Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya.
“Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya.
Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya.
“Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya.
“Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu.
Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya.
Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingin menemui mbak auret terlebih dahulu bagaimanpun juga aku sudah melukai hatinya, aku harus memintt maaf,” terang Nadin.
“Dia pasti mengerti,” ujar Raka. Sejujurnya ia sendiri merasa sedih kala harus menikahi perempuan lain yang adalah adik iparnya sendiri dan menyakiti hati istrinya. Namun ia sudah berjanji kepada mendiang adiknya maka dari itu ia harus menepatinya.
Nadin mengangguk. “Ya sudah, Nadin duluan,” pamitnya lantaran melanjutkan langkahnya menaiki anak tangga, melati Raka yang masih bergeming di tempatnya.
Tangan Nadin terangkat untuk mengetuk pintu yang ada di depannya. Perasaan bersalah semakin menusuk hatinya kala suara Aurel terdengar dari dalam sana. Perlahan, Nadin membuka pintu yang semula itu tertutup dengan sempurna, didapatinya Aurel yang sedang mencoba untuk menidurkan putranya.
“Mbak Aurel,” sapa Nadin. Perempuan itu melangkah mendekati Aurel di tempat tidurnya.
“Ada apa?” tanya Aurel sedikit dingin dan Nadin memaklumi hal itu. Tidak akan ada istri yang bisa menerima dengan mudah kehadiran madunya.
Ditatapnya Reiki yang sudah tertidur dengan pulas. “Nadin minta maaf sama mbak Aurel. Nadin sama sekalt nggak ada niatan untuk merebut mas Raka dari mbak Aurel,” ujar Nadin mulai membuka suara. Dirinya bukan orang tidak tahu diri yang akan diam saja menyadari kesalahannya.
“Aku tahu kamu masih dalam suasana duka dan ini semua juga bukan keinginan kamu. Tapi jujur saja, hari aku sakit banget Nad pas mas Raka bilang mau nikahin kamu, hati aku nggak bisa menerima kalau suamiku harus berbagi cinta dan berbagai ranjang bersama dengan perempat lain apalagi itu adik iparnya sendiri,” tutur Aurel. Aurel memang sosok perempuan yang terus terang maka dari itu ia lebih memilih mengungkapkan apa yang ia rasakan daripada memendamnya sendiri menjadi beban.
Hati Aurel terisis mendengar kejujuran Aurel. Jika ia berada diposisi Aurel pun pastinya ia sama terlukanya dan sama tidak relanya membagi cinta suaminya.
Aurel mengusap kasar air mata yang mengalir tanpa diminta, menganak sungai pada pipi mulusnya.
“Jujur saja, mbak, Nadin sangat mencintai mas Rafa bahkan sampai detik itu perasaan itu masih sama besarnya. Tapi, Nadin pernah berjanji bahwa Nadin akan menerima mas Raka, mencoba untuk membuka hati Nadin untuknya. Nadin bukan bermaksud merebut mas Raka hanya saja Nadin tidak berjanji kepada mbak Aurel jika suatu saat nanti Nadin tidak akan tidak mencintai mas Raka. Nadin berharap Mbak Aurel tidak membenci Nadin meskpun kenyatannya itu sangat kecil.”
“Sudahlah, Nad, Mas Raka juga adalah suamimu, kamu berhak atas itu.”
***
Nadin melangkah memasuki kamar barunya, kamar yang begitu luas namun sepi nan dingin. Malam ini menjadi malam pertama untuk dirinya dan Raka namun malam ini sepertinya akan berlalu begitu saja. Nadin tidak mempermasalahkan itu karena sekarang ini dirinya masih belum mencintai lelaki itu tapi tidak untuk nanti Nadin tidak tahu akan seperti apa perasaan dan hubungan pernikahannya kedepan nanti.
Cklekk
Suara pintu terbuka membuat atensi Nadin tersita. Ia tersenyum lembut menatap suaminya yang kini berjalan ke arahnya.
“Mas mau istirahat disini?” kata Nadin bertanya.
“Hm,” Raka hanya menanggapi dengan gumaman setelahnya ia segera merebahkan diri di atas tempat tidur membiarkan Nadin yang masih bergeming di posisinya.
“Kamu tidak tidur?” suara Raka menyentak Nadin membuat perempuan itu lantas menoleh ke arahnya.
“Em, aku akan tidur,” Nadin menjawab pelan kemudian berjalan menuju ranjang dan merebahkan diri disana dengan posisi telentang.
Canggung, itulah satu kata yang mewakili perasaan Nadin sekarang. Rasanya sangat aneh tidur satu ranjang dengan kakak iparnya meskipun itu sudah menjadi suaminya.
Nadin memutar lehernya menatap Raka yang sudah memejamkan mata. “Em, mas Nadin tidur di sofa saja,” Nadin berujar ragu dan pelan. Perlahan ia bangkit dari posisinya dan hal itu sukses membuat mata Raka kembali terbuka.
“Tidur!” titah Raka menyentak suara telinga Nadin.
“Nadin akan tidur di sofa,” Nadin tetap kekeuh dengan keinginannya.
Raka merubah posisinya menjadi duduk, menatap Nadin sejenak. “Kenapa?”
Nadin menggeleng pelan tidak ingin mengatakan alasannya kalau ia merasa sangat tidak nyaman. “Mas kenapa tidak tidur sama mbak Aurel?” kata Nadin bertanya mengalihkan topik pembicaraannya dengan Raka.
“Karena dia yang minta,” balas Raka tenang dan hal itu sukses membuat hati Nadin merasakan setitik rasa bersalah.
“Mas kembali saja ke kamar mbak Aurel,” pinta Nadin kemudian.
Raka tidak menanggapi, ia bangkit dari posisinya tanpa menimbulkan suara dan berlalu begitu saja dari kamarnya dengan Nadin.
“Setidaknya ini lebih baik,” gumam Nadin kala tubuh tegap Raka mulai menghilang di balik pintu kamarnya yang kembali tertutup.
Nadin kembali merebahkan tubuhnya, ia menerima selimut sebatas dada, netranya terus tertuju pada langit-langit kamarnya, terasa sulit untuk di pejamkan.
Kerinduan akan mendiang suaminya kembali menyelinap ke dalam hatinya membuat setitik air mata menembus sudut matanya. “Rindu tanpa pertemuan ini aja udah sangat menyakitkan bagaimana bisa aku menjalalani sebuah hubungan tanpa didasari cinta satu sama lain,” monolog Nadin dalam hatinya.
Cklekk
Pintu kamar kembali terbuka membuat Nadin buru-buru mengusap air matanya. Si tatapnya lembut Raka yang kembali memasuki kamarnya dengan segelas susu di tangannya.
“Kau belum meminum susumu,” ujarnya seraya menyodorkan gelas dalam genggamannya itu kepada Nadin.
“Terima kasih, Mas, sekarang kembalilah ke kamar mbak Aurel aku bisa mengembalikan gelasnya sendiri,” ujar Nadin.
“Cepat habiskan!” seru Raka. Nadin pun akhirnya menurut saja, meneguk susu itu hingga tandas.
“Sudah,” ujar Nadin seraya menatap Raka yang juga menatapnya.
Raka mengambil alih gelas kosong itu, menyimpannya di atas nakas kemudian kembali merebahkan tubuhnya membuat Nadin membeku seketika.
“Cepat tidur!” titah Raka.
“O-oke,” balas Nadin pelan. Dengan gerakan kaku dan perlahan ia merebahkan tubuhnya dengan posisi telentang serta selimut yang menutupi hingga dadanya. Sejenak ia menatap Raka yang sudah memejamkan matanya. Hidung mancung, bibir tipis, bulu mata lentik, rahang tegas serta alis tebal semuanya juga merupakan milik Rafa. Kakak adik ini memang seperti pinang dibelah dua meskipun kenyataannya mereka terpaut usia 3 tahun.
“Hanya parasnya yang serupa, perasaanya tidak. Hanya raganya yang menjadi milikku tapi hatinya tidak. Dia tetap Raka tidak akan berubah menjadi Rafa,” monolog Nadin dalam hatinya. Ia kemudian merubah posisinya menjadi miring membelakangi Raka, mencoba untuk memejamkan matanya berharap memasuki alam mimpi indah bersama mendiang suaminya.
“Kamu harus terbiasa tanpa pelukan hangat itu, Nadin,” gumam Nadin untuk yang terkahir kalinya sebelum akhirnya ia benar-benar terlelap dan mulai menyelami mimpi.
Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki. “Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya. “Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya. Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya. “Roti saja,” balas Raka. Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar. “Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini. “Pagi,” hanya Raka yang
Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan. “Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum. Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu. Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan. “Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum. Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu. Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut
Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki. “Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya. “Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya. Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya. “Roti saja,” balas Raka. Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar. “Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini. “Pagi,” hanya Raka yang
Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya. “Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya. Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya. “Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya. “Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu. Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya. Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingi
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya