Jakarta, Indonesia
Tujuh tahun kemudian...
“Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi.
Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?”
“Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat.
“Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan.
Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.”
Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.”
“Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!”
Vanilla memang segigih itu kalau sudah menginginkan sesuatu. Dan yang bisa Valentino lakukan hanya menuruti keinginan sang adik.
“Oke-oke. Kamu boleh ikut malam ini.”
Vanilla melompat dan berteriak senang. “Benar, ya? Jangan ingkar janji loh. Aku mau cari baju dulu.”
Diras telah kembali ke Indonesia sebulan yang lalu saat ayahnya meninggal dunia. Sebagai pewaris satu-satunya EFY Group Diras tak punya pilihan selain menetap kembali di tanah kelahirannya. EFY Group sendiri adalah perusahaan multinasional yang bergerak di beberapa bidang. Finansial, properti, sumber daya alam, fashion, serta hiburan. Lalu malam ini, semua teman Diras sepakat mengadakan penyambutan untuk sang putra mahkota yang baru mendapat tahtanya.
“Diras...”
“Ya... my bro...”
“Apa kabar, man?”
“Ngapain aja lo selama ngilang di Landon?”
“Eh, masih hidup lo, bro?”
Semua sambutan itu terucap saat Diras pertama kali masuk ke dalam ruang VIP kelab yang mereka kunjungi.
“Ya,” jawab Diras seadanya tanpa berusaha beramah tamah, lalu duduk di sofa kosong terdekat. Jujur ia sedikit malas pergi ke sini. Jika bukan karena embel-embel 'sudah lama tidak ketemu' dan pentingnya menjaga relasi Diras tak akan datang. Rapat pemegang saham baru dilakukan minggu lalu. Hari ini tepat seminggu ia menjabat sebagai presiden direktur. Masih banyak hal yang harus dia urus, termasuk menyelesaikan proyek terakhir ayahnya. Orang yang meninggal secara tiba-tiba.
Tak ada yang siap akan kehilangan pimpinan perusahan yang sudah berkontribusi selama hampir empat puluh tahun itu. Maka dari itu Diras memiliki tugas dan tanggung jawab besar sekarang. Apalagi di usianya yang baru tiga puluh empat tahun banyak orang yang masih meragukan kemampuannya.
“Jadi gimana Landon?” Valentino datang dan duduk di sampingnya. “Katanya waktu itu cuma mau liburan. Nyatanya lo di sana selama tujuh tahun.”
“Ya, gitu deh. Gak ada yang istimewa. Cuma pengin cari pengalaman aja di sana.”
Mendadak Kiram datang mendekati keduanya. “Sebenarnya Diras gak mau balik kar---“ Diras langsung membekap mulut sahabatnya.
“Bacot. Mending tutup mulut lo deh.”
Kiram mengangkat kedua tangan tanda menyerah. “Oke. Sori deh.” Lalu beralih pada Valentino. “Dia makin sensitif sejak tinggal di Landon.”
“Orang paling sabar pun bakal berubah sensitif kalau ngomong sama elo, Ram,” cibir Diras kesal.
“Bro, lo butuh kehangatan matahari. Bagus deh lo tinggal lagi di sini. Cuaca dingin benar-benar bikin lo tambah beku.” Kiram mengambil gelas minuman, tergoda untuk menyiramnya ke wajah Diras.
Valentino hanya menggeleng melihat dua sahabatnya sejak kecil beradu mulut. “Lo sendiri kenapa balik, Ram?”
Akhirnya setelah banyak pergolakan batin Kiram lebih memilih meminum minumannya, dan menjawab Valentino, “Gue cuma sebentar doang di sini. Padahal gue ke sini buat nemenin si kampret,” laki-laki itu menunjuk Diras dengan dagunya, “tapi orangnya malah gak tahu terima kasih.”
“Jadi lo mau balik ke Landon lagi?” tanya seorang teman yang lain.
“Ya. Tapi beberapa waktu ini gue mau di sini dulu. Hepi-hepi lah. Hahaha...”
Beberapa orang menimpali perkataan Kiram. Lalu mereka saling mencibir, bercanda, dan tertawa bersama.
“Kak...” Vanilla datang mendekati Diras, Valentino yang paham pun bergeser memberi tempat duduk untuk adiknya. “Kakak apa kabar?”
Diras bergeser sedikit saat Vanilla duduk terlalu mepet padanya. “Baik. Kamu... Vanilla, kan?”
Wajah Vanilla berubah cerah. Tangannya menyelipkan sejumput rambut ke balik telinga. “Iya. Aku Vanilla, Kak. Dulu Kakak pernah mumpet di kamar aku waktu Kakak sama Kak Tino mecahin guci di rumah kami.”
Bukan hal yang aneh jika Diras selalu menghabiskan waktu liburannya dengan menginap di rumah teman. Dan rumah Valentino adalah salah satu tempat yang sering ia kunjungi setiap libur sekolah ketika malas berada di rumah. Setidaknya begitu sebelum Vanilla mulai mengikutinya ke mana-mana.
“Oh, iya.”
“Rasanya baru kemarin kita masih main bareng bertiga,” ucap Vanilla sambil membasahi bibir. Tubuhnya perlahan semakin mendekat ke arah Diras lagi. “Kakak bakal terus di sini, kan?”
“Rencananya sih gitu.”
“By the way, lo beneran jadi sponsor salah satu pameran seni rupa di Singapura?” Valentino sengaja memancing pembicaraan ini. Jika berhasil adiknya bisa punya alasan untuk bertemu Diras di pameran tersebut. Sementara itu Vanilla senang setengah mati mendengarnya. Sejak kecil orang tuanya mendukung dia yang berminat di bidang seni rupa.
Bukankah ini pertanda baik sebab Diras menunjukkan ketertarikan pada bidang yang digeluti Vanilla?
“Lo tahu dari mana?” tanya Diras merasa tak nyaman.
Valentino menunjuk Kiram yang sedang mengobrol heboh dengan teman-temannya yang lain.
“Sialan. Tuh anak gak bisa jaga rahasia.” Diras menyambar segelas minuman.
“Kenapa hal ini rahasia?” tanya Vanilla penasaran. Mungkin saja Diras melakukan ini karena dirinya. “Apa ada sesuatu?” Matanya mengedip dengan cantik, menunggu jawaban.
“Bukan rahasia sih.” Diras tak bisa mengatakan kalau ia malas jika orang-orang tahu setiap hal yang sedang atau ingin ia kerjakan. Dan sepertinya temannya si mulut bocor itu senang sekali mengumbar-umbar setiap hal yang ia lakukan. “Gimana kabar orang tua kalian?” Akhirnya Diras memilih mencari topik pembicaraan lain.
“Baik,” jawab Vanilla sedikit sebal. Bukan ini respons yang ia inginkan. Namun tak masalah, mungkin Diras hanya malu mengatakan secara terus terang kalau ia tertarik dengan seni karena Vanilla. Baiklah, Vanilla akan mendesak Diras mengatakan yang sebenarnya. “Kenapa Kakak tiba-tiba jadi sponsor pameran seni? Aku gak tahu Kakak tertarik di bidang itu.”
“Ini penting untuk suatu hal,” jawab Diras seadanya.
“Penting untuk apa?” Mata perempuan itu berbinar-binar penuh harap.
Diras hanya melihatnya sekilas dan mengembuskan napas. “Kenapa kamu penasaran banget?”
“Ya... Kakak kan tahu aku tertarik sama seni. Aku juga udah sering berkunjung ke galeri-galeri terkenal di seluruh dunia.” Gadis itu memainkan ujung rambutnya. “Kayaknya pameran itu menarik deh, Kak.”
“Kalau kamu tertarik, datang aja.”
“Benar?” Wanita itu terpekik senang.
“Ya.”
Vanilla terlihat semakin senang. Diras tak mengerti kenapa ia sesenang itu. Lagi pula semua orang bisa datang ke pameran itu selagi mampu membeli tiketnya.
***
Sincerely,
Dark PeppermintSingapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta
“Dan sekarang kita pergi ke rumah penduduk setempat buat bujuk bocah ingusan ikut pameran lagi,” Kiram masih saja mengeluh. “Kalo lo gak seneng mending turun deh.” Diras memutar kemudi ke kiri sesuai petunjuk G****e Maps. “Gue lebih suka pergi sendiri daripada harus dengar ocehan lo terus.” “Uhh.. dinginnya. Ras, lo jelas banget butuh gue buat masalah ini. Emang lo kira mudah apa buat bujuk mahmud.” “Siapa Mahmud?” Kiram terawa terbahak. “Pengetahuan lo tentang bahasa gaul menurun. Tujuh tahun di Inggris bikin lo sekuno kakek gue. Mahmud tuh singkatan mama muda. Gue yang sama-sama tinggal di negeri orang juga tahu.” Kiram berhenti sejenak. “Lo jelas gak tahu gimana teknik memenangkan hati perempuan dari kata-kata. Man, wajah aja sekarang tuh gak cukup. Apalagi buat para mama. Plus, lo juga pasti gak paham gimana memikat hati anak perempuan.” Diras tak menjawab. “Hah... lo diem lagi. Apa gak bisa lo jawab dikit aja buat nunjuki
“Apollo?” Nadhima mengernyit menatap dua orang yang sedang membelakanginya itu. Apollo sedang berbicara dengan orang asing. “Permisi, Anda-anda sekalian ini siapa?” Diras berbalik ke belakang dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dengan Ibu Nadhima?” tebak Diras. Hal ini sama sekali tak Diras sangka-sangka. Wanita itu sangat sesuai dengan tipe kesukaannya. Wajah, postur, dan hal yang paling menonjol, lehernya. Benarkah dia ibunya Apollo dan Artemis? Sementara itu Nadhima juga tampak kaget. Namun bukan karena wajah Diras terasa familier, melainkan karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia. Jujur saja perasaannya berubah waswas. Indonesia tak pernah berarti baik untuknya. “Iya. Anda siapa, ya?” Nadhima mendekati Apollo dan memeluk bahunya. Bentuk perlindungan yang tanpa sadar ia lakukan. Sebenarnya Diras sudah bersiap jika mendadak Nadhima akan berkata, "Kamu! Cowok berengsek! Ngapain kamu di sini, ha? Setelah ngelupain saya yang lagi hamil, k
“Seharusnya kau jangan memakai pita bodoh begitu kalau tidak mau diganggu anak laki-laki,” cibir Apollo melihat Daphne yang ngos-ngosan sehabis mengejar anak laki-laki yang menarik rambutnya. “Kau tidak belajar dari kesalahan ya.”Wajah cantik Daphne cemberut. “Memang apa salahnya? Aku memakainya karena cantik.”Apollo semakin kesal. “Kau pasti senang sekali mengejar anak laki-laki begitu.”“Apa? Apa maksudmu? Kau menganggap aku ini genit?” Daphne kecil tak habis pikir, ia sungguh memakainya karena cantik.“Aku tak berkata begitu. Aku hanya bilang kau terlihat senang. Dan pita itu sama sekali tak cantik. Kau kelihatan bodoh memakainya."Pipi Daphne menggembung. Wajahnya memerah. “Kau benar-benar menyebalkan,” jeritnya lalu meninggalkan Apollo.Apollo sendiri hanya diam. Memperhatikan rambut Daphne yang bergoyang-goyang karena pergerakannya. Perlahan wajahnya memera
“Jadi Artemis tidak ada di sana?”“Tidak, Mrs. Nadhima. Artemis tidak datang kemari. Kukira dia ikut pameran.”“Dia tak mengikutinya, Bu. Kalau begitu saya tutup teleponnya. Jika Ibu bertemu Artemis tolong hubungi saya.”Nadhima gelisah. Sejak tadi Artemis tak kunjung pulang. Padahal hari sudah mulai sore. Ia sudah menelepon sekolah, teman-teman Artemis, Mrs. Leong, dan juga akademi menggambar yang diikuti Artemis, semuanya tak tahu di mana dia.Miss Harisson yang sedari tadi mendengarkan percakapan di telepon terlihat tak kalah cemas. “Coba kau hubungi ponselnya sekali lagi. Mungkin tadi dia hanya tidak mendengar.”“Iya.” Sekali lagi Artemis tak menjawab panggilannya. “Apollo ada di taman bukan, Miss Harisson?”“Iya. Dia pamit untuk pergi bermain. Mungkin saja mereka bermain bersama.” Sedikit harapan terpancar di wajah kedua wanita itu. Mungkin Artemis hanya
“Ada dua perawatan yang dapat diterapkan. Pertama pemasangan ransel verband sebagai penopang. Anda diharuskan untuk istirahat total selama dua bulan dan bahu tak boleh digerakkan.”Tulang selangka Diras patah. Sebelum Nadhima berhasil meraih Artemis laki-laki itu sudah lebih dulu menyambarnya, lalu terserempet badan truk, kemudian terjatuh. Artemis tak mengalami luka serius. Namun Diras terluka cukup parah. Terutama lengan kanannya yang terasa amat menyakitkan saat digerakkan.“Metode kedua adalah operasi pemasangan pen. Sehari setelah pemasangan Anda sudah bisa menggerakkan tangan Anda.”“Lo gak takut operasi, kan?” Kiram yang mendampingi Diras bertanya.“Enggaklah.” Sejujurnya Diras masih malas menanggapi Kiram. Tubuhnya sakit dan ia mudah merasa kesal. Namun jika ia marah sekarang, Nadhima yang sejak tadi menatapnya khawatir pasti akan semakin merasa bersalah.Setelah mendengar beberapa penjelasan
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya