Ramirez berlari secepat mungkin begitu mendengar suara benda jatuh dan pecah dari kamar Sean. Namun, setibanya di sana ia melihat Sean sudah tersungkur tepat di sebelah kaki meja. Kursi kerja yang begitu ia banggakan pun berada dalam posisi tidak semestinya. Sepertinya ia terjatuh dari kursinya begitu saja.
"Sean!" panggil Ramirez berlari mendekat sesaat setelah memasuki ruang kerja Sean. Ramirez cepat membalik tubuh Sean yang tertelungkup dan menyandarkan kepala Sean pada lengannya. Wajahnya pucat, bibirnya mengeluarkan darah. Ramirez kembali memperhatikan meja dan tempat Sean terjatuh. Benar, Sean kembali batuk darah. Sigap, Ramirez langsung meletakkan kepala Sean yang pingsan kembali ke lantai dengan perlahan, lalu berkeliling membuka laci demi laci, kotak demi kotak hanya untuk menemukan obat milik Sean.Halo, semua, terima kasih atas dukungannya untuk SoFG đ¤
Sean POV "Lebih baik aku mati daripada harus membantumu!" Entah sudah berapa juta penolakan yang kudapat dari orang sekitar selama aku memulai hidup hingga saat ini. Bagiku, penolakan bukan lagi sesuatu yang bisa mengoyak hati. Aku tidak tahu bagaimana pendapatnya mengenaiku, yang aku tahu, aku hanya bisa menatap lelaki di balik jeruji dalam diam. Sejak dulu, orang-orang selalu menyalahartikan diamku sebagai sesuatu yang menakutkan, tidak terkecuali dengannya. Kulihat, ia begitu takut menatap mataku dari balik jeruji besi dengan ketebalan tidak sampai dua sentimeter. Kenapa aku tahu? Karena aku sendiri yang merancangnya. Lelaki yang pernah mengisi masa kanak-kanak dengan bermain dan tertawa bahagia bersamaku. Lelaki yang menjadi orang p
Sean POV Aku tidak tahu, apakah alam turut berduka dengan kematian Ayah atau hanya bersimpati padaku dan Ibu? Pemakaman Ayah diiringi oleh rintik-rintik rindu yang berakhir sendu. Telah beristirahat dengan tenang dalam tidurnya. Ayah, saudara, saudara, sahabat kami,Savarior AlastorKedamaian dan kebenaran akan selalu menyertaimu Terheran aku melihat kalimat terakhir pada batu nisan milik Ayah. Kedamaian dan kebenaran? Siapa yang menuliskan hal seperti ini pada batu nisan, huh? Aku melirik ke arah batu nisan yang berada dekat dengan makam Ayah, tetapi tidak ada tulisan yang berkonotasi negatif seperti milik Ay
"Jangan bodoh! Jangan gegabah! Mereka tidak akan memulangkanmu semudah itu." Helio sudah tidak mampu lagi menahan amarahnya. Matanya melotot. Tidak peduli bagaimana perkataan si kakek tua, dia akan tetap pulang. Bukan, dia harus pulang! Tidak peduli meski dua pasang mata di seberang sana melarangnya sambil berteriak-teriak. Helio tetap mengepak barang-barang yang sekiranya perlu dibawa untuk kembali. "Sudah kubilang, kau tidak bisa—" "Maka aku akan menuntut mereka atas ketidakadilan!" Ya, inilah Helio Elysian. Bukan hanya usulan rencananya yang menakutkan bagi keselamatan Kota Central, atau lebih tepatnya bagi keselamatan orang-orang yang memiliki kepentingan. Helio juga menjadi menakutkan ketika
"H-hah?" Bukan saja terkejut, Anastazja bahkan membeku di tempatnya. Coklat panas yang baru diteguknya beberapa saat lalu seakan tidak mempan menghangatkan dirinya. Ia membeku, bersama dengan kabar duka yang Ramirez bawa padanya. Ia menatap wajah Ramirez dengan raut wajah yang sangat terpukul. Sean? Sean Alastor yang itu? Apa maksudnya dengan meninggal? Bukankah ia memang sudah seharusnya meninggal? Tapi tunggu dulu, kalau begitu seharusnya Ramirez juga sudah tiada. Apa benar Sean Alastor masih hidup? Apa benar? Suara-suara dalam otak Anastazja mendadak bertanya-tanya tanpa menemui jawaban, bahkan sekedar tanda titik. "Sampai beberapa hari yang lalu ia masih hidup. Umurnya ... jangan ditanya.
"Saat Sean berusia satu tahun, ayahnya mendapatkan teror sampai yang mengancam keselamatan nyawanya. Karena tidak ingin membahayakan istri dan anaknya, Savarior mengirim Sean dan ibunya ke Kota Central. Tempat di mana mereka akan aman. Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai Hakim tertinggi, Savarior meminta bantuan Dragon untuk menyembunyikan istri dan anaknya. Setahun sekali, Savarior beserta pemimpin lain perwakilan tiap-tiap negeri akan datang ke Kota Central untuk melaporkan segalanya tentang negeri mereka masing-masing. Saat itulah Savarior memanfaatkan waktunya untuk menjenguk anak dan istrinya. Cerberus pun sedang sibuk bersama Dragon dan tiga Dewa lainnya. Jadi dia merasa aman. Namun, pada tahun keenam Sean berada di Kota Central, ibunya memintanya untuk pulang ke Negeri Selatan karena Savarior akhirnya tewas."
"Sebelah sini, Nona." Helen membuka pintu yang terlihat berat di hadapannya. Masih dengan menggunakan seragam pelayan dan cadar untuk menutupi identitas aslinya, Aldephie berjalan cepat mengikuti langkah Helen. "Cleon, bagaimana dengan Cleon? Lalu Vahmir?" Dengan terengah-engah, Aldephie sesekali menengok, mencari sosok Cleon dan Vahmir yang sebelumnya mengantarnya. "Mereka akan baik-baik saja. Percayalah. Yang lebih penting saat ini adalah mengeluarkan Nona dari sini," jawab Helen dengan terengah-engah. Aldephie memperhatikan rambut panjang Helen. Matanya buram sesaat karena panas yang keluar dari dalam hingga menyembulkan bulir-bulir air mata yang menyembul keluar dari kelopak mata.
Siapa pun yang melihatnya, pasti akan merasa takjub. Sebuah kapal besar yang biasanya berlayar di laut, kini bersiap melayang di angkasa. Jujur, itu pun kali pertama Aldephie melihatnya. Tidak banyak informasi yang ia terima dari Vahmir selain "kendaraan keluaran terbaru". Apakah mereka tidak paham bahwa lalu lintas udara sudah sangat penuh? Setidaknya, ia pernah sedikit mempelajari mengenai lalu lintas udara. Tidak seperti kapal besar yang pernah ia lihat ketika menjemput ayahnya di pelabuhan untuk membantunya membawa sayur-mayur serta apa pun yang mereka jual kembali di pasar. Kapal yang digunakan adalah jenis kapal jaring angkat. Kapal yang biasanya digunakan para nelayan untuk memancing ikan dalam jumlah besar. Namun, tanpa jaring juga tiang-tiang yang tinggi tentu saja. Mereka sedikit memodifikasi bagian tiang yang tinggi untuk menarik jaring deng
'Aku menuliskan ini di sini, agar semuanya menjadi jelas bahwa apa yang terlihat, terdengar, bahkan mungkin terendus tidak selalu sama dengan wujud nyatanya. Pertama, halo. Sean Alastor. Kali pertama kita berbicara secara pribadi, maksudku buku hijau sampul beludru? Ah, itu tidak bisa disebut sebagai komunikasi. Aku mengetahui namamu pertama kali dari Ramirez. Bahwa ada orang lain yang berusaha mengambil alih tubuhku, lalu kabur begitu saja. Kupikir ratusan kali pun, kau bukan ingin mengambil alih tubuhku. Kau justru menyelamatkanku. Andai kau tidak datang saat aku pingsan, mungkin aku akan benar-benar tenggelam dan mati. Karenanya, terima kasih untuk bantuanmu, aku sangat menghargainya. Kedua, aku tidak pernah berpikir sekali pun bahwa apa yang kulalu
Shi yang memasuki ruangan, disambut oleh dongakan kepala Aldephie. Dengan wajah berhiaskan senyum puas, Shi berjalan mendekat. Tidak ada reaksi penolakan yang biasanya Aldephie keluarkan. Hanya sebuah tatapan kosong. Matanya seperti seekor ikan yang mati. "Kekasih yang kau cintai itu sudah tidak lagi di sini. Dia hanya menitipkan ini untukmu," ungkap Shi seraya mengeluarkan sepucuk surat dari saku dalam jas hitamnya. Aldephie tidak mengatakan apa pun. Hanya menerima uluran sepucuk surat dan mengambilnya dari tangan Shi. Kepergian Cleon untuk menemani Anastazja cukup memukul habis kekuatan batinnya. Bukankah seharusnya seseorang memberitahu mereka jika Anastazja sudah kembali? Kenapa justru memisahkan mereka semua dan mengirimnya ke tempat yang tidak dikenalinya? Aldephie paham, seharusnya ia merasa lebih tenang kar
Tidak ada seorang pun dari mereka saling berbicara. Mereka bahkan tidak saling menatap satu sama lain. Waktu yang mereka yang telah hilang, kini memang kembali meski tidak seperti semula. Namun, pikiran mereka sudah tidak saling terpaut. Dengan helaan napas panjang, Cleon memandang laut luas sembari menbayangkan wajah Aldephie terakhir kali sebelum semuanya berakhir seperti ini. Aldephie yang baru bangun dan entah sudah diberitakan apa oleh Shi, berlari masih dengan mengenakan piama orang sakit menemui Cleon yang sedang diringkus karena terus menerus memberontak. Ia memasuki ruang interogasi nomor dua dan memeluk Cleon sambil menangis tersedu-sedu. Gadis itu bahkan memintakan maaf untuk adiknya. Sikap Aldephie yang seperti itu, memberitahu Cleon bahwa tidak ada lagi perlawanan yang bisa ia berikan pada Cesar. Kalah. Begitulah bagaimana akhirnya Cleon harus men
Memasuki sebuah ruangan besar yang gelap dan pencahayaan seadanya. Terdapat sebuah meja dengan dua kursi di sisi kanan dan satu kursi di sisi kiri, juga lampu yang menggantung di atasnya. Anastazja mengira pendingin ruangan disetel dengan suhu sekitar delapan belas sampai dua puluh derajat. Terlalu dingin baginya. Apalagi dengan kondisi tubuh yang terus menerus memproduksi keringat dingin. Awalnya, ia ragu-ragu untuk masuk, tetapi salah satu polisi Alastor mendorong punggungnya dengan kasar hingga ia terjerembab mencium lantai yang dingin, lalu menutup pintu dengan cara membantingnya. Kesal mulai menggelayuti wajahnya. Andai dia tidak mengikuti rencana Hakim, dia tidak perlu lagi mendapat perlakuan kasar seperti ini! Namun, apa gunanya dia tetap di sana jika Hakim itu juga di sana? Ah, Hakim tertinggi sudah merusak esensi dari tempat kenangannya bersama Helio.
Bau menyengat, udara pengap, juga hawa yang memuakkan menebar keluar melalui pintu kayu yang berwarna samar. Anastazja melihat ke dalam ruangan dengan perasaan bingung. Kenapa Helio tidak pernah menceritakannya? Hakim tertinggi segera menyalakan korek api gasnya untuk penerangan. Tidak seperti dirinya yang tenang dan seolah tahu apa yang tersimpan di dalam ruangan aneh ini. Anastazja justru merasa mual dan pusing. Sebuah tubuh yang membusuk. Seperti baru, tetapi karena dia berada di pondok dan tidak seorang pun antara dia dan Helio melakukan itu, artinya tubuh itu sudah lama berada di sana! Pembunuhankah? "Kau tahu siapa ini?" Sembari menutup hidung kencang, Anastazja menggeleng lemah. "Kakek buyutku."
Kedua kaki tangannya bergetar hebat. Dia bahkan bisa merasa bulu-bulu halusnya meremang, seolah alarm alaminya tahu bahwa bahaya di hadapannya tidak bisa ditolerir lagi. Di saat yang sama, tenaganya hilang entah ke mana. Lenyap tersapu riuh badai kepanikan diri. Bulir demi bulir keringat dingin mengucur tiada henti. Mati aku! Hanya itu kalimat yang terus berdentum di telinga dan otaknya. Selama lima detik, Anastazja mengusap dada, berharap jantungnya tenang agar napasnya tidak terlalu memburu. Ia tidak ingin terjebak pada lingkaran jawaban atas pertanyaan "bagaimana". Yang ia ketahui sekarang, dirinya sudah tertangkap basah dan tidak bisa lagi melarikan diri. Hatinya merintih, tidak pernah hal seperti ini terjadi kala Helio berada di sisinya. Namun, setelah lelaki yang dicintainya itu pergi, tiba-tiba mimpi buruk kembali datang.
"Cesar ...." Tidak ada keceriaan dalam nada suara Cleon. Tenggorokannya tercekat. Dadanya berdentum-dentum tak karuan. Habis sudah! "Wah, wah, kau tidak ingin memberiku pelukan rindu? Aku bahkan sudah merindukanmu meski kau hanya meninggalkan kediaman selama tiga hari lamanya!" Tawa Cesar menggaung bengis baik di telinga Cleon ataupun Aldephie. Tidak ada doa dan pinta lain selain dijauhkannya Cesar dari mereka. Cleon memang sudah tahu Cesar mencarinya, tapi kenapa? Bukankah Aldephie sudah merapal mantranya? Bukankah seharusnya jejak mereka menghilang? Kedua bola mata Cleon melirik Aldephie yang sedang tegang di tempatnya. Kemudian, kembali menatap Cesar yang sedang tertawa seraya mengacungkan moncong senapannya tepat di d
Apa yang paling mengiris hati selain duka karena kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan? Tentu saja Anastazja akan menjawab paling lantang kenangan dan harapan kosong. Menggambarkan kesedihannya hingga jarum detik terus berputar sampai matahari kembali muncul dan menyinari dunia, gadis itu masih terduduk di sebelah dipan milik kekasih hatinya yang baru saja meninggalkannya semalam. Ia membungkukkan setengah badannya di atas tempat tidur dan separuh tengah ke bawah masih setia mencium lantai kayu yang tidak lagi hangat. Pondok ini memang indah, tetapi tanpa Helio, rasa sepi lebih banyak mencengkeram suasana hatinya. Membuat aura pondok menjadi kelam dan menyedihkan. Entah bagaimana wajahnya saat ini, ia tidak berani menatap cermin. Kacau. Satu kata yang ada dalam pikirannya. Matanya sembab, bahkan mungkin bengkak dan memerah. Seperti baru saja dicium oleh p
Helio tersentak. Lamunannya buyar ketika Anastazja menyentuh pipinya. Isakan yang sebelumnya memenuhi wajahnya berkurang. Anastazja kini memandang Helio dengan rasa cemas. "Helio ... kau baik-baik saja?" "Tentu. Tentu saja. Aku baik." "Tapi kau memelukku dengan erat. Kau yakin?" "Ya, aku yakin. Aku hanya sedang menangisi takdir." "Menangisi takdir?" Anggukan Helio menjadi tanda tanya besar. Namun, Helio peka dengan hal itu. Tidak perlulah sang dewi memintanya untuk bercerita, Helio segera membeberkan apa yang pernah Sean katakan padanya. Kini, bukan hanya Helio, tetapi Anastazja juga ikut terharu dan terbawa suasana. Cinta yang k
"Sayang." Helio melangkah mendekati Anastazja yang sedang mencuci piring. Memeluk dan mencium bagian belakang leher kekasih hatinya adalah salah satu hal yang menjadi favoritnya sejak mereka resmi menjadi pasangan. Bukan hanya itu, Helio sangat suka dengan reaksi Anastazja yang merasa kegelian. Ia akan mengangkat bahu kirinya dan menempelkannya pada telinga di bagian yang sama. Kemudian, ia juga akan terkikik pelan. "Hentikan! Aku sedang mencuci piring," ujarnya melarang Helio untuk mendekat. Namun, alih-alih menjauh, Helio justru semakin mengeratkan pelukannya. Seraya bersenandung pelan, Helio menumpukan dagunya di bahu Anastazja. Sangat suka dengan kelakuan Helio, Anastazja menyerah dan mencoba menikmati kegiatannya yang menggelikan. "Hei, aku ingin bicara sesuatu p