Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki.
“Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya.
“Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya.
Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya.
“Roti saja,” balas Raka.
Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar.
“Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini.
“Pagi,” hanya Raka yang menganggapi semenyat Aurel memilih diam dengan aktivitasnya. Dirinya masih belum bisa menerima pernikahan kedua suaminya dan adik iparnya.
“Duduklah dan makan sarapanmu!” seru Raka kala Nadin hanya berdiri menatap makanan di atas meja.
“Iy-iya, Mas,” balas Nadin sedikit tergagap. Ia kemudian menarik kursi yang berada di sebalah Raka lantaran mendudukkan dirinya disana.
“Ini, mas,” Aurel meletakkan piring yang berisikan sarapan Raka itu tepat dihadapan suaminya.
“Terima kasih, sayang,” ujar Raka. Ia tetap membiasakan kebiasannya agar Aurel tidak merasa tersingkirkan karena pernikahan keduanya.
Aurel mengangguk, ia kemudian beralih menatap putranya. “Sayang, kita lanjut makan sarapannya ya,” ujar Aurel seraya mengulas senyum manisnya kepada sang Putra yang dibalas tawa oleh putra kecilnya itu.
“Em, mbak Aurel biar Nadin aja yang suapin Reiki, mbak Aurel makan sarapan mbak aja,” dengan memberanikan diri Nadin akhirnya membuka suara, mencoba mengikis jarak yang tiba-tiba terbentang dengan kakak ipar yang sekarang menjadi madunya.
“Tidak usah, kamu makan saja sarapan kamu biar Reiki mbak yang suapin!” tolak Aurel. Nada bicaranya memang tidak terdengar ketus namun sarat akan ketidaksukaan. Aurel tidak membenci Nadin, ia hanya sedang mencoba untuk menerima keadaan.
Nadin menarik kedua sudut bibirnya mencoba untuk tetap tersenyum. Ia kemudian mulai mengambil sarapannya dan menyantapnya bersama dengan Raka. Hening menyelimuti suasana sarapan pagi ini, baik Nadin, Raka ataupun Aurel sama-sama tidak ada yang membuka suara sampai lima menit berlalu.
“Aku sudah selesai, aku akan berangkat terlebih dahulu,” Raka beranjak berdiri membuat Nadin dan Aurel refleks ikut berdiri.
“Hati-hati, mas,” Aurel mengambil tangan suaminya untuk dicium seperti biasa setelahnya Raka mengecup sayang puncak kepala Aurel.
Setelah dengan Aurel, Raka beralih menatap Nadin lantas mengulurkan tangannya karena melihat Nadin yang sepertinya takut untuk memulai maka ia yang harus mengambil inisiatif. “Hati-hati ya, mas,” ujar Nadin lembut usai mencium punggung tangan Raka
Raka mengangguk sebagai jawaban dan Nadin hanya menepiskan senyumnya ia tidak berharap lebih pada Raka. Raka berdehem sejenak, ia kemudian menarik kepala Nadin pelan dan mendaratkan ciuman singkat di pelipisnya membuat Aurel segera memalingkan muka.
Mata Nadin membola, untuk kedua kalinya Raka mencium pelipisnya dan hal itu sukses membuat jantungnya berdetak teramat kencang. “Susunya jangan lupa diminum,” ujar Raka seraya menjauhkan tubuhnya.
Nadin mengangguk kaku, ia masih syok dengan perlakuan Raka. Jika itu Rafa mungkin ia akan tersenyum lebar tapi ini Raka dan kecupan lembut itu masoh terasa asing baginya.
Raka mengambil tas kerjanya, berlalu menghampiri putranya. “Papa kerja dulu, ya,” pamit Raka kepada sang putra lantaran mendaratkan kecupan penuh sayang pada pipi gembul putranya.
“Ocee,” Reiki mengacungkan ibu jari kecilnya membuat senyum Raka mengambang. Senyum yang terasa asing untuk Nadin namun biasa untuk Aurel. Dengan gemas, Raka mengacak lembut puncak kepala putra kecilnya itu.
“Ya Tuhan,” gumam Nadin dalam hatinya kala melihat Raka tersenyum secara perdana di depannya. Meskipun menjadi kakak ipar kala itu namun ia sangat jarang bertemu dengan Raka kecuali pada saat hari-hari tertentu dan Raka sama datarnya dengan Rafa tidak pernah memamerkan senyum.
“Aku berangkat,” ujar Raka sekali lagi. Ia menegakkan tubuhnya lantas melenggang meninggalkan meja makan menyisakan kedua istri dan anaknya.
“Mbak Aura kalau mau sarapan sarapan aja, biar Nadin yang jagain Reiki,” ujar Nadin kembali.
“Tidak perlu,” tolak Aura, perempuan itu kembali mendudukan dirinya pada kursi yang semula.
“Sayang, mama sarapan dulu ya, Reiki yang anteng,” ujar Aurel. Ia kemudian mulai mengambil sarapan miliknya lantas menyantapnya mengabaikan Nadin yang menatapnya. Sejujurnya hati Nadin merasakan nyeri melihat hubungannya dengan Aurel menjadi seperti ini. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Nadin akhirnya memilih pergi.
***
Nadin akhirnya di landa bosan, sudah sejak pagi dirinya hanya berdiam diri di dalam kamar tanpa melakukan apa-apa. Jika biasanya ia memiliki banyak aktivitas di rumahnya bersama Rafa maka sekarang ia tidak memiliki apapun untuk di lakukan. Nadin enggan keluar jika pada akhirnya hanya akan mendapati tatapan tidak suka dari Aurel.
Suara ketukan pintu membuat Nadin menghentikan aktivitasnya yang hanya mondar-mandir tidak jelas. Seorang maid kini berdiri di depan kamarnya kala ia membuka pintu bercat coklat itu.
“Ada apa, Bik?” kata Nadin bertanya kala maid yang ia kenal bernama Bi Ida itu tidak kunjung membuka suara.
“Nyonya di luar ada orang yang ingin bertemu dengan anda,” ujarnya.
“Baiklah aku akan turun, terina kasih, Bik,” ujar Nadin. Maid itu mengangguk sopan lantas berlalu meninggalkan kamar Nadin. Sementara Nadin terlebih dahulu menutup pintu kamarnya kemudian bergegas untuk turun, menemui tamunya.
“Albern, Tuan Andrew,” sapa Nadin kepada kedua tamunya.
Nadin mendudukan dirinya pada kursi kosong yang berada di sebelahnya dua lelaki berbaju formal yang tadi sempat disapanya. “Ada apa kalian berdua kesini?” tanya Nadin. Netranya bergantian menatap Albern yang adalah sahabat Rafa yang merangkap menjadi sekertaris Rafa dan juga Andrew yang adalah pengacara Rafa.
“Kita berdua kesini untuk membahas mengenai perusahaan mendiang suami kamu, Bu,” ujar Albern yang memulai terlebih dahulu.
“Nadin saja, kenapa kamu terlalu formal seperti itu!” seru Nadin yang merasa tidak nyaman kala sahabat sekaligus sekertaris mendiang suaminya itu memanggilnya dengan embel-embel bu.
Albern terkekeh sementara Andrew terus menatap Nadin. “Baiklah Nadin. Jadi gini, karena Rafa sudah meninggal dan juga pewarisnya masih belum siap maka untuk sekarang ini kamu yang hendle perusahaan Rafa. Dan juga aku sudah menyiapkan pemindahan nama perusahaan menjadi nama kamu untuk sementara sampai nanti anak kamu lahir dan siap untuk memimpin perusahaan,” terang Albern.
Mendengar itu, Andrew selaku pengacara pun segera membuka tasnya dan mengambil berkas yang sidah disiapkannya untuk ditanda tangani Nadin.
“Tapi aku tidak begitu mengerti tentang perusahaan, Bern,” seru Nadin kemudian.
“Kamu tenang saja, aku akan membantumu untuk mengendel perusahaan Rafa.”
“Mas Raka sudah tahu soal ini?”
Albern mengangguk. “Katanya tidak apa-apa di atas namakan sama kamu. Selama anak kamu belum lahir dia juga akan turun tangan untuk mengurus perusahaan mendiang suami kamu.”
Nadin sedikit merasa tentang. “Baiklah, tapi aku hanya mau berperan di balik layar saja, aku tidak ingin menampakkan diri di publik. Aku juga tidak ingin datang ke perusahaan, kalau ada yang harus aku tanda tangani utuskan seseorang untuk mengirimkan dokumen ke rumah.”
“Oke setuju,” balas Albern mantap.
“Ini nyonya silahkan anda tanga tangani,” Andrew menyerahkan berkat yang dibawanya kepada Nadin yang langsung diterima olehnya. Disana, Nadin menorehkan tanda tangannya hingga detik itu juga perusahaan yang selama ini dipimpin oleh suaminya akhirnya berganti nama menjadi miliknya.
“Terima kasih,” ujar Andrew yang dibalas anggukan oleh Nadin.
“Oke, kalau begitu kita balik dulu,” Albern bangkit dari posisinya diikuti dengan Albern juga Nadin.
“Hati-hati,” seru Nadin. Albern mengangguk, ia dan Andrew lantas bergegas meninggalkan rumah baru Nadin.
Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan. “Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum. Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu. Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya. “Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya. Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya. “Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya. “Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu. Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya. Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingi
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan. “Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum. Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu. Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut
Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki. “Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya. “Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya. Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya. “Roti saja,” balas Raka. Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar. “Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini. “Pagi,” hanya Raka yang
Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya. “Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya. Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya. “Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya. “Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu. Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya. Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingi
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya