“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna.
Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya.
“Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sudah gatal ingin melakukan USG. Namun ia tunda hingga sekarang. “Salah satunya laki-laki, tapi yang satu lagi terhalangi oleh saudaranya.”
Nadhima melihat gambar USG tersebut dengan saksama. “Mungkin dia belum mau ketahuan dulu.”
Dokter Lilian tertawa. “Mungkin dia mau memberi kejutan ke ibunya. Biasanya beberapa pasangan membiarkan jenis kelamin salah satu anak kembarnya menjadi rahasia. Mungkin Anda juga mau melakukannya.”
“Iya. Lagi pula saya tak masalah dengan jenis kelamin. Apa pun itu asal mereka sehat.”
***
“Gimana, Nad?” tanya seorang wanita berhijab pada Nadhima begitu ia keluar.
“Semuanya bagus, Kak.” Wanita berhijab itu adalah Melati. Wanita Indonesia yang sudah menetap di Singapura selama dua belas tahun. Ketika pertama kali bertemu Melati langsung mendekati Nadhima yang datang kontrol seorang diri. Melati tak menyudutkan kondisi Nadhima yang hamil tanpa suami. Wanita itu pun selalu kontrol seorang diri. Hamil untuk ketiga kalinya membuat Melati tak merasa harus selalu ditemani suaminya.
“Baguslah. Semoga sehat terus. Kalau kamu ada apa-apa jangan malu buat telepon Kakak.” Sejak pertemuan pertama Melati langsung meminta nomor teleponnya dan berpesan untuk sering menghubungi wanita itu, terutama jika terjadi sesuatu.
“Iya,” ringis Nadhima. “Ini udah yang keberapa kali Kakak ngomong kayak gitu.” Nadhima sungguh bersyukur karena sekarang ia punya orang yang peduli padanya.
“Habis kamu jarang ngehubungi Kakak kalau gak ditanya duluan. Udah dibilang gak perlu sungkan kan. Kita sama-sama tinggal di negara orang. Apalagi kamu benar-benar sendiri di sini. Kakak juga gak tahu kapan butuh bantuan kamu. Bisa aja malah nanti Kakak yang paling ngerepotin kamu.”
"Iya deh. Akhir-akhir ini kan aku udah sering ngerempongin Kakak."
Jujur saja Nadhima jarang menghubungi karena ia terbiasa melakukan semuanya sendiri. Ia tak pernah punya seseorang untuk ditanyai dan diminta bantuan. Namun akhir-akhir ini Nadhima berusaha untuk membagi masalahnya, untuk meminta tolong pada orang lain yang sudah dapat dipercaya.
Salah seorang lain yang dapat Nadhima percaya sekarang adalah Miss Harisson. Tetangga sebelah rumahnya yang berusia enam puluh tahun. Miss Harisson sudah tinggal di Singapura selama tiga puluh tahun. Dia adalah perawan tua yang aslinya berasal dari Inggris (lagi-lagi Inggris). Ia sudah bertemu Miss Harisson sejak pertama kali tiba di sini. Namun baru akrab dengan wanita itu sejak sebulan yang lalu. Saat Miss Harisson menyadari dirinya hamil.
“Pria dari zaman ke zaman sama saja. Mereka mau melakukan apa saja untuk tidur dengan wanita. Kata-kata manis, bunga-bunga, baju-baju dan permata. Namun setelahnya apa? Tidak ada. Mereka seharusnya tak menabur benih sembarangan jika tak ingin menuai bayi.” Sampai saat ini Nadhima masih ingat jelas ocehan Miss Harisson saat pertama kali mendengar ceritanya. Apalagi kata-kata menabur benih-nya yang seolah menyamakan bayi dengan biji cabai.
“Kau sudah pulang?” tanya Miss Harisson yang baru keluar dari rumahnya.
“Ya.” Nadhima baru saja sampai di depan pintu.
Miss Harisson berjalan cepat melintasi halaman rumahnya menuju kediaman Nadhima. “Bagaimana bayinya? Tak ada masalah, kan?”
Nadhima membuka pintu dan mempersilakan wanita itu masuk. “Bayinya sehat. Semuanya baik.” Saat mereka berdua duduk Nadhima langsung mengeluarkan foto USG bayi-bayinya. “Jenis kelaminnya sudah bisa diketahui. Salah satunya laki-laki. Tapi bayi yang lain masih belum tahu. Posisinya tertutup kembarannya.”
Miss Harisson menyambar hasil USG tersebut dan mengamati dengan saksama. “Aku tak pernah memiliki anak. Tapi aku cukup baik merawat mereka. Aku pernah bekerja merawat bayi sebelum menjadi governess bersertifikat, kau tahu itu, kan?”
“Aku tak yakin anak-anakku membutuhkan baby sitter atau governess bersertifikat.”
“Kau pasti membutuhkannya. Semua orang muda terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka mengurus bayi. Tunggulah beberapa minggu sebelum mereka mulai mengeluh dengan popok dan tangisan bayi mereka. Apalagi kau harus menghadapi dua bayi, Sayang. Jangan paksakan dirimu mengurus mereka sendiri. Aku tak akan meminta bayaran darimu. Dan jangan berpikir aku melakukan ini karena kasihan pada kondisimu. Aku melakukannya hanya karena ingin. Di usiaku ini aku butuh hiburan dari anak-anak muda yang bersemangat. Apa kau ingin orang tua ini hanya duduk diam di dalam rumah atau sibuk memotong daun yang layu di tanaman mereka, hm?”
“Aku mengatakan tak butuh baby sitter atau governess bersertifikat, aku tak mengatakan tak butuh bantuan tetangga yang baik sepertimu, Miss Harisson. Aku akan senang sekali mendapat bantuan.”
Katanya orang-orang Inggris tak gampang mengakrabkan diri dengan orang lain. Namun Miss Harisson jelas berbeda. Wanita itu tukang ikut campur dan suka mengoceh.
“Malah aku akan senang sekali jika kau menganggap anak-anakku sebagai cucumu sendiri.”
Wajah putih Miss Harisson seketika merona. “Lihatlah dirimu sekarang. Beberapa minggu lalu kau mirip anjing buangan yang ketakutan setiap didekati, sekarang kau bisa menggoda wanita tua.”
Nadhima tertawa. “Bukannya lebih bagus kalau kau jadi nenek mereka?”
“Berhentilah membuat wanita tua malu, Sayang.”
Nadhima tertawa lagi. “Akan kubawakan teh.” Dia bersiap bangkit. Namun Miss Harisson menahannya. “Siapa yang peduli sopan-santun. Duduk saja. Jika haus aku akan mengambil minum sendiri. Kau pasti lelah setelah pergi menemui dokter.”
Miss Harisson mungkin tak memiliki hubungan darah dengannya. Namun Nadhima merasakan ikatan yang lebih erat dibanding dengan keluarga yang bertalian darah langsung dengannya. Rasanya lucu saat orang asing bisa berperilaku lebih baik padamu dibanding keluarga sendiri.
***
Satu hal yang menjadi rutinitas baru Nadhima semenjak dirinya hamil adalah membuat catatan. Malam ini Nadhima melakukannya lagi untuk yang kesekian kali.
21 minggu.
Rasanya masih sulit dipercaya saat ini aku sedang hamil. Terkadang aku masih suka mengusap perut sendiri untuk meyakinkan diriku. Bukan tanpa alasan. Aku takut kalau ternyata semua ini hanya mimpi. Aku takut saat aku menyentuh perutku tak ada bayi di sana.
Aku menulis catatan ini tak untuk ditunjukkan pada anak-anakku nanti. Jujur saja aku tak mau mereka menemukan dan membacanya. Malu sekali jika mereka membaca bagaimana aku sedang rapuh dan ketakutan.
Aku hanya ingin menumpahkan keluh kesah dan perasaan yang kurasakan saat ini.
Jadi, untuk anak-anakku. Walau kalian gak akan pernah tahu, kalianlah alasan Mama masih bertahan hidup. Alasan Mama masih mau berjuang. Alasan Mama masih mau bertahan. Mama gak tahu kalian akan jadi anak yang seperti apa nantinya. Mungkin kalian akan jadi anak nakal dan gak pernah nurut sama Mama, tapi, Sayang, Mama bahkan menantikan kenakalan kalian. Gak apa-apa kalian nakal dan selalu bikin masalah. Yang Mama perlukan cuma kalian. Hanya kalian. Tumbuh dengan baik dan selalu ada di samping Mama. Kehadiran kalian sudah cukup untuk membuat Mama bahagia. Kalian gak perlu ngelakuin hal lain lagi.
Siang tadi Mama pergi ke dokter kandungan. Kalian sudah terlihat seperti bayi, tapi sangat kurus dan kecil. Mama juga gak ngerti kenapa kalian bisa berefek sebesar ini ke Mama. Kenapa Mama sebahagia ini hanya karena melihat kalian yang belum lahir.
Beberapa orang menganggap Mama perlu dikasihani karena hamil kalian. Tapi jika suatu hari kalian diejek karena Mama cuma ibu tunggal, kalian gak boleh berpikir Mama membesarkan kalian karena terpaksa. Kalian gak boleh berpikir bahwa Mama benci kalian karena hamil di usia muda. Gak pernah sedetik pun sejak tahu mama hamil, mama benci kalian.
Mama gak tahu apa yang akan terjadi dengan hidup kita nanti. Mungkin hidup gak akan berjalan mulus untuk kalian berdua. Mungkin kalian akan iri sama anak lain yang punya papa dan hidup yang lebih baik, tapi, Nak, jangan terlalu benci Mama kalau Mama gak bisa ngasi semua yang kalian mau. Mama juga sudah berusaha. Kalau memang bisa, pasti Mama lakukan.
Apa pun itu, untuk anak-anak mama, pasti Mama lakukan.
***
Sincerely,
Dark PeppermintJakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta
“Dan sekarang kita pergi ke rumah penduduk setempat buat bujuk bocah ingusan ikut pameran lagi,” Kiram masih saja mengeluh. “Kalo lo gak seneng mending turun deh.” Diras memutar kemudi ke kiri sesuai petunjuk G****e Maps. “Gue lebih suka pergi sendiri daripada harus dengar ocehan lo terus.” “Uhh.. dinginnya. Ras, lo jelas banget butuh gue buat masalah ini. Emang lo kira mudah apa buat bujuk mahmud.” “Siapa Mahmud?” Kiram terawa terbahak. “Pengetahuan lo tentang bahasa gaul menurun. Tujuh tahun di Inggris bikin lo sekuno kakek gue. Mahmud tuh singkatan mama muda. Gue yang sama-sama tinggal di negeri orang juga tahu.” Kiram berhenti sejenak. “Lo jelas gak tahu gimana teknik memenangkan hati perempuan dari kata-kata. Man, wajah aja sekarang tuh gak cukup. Apalagi buat para mama. Plus, lo juga pasti gak paham gimana memikat hati anak perempuan.” Diras tak menjawab. “Hah... lo diem lagi. Apa gak bisa lo jawab dikit aja buat nunjuki
“Apollo?” Nadhima mengernyit menatap dua orang yang sedang membelakanginya itu. Apollo sedang berbicara dengan orang asing. “Permisi, Anda-anda sekalian ini siapa?” Diras berbalik ke belakang dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dengan Ibu Nadhima?” tebak Diras. Hal ini sama sekali tak Diras sangka-sangka. Wanita itu sangat sesuai dengan tipe kesukaannya. Wajah, postur, dan hal yang paling menonjol, lehernya. Benarkah dia ibunya Apollo dan Artemis? Sementara itu Nadhima juga tampak kaget. Namun bukan karena wajah Diras terasa familier, melainkan karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia. Jujur saja perasaannya berubah waswas. Indonesia tak pernah berarti baik untuknya. “Iya. Anda siapa, ya?” Nadhima mendekati Apollo dan memeluk bahunya. Bentuk perlindungan yang tanpa sadar ia lakukan. Sebenarnya Diras sudah bersiap jika mendadak Nadhima akan berkata, "Kamu! Cowok berengsek! Ngapain kamu di sini, ha? Setelah ngelupain saya yang lagi hamil, k
“Seharusnya kau jangan memakai pita bodoh begitu kalau tidak mau diganggu anak laki-laki,” cibir Apollo melihat Daphne yang ngos-ngosan sehabis mengejar anak laki-laki yang menarik rambutnya. “Kau tidak belajar dari kesalahan ya.”Wajah cantik Daphne cemberut. “Memang apa salahnya? Aku memakainya karena cantik.”Apollo semakin kesal. “Kau pasti senang sekali mengejar anak laki-laki begitu.”“Apa? Apa maksudmu? Kau menganggap aku ini genit?” Daphne kecil tak habis pikir, ia sungguh memakainya karena cantik.“Aku tak berkata begitu. Aku hanya bilang kau terlihat senang. Dan pita itu sama sekali tak cantik. Kau kelihatan bodoh memakainya."Pipi Daphne menggembung. Wajahnya memerah. “Kau benar-benar menyebalkan,” jeritnya lalu meninggalkan Apollo.Apollo sendiri hanya diam. Memperhatikan rambut Daphne yang bergoyang-goyang karena pergerakannya. Perlahan wajahnya memera
“Jadi Artemis tidak ada di sana?”“Tidak, Mrs. Nadhima. Artemis tidak datang kemari. Kukira dia ikut pameran.”“Dia tak mengikutinya, Bu. Kalau begitu saya tutup teleponnya. Jika Ibu bertemu Artemis tolong hubungi saya.”Nadhima gelisah. Sejak tadi Artemis tak kunjung pulang. Padahal hari sudah mulai sore. Ia sudah menelepon sekolah, teman-teman Artemis, Mrs. Leong, dan juga akademi menggambar yang diikuti Artemis, semuanya tak tahu di mana dia.Miss Harisson yang sedari tadi mendengarkan percakapan di telepon terlihat tak kalah cemas. “Coba kau hubungi ponselnya sekali lagi. Mungkin tadi dia hanya tidak mendengar.”“Iya.” Sekali lagi Artemis tak menjawab panggilannya. “Apollo ada di taman bukan, Miss Harisson?”“Iya. Dia pamit untuk pergi bermain. Mungkin saja mereka bermain bersama.” Sedikit harapan terpancar di wajah kedua wanita itu. Mungkin Artemis hanya
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya