Satu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri.
Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar.
"Nadhima, buka pintunya!"
Lagi, orang di balik pintu menggedor-gedor dengan marah. Nadhima melirik sekilas dan kembali pada buku gambar di mejanya. Tak juga berhenti, akhirnya Nadhima membuka pintu.
Wanita cantik itu berkacak pinggang. Kulitnya yang masih kencang mendekati usia empat puluh itu sedikit mengerut di dahi akibat menahan berang. Bibirnya yang dipoles lipstick merah mengerucut. Matanya dinaungi bulu mata palsu tebal. Alisnya tegas nan rapi. Sebuah dengusan terdengar sebelum ia menusuk dahi Nadhima dengan telunjuk berpoles cat kuku merah. "Ngapain lagi kamu, ha? Bukannya bersyukur udah dibesarin sampai sekarang, kamu malah tambah gak tau diri." Sekali lagi telunjuk itu menusuk dahi Nadhima, membuat kepala gadis itu yang sudah terluka terdorong ke belakang. "Buat apa kamu kuliah kalau cuma bikin masalah? Lebih baik kamu belajar cari uang aja sana."
Nadhima menepis tangan wanita itu. Gantian ia yang mendengus. "Nyari kerja? Mama mau aku jual diri kayak Mama?" Kepala Nadhima tersentak ke samping. Bekas tamparan perlahan berubah kemerahan.
"Makin berani kamu sekarang ya!" Wanita itu mendelik. Tangannya semakin cepat mendorong-dorong dahi Nadhima.
"Berhenti..."
"Kamu---"
"AKU BILANG BERHENTI!" Gadis itu menjerit keras. "Memangnya aku ngapain sampe harus diperlakukan kayak gini?"
"Kamu masih nanya! Jelas-jelas kamu nyari masalah sama anak Pak Bondo. Kamu tahu kan dia siapa---"
"Selingkuhan mama!"
Wanita itu mendelik sekali lagi. Nadhima tak pernah melawan. Selama ini ia berpikir melawan hanya membuat masalahnya bertambah rumit. Jika didiamkan orang-orang mungkin akan lelah mengejek dan mengganggunya. Namun nyatanya tak begitu. Anak-anak itu semakin bersikap semena-mena.
Untuk ibunya pun begitu. Nadhima tak pernah mau terlibat dengan wanita itu. Sebisa mungkin ia tak pernah membuat masalah. Semua urusannya ia sendiri yang selesaikan. Semua kebutuhannya sebisa mungkin ia penuhi sendiri.
Nadhima... benar-benar tak ingin membuat keadaan sulit. Hanya saja, ia tak diizinkan untuk tenang. Masalah yang terus mendatanginya. Sekeras apa pun ia menjauh, ia tak pernah bisa lepas.
"Kamu..." Wanita itu geram bukan main. "Kalau sudah tahu kenapa kamu nyari gara-gara? Kamu gak tahu akibat apa yang harus Mama tanggung karena perbuatan kamu?"
Mata gadis itu tampak kosong. "Akibatnya untuk Mama? Terus akibat yang harus kutanggung karena perbuatan Mama gimana?"
"Memangnya Mama ngapain kamu? Kamu sudah hidup enak. Dari kecil Mama yang nanggung biaya hidup kamu. Kamu pikir bisa makan dan sekolah itu dari mana. Kamu cuma nyusahin, banyak maunya. Seharusnya kamu bersyukur gak dibuang."
"Jadi aku harus bersyukur diperlakukan begitu? Aku gak ngerti. Kalau memang gak mau punya anak, kenapa Mama gak bunuh aku aja. Kadang aku berpikir, mungkin lebih baik kalau waktu itu Mama milih buat aborsi. Dengan begitu aku gak perlu lahir.
"Aku juga gak mau hidup kayak gini. Aku gak mau disebut anak pel*c*r. Aku gak mau dibilang sama kayak Mama. Sebenarnya aku salah apa? Kenapa mereka nyebut aku yang salah kalau pacar mereka yang godain aku. Kenapa aku yang disalahin kalau Mama yang ngerebut suami mereka. Kenapa aku terus diejek. Kenapa aku dimaki padahal gak ngelakuin apa-apa. Apa Mama tahu cowok-cowok di sekolah selalu nanya berapa tarifku semalam setiap ketemu? Aku gak pernah dapat perlakuan baik. Aku bahkan gak bisa punya teman. Aku dianggap gak cukup baik untuk jadi teman siapa pun. Kenapa mereka terus jauhin aku? Aku kan gak ngapa-ngapain." Nadhima menangis sejadinya. Rasanya sesak sekali. Semua beban rasanya tumpah ruah. Seluruh perlakuan yang harus ia terima selama ini berkeliaran memenuhi kepalanya. Tatapan mencemooh dari wanita-wanita dewasa, anak-anak perempuan sebayanya yang jijik bermain dengannya, anak laki-laki yang mengejeknya, atau pria-pria dewasa yang menganggap ia gampang untuk dibawa ke atas ranjang.
Bibir Nadhima bergetar. "Kadang aku berpikir kenapa Mama gak kerja kayak ibu anak-anak lain aja. Kenapa Mama gak jadi ibu yang normal. Mungkin Mama bisa jadi pegawai biasa. Aku juga bisa jadi anak normal. Satu-satunya yang kurasa kurang mungkin Mama yang gak pernah punya waktu karena sibuk kerja. Yang kukhawatirkan mungkin cuma masalah ulangan atau masalah sepele sama teman." Nadhima melihat ibunya. "Aku tahu pikiran itu egois banget, kan? Sekarang aku bahkan gak berani buat sekadar mikiran lagi. Aku gak mungkin punya keluarga normal. Karena aku bahkan harus bersyukur udah diperlakukan kayak sekarang. Mama sendiri yang bilang kan." Nadhima tertawa. "Aku harus bersyukur karena jadi bulan-bulanan anak-anak lain. Aku gak boleh ngelawan walau udah dipukuli sampai luka-luka. Aku harus diam aja karena bukan siapa-siapa." Tangis Nadhima pecah lagi. "Mama mau aku nerima semua itu? Tapi kenapa aku harus nerima semuanya? Memangnya aku gak boleh bahagia? Aku juga mau punya teman. Aku pengin bisa ngobrol sama orang lain. Aku pengin bisa jalan-jalan sepulang kuliah. Aku gak mau dihina lagi. Aku gak mau dibilang cewek murahan. Aku gak mau..." Tangis Nadhima semakin menjadi-jadi. Sementara itu Seruni hanya bersedekap. Matanya menoleh ke tempat lain. Nadhima tak pernah menangis seperti ini di hadapannya.
Selang beberapa waktu Seruni berdecak. "Kalau gak senang tinggal di sini sebaiknya kamu pergi saja. Kamu sendiri sadar impian kamu gak akan terwujud. Saya gak akan pernah jadi ibu yang normal buat kamu. Jangan harap saya mau kerja keras banting tulang cuma buat menghidupi kamu. Saya gak punya niat buat ngelakuin itu."
Tangis Nadhima berhenti. "Aku bakal pergi," putusnya dengan suara sedikit tersendat akibat menangis. "Mama gak perlu bilang ke laki-laki itu kalau aku pergi. Dia juga gak akan tahu. Mama bisa pakai uangnya sepuas Mama. Aku gak akan pernah minta sedikit pun. Tapi... aku mau hidup tenang. Aku gak akan ganggu Mama lagi dan Mama pun sebaiknya begitu."
Amarah Seruni kembali lagi. Namun sebelum ia sempat mengamuk, Nadhima menutup pintu kamarnya. Wanita itu memaki-maki sejenak. Tak lama kemudian suaranya menghilang diiringi langkah kaki yang semakin menjauh.
Nadhima sudah tahu tentang ayahnya sejak berumur lima belas tahun. Satu-satunya alasan ibunya membesarkannya adalah karena laki-laki yang menjadi ayahnya selalu mengirim sejumlah uang untuk biaya hidupnya setiap bulan. Nadhima tak tahu siapa orang itu. Namun jelas jumlah yang dikirimkan cukup besar. Cukup untuk biaya hidup dan kuliahnya. Bahkan lebih. Tapi nyatanya Nadhima membiayai sendiri kuliahnya. Seruni hanya mau membayar biaya pendidikannya sampai ia tamat SMA. Menurutnya perempuan tak perlu sekolah tinggi-tinggi.
Nadhima berjalan ke meja belajarnya. Diraihnya ponselnya yang sudah ketinggalan zaman. Meski layarnya sudah rusak benda ini masih cukup nyaman digunakan. Kembali Nadhima membuka sebuah pesan yang dikirim sekitar satu jam yang lalu. Awalnya Nadhima tak ada pikiran untuk menanggapi. Namun sepertinya inilah satu-satunya jalan yang ia punya.
***
Sincerely,
Dark Peppermint
"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok." Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh. "Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos. "Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya. Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilemp
London, Inggris Kiram tersenyum melihat seorang wanita yang ia pesan telah tiba. Sepertinya wanita itu mengalami perjalanan yang kurang mulus. Rambut dan pakaiannya basah karena hujan yang turun di luar. Wanita itu jelas bukan untuknya. Kiram lebih memilih wanita Eropa pirang dibanding si cantik berambut gelap yang sedang berdiri di meja resepsionis. Saat langkahnya semakin dekat dengan wanita itu senyumnya semakin mengembang. Wanita itu benar-benar tipe temannya. Tubuh tidak terlalu tinggi juga tak pendek. Namun berlekuk di beberapa bagian yang pas. Kulitnya putih gading. Wajah oval dengan garis yang halus. Bibirnya tipis dengan warna merah gelap. Hidungnya mungil dan meruncing. Mata sehitam malam yang berkilat-kilat, tampak hidup dan tajam menantang. Serta surainya yang tak kalah hitam, jatuh lurus hingga ke pinggang. Wanita dengan perpaduan hitam dan putih, kekuatan dan kelembutan. Namun yang paling membuat si wanita sempurna untuk
London, Inggris "Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa. Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya. Enggak mungkin. Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi. "Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik bara
Singapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya