Jakarta, Indonesia
7 tahun lalu...
"Liat matanya, Van! Dia melototin elo tuh."
Satu tamparan di pipi membuat kepala Nadhima terlontar ke samping. "Masih berani elo natap gue, pel*c*r!" Gadis itu, Vanilla berdiri sambil bersedekap. Di depannya Nadhima duduk bersimpuh. Rambutnya acak-acakkan, seragamnya kotor dan terkoyak di beberapa bagian. Kaki-kaki dan tangannya lemah, kepalanya menunduk bekas menerima tamparan.
"Dia emang sama kayak mamanya," ucap Geya jijik. Disepaknya punggung Nadhima hingga gadis itu tersungkur. Ketiga gadis lain tertawa.
"Geya, kaki lo kena najis. Harus lo bersihin tuh," sindir Yami dengan tawa mengikik.
Nadhima berusaha duduk kembali. Rambut panjangnya riap ke depan. Samar-samar setitik bulir menetes mencapai dagu.
"Lo bener. Sekarang sepatu gue jadi kotor." Geya pun mengelap telapak sepatunya ke punggung Nadhima. Mereka berempat tertawa kembali.
"Ya ampun, Nadhima, lo cocok banget jadi keset." Hena menepuk tangan saking bersemangatnya.
Vanilla tertawa sambil menutup mulutnya. Ia mendekati Nadhima kembali. Ia berjongkok dan menatap wajah Nadhima. Sorot jijik tergambar jelas di wajahnya yang cantik. "Coba liat muka lo sekarang." Gadis itu mengeluarkan ponsel. "Kalau cowok-cowok pada liat, lo pasti gak laku lagi." Vanilla mulai memotret Nadhima dari berbagai sudut sambil tertawa. "Hahaha..."
"Aduh, Van, lo jangan gitu dong. Nanti gak ada cowok yang mau tidur sama dia lagi." Hena memvideokan aksi temannya.
"Lo mirip banget sama ibu lo yang pel*c*r itu." Vanilla mengerutkan dahinya yang putih. Bibirnya yang tipis mengerucut. "Berapa sih tarif ibu lo itu? Dia gak pernah puas ya setiap hari naik ke tempat tidur laki-laki." Suara Vanilla penuh amarah. Bukan rahasia lagi kini Seruni, ibu Nadhima, menjadi perempuan simpanan ayah Vanilla. Nadhima menggerakkan tangannya sedikit. Vanilla yang merasa dipanggil refleks mendekatkan tubuhnya.
Nadhima berbisik dengan sangat pelan hingga hanya mereka berdua yang dapat mendengar, "Kalau pengin tahu tarifnya, coba tanya ayah kamu. Soalnya dia yang paling gatel."
Vanilla sontak berdiri. Wajah perempuan muda itu merah padam. Dia menjerit dan mulai mengamuk. Makian, sepakan, ia layangkan ke tubuh Nadhima yang tergeletak di tanah. Nadhima bergelung takut menutupi kepalanya dengan kedua tangan. Ketiga gadis lain mengikuti Vanilla. Mereka menggila dan tak kenal ampun.
Di balik sebuah tanaman hias tak terawat, sebuah ponsel merekam peristiwa tersebut. Komentar-komentar terus bermunculan di layar ponsel.
Gila. Mereka mau bunuh anak itu ya.
Itu Vanilla sama gengnya, kan?
Nadhima emang pantes digituin. Emang anak pel*c*r!
Tahun lalu cowok gue juga digodain sama Nadhima. Untung cowok gue gak mau sama tuh cewek. Emang menjijikkan sih dia.
Jir. Siapa yang sangka Vanilla yang dipuja-puja cowok sekampus seliar itu. Liat tuh cewek idaman kalian. Gak punya akhlak. Hahaha...
Gue gak suka sih liat Nadhima. Tapi kasihan juga dia diginiin. Ini kriminal.
Itu si anak pel*c*r? Gue pernah sekali liat dia. Emang cantik sih. Tapi sayang suka jual diri.
Vanilla kasar banget. Jangan gitu dong sayang. Kamu cewek manis. Jangan gara-gara anak pel*c*r jadi gini.
Gila. Orang-orang pada dukung pem-bully. Emang gak punya moral lagi orang-orang di kampus ini.
Emang kenapa sih Nadhima dibilang pel*c*r. Dia sopan-sopan aja. Bajunya juga selalu tertutup. Malah Vanilla sama teman-temannya yang lebih mirip pel*c*r.
Buat apa baju siang tertutup, tapi malam gak pake apa-apa. Tuh cewek rusak. B*tch.
Gue pribadi gak pernah ngeliat Nadhima godain cowok. Malah cowok-cowok yang godain dia, tapi dicuekin. Karena orang bilang dia anak pel*c*r, gue jadi ikutan gak suka. Tapi kalau dipikir-pikir dia sama sekali gak ganjen tuh. Tapi di belakang sih gue gak tahu dia ngapain aja.
Halah, dia emang pel*c*r.
Emang kalian udah pernah liat dia melacur?
Sekali pel*c*r, tetap pel*c*r.
Terserah cewek itu beneran pel*c*r apa enggak, yang jelas sekarang Vanilla yang salah. Kalau dia bisa kayak gitu ke Nadhima artinya dia bisa kayak gitu juga ke kalian.
Anak pel*c*r udah jelas pel*c*r juga. Nyokapnya kan simpanan bokapnya Vanilla. Emang pantes dia digituin. Syukurin.
Palsu tuh si Vanilla. Di depan orang banyak aja baik dan manis. Di belakangnya...
Vanilla yang pel*c*r.
Orang gila berhenti woi.
Kalian yang gila dukung anak pel*c*r.
Miris. Orang-orang senang ngeliat orang lain disiksa kayak gitu. Gak mikir kalau dia yang di posisi itu gimana.
Bapaknya Vanilla mau nyalonin diri jadi presiden, kan?
Calon anak presiden kelakuan kayak setan.
Entah mau jadi apa negara kita kalau punya presiden kayak bokapnya Vanilla.
Nadhima anak pel*c*r.
Bully anak lain bakal jadi pelajaran wajib di sekolah.
Calon anak presiden tapi gak punya akhlak.
Gue pernah liat Nadhima di kelab. Kayaknya lagi jual diri.
Pasti kalah sih bapaknya Vanilla ini.
Jangan gitu dong. Kasihan. Keluarga Vanilla udah keluar uang banyak buat jaga citra.
Masih dua tahun lagi. Pasti bisa ditutupin sih kejadian ini sama bokapnya.
Nyokap sama anak sama aja. Buah gak jatuh jauh dari pohonnya. Gue jijik sama Nadhima.
Jadi kalian setuju dia dipukuli gitu?
Setuju. Pukul aja sampe mati. Daripada hidup cuma nambah dosa.
Sampah banget cewek kek Nadhima.
Dua-duanya sampah sih menurut gue.
Bener. Vanilla juga enggak banget. Selama ini kelihatannya baik banget. Sok manis.
Jangan sampe kita aja yang tahu kelakuannya. Sebarin woi, live I*******m ini.
***
Nadhima tertatih-tatih merangkak menuju tempat ponselnya berada. Badannya tak hanya kotor. Namun juga penuh luka lebam. Darah segar mengalir di beberapa tempat di tubuhnya. Begitu berada tepat di depan tanaman tempat ia menyembunyikan ponselnya, Nadhima berkata lirih, "Tolong, aku ada di belakang gedung auditorium..." Tak lama tubuh Nadhima tergeletak di tanah.
Dia pingsan!
Ih... Gak mati, kan?
Pel*c*r mati aja!
Samar-samar mata Nadhima menangkap komentar di layar ponselnya. Dia sudah begini pun masih dianggap pel*c*r.
Apa ada yang bakal nolongin aku? batinnya.
Komentar lain bermunculan.
Tolongin woi. Jangan cuma nontonin doang. Gue sih ogah.
Kasihan banget sih. Lukanya banyak banget.
Jahat banget sih Vanilla.
Biarin ajalah. Dia akting doang.
Ini kriminal sih. Sampe kayak gitu anak orang.
Habis siaran ini gue bakal sebarin videonya. Biar habis tuh Vanilla.
Penjarain aja sih cewek-cewek bully kek gitu. Bikin malu aja.
Cewek ular. Mentang-mentang anak konglomerat. Vanilla laknat.
Dia merasa bisa ngelakuin apa aja gara-gara kaya.
Udah ah. Tolongin dia.
Gue gak mau. Kalian aja.
Gue udah jalan ke sana.
Eh, serius? Siapa tuh?
Gak tahu.
Siapa yang nolongin Nadhima?
Kalian semua anj*ng. Teman udah sekarat kalian masih bisa ngehina dia. Yakin kalian manusia?
Wah, ada yang ngebelain Nadhima.
Siapa tuh? Lo udah pernah pake service-nya, ya?
***
Gak langsung ketemu ml-nya. Pengin buat fl-nya menderita dulu š
Sincerely,
Dark PeppermintSatu demi satu goresan tinta memperjelas sebuah sketsa gambar. Nadhima duduk menangkup dagu di kursi meja belajarnya. Sejak dibawa ke rumah sakit universitas-nya tadi Nadhima sudah mendapat beberapa perawatan. Ia sempat pingsan dan hanya samar-samar melihat orang yang datang menyelamatkannya. Saat terbangun luka-lukanya telah selesai diobati. Hanya ada perawat yang ia temukan. Namun yang tak disangka-sangka peristiwa yang ia alami menarik begitu banyak perhatian. Anak-anak yang menonton siaran langsungnya mengunggah kembali video tersebut. Kini video itu sudah menjadi konsumsi nasional. Semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Entah ia harus bersyukur atau tidak Vanilla dan teman-temannya dicerca banyak orang, sebab sebagai bayarannya ia jadi dikenal luas publik. Dikenal sebagai anak pel*c*r yang di-bully temannya sendiri. Suara gedoran berkali-kali memenuhi seisi kamar. Sontak tangan Nadhima berhenti menggambar. "Nadhima, buka pintunya!" Lagi, ora
"Kamu boleh pergi," ucap Renata, ibu Vanilla, pada pelayan yang membawakan teh. Gadis itu menunduk hormat lalu pergi meninggalkan mereka. "Ini rumah pribadi saya, jadi kamu bisa tenang." Dengan satu gerakan tenang wanita itu mengangkat cangkir teh. "Ayo, diminum. Gak saya taruh racun kok." Nadhima meminum tehnya setelah melihat Renata melakukan hal serupa. Setelah membalas pesan dari Renata tadi wanita itu langsung mengirim orang untuk menjemputnya. "Kamu pasti sudah bisa menebak apa yang mau saya bicarakan," ucap Renata setelah meletakkan cangkir teh. "Perihal masalah saya dengan putri Anda sepertinya." Nadhima mengedikkan bahu sambil melengos. "Baguslah kalau kamu tahu. Jadi saya gak perlu berlama-lama." Renata menarik sebuah map dari samping tubuhnya dan melemparkan benda tersebut ke atas meja. "Buka," perintahnya. Nadhima melirik wanita itu sekilas. Nadhima datang kemari dengan memberanikan diri. Dia siap jika harus dicaci-maki atau dilemp
London, Inggris Kiram tersenyum melihat seorang wanita yang ia pesan telah tiba. Sepertinya wanita itu mengalami perjalanan yang kurang mulus. Rambut dan pakaiannya basah karena hujan yang turun di luar. Wanita itu jelas bukan untuknya. Kiram lebih memilih wanita Eropa pirang dibanding si cantik berambut gelap yang sedang berdiri di meja resepsionis. Saat langkahnya semakin dekat dengan wanita itu senyumnya semakin mengembang. Wanita itu benar-benar tipe temannya. Tubuh tidak terlalu tinggi juga tak pendek. Namun berlekuk di beberapa bagian yang pas. Kulitnya putih gading. Wajah oval dengan garis yang halus. Bibirnya tipis dengan warna merah gelap. Hidungnya mungil dan meruncing. Mata sehitam malam yang berkilat-kilat, tampak hidup dan tajam menantang. Serta surainya yang tak kalah hitam, jatuh lurus hingga ke pinggang. Wanita dengan perpaduan hitam dan putih, kekuatan dan kelembutan. Namun yang paling membuat si wanita sempurna untuk
London, Inggris "Akh, kenapa ini?" Nadhima bangun dengan kepala seperti akan pecah. Tubuhnya berat dan bergoyang-goyang ingin tumbang. Matanya terbuka sedikit dan melihat sekeliling. Perlahan ia ingat semalam menginap di sebuah kamar yang bagus. Pandangan Nadhima turun dan ia terkaget. "Ini..." Selimut yang ia kenakan telah jatuh hingga ke pinggang, mempertontonkan bagian depan tubuhnya yang tak menggunakan apa-apa. Mendadak Nadhima diserang rasa takut. Dia tak ingat melepas pakaiannya. Atau mengapa tubuhnya dipenuhi bekas merah yang aneh. Dengan sisa tenaga yang masih dipunya Nadhima turun dari ranjang. Ia seketika kaku melihat tubuhnya di cermin. Sebuah pemikiran buruk terlintas di kepalanya. Enggak mungkin. Lekas ia mencari kopernya dan memakai pakaiannya. Di tengah aksinya mengenakan baju Nadhima mendengar suara air dari kamar mandi. "Orang itu masih di sini." Matanya membelalak. Secepat kilat Nadhima menarik bara
Singapura Dua bulan kemudian... Setelah terbangun di atas ranjang bersama pria asing, satu-satunya tujuan Nadhima saat itu adalah bandara. Ia langsung meninggalkan tempat terkutuk itu. Sungguh lucu. Nadhima datang ke London untuk bersenang-senang dan melupakan semua masalah yang ia hadapi di Indonesia. Namun apa yang ia dapat di sana? Seharusnya ia tak mengabaikan sedikit keanehan yang ia rasakan. Seharusnya ia langsung pergi begitu resepsionis hotel itu mengatakan tak ada lagi kamar yang tersisa. Hanya karena takut tidur di jalanan dan terlena dengan kamar yang mewah Nadhima mengabaikan segalanya. Nadhima memang belum pernah berpacaran sebelum ini. Namun ia tahu apa yang terjadi di antara pria dan wanita dewasa. Tak satu dua kali ibunya membawa laki-laki asing ke rumah mereka. Tak jarang pula kedua insan di kamar ibunya tak mempedulikan sekitar. Desahan dan teriakan terdengar di seisi rumah. Nadhima benci sekali mendengarnya
āKedua janin Anda sehat. Semua organnya tumbuh dengan baik.ā Nadhima mengangguk mendengar penjelasan sang dokter mengenai struktur kepala, otak, wajah, dan juga kondisi jantung dan diafragma bayi-bayinya. Benar, bayi-bayi. Saat pertama kali mengetahui diirinya hamil usia kehamilan Nadhima sudah memasuki sepuluh minggu. Saat itu juga Nadhima melakukan USG dan melihat dua titik kecil yang sekarang sudah bertumbuh menyerupai bayi yang sempurna. Nadhima mendengarkan lagi saat sang dokter mulai menjelaskan kondisi ginjal, kandung kemih, serta struktur tulang-tulang bayi-bayinya. āBerat keduanya juga normal. Sekitar 350 gram untuk masing-masing bayi. Jumlah air ketuban Anda juga normal. Namun posisi plasenta Anda menghalangi jalan lahir. Kita akan tunggu perkembangannya di trimester ketiga nanti. Biasanya kondisi ini akan normal dengan sendirinya.ā Dokter Lilian tersenyum. āSekarang kita lihat jenis kelaminnya.ā Inilah yang Nadhima tunggu-tunggu. Sejak bulan keempat ia sud
Jakarta, Indonesia Tujuh tahun kemudian... āKak, boleh ya? Di pemakaman Om Deni aku gak bisa ketemu sama Kak Diras. Dia sibuk banget. Boleh ikut, ya? Please, kalau enggak gimana aku bisa deketin dia coba.ā Vanilla mengikuti Valentino, kakak laki-lakinya, ke mana pun laki-laki itu pergi. Valentino yang berdiri di depan lemarinya menoleh pada sang adik. āKamu masih juga suka sama dia?ā āIya. Masih suka banget,ā jawab Vanilla bersemangat. āDia kan udah pergi selama tujuh tahun, masa belum move on juga?ā tanyanya sekali lagi, memastikan. Vanilla mencebikkan bibirnya dengan imut. āEmangnya siapa cowok yang bisa gantiin Kak Diras? Gak ada cowok yang seganteng dan sekeren Kak Diras.ā Valentino tertawa lalu mengacak rambut adiknya. āIya, dan gak ada yang sekaya dia juga ya.ā āIhhh, aku gak peduli dia kaya atau enggak. Pokoknya aku mau Kak Diras!ā Vanilla memang segigih itu kal
Singapura Nadhima bangkit dengan berhati-hati agar anak-anaknya tidak terbangun. Artemis dan Apollo memang suka bertanya yang tidak-tidak. āDari mana bayi berasal?ā Nadhima tersenyum geli, lalu berganti raut murung. Ingatan itu tak seharusnya dimunculkan lagi. Apalagi tentang malam itu. Nadhima menggeleng kemudian keluar dari kamar. Tenggat waktu komiknya tinggal satu hari lagi. Malam ini pun dia harus kembali lembur. āAyo, semangat,ā ucap Nadhima saat sudah duduk di depan drawing tab miliknya. *** āAda apa, Sayang?ā tanya Nadhima begitu melihat sang anak pulang dengan wajah merengut. Apollo bersedekap angkuh. Dagunya terangkat tinggi. āMama, aku sudah tidak tahan lagi.ā Nadhima meneguk ludahnya. Jangan-jangan ada yang mengejek Apollo anak haram seperti dirinya dulu. āTidak tahan apa? Ayo, cerita sama Mama!ā Nadhima menepuk sisi sofa di sampingnya dengan khawatir. Apollo duduk d
"Parah banget ya lo. Apa gue ini masih teman lo." Ucapan penuh drama itu keluar dari mulut Kiram yang baru saja menerobos masuk kantor Diras. "Bisa-bisanya lo nikah di Indonesia sampe bulan madu di sana tapi gue gak tahu apa-apa. Nikah loh, Ras, nikah. Lo nikah dan gue jangankan diundang, dikasi tau juga kagak." Wajah Kiram berubah semakin patah hati. "Lo manusia terparah. Kayaknya gue bukan benar-benar teman lo." Setelah berkata begitu pria itu berbalik dan bersiap meninggalkan Diras."Gue kan udah ngasi tahu elo," ucap Diras santai dari kursi kerjanya. Kiram berbalik lagi."Kapan lo ngasi tau gue, ha? Gak mungkin gue gak ingat kalo elo ngasi tahu gue informasi sepenting ini.""Lo gak ingat malam itu?"Kiram berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Tapi malam yang paling ia ingat adalah malam-malam dia dengan gadis-gadis cantiknya. Dia tak ingat satu pun malam dengan Diras."Gak usah ngarang deh lo. Sementang udah kepojok. Malam apa emangnya?""
Seharian ini sangat menyenangkan. Setelah melihat matahari terbit mereka pergi mencari sarapan, kemudian naik kapal untuk melihat lautan biru dan pulau-pulau di sekeliling. Waktu memang terasa begitu cepat berlalu saat kau merasa bahagia. Tiba-tiba hari sudah menjelang malam dan waktu untuk beristirahat pun tiba. Sama seperti hari sebelumnya Apollo dan Artemis pun susah sekali untuk diajak mengakhiri hari ini. Apa lagi saat tahu besok mereka tak akan ada di sini lagi. Setelah melakukan banyak bujukan sepasang anak kembar itu akhirnya tertidur di kamar mereka. Membuat Nadhima dan Diras bisa kembali ke kamar mereka sendiri juga.Begitu keduanya selesai mandi, Diras mengajak Nadhima duduk berdua di atas kasur.“Ada hal penting yang mau aku bicarain sama kamu,” mulai Diras. Membuat Nadhima diliputi rasa cemas yang aneh.“Apa itu?” sahutnya.“Kayaknya berita pernikahan kita udah tersebar di kalangan atas.”Sontak deba
Seperti janjinya kemarin Diras mengajak Nadhima dan anak-anaknya ke pantai untuk menyaksikan matahari terbit. Awalnya Apollo dan Artemis agak susah disuruh bangun. Namun begitu mendengar kata "sunrise" dan "pantai" mereka lekas bangun dan bersiap-siap."Papa-papa apa aku juga boleh punya kamera kayak Om itu?"Mereka berempat duduk di pinggir pantai. Tak jauh dari tempat mereka berada seorang pria sedang sibuk memasang kamera pada tripod-nya."Memangnya Artemis bisa pakai kamera?" tanya Diras.Wajah gadis itu berubah cemberut. Bibirnya mencebik menggemaskan. "Enggak bisa sih."Diras tersenyum. "Kalau Artemis mau nanti Papa belikan.""Benar?""Iya.""Tapi aku gak bisa pakainya." Gadis itu memasang tampang takut dan cemas."Kan Artemis bisa belajar. Nanti Papa yang ajari."Semangat gadis mungil itu yang sempat sirna kembali lagi. "Papa bisa pakai kamera?""Bisa dong. Nanti Papa ajarin semuanya.""Apa Papa udah punya kamera di rumah?""Punya. Tapi Papa bakal belikan kamera sendiri buat Ar
"Miss kami akan pergi ke Pulau Seribu!" teriak Artemis pada sebuah tablet yang dipegangnya. Miss Harisson yang berada dalam sambungan video call dengan mereka tertawa. "Oh, itu bagus sekali Sayang. Kau harus mengirimiku foto-foto liburan kalian nanti." Artemis tersenyum sangat lebar. "Tentu saja aku akan mengirimnya padamu. Sayang sekali kau tidak mau ikut dengan kami." Seperti kata Artemis hari ini mereka berempat pergi ke Pulau Seribu. Diras memutuskan untuk menyetir mobil seorang diri dengan alasan ini adalah liburan keluarga. Nadhima yang duduk di kursi penumpang depan melirik putrinya yang bersemangat di kursi belakang. "Wanita tua sepertiku tidak cocok berjalan-jalan jauh. Tulang-tulangku tak sekuat dulu lagi." Apollo yang duduk di samping Artemis di kursi belakang mendengus. "Semua orang tahu tulang-tulangmu masih sangat kuat, Miss. Kau selalu menggunakan alasan yang jelas diketahui semua orang bahwa itu adalah kebohongan." Miss Harisson tertawa. "Apollo tak seharusnya k
Nadhima tidak begitu yakin dengan semua yang telah terjadi beberapa hari ini. Semuanya terasa sangat tidak nyata. Tapi keributan yang dibuat oleh Miss Harisson menyadarkannya kalau semuanya memang terjadi."Sempurna. Kau harus memilih yang satu ini. Kurasa ini yang terbaik dari semua gaun sebelumnya." Dia tersenyum sangat lebar melihatku yang mengenakan sebuah gaun pengantin putih sederhana."Aku benar-benar tak membutuhkan ini, Miss. Kami hanya menikah di kantor urusan agama. Tak akan ada pesta. Tak akan ada tamu. Aku tak perlu mengenakan gaun seperti ini."Wanita tua itu melambaikan tangannya. "Omong kosong. Tentu saja kau membutuhkan gaun pengantin di acara pernikahanmu. Tak peduli kau menikah di mana, kau tetap membutuhkan pakaian yang layak. Kau hanya menikah sekali. Apa salahnya mempersiapkan sesuatu yang cantik untuk kau kenakan."Nadhima tahu jika perempuan biasanya menginginkan sesuatu yang spesial untuk hari pernikahannya, termasuk gaun. Mereka akan mempersiapkan segalanya d
"Ah... Om!" Artemis berlari dan langsung menubruk tubuh Diras. Mereka berdua tertawa. Kemudian Diras menggendong Artemis. "Kalian udah makan?""Belum. Miss Harisson baru saja mau mengajak kami makan di luar.""Bagus. Om bawa makanan kesukaan Artemis.""Yey.""Dia bersemangat sekali. Ayo, masukklah," ucap Miss Harisson yang tadi membukakan pintu."Di mana Apollo?" tanya Nadhima."Sedang pergi ke kamarnya.""Mama sudah pulang?" Apollo baru saja muncul. "Oh, ada Om? Ada apa lagi ini?""Kami bawakan kalian roti. Kita akan makan bersama." Nadhima melirik Diras sambil tersenyum kaku.Selepas itu mereka makan bersama. Semua orang hanya berbicara seadanya. Cuma Artemis yang berceloteh ceria tentang ini dan itu.Saat berkumpul di ruang duduk, Miss Harisson duduk dengan Artemis dan Apollo. Sementara itu Nadhima dan
Nadhima dan Diras kembali bertemu di kafe hari itu.“Maaf saya merepotkan. Kamu pasti susah harus bolak-balik Jakarta-Singapura.”“Gak masalah. Ini kan urusan penting. Lagi pula kantor cabang kami ada di sini. Aku bisa ngurus semuanya dari sini.”“Aku?” cicit Nadhima.Air muka Diras tampak tak mengerti. “Kamu kenapa?”“Bukan. Bukan apa-apa,” jawab Nadhima cepat-cepat. Ini bukan saat yang tepat untuk mempermasalahkan cara menyebut diri sendiri di antara mereka berdua.“Jadi apa keputusan kamu? Maaf, kalau terkesan buru-buru. Jujur aku penasaran banget sama jawaban kamu selama beberapa hari ini.”Serangan gugup dialami Nadhima saat sadar cara bicara Diras benar-benar berubah lebih santai. Bukan hanya salah sebut semata.“Aku—“ Nadhima memejamkan mata. Merasa konyol sebab dirinya ikut-ikutan bicara lebih santai. Saat tawa geli
“Jadi apa yang dia katakan padamu?” tanya Miss Harisson begitu Nadhima kembali.“Seperti yang sudah kau tahu, Miss.”Wanita tua itu duduk di kursi, yang kemudian juga diikuti oleh Nadhima. “Maafkan aku. Aku tak bisa mendadak memberitahumu yang sebenarnya. Itu urusan kalian. Jadi pria itu juga tahu?”“Dia diam-diam mencari tahu tentang kami. Dan mendapat informasi Apollo melakukan tes DNA.”“Oh, Sayang. Aku benar-benar minta maaf. Entah apa yang ada di pikiran wanita tua ini sampai membantu anak itu melakukan hal ini.”“Tak perlu merasa bersalah, Miss. Jika kau tak mau, Apollo punya seribu satu cara untuk mencapai tujuannya. Jika tak ada kejadian ini, kebenaran pun tak akan terungkap. Tapi bukan berarti aku senang mendengar anakku yang mencari tahu sendiri.”“Jadi apa yang akan kalian lakukan selanjutnya?”“Dia... menawarkan pernikahan.”
"Saya minta maaf." Kepala Nadhima mendongak. Melihat pada sesosok laki-laki yang kini terlihat pilu. "Kenapa kamu minta maaf?" "Karena baru berhasil menemukan kamu sekarang." Jantung Nadhima bertalu cepat. Jadi benar Diras mencarinya selama tujuh tahun ini. Kata-kata maaf Diras malah membuat perasaan Nadhima makin kacau. Jika Diras bersikap acuh tak acuh atau malahan sombong, sekarang dia pasti bisa menyalahkan pria ini dan dapat dengan tegas menyuruhnya untuk tak mengganggu keluarganya lagi. "Apa kamu marah sama saya?" Diras memejamkan mata lalu memijat pelipisnya. "Kamu pasti kaget banget. Kalau belum siap cerita sekarang--" "Enggak. Saya siap kok." Jika harus menunggu Nadhima tak akan tenang. Selama apa pun menunggu dia tak akan pernah siap. Lebih baik masalah ini diselesaikan sesegera mungkin. "Saya cuma bingung harus gimana. Kamu... Sebenarnya