Clara kembali menyusuri jalan tak tentu arah. Tak tahu kenapa, fikirannya terfokuskan pada anak yang baru saja menghampirinya. Clara mendesah pelan. Tak seharusnya ia memikirkan itu. Mungkin anak itu begitu merindukan ibunya sampai ia mengira orang lagi itu adalah ibunya.
SYAASSH
Clara mendelik kesal mengetahui mobil yang baru saja melewati sebuah genangan di sampingnya hingga membuat air menciprat membasahi bajunya. Mobil itu berhenti di depannya. Clara segera menghampiri pengemudi mobil itu, berniat memarahinya. Barangkali ia bisa dimintai pertanggung jawaban. Sehingga ia bisa mendapatkan sedikit pundi-pundi uang untuk dia makan.
Clara mengetuk kaca mobil itu kasar. Ia terus mengeluarkan kata umpatan dan cacian. Sang pengemudi mulai merasa jengah mendengar umpatan yang terus keluar dari mulut Clara. Akhirnya ia membuka kaca pintu mobilnya.
Clara membulatkan matanya saat mengetahui siapa pengemudi mobil tersebut. Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.
"Clara? Kok kamu disini?" Tanya orang itu, ia segera keluar dari mobilnya dan menghampiri Clara.
"Kak Alvin? Kok kak Alvin disini?" Clara balik bertanya.
"Ya ampun, Clara. Kenapa penampilan kamu jadi seperti ini? Kakak tadi ke rumah kamu. Kata paman sama bibi kamu, kamu pergi keluar negeri. Kakak udah coba hubungin kamu berkali-kali, tapi nomor kamu nggak aktif." Ucap Alvin panjang lebar.
"Ceritanya panjang kak. Aku nggak bisa cerita disini." Jawab Clara sembari menundukkan kepalanya. Ingin sekali ia bercerita dengan Alvin, namun disini bukanlah tempat yang nyaman untuk bercerita.
"Yaudah. Sekarang kamu ikut kakak ya."
Clara hanya mengangguk, mengikuti perkataan Alvin. Alvin membuka pintu mobilnya mempersilahkan Clara masuk dan membantu Clara mengangkat koper besarnya.
***
Nathan duduk termenung di ruang keluarga. TV yang ia nyalakan tak ia hiraukan sama sekali. Setelah kejadian tadi, Nathan semakin merindukan Emilia. Ia sudah berusaha melupakan mendiang sang istri. Bahkan ayahnya terus mendesak agar ia segera mencari pengganti ibu untuk Devan. Nathan sudah berusaha. Setiap kali ia berusaha mendekati wanita lain, hatinya tak bergerak sedikitpun. Mereka tak bisa membuat hati Nathan berpaling.
Nathan mendesah pelan. Ia sudah melakukan semua saran ayahnya. Sang ayah berulang kali memperkenalkannya pada beberapa wanita muda kenalannya. Nathan sudah berusaha untuk menyukai salah satu wanita pilihan ayahnya. Namun, hatinya tak bisa goyah sedikitpun. Hatinya masih milik mendiang istrinya. Belum pernah tergantikan oleh siapapun.
Sering kali sang ayah memarahi Nathan. Dengan berdalih bahwa Devan membutuhkan sosok seorang ibu. Akan tetapi, saat Nathan membawa seorang wanita ke dalam rumahnya Devan menolak dengan keras bahwa ia tak mau memiliki ibu lagi. Ia hanya mau Emilia, ibu kandungnya.
"Tuan?"
Nathan menolehkan kepalanya saat mendengar suara orang yang baru saja memanggilnya. Itu bi Inah. Wanita paruh baya yang sudah bekerja selama dua puluh tahun pada keluarganya.
"Iya Bi. Ada apa?" Tanya Nathan.
"Tuan sedang ada masalah? Saya perhatikan Tuan seperti melamun dari tadi."
"Tidak Bi. Saya hanya memikirkan Devan."
"Tuan muda Devan? Memangnya ada apa dengan Tuan muda, Tuan?"
"Saya bingung Bi. Devan terus saja menanyakan tentang ibunya. Saya sampai bingung harus mencari alasan apa lagi agar Devan tak menanyakan ibunya terus menerus. Saya takut kondisi Devan semakin parah karena dia tak mau melupakan ibunya. Tadi saja, dia sempat berhalusinasi." Jelas Nathan.
"Berhalusinasi? Berhalusinasi bagaimana?"
"Devan tadi cerita sama saya. Kalau dia sempat bertemu dengan ibunya di taman. Dia menceritakannya dengan sangat bahagia. Kata Devan, ibunya telah berjanji bahwa dia akan pulang menyusulnya. Tapi sampai sekarang dia belum juga pulang. Seperti itu. Aku takut jika Devan terganggu psikisnya Bi."
"Tadi tuan muda sempat bertemu dengan seorang perempuan tuan. Wajahnya sangat mirip dengan mendiang Nyonya Emilia. Bahkan saya jika hanya melihat sekilas, mungkin saya akan menyangka bahwa dia Nyonya Emilia. Tapi, sepertinya dia masih sangat muda Tuan jika dilihat dari raut wajahnya."
"Benarkah? Aoakah Bibi tahu sedikit informasi tentang perempuan itu?"
"Maaf Tuan. Saya tidak tahu sama sekali. Saya merasa tidak enak jika harus bertanya lebih lanjut tentang dia. Perempuan itu terlihat kebingungan saat Devan selalu menyebutnya dengan sebutan mama. Tapi jika dilihat dari penampilannya, dia seperti seorang gadis jalanan. Dia terlihat membawa koper besar dan tampilannya juga seperti orang yang sedikit tidak terawat." Jelas Bi Inah panjang lebar.
Nathan terdiam. Jadi ini yang membuat Devan menjadi uring-uringan selalu menanyakan perihal sang ibu semenjak ia pulang bekerja. Nathan jadi penasaran. Siapakah perempuan itu? Apa sebenarnya sang istri memiliki seorang kembaran? Tapi tidak mungkin. Setahu dia, sang istri merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Istrinya juga tak pernah menceritakan bahwa ia memiliki saudara lain selain kakaknya. Dan menurut keterangan dari Bi Inah, perempuan itu terlihat jauh lebih muda dengan mendiang istrinya. Apa benar perkataan orang-orang. Bahwa setiap orang memiliki tujuh kembaran yang hidup di dunia ini? Nathan memijit kepalanya yang mulai pening. Memikirkan itu saja sudah membuat kepalanya berdenyut sakit.
***
Clara mengikuti Alvin memasuki sebuah apartemen yang tampak asing baginya. Seingatnya, Alvin tak memiliki sebuah apartemen. Alvin tinggal bersama kedua orang tuanya pada perumahan kawasan elite. Bukan apartemen.
Clara melihat seorang wanita yang tampak menyambut kedatangan Alvin. Ia mengernyitkan alisnya heran. Apa Alvin sudah memiliki kekasih? Jika hanya kekasih kenapa mereka sudah tinggal bersama?
"Clara, sini. Kok malah berdiri begitu." Ucap Alvin.
"I-iya." Jawab Clara canggung.
"Ah iya. Clara kenalin ini istri aku, Audrey. Anggap aja dia kakak kamu. Sama kaya kamu nganggap aku." Ucap Alvin.
"Oh hai kak. Aku Clara. Sahabat kak Alvin sejak kecil. Aku sudah menganggap kak Alvin sebagai kakakku sendiri."
Wanita itu tersenyum melihat gadis yang berdiri disamping Alvin. Ia sama persis seperti yang Alvin ceritakan. Ia masih begitu muda dan cantik.
"Oh jadi kamu Clara yang sering diceritakan oleh Alvin? Salam kenal ya, aku Audrey. Kamu bisa anggap aku kakak kamu sendiri." Ucap Audrey tulus.
"Yaudah, daripada berdiri terus pasti lelah. Lebih baik kalian duduk. Aku akan menyiapkan minuman dan cemilan dulu." Lanjutnya.
"Ah, tidak usah kak. Nanti malah ngerepotin." Ucap Clara sungkan.
"Enggak kok. Kakak nggak ngerasa direpotin sama sekali. Malah kakak seneng bisa ngelihat kamu. Asal kamu tahu, kak Alvin sampai uring-uringan gara-gara nyariin kamu. Kakak sampe kesel banget denger dia ngoceh gara-gara kamu belum juga ketemu." Balas Audrey dengan raut kesal.
"Benarkah? Kak Alvin nyari aku sampai segitunya?" Tanya Clara penasaran.
"Ceritanya panjang dek. Nanti dilanjutinnya ya. Kakak ke dalam dulu ya." Ucap Audrey sembari meninggalkan mereka berdua.
Clara hanya menatap kepergian Audrey. Ia tak menyangka jika Alvin sudah menikah. Ia merasa dikhianati. Mereka berdua pernah berjanji, bahwa mereka tak akan menyembunyikan sesuatu sekecil apapun. Ia melirik Alvin yang masih memainkan ponselnya. Dengan kesal Clara memukul punggung Alvin keras.
DUAGGHH!!
Alvin berjengit kaget saat tiba-tiba pukulan keras mendarat begitu saja pada punggungnya. Ia menatap Clara tak suka. Anak ini begitu kurang ajar terhadap orang yang lebih tua.
Clara mendudukkan bokongnya pada sofa empuk milik Alvin. Rasanya begitu nyaman, setelah ia berhari-hari hidup di jalanan tanpa merasakan bagaimana nyamannya duduk di sofa. Clara menghela nafas. Jujur, tubuhnya lelah sekali. Sebagai anak yang awalnya dimanjakan oleh orang tua, Clara benar-benar kesulitan jika harus hidup sendiri tanpa kedua orang tuanya. Alvin mengamati Clara yang terlihat kelelahan. Ia heran, memangnya apa saja yang telah dilakukan gadis itu sampai gadis itu terlihat begitu kelelahan. Setahu dia, dulu ia sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Namun, ia tak tahu apa yang telah terjadi setelah kedua orang tua Clara meninggal dunia akibat kecelakaan tragis pada malam itu. Ia jadi tak tega melihat Clara yang awalannya merupakan gadis ceria yang menyalurkan sebuah kebahagiaan bagi siapapun yang menatapnya. Alvin penas
Nathan kembali memikirkan apa yang dikatakan oleh Devan. Apa yang dikatakan Devan memang benar. Ia kurang memerhatikan anaknya, walaupun ia sudah berusaha memberikan seluruh kasih sayangnya untuk sang anak. Ia menyesali segalanya. Mengapa Devan baru mengatakannya sekarang? Jika anak itu mengatakan dari dulu, mungkin ia akan memberikan perhatian lebih. Ia kira yang telah ia berikan kepada Devan sudah cukup, nyatanya tidak. Nathan menghembuskan nafasnya lelah. Menjadi single parent bukanlah hal yang mudah. Ia harus menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi Devan. Walaupun ia dibantu oleh bi Inah, tetap saja tanggung jawab sang anak dipikul olehnya. Dimas, ayah Nathan,menatap sang anak khawatir. Ia tampak memikirkan sesuatu. Terlihat jelas dari wajahnya yang menunjukkan raut frustasi."Nathan? Kau ada m
Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan."Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan."Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya."Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin.""Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu." Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &