Clara masih kebingungan. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Devan datang secara tiba-tiba. Ia bahkan belum mengeluarkan suara apapun walaupun Devan terus memberikannya pertanyaan.
"Mama kok diam aja? Mama marah sama Devan?" Tanya Devan.
"Aduh, adek. Kakak bukan mama kamu. Mungkin kamu salah orang. Maaf ya dek." Jawab Clara sembari memelankan suaranya.
"Enggak. Kamu mamanya Devan. Mama jangan bohongin Devan! Cukup papa aja! Devan nggak mau kalau terus dibohongin."
"Adek ganteng. Sekali lagi, kakak minta maaf. Kakak bukan mama kamu."
Devan hanya mencebikkan bibirnya. Matanya sudah berkaca-kaca, pertanda ingin menangis. Ia sudah bersungut-sungut, matanya memerah, mulai meneteskan air matanya. Hati Devan sakit sekali, ternyata benar, mamanya melupakannya. Tak memperdulikan Devan lagi.
Clara melirik Audrey, berniat meminta pertolongan. Tapi, Audrey malah menggedikkan bahunya, pertanda ia juga tak tahu.
Pak Mamang dan Bi Inah segera menghampiri Devan. Mereka merasa tak enak jika Devan akan berbuat lebih. Dengan pelan. Bi Inah segera menarik Devan dari pelukan Clara.
"Aden, pulang yuk. Papa pasti udah nungguin Aden. Tadi papa den Devan katanya pulang lebih awal." Ucap Bi Inah lembut.
"Nggak mau! Devan maunya sama Mama. Devan nggak mau sama Papa!" Sentak Devan.
"Adek, pulang ya. Nanti papa kamu nungguin." Ucap Clara.
"Nggak mau! Devan maunya pulang sama Mama. Nanti Mama bohong lagi sama Devan! Pokoknya Devan mau pulang sama Mama!"
Clara menghela nafas. Ia harus menemukan cara agar terlepas dari bocah ini.
"Dek, kakak ke toilet dulu ya. Kak Audrey, ayo."
Kemudian Clara membisikkan beberapa kalimat pada Bi Inah. "Bi, maaf saya tinggal ya Bi. Saya benar-benar tidak tahu anak ini. Bibi bisa ajak dia pulang. Selamat tinggal dan terimakasih."
Clara segera meninggalkan Devan yang menatap tak rela diikuti oleh Audrey. Devan melengkungkan bibirnya kebawah. Tak rela jika ditingal 'mamanya' pergi lagi.
"Bi, mama nggak akan tinggalin Devan lagi kan?" Tanya Devan pada Bi Inah.
"Katanya dia memiliki urusan, jadi pergi lebih cepat. Kita pulang yuk, papa udah nunggu di rumah."
Devan hanya mengangguk lesu. Ingin sekali ia menunggu kedatangan Clara. Namun, ia tak mau lagi berharap. Hatinya terlanjur sakit karena beberapa kali dibohongi. Tapi, Devan tak akan menyerah. Ia harus bisa membawa mamanya pulang kembali.
***
Nathan memijit kepalanya pelan. Ia baru saja mendapat kabar bahwa salah satu karyawannya melakukan kesalahan besar. Ia tak menduga jika ini terjadi. Karyawan kepercayaan melakukan korupsi yang cukup besar. Hal itu menyebabkan perusahaannya mengalami sedikit masalah. Beberapa investor tiba-tiba mencabut saham yang telah di tanam di perusahaannya.
Tangan Nathan begitu gatal. Ingin sekali ia mencabik-cabik tubuh itu sampai tak berbentuk. Tapi ia ingat. Negara ini menganut sistem HAM, jadi ia tak mau mendekam di penjara seumur hidup atau bahkan hukuman mati akibat mencabik-cabik salah satu karyawannya yang begitu kurang ajar terhadapnya.
Nathan harus menghubungi seseorang. Iya. Ia masih membutuhkan seseorang untuk menyelesaikan masalah ini, walaupun ia bisa menyelesaikannya sendiri, tetap saja, dikerjakan secara bersama-sama akan membuat pekerjaan itu akan cepat selesai. Dengan perasaan dongkol ia segera menghubungi sekretarisnya, Jovian.
***
Jovian baru saja pulang dari perusahaannya. Ia begitu bahagia bisa pulang lebih awal di banding biasanya. Tak tahu kenapa, sang bos begitu baik hati hari ini. Semua karyawan diperbolehkan pulang lebih awal. Mungkin sang bos sedang dalam keadaan yang cukup baik. Tidak seperti biasanya.
Baru saja ingin melangkahkan kaki ke dalam rumahnya, tiba-tiba ponselnya bergetar hebat, membuat dada Jovian terasa geli karena ponselnya di letakkan pada saku kemejanya. Dengan segera ia mengangkat ponsel itu, sebelum ia mati karena kegelian.
"Halo." Ucap Jovian.
"Halo. Jovian, cepat datang ke rumah saya sekarang!" Ucap seseorang dari seberang sana.
"Pak Nathan? Memangnya ada apa pak sampai saya diperintahkan untuk kesana? Apa ada masalah?" Tanya Jovian.
"Jangan banyak tanya! Cepat kamu ke rumah saya sekarang. Cepat datang, kalau kamu terlambat datang. Jangan harap gajimu akan sama seperti biasanya!"
"Aduh pak. Jangan dipotong gaji saya. Kalau dipotong, saya tabungan untuk saya menikah akan berkurang."
"Tidak perlu banyak bicara. Datang sekarang!"
Jovian menghela nafas. Baru saja ia memuji bahwa bosnya baik hati. Tiba-tiba saja sang bos langsung berubah menjadi sosok iblis.
Hancurlah semua rencana yang telah ia susun saat perjalanan pulang. Ia ingin berkencan dengan kekasih cantiknya. Kemudian mereka akan melakukan hal-hal romantis layaknya sebuah drama. Namun, rencaba itu tinggalah sebuah rencana. Gara-gara bosnya yang super , dengan terpaksa Jovuian harus menghapus semua rencana yang telah ia susah payah.
***
Alvin sedang menunggu kedatangan Audrey dan Clara. Ia terlihat begitu asik bermain sebuah game di tangannya. Sesekali ia berteriak dengan keras saat ia memenangkannya. Saking asiknya bermain game, ia sampai tak menyadari kedatangan sang istri dan Clara.
Audrey gemas sendiri melihat tingkah sang suami yang tak jauh beda dengan anak kecil. Dengan kesal, ia memukul pundak sang suami dengan keras. Dengan tak berperasaan, Audrey mengambil ponsel sang suami cepat.
"Audrey? Kamu sudah pulang? Seharusnya kalau kamu pulang pencet tombol dulu, atau minimal ngucapin salam kek." Ucap Alvin.
"Aku sudah memencet tombol berkali-kali. Kamunya aja yang budeg, sampai nggak denger suara bel yang segitu kerasnya. Asik banget ya kayanya sampai lupa jemput istri sendiri."
Alvin menepuk keningnya sendiri. Ia benar-benar lupa, jika ia berjanji pada sang istri bahwa ia akan menjemputnya.
"Aduh sayang, maaf. Aku lupa. Tapi kamu ada ongkoskan buat pulang?" Tanya Alvin.
"Hm."
Clara cukup merasa jengah dengan drama picisan di depannya ini. Ia ingin segera meninggalkan mereka berdua. Daripada menjadi nyamuk yang tak diperdulikan keadaannya.
"Kak Alvin, Kak Audrey, Clara ke kamar dulu ya. Mau bersih-bersih sekalian istirahat dulu." Ucap Clara.
"Kamu capek? Yaudah, sekarang kamu mandi terus istirahat. Kasihan sekali adik kakak." Sahut Alvin.
Clara mengangguk pelan. Kemudian ia meninggalkan Audrey dan Alvin yang masih melanjutkan drama picisan itu.
"Sayang, Clara gimana?" Tanya Alvin pada Audrey.
"Gimana apanya?"
"Maksudnya dia bisa nggak bantuin kamu?"
"Bisa kok. Walaupun masih dalam tahap belajar, Clara sudah termasuk cekatan sebagai anak baru. Dia juga cerdas, bisa melayani pembeli dengan baik. Tapi, aku cukup kasihan dengannya. Dia terlihat kelelahan sekali, mungkin karena sebelumnya dia belum pernah bekerja."
"Memang belum. Kamu tahu sendiri kalau usianya belum legal. Apalagi kedua orang tuanya sangat memanjakannya. Jadi sangat tak mungkin jika Clara bekerja. Terimakasih ya, sudah menjaga Clara dengan baik hari ini."
"Sama-sama. Clara kan sudah aku anggap sebagai adik aku sendiri. Jadi, aku melakukan semua itu dengan senang hati."
Alvin memeluk tubuh Audrey dengan perasaan membuncah. Ia bersyukur memiliki istri yang begitu perhatian dan selalu memahami akan keadaan. Sedangkan Audrey dengan senang hati menerima pelukan Alvin. Pelukannya terasa hangat sekali.
Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama. Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya."Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran."Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?""Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik.""Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?""Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusaha
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &