London, Inggris
"Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa.
Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya.
Enggak mungkin.
Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi.
"Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik barang-barangnya dan meninggalkan kamar.
***
Diras keluar dari kamar mandi dan tak menemukan lagi wanita semalam. Pakaian tidurnya masih ada, lantas ia pergi ke mana?
Diras melihat pintu lemari yang sedikit terbuka.
"Sial."
Jadi wanita itu pergi dan meninggalkannya seorang diri? Namun kenapa ia melakukan hal itu. Apa ia memang diperintahkan langsung pergi begitu selesai melakukan tugasnya?
Diras merasa pening. Rasanya sungguh aneh saat ia terbangun pagi tadi dan dikejutkan dengan adanya seorang wanita cantik di sampingnya. Serta semua kenangan malam tadi yang menyerbu masuk.
Pipi Diras memerah, masih tak percaya ia melakukan hal tersebut dengan wanita asing. Namun anehnya dia tak membencinya. Dan wanita itu juga...
"Sh*t... Dia perawan." Tiba-tiba Diras mengingatnya. Dilihatnya pula seprai tempat tidur yang acak-acakan dan kembali mengumpat. Bercak merah itu menguatkan ingatannya semalam. Dipungutnya kembali pakaiannya. Begitu selesai berpakaian Diras langsung menghubungi Kiram.
Kiram dapat wanita itu dari mana? Masa iya wanita itu dipaksa untuk melayaninya? Bukan tak sedikit gadis-gadis polos yang diculik atau ditipu untuk melayani pria hidung belang.
Pria hidung belang? Itukah dirinya sekarang?
"Halo," jawab sebuah suara serak khas bangun tidur.
"Lo di mana b*ngs*t?"
"Wah, wah, apa ini. Santai dong, man. Gimana semalam?" Terdengar suara tawa geli Kiram. "Kalau lo baru telepon pagi ini berarti sukses dong ya."
"Gue udah teleponin elo dari semalam."
"Oh, jadi gagal dong. Jadi lo usir cewek itu? Sayang banget padahal dia tipe lo banget."
"Sekarang bukan itu masalahnya. Lo punya kontak cewek itu gak?"
Suara Kiram terdengar ceria. "Kalau gitu berhasil dong. Gimana---"
"Jawab aja lo punya apa enggak!"
"Enggak. Gue cuma berkomunikasi sama Madame Baudelaire."
"Cepat hubungi Madame lo itu dan minta kontak si cewek."
"Hahaha... Lo sesuka itu---"
"Cepat!" amuk Diras.
"Ah, iya, iya."
Diras teringat satu hal. "Apa Madame lo itu suka nyulik anak untuk dijadikan perempuan bayaran?"
"Lo ngomong apa. Madame Baudelaire emang bukan orang suci. Dulunya dia aktris Perancis biasa dan sekarang cuma pemilik rumah bordir, tapi dia gak nyulik siapa pun. Cewek-cewek itu yang datang sendiri sama dia. Lo dapat pikiran gitu dari mana?"
"Cewek itu langsung pergi begitu bangun."
"Dia pergi?" Kiram terdengar kaget.
"Apa emang cewek-cewek, ekhem," Diras merasa malu mengucapkannya, "kayak gitu langsung pergi habis... Ya, ngelakuin tugasnya?"
"Enggaklah." Kiram masih terdengar serius. "Gue bakal hubungi Madame."
Diras menjatuhkan diri ke atas kursi setelah Kiram memutuskan sambungan telepon. Selang beberapa saat pria itu menghubunginya lagi.
"Sial*n, man. Cewek itu bukan perempuan yang gue pesan. Cewek yang seharusnya bareng elo kecelakaan. Gak parah sih. Cuma karena hujan taksinya agak meleng dan nabrak separator. Dia gak jadi datang. Cewek yang bareng elo malam tadi bukan perempuan bayaran."
Diras merasa udara di sekelilingnya menyurut. "Terus dia siapa? Kenapa dia ada di kamar gue?"
"Ah, itu..." Setelah beberapa saat mengembuskan napas dan mendesah tidak jelas, Kiram menjelaskan apa yang terjadi semalam.
"Gimana bisa lo seceroboh itu? Lo bahkan gak nanyain dia benar orang Madame Baudelaire atau bukan. Lo..." Diras menahan geram. "Ah, si*l*n. Pokoknya lo cari cewek itu sekarang juga!"
"Sorry. Sebelum ngeliat dia gue dapat telepon dari Madame cewek itu udah mau sampe. Gue juga gak ngerti kenapa langsung berpikir dia orangnya. Mungkin karena dia mirip banget sama ciri-ciri yang gue sebutin ke Madame. Dan Madame bilang dia punya satu cewek Asia yang sesuai dengan deskripsi itu."
"Ah, terserah deh. Cari aja cewek itu."
Diras melempar ponsel dan memijat kepalanya.
Apa yang telah ia lakukan pada seorang gadis polos. Wajar saja jika ia lari ketakutan setelah bangun pagi ini.
***
"Karena gue pikir dia orangnya Madame dan kamar itu pun kamar elo, cewek itu gak ngisi formulir check in. Jadi data dirinya gak tersimpan."
Ingin sekali Diras meninju wajah sahabatnya itu. Kini mereka berada di restoran hotel.
"Tapi cewek itu sepolos apa kok mau-mau aja dibawa ke kamar. Seharusnya kan dia mikir, mana bisa sembarangan masuk kamar hotel tanpa check in."
Itulah yang Diras takutkan. Gadis itu sepolos apa. Mungkinkah dia belum pernah menginap di hotel sebelum ini?
"Jangan cari-cari alasan buat nyalahin dia. Ini semua elo yang salah. Bisa-bisanya lo bersikap sesuka hati. Emangnya ini hotel bokap lo apa?"
"Tapi ini emang hotel bokap gue," sahut Kiram polos.
Diras berdecak dan langsung mengganti topik. "Jadi maksud lo kita gak akan bisa nemuin dia?"
"Gitu deh. Kecuali lo bisa secara ajaib nemuin data diri dia." Kiram menyodorkan sebuah laptop. "Ini rekaman CCTV yang nangkap cewek itu."
Diras menyaksikan dengan saksama saat seorang gadis masuk ke lobi hotel dan menuju meja resepsionis, tak lama Kiram datang, lalu si gadis pergi dengan Albert, salah satu pegawai resepsionis menuju lift. Kemudian rekaman berganti di saat gadis itu masuk kamar dan berganti lagi saat ia berlari terbirit-birit keluar kamar esoknya.
"Ini rekaman pagi ini?"
"Iya. Dia benar-benar ketakutan. Tapi sayangnya nih cewek jalannya nunduk terus." Gadis itu memang kelihatan sangat kikuk. Jalannya tampak tidak percaya diri dan ragu-ragu. "Mukanya gak terlalu jelas keliatan. Susah pasti nemuinnya. Lo sendiri ingat jelas mukanya gak?"
Diras ingat apa-apa saja yang terjadi. Tapi wajah gadis yang tampak sayu setengah sadar itu buram dalam ingatannya. Hal lain yang dia ingat adalah rasa terluka dan kebutuhan untuk dihibur. Gadis itu tampak sedih dan butuh pelampiasan.
"Bisa-bisanya gue ngelakuin itu," gumam Diras. "Ram, lo tahu rumah yang bagus di sini?"
Kiram terlihat penasaran. "Buat apa?"
"Gue mau tinggal di Landon untuk sementara."
"Serius? Gara-gara cewek ini?" Kiram kelihatan jelas tak percaya.
"Iya."
"Tapi kenapa? Lo sepeduli itu sama dia?"
Diras menatap tajam sahabatnya. "Mungkin aja dia bakal balik lagi ke sini, kan?"
"Atau malah gak akan pernah balik lagi."
"Ya. Dia mungkin trauma dengan kejadian ini." Memikirkan ia membuat trauma seorang gadis membuat perut Diras bergejolak. "Tapi kalau ada kondisi yang gak bisa dihindari, dia mungkin bakal nyari gue lagi di sini."
"Hamil maksud lo?"
"Ya. Jadi gue bakal nunggu dua."
***
Sincerely,
Dark PeppermintSingapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
“Kedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.” Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. “Berat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.” Dokter Lilian tersenyum. “Sekarang kita lihat jenis kelaminnya.” Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... “Kak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.” Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. “Kamu masih juga suka sama dia?” “Iya. Masih suka banget,” jawab Vanilla bersemangat. “Dia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?” tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. “Emangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.” Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. “Iya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.” “Ihhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!” Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. “Dari mana bayi berasal?” Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. “Ayo, semangat,” ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** “Ada apa, Sayang?” tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. “Mama, aku sudah tidak tahan lagi.” Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. “Tidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!” Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
Singapura "Kenapa lo mendadak tertarik sama seni dah?" tanya Kiram sambil melihat-lihat lukisan. "Iseng aja. Keluarga gue harus keliatan dermawan kan." Kiram mendecih. "Kalo mau keliatan dermawan tuh donasi ke mana gitu kek. Kirim bantuan makanan ke Afrika atau apa gitu. Terus suruh wartawan cetak beritanya besar-besar. Ananda Diras Efendy, pemimpin baru EFY, si tampan dan dermawan yang menyumbangkan uang sebesar 1 triliun rupiah untuk anak-anak di Afrika. Terus seluruh surat kabar, berita televisi, sampai artikel di internet memuat kebaikan hati lo itu.” Kiram tersenyum lucu. “Lo ngelakuin ini karena perusahaan mainan itu, kan? Leoco?” “Kalau udah tahu kenapa nanya?” “Basa-basi aja." Kiram mengedikkan bahu. "Kenapa lo tertarik banget sih sama pabrik mainan? Emang apa hebatnya? Lo juga kagak punya anak.” Terkadang pertanyaan Kiram bisa sangat bodoh dan tidak berguna. Yang dia ucapkan hanya supaya ada hal yang
“Kenapa tidak boleh?” Artemis tampak ingin menangis. Dengan tegas Nadhima mengutarakan keberatannya, “Mama sudah pikirkan. Sebaiknya kau sekarang fokus sekolah saja dulu. Bagaimanapun kau hanya anak-anak Artemis. Apa kau tak ingin punya kehidupan normal seperti anak-anak pada umumnya?” “Tidak! Aku mau ikut pameran! Pokoknya aku mau terus ikut pameran itu.” Nadhima sudah menduga tak akan gampang membujuk anaknya. Ia sendiri tak masalah jika ikut pameran memang keinginan Artemis sendiri, tapi sekarang tak bisa lagi. Ada masalah yang lebih gawat. “Apa kau segitu inginnya membuka toko alat gambar itu dengan Mama? Kau tak perlu melakukan ini. Mama yang akan mengumpulkan uangnya. Karya baru Mama menunjukkan hasil yang bagus. Kau tak perlu melakukan ini.” “Aku tak melakukannya hanya karena Mama, aku melakukannya untuk diriku sendiriku juga. Ini mimpiku, Mama.” Hati Nadhima teriris. Bagaimana bisa ia menghancurkan mimpi anaknya seperti ini. Ta
“Dan sekarang kita pergi ke rumah penduduk setempat buat bujuk bocah ingusan ikut pameran lagi,” Kiram masih saja mengeluh. “Kalo lo gak seneng mending turun deh.” Diras memutar kemudi ke kiri sesuai petunjuk G****e Maps. “Gue lebih suka pergi sendiri daripada harus dengar ocehan lo terus.” “Uhh.. dinginnya. Ras, lo jelas banget butuh gue buat masalah ini. Emang lo kira mudah apa buat bujuk mahmud.” “Siapa Mahmud?” Kiram terawa terbahak. “Pengetahuan lo tentang bahasa gaul menurun. Tujuh tahun di Inggris bikin lo sekuno kakek gue. Mahmud tuh singkatan mama muda. Gue yang sama-sama tinggal di negeri orang juga tahu.” Kiram berhenti sejenak. “Lo jelas gak tahu gimana teknik memenangkan hati perempuan dari kata-kata. Man, wajah aja sekarang tuh gak cukup. Apalagi buat para mama. Plus, lo juga pasti gak paham gimana memikat hati anak perempuan.” Diras tak menjawab. “Hah... lo diem lagi. Apa gak bisa lo jawab dikit aja buat nunjuki
“Apollo?” Nadhima mengernyit menatap dua orang yang sedang membelakanginya itu. Apollo sedang berbicara dengan orang asing. “Permisi, Anda-anda sekalian ini siapa?” Diras berbalik ke belakang dan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Dengan Ibu Nadhima?” tebak Diras. Hal ini sama sekali tak Diras sangka-sangka. Wanita itu sangat sesuai dengan tipe kesukaannya. Wajah, postur, dan hal yang paling menonjol, lehernya. Benarkah dia ibunya Apollo dan Artemis? Sementara itu Nadhima juga tampak kaget. Namun bukan karena wajah Diras terasa familier, melainkan karena pria itu menggunakan bahasa Indonesia. Jujur saja perasaannya berubah waswas. Indonesia tak pernah berarti baik untuknya. “Iya. Anda siapa, ya?” Nadhima mendekati Apollo dan memeluk bahunya. Bentuk perlindungan yang tanpa sadar ia lakukan. Sebenarnya Diras sudah bersiap jika mendadak Nadhima akan berkata, "Kamu! Cowok berengsek! Ngapain kamu di sini, ha? Setelah ngelupain saya yang lagi hamil, k
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya