Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan.
“Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum.
Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu.
Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut mendiang tuannya pulang kerja. “Baiklah, Nyonya. Kalau begitu Rika permisi,” serunya lantas berlalu meninggalkan Nadin yang masih setia memandang foto besar yang terpajang di ruang keluarga.
“Mas, aku pulang,” tangan Nadin terangkat untuk mengusap lembut foto Rafa yang terpasang di depannya. Foto tampan suaminya dengan senyum manis yang menghiasi wajahnya, tibuh teganya itu merangkul posesif tubuh kecil Nadin.
“Aku rindu,” lirik Nadin dengan suara bergetar dan mata yang berkaca-kaca. Nadin kemudian terkekeh. “Belum ada seminggu,” sambungnya dengan tawa sumbang. Tangannya terangkat untuk mengusap air matanya yang tiba-tiba jatuh.
Nadin menarik nafas dalam mencoba untuk tetap tegar. Ia harus mencoba untuk mengikhlaskan meskipun ikhlas itu memang tidak mudah. Tidak ingin terus larut dalam kesedihannya, Nadin akhirnya memutuskan untuk segera pulang.
***
“Mas Raka,” Nadin tersenyum hangat melihat mobil suaminya tiba bersama dengan mobilnya. Ia berjalan menghampiri suaminya yang baru saja turun lantaran mencium punggung suaminya seperti dulu ia menyambut kepulangan Rafa.
“Habis darimana?” suara dingin Raka mengintrupsi kepulangan Nadin.
“Maaf ya mas aku tadi lupa tidak meminta ijin terlebih dahulu. Aku tadi habis dari rumah lama,” terangnya.
Raka mengangguk. “Ya sudah, ayo masuk!” ajak Raka kemudian melenggang masuk terlebih dahulu meninggalkan Nadin yang mengekor di belakangnya.
“Jadi suami kamu nikah lagi sama adik iparnya?”
Suara cukup nyaring itu menyambut langkah Nadin dan Raka yang baru saja memasuki rumahnya.
“Iya,” Aurel mengangguk mantap dengan wajah yang sudah berderai air mata. Hari ini mamanya itu berkunjung ke rumahnya karena mendengar kabar kalau adiknya Raka meninggal dalam sebuah kecelakaan. Niat hati ingin mengucapakan bela sungkawa tapi mendengar cerita dari putrinya justru membuat darahnya mendidih.
“Kenapa kamu ijinkan? Apa kamu siap berbagi suami dengan perempuan lain? Harusnya kamu menentang pernikahan itu, Aurel! Wanita jalan itu pasti akan membuat kamu terisisihkan nantinya, dia akan merebut Raka dari sisi kamu dan Reiki sepenuhnya. Jangan sampai kamu berlaku baik kepadanya, dia adalah perusak rumah tangga orang lain!” bentakan keras itu sontak membuat Nadin menundukkan kepala seranya mengigit bibir bawahnya. Hatinya nyeri luas biasa mendengar kata-kata yang terlontar dari mulut mamanya Aurel.
Raka menghentikan langkahnya tiba-tiba membuat Nadin yang berjalan dengan kepala tertunduk akhirnya menabrak punggungnya. “Maaf, Mas,” cicit Nadin.
Ra memutar tubuhnya, menggenggam lembut tangan Nadin dan menuntut istrinya itu menuju ruangan dimana istri dan mertuanya sedang berbincang.
“Mas, Nadin ke kamar aja, ya,” cicit Nadin namun tidak dihiraukan oleh Raka. Dengan tatapan tegas serta rahang yang mengetat Raka berjalan mengempiri istri dan mertuanya.
“Wanita yang anda sebut adalah istri saya dan dia mempunyai nama. Jadi, jangan sekali-kali anda menyebutkan kata kotor itu untuk menyebut istri saya!”
Suara dingin Raka membuat tubuh Devi yang adalah ibu dari istrinya—Aurel itu seketika menengang dengan nafas yang tercekat.
“Mas Raka,” seru Aurel kala mendapati suaminya kini sudah berdiri tepat di depannya dengan netra yang menghunus tajam mamanya. Dengan segera, Aurel mengusap air matanya, mendekati suaminya lantas mencium punggung tangan Raka.
“Maaf mas, kita tidak bermaksud untuk—”
Suara Aurel menggantung di udara kala Raka dengan cepat menukasnya. “Ini adalah urusan rumah tangga saya dengan istri saya. Jadi, mohon mama tidak perlu ikut campur dalam hal ini!”
“Baru dua hari menikah saja kamu sudah berbicara seperti itu kepada saya, Raka!” balas Devi dengan amarah yang menyelimuti dirinya.
“Itu bukan urusan mama. Aurel san Nadin adalah istri saya, tanggung jawab saya jadi mohon anda tidak membujuk rayu istri saya dengan kalimat setan anda barusan!”
“Tapi istri kamu itu adalah putri saya! Bagaimana saya bisa diam saja melihat putri saya terluka karena pernikahan kedua suaminya?!”
Nadin memejamkan matanya, kata-kata yang Devi keluarkan semakin menusuk hatinya membuatnya ingin enyah dari tempat ini sekarang juga.
“Saya memang melukai hati putri anda dengan pernikahan ini tapi saya akan tetap berusaha untuk bersikap adil kepada mereka. Jika anda sudah tidak memiliki kepentingan lain, anda bisa keluar dari rumah saya!”
Mata Devi membola mendengar penuturan menantunya sementara Aurel menatap tidak percaya pada Raka. “Mas,” seru Aurel pelan namun jelas terdengar nada penuntutan.
Devi mendengus kesal, ia menyahut tas miliknya kemudian bergegas pergi dari rumah anak dan menantunya.
“Kita perlu bicara!” ucap Raka jelas ditujukan kepada Aurel. Setelahnya ia melepaskan genggaman tangannya dari tangan kecil Nadin. “Kamu pergi ke kamar sekarang!” titahnya.
“I-iya, mas,” balas Nadin kemudian berlalu meninggalkan suaminya dan Aurel.
Raka melangkahkan kakinya terlebih dahulu menuju kamarnya yang berada di lantai dua diikuti dengan Aurel yang mengekor di belakangnya.
Setibanya di dalam kamar, Raka menyimpan tas kerjanya di atas meja, tangannya tergarak untuk menarik dasi yang terasa mencekik lehernya. Ditatapnya Aurel yang berdiri di depannya membuat helaan nafas akhirnya keluar dari mulutnya.
Raka menarik Aurel untuk dipeluknya dengan erat membuat isak tangis Aurel memecah dalam dekapan hangat suaminya. “Jangan terpengaruh dengan ucapan mama, jangan berfikiran yang tidak-tidak!”
“Aku hanya takut, Mas. Aku hanya takut jika suatu saat nanti aku benar-benar akan tersisihkan.”
Raka mengusap sayang surai pirang Aurel. Istrinya ini sebenarnya begitu ceria namun sejak ia menikah dengan Nadin sifatnya menjadi berbeda. “Itu tidak akan terjadi, kamu adalah istriku, cinta pertamaku maka selamanya akan tetap seperti itu sekalipun Nadin sudah menjadi istriku,” Raka mengecup sayang puncak kepala Aurel.
“Jujur mas, ini berat buat aku harus berbagi suami seperti ini. Dia adik ipar kamu loh mas! Aku benar-benar susah untuk ikhlas. Aku mencoba untuk percaya sama kamu tapi aku tidak yakin suatu hari nanti perasaan kamu juga akan terbagi, aku tidak yakin kamu tidak akan mencintai Nadin!” adu Aurel dengan sangat pilu.
Raka memejamkan matanya, sejujurnya ia peduli dengan Nadin bukan karena cinta melainkan simpati semata. Dihatinya masih terisi penuh dengan Aurel membuat tidak yakin jika suatu hari ia bisa mencintai Nadin.
“Aku tidak tahu, yang sekarang ini aku rasakan hanyalah perasaan cinta aku sama kamu. Dan yang aku inginkan sekarang kalian tetap menjadi seperti yang dulu, tidak saling bersikap dingin, tidak saling menyakiti. Jangan membuat ku merasa menjadi suami yang gagal juga tidak becus menjalankan amanah dari Rafa.”
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya. “Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya. Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya. “Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya. “Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu. Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya. Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingi
Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki. “Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya. “Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya. Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya. “Roti saja,” balas Raka. Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar. “Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini. “Pagi,” hanya Raka yang
Aurel menutup koper miliknya usai membereskan baju-baju miliknya. Perempuan itu lantas mendudukan dirinya pada tepi tempat tidur, ia tiba-tiba teringat akan suami dan anaknya. “Ekhem,” suara deheman terdengar. Devi—mama Aurel itu terlihat berjalan menghampiri anak perempuannya lantaran mendudukkan dirinya tepat di sebelah Aurel. “Kenapa kamu biarin suami kamu di rumah sama Nadin?” cetus Devi mengintrogasi. Aurel menghela nafas, Ia kemudian menatap penuh sang mama. “Mas Raka masih ada urusan yang harus dikerjakan, Ma. Besok dia ke sini, kok,” balasnya. Devi menghela nafas berat, ia tidak habis fikir dengan putrinya yang bodoh itu. “Harusnya kamu nggak usah ikut mama ke sini hari ini. Harusnya kamu datang bareng suami kamu aja besok, sekarang kamu malah membiarkan mereka berduaan di rumah sana!” marahnya. Aurel tidak merespon, ia teringat jika malam ini Raka akan menghadi
Senyum Nadin memudar melihat sosok yang baru saja datang. Ia mengalihkan atensinya menatap Serra tetapi perempuan itu hanya mengerlingkan mata.“Duduk, Lex,” ujar Serra mempersilahkan.Lelaki yang disapa Lex a.k.a Alex mengangguk lantaran mendudukkan dirinya diikuti dengan Nadin.“Kalian udah lama datengnya?” kata Alex bertanya.“Gue lumayan sih, kalau Nadin baru,” jelas Serra yang dibalas anggukan oleh Alex. Lelaki itu kemudian beralih untuk menatap Nadin yang terus memalingkan muka darinya.“Nad,” panggil Alex.“Eh, guys gue ka toilet bentar, ya,” Serra bangkit dari kursi yang didudukinya, tanpa mendengarkan jawaban persetujuan dari Nadin perempuan itu berlalu begitu saja.“Gue turut berdukacita ya atas musibah yang sekarang menimpa lo.”Kali ini, Nadin mengalihkan atensinya untuk menatap Alex yang berada di seberangnya. Senyum tipis terukir di kedua sudu
“Tante Nadin!” pekik Reiki dengan suara cadelnya. Lelaki berumur 2 tahun itu berlari menghampiri Nadin yang sedang menuruni anak tangga.“Jangan lari-larian, Reiki, nanti jatuh,” seru Nadin seraya kala Reiki sudah memeluk erat pinggangnya menggunakan tangan kecilnya.“Reiki, sarapan dulu, nak!” seru Aurel yang terlihat mengejar Reiki dengan sebuah mangkuk plastik ditangannya.Nadin mengangkat wajahnya, menatap Aurel yang sekarang melangkah lambat ke arahnya. “Pagi, mbak Aurel,” sapa Nadin. Ia mengembangkan senyum manisnya menatap Aurel yang hanya meleparkan tatapan datar ke arahnya. “Pagi,” balas Aurel dingin.“Tante sekarang tinggal sama di rumah Reiki ya?” kata Reiki bertanya. Suara khas balitanya dengan pipi gembulnya membuat Nadin tidak tahan untuk tidak mencubit gemas pipi balita itu.“Iya, tante sekarang tinggal disini sama Reiki, sama mama dan sama papa,” ter
Sejak insiden sore tadi, Nadin lebih memilih untuk mengurung diri di dalam kamarnya, ia tidak memiliki nyali untuk keluar dan bertatap muka dengan Aurel. Dirinya merasa bersalah dan menyesali pernikahan keduanya ini tapi semua sudah terjadi. Nadin meremas selimut yang menutupi sebagian tubuhnya, ia lapar karena sejak tadi siang belum makan tapi rasa laparnya itu seakan dikalahkan oleh rasa bersalah yang besar.Suara pintu terbuka membuat Nadin buru-buru memejamkan matanya, mencoba menipu Raka dengan berpura-pura tidur. Ia tidak sanggup jika harus bersitatap dengan suaminya itu.“Kenapa tidak turun untuk makan malam?” suara dingin nan datar Eaka menyentak telinga Nadin membuat jantungnya berdetak kencang tiba-tiba.Nadin tidak merespon, ia semakin mengeratkan memejam eratkan matanya mencoba menormalkan detak jantungnya namun yang ia rasa sebaliknya. Jantungnya itu semakin berdetak kencang kala Nadin merasa Raka mendekatinya.DegMendadak
Nadin menyusuri seluruh ruangan yang ada di rumahnya dan mendiang suaminya Rafa. Usai menandatangi surat pengalihan nama tadi, dirinya memutuskan untuk menjenguk rumah lamanya yang baru ditinggalkan dua hari ini. Semua masih sama, tidak ada yang berubah meskipun rumah ini sudah tidak lagi ia huni. Yang membedakan adalah jika dulu rumah ini berisikan cintanya dengan Rafa maka sekarang rumah ini sepi menyisakan sunyi dan kenangan yang ababila diingat terasa menyesakkan. “Nyonya, apakah anda mau saya seduhkan teh?” Rika—yang merupakan maid disana menyapa majikan untuk menawarkan minum. Nadin menggeleng sebagai jawaban. “Aku kesini hanya sedang rindu sama mas Rafa, bik. Hanya sebentar karena sekarang sudah sore dan sebentar lagi suami Mas Raka akan pulang dari kantor jadi aku harus segera pulang,” tutur Nadin seraya menatap maid di rumahnya itu. Rika bisa melihat sorot kesedihan di mata majikannya itu. Pasti majikannya itu merindukan hati-hari dimana ia menyambut
Raka terlihat berjalan menuju meja makan. Disana sudah ada Aurel yang terlihat sedang menyuapi putranya, Reiki. “Pagi,” sapa Raka sepert biasanya. Ia mencium singkat puncak kepala Aurel seperti pagi-pagi yang sudah berlalu. Tatapan Raka kemudian tertuju pada Reiki yang sedang tiduran di atas trolinya. “Pagi jagoan papa,” serunya kepada putranya kecilnya. “Pagi, papa,” balas Reiki dengan suara cadelnya. Raka kemudian mendudukan dirinya di kursi utama yang biasa menjadi singgasananya membuat Aurel sejenak mengentikan aktivitasnya. “Mas mau sarapan pakai nasi goreng atau roti?” katanya bertanya. “Roti saja,” balas Raka. Aurel mengangguk, perempuan itu kemudian mulai mengambil roti dan memberinya nutela seperti biasanya. Di tengah-tengan aktivitasnya, Nadin tiba sudah rapi dan tampak lebih segar. “Selamat pagi,” sapa Nadin kepada Aurel dan Raka. Sejujurnya ia masih merasa sangat canggung dengan keadaan ini. “Pagi,” hanya Raka yang
Nadin memasuki rumah Raka yang sekarang menjadi rumah barunya. Sekarang ini statusnya sudah sah menjadi nyonya Raka Argantara maka dari itu ia harus mengikuti kemana suaminya akan membawanya termasuk ke rumahnya dan tinggal satu atap bersama dengan Aurel—kakak ipar yang menjadi madunya. “Selamat datang, Nyonya,” seorang pelayan menyapa hangat kehadiran Nadin—nyonya barunya yang tentu saja sudah mereka kenal sebelumnya. Nadin tersenyum tipis lantaran mengangguk. “Mas,” panggil Nadin kepada Raka yang berjalan di depannya. “Ada apa?” Raka mengentikan langkahnya, memutar tubuhnya menatap Nadin yang sekarang mengatainya. “Nadin mau ketemu sama mbak Aurel, apakah boleh?” katanya bertanya guba meminta ijin. Bagaimanapun juga ia harus meminta maaf kepada istri pertama suaminya itu. Raka sejenak terdiam. “Mungkin sekarang dia berada di dalam kamarnya,” balas Raka akhirnya. Nadin mengangguk. “Aku akan merapikan pakaianku nanti. Sekarang aku ingi
Nadin berjongkok di depan pemakaman suaminya dengan tangan yang terus menabur kelopak mawar. Tangisnya masih tidak kunjung reda.“Kenapa harus secepat ini?” batin Nadin bertanya. Lidahnya terlampau kelu untuk mengeluarkan suara.“Maaf mas, kalau saja aku tidak egois dan mencegahmu untuk kembali malam itu pasti ini semua tidak akan terjadi.”“Dirimu ini pasti sekarang sedang berada di sisiku dan kita saling melepaskan rindu.”“Jujur, hatiku sakit melepas mu, bagaimana bisa kamu meninggalkan ku?”Isakan Nadin semakin terdengar kencang hingga sesegukan. Ia benar-benar merasakan kehancuran. Keluarga kecil yang baru saja dibangunnya hancur dalam sekejap mata.Raka yang berada disebelah Nadin menarik bahu perempuan itu untuk menyandar pada bahunya. “Rafa akan sangat sedih melihat kamu seperti ini,” bisiknya lembut berharap hal itu bisa sedikit melegakan hati Nadin dan mengikhlaskan suamin
Suara guntur bersahutan, bertalu-talu memekikkan telinga siapa saja yang mendengarnya. Angin berehmbus kencang mengombang ambingkan pepohonan di tepi jalan. Hujan turun dengan derasnya membasahi jalanan kota malam ini.Sebuah mobil sedan berwarna mewah nampak melaju dengan kecepatan sedang, membalah jalanan malam yang sepi nan sunyi di bawah lebatnya hujan. Di dalamnya, terdapat dua orang lelaki yang berharap akan segera tiba di rumahnya dengan keadaan baik-baik saja.“Tuan, apa tidak sebaiknya kita mencari penginapan di sekitar sini saja? Hujannya kian lebat tidak aman jika kita memaksakan perjalanan pulang,” seorang supir dengan pakian serba hitam itu bersuara. Kini, hatinya diliputi perasaan yang buruk merasa tidak aman jika perjalanan tetap dipaksakan.“Tidak! Aku sudah berjanji kepada istriku akan tiba malam ini. Jika aku sampai menginkarinya maka ia akan kecewa,” balasnya dengan nada dingin sedingin suasana mala ini. Dari jawabannya