja. Katakan apa pun yang ingin kau katakan Aldephie. Aku pasti akan mendengarmu,” ucap Cleon tegas. Mungkin memang menjadi kakak dari seorang Anastazja terlalu berat bagi Aldephie. Anastazja memang memiliki wajah yang menawan, tetapi tidak bisa bersikap manis bahkan cenderung keras kepala dan memaksakan kehendaknya sendiri. Lihat saja, sudah dua kali dia menghilang tanpa kabar seperti ini. Dia tidak meminta maaf, atau apa pun yang seharusnya dia lakukan untuk menebus kesalahannya. Kali pertama Anastazja menghilang, mungkin memang sebagian besar kesalahan Aldephie karena tidak mau mendengarkan Anastazja. Namun, kali kedua dia menghilang, hubungan mereka sedang kurang baik. Awalnya, Aldephie mengira Anastazja akan kembali saat makan malam, tetapi sampai pihak sekolah meneleponnya, ia s
“Uh-huh. Black blood. Wow. Informasi yang sangat berguna, Nona Pencuri Raga.” “Anastazja.” “Benar, Anastazja. Jadi, kupikir ini bukan karena darahmu berwarna hitam, benar? Aku sudah berkeliling dunia—melakukan perjalanan dengan tuanku—tapi belum pernah aku melihat darah berwarna hitam ....” Ramirez terlihat memejamkan matanya. Mengingat-ingat mungkin satu kali dia pernah menemui darah dengan warna hitam atau suku dengan darah yang berwarna hitam. “Ya, kau tahu, jika mau pergi ke Barat, Kraken pasti akan menyambutmu untuk dijadikan penelitian selanjutnya. Haha!” Anastazja terdiam mendengar lelucon bodoh Ramirez. Ia terus menatap pemuda licik itu de
“Kau sudah lebih baik?” Ucapan Cleon seolah menarik Aldephie yang sedang berada dalam awang-awang kembali menuju kenyataan. Setelah berdeham beberapa kali, Aldephie membenarkan posisi duduknya. Ia mempersiapkan hati bicara dengan Cleon. Ia memutar kursi yang tadinya menyamping menjadi menghadap Cleon sepenuhnya. Bagaimana pun juga, Cleon harus mendengarkannya kali ini! “Cleon ... sebenarnya ....” Aldephie paham ini adalah kesempatan yang diberikan Dewa padanya. Namun, entah kenapa tenggorokannya seolah tersangkut sesuatu. Ia merasa Cleon berhak untuk tahu segalanya. Segalanya yang selama ini dialaminya. Segalanya yang sudah Anastazja bicarakan padanya. Kenapa? Kenapa dia tidak bisa mengatakan apa pun ketika kesempatan emas itu datang? Tanpa Aldephie sadari, bulir
“Vahmir! Apa yang terjadi dengan kamarku? Apa seseorang baru saja melempar bom ke dalamnya?” Sore itu, Cleon mencari Vahmir dengan wajah terkejut. Melihat kamarnya yang seperti habis menjadi korban pengeboman, Cleon meminta Vahmir untuk menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Vahmir—pria tua yang cool dan selalu mengenakan jas hitam itu—hanya terdiam menatap majikannya simpatik. “Vahmir, ada apa? Terjadi sesuatu selama aku tidak ada?” “Tuan Muda, mohon maafkan saya. Hakim tertinggi mencari Anda. Beliau menunggu Anda saat ini di ruang kerjanya,” ucap Vahmir tanpa ekspresi. Cleon benar. Ayahnya. Siapa lagi? Sungguh bodoh saat kau pulang ke rumah, menemui kamarmu yang berantakan dengan kondisi hampir semua b
Tidak ada jeritan, pandangan atau apa pun yang mengisyaratkan perasaan simpatik pada Cleon. Semua orang kembali pada aktivitasnya masing-masing. Paman dan bibinya dengan ponsel mereka, ibunya dengan teh bunga mawar, juga Cesar yang menyempatkan diri mengambil buku ke meja sang ayah, lalu membuka dan membacanya. Semuanya tenang, tidak ada pembicaraan apa pun. Tepat, seperti inilah pertemuan keluarga Hakim Tertinggi Pengadilan Alastor. Cleon jatuh dengan posisi telungkup ke bawah. Beberapa kali ia terbatuk. Cleon mencoba kembali untuk bernapas dengan normal. Namun, belum sempat ia bangkit untuk duduk, ayahnya menarik kerah kemejanya yang basah dan ternoda, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi. Cleon tidak berkutik. Kakinya meronta-ronta mencari pijakan. Lehernya terasa tercekik, dadanya sesak. Keringat bercucuran mengguyur waj
Shi yang memasuki ruangan, disambut oleh dongakan kepala Aldephie. Dengan wajah berhiaskan senyum puas, Shi berjalan mendekat. Tidak ada reaksi penolakan yang biasanya Aldephie keluarkan. Hanya sebuah tatapan kosong. Matanya seperti seekor ikan yang mati. "Kekasih yang kau cintai itu sudah tidak lagi di sini. Dia hanya menitipkan ini untukmu," ungkap Shi seraya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jas hitamnya. Aldephie tidak mengatakan apa pun. Hanya menerima uluran sepucuk surat dan mengambilnya dari tangan Shi. Kepergian Cleon untuk menemani Anastazja cukup memukul habis kekuatan batinnya. Bukankah seharusnya seseorang memberitahu mereka jika Anastazja sudah kembali? Kenapa justru memisahkan mereka semua dan mengirimnya ke tempat yang tidak dikenalinya? Aldephie paham, seharusnya ia merasa lebih tenang kar
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p