Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu.
Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya.
***
Dimas mulai membuka matanya. Pandangannya masih sangat buyar. Ini pertama kalinya ia terkejut sampai tak sadarkan diri seperti ini. Ia malu sekali. Ia malu karena menjadi kakek-kakek yang terkesan lebay.
Dimas masih berusaha untuk menetralkan pandangannya. Berharap apa yang dilihatnya tadi hanyalah mimpi. Ia tak mau melihat mendiang menantu lagi. Memang ia ingin menemuinya lagi. Namun, tidak dalam dunia nyata. Itu sangat menakutkan.
Dimas bangkit dari tidurnya. Ia sudah tak melihat atensi sang menantu lagi. Ia hanya melihat sang anak dan cucunya. Ia bernafas lega, setidaknya tadi hanyalah hayalan semata. Ia melihat kesana kemari memastikan bahwa mendiang menantunya tidak berada disekitarnya.
Nathan mengernyit heran. Ada apa dengan ayahnya ini? Mengapa ia terlihat seperti orang yang linglung. Nathan jadi heran sendiri. Biasanya sang ayah menjadi orang yang paling tenang dalam menghadapi sesuatu.
"Ayah cari apa?" Tanya Nathan penasaran.
"Ayah tadi melihat mendiang istri kamu Nathan. Dia berdiri disamping kamu. Ayah syok berat tadi. Saya nggak nyangka kalau mendiang istri kamu bisa gentayangan." Jelas sang Ayah.
"Ayah jangan bercanda. Tidak ada seorang pun yang bisa gentayangan setelah meninggal. Sebaiknya ayah periksakan diri ke rumah sakit. Saya yakin ada yang salah dengan kesehatan Ayah."
"Tidak Nathan. Ayah tadi benar-benar melihat mendiang istri kamu. Oh benar, apakah saya harus segera ke dokter? Sepertinya saya berhalusinasi terlalu tinggi."
Devan hanya menatap bingung kedua orang dewasa yang saling berbicara. Ia tak tahu kemana arah pembicaraan mereka. Namun, Devan sedikit faham tentang siapa yang sedang dibicarakan.
"Ayah, saya bisa jelaskan. Devan. Kamu ke kamar dulu ya. Ayah mau berbicara dengan kakek." Ucap Nathan pada sang anak.
Devan hanya mengangguk. Ia memilih meninggalkan dua duda beda usia itu. Otak kecilnya juga tak bisa mencerna apa yang mereka bicarakan. Jadi, lebih baik ia pergi ke kamarnya. Pasti Shiro, kucing kesayangannya sudah menunggunya di kamar.
Dimas menatap Nathan dengan wajah yang serius. Ia meminta penjelasan kepada Nathan pada hal yang dialaminya hari ini. Jantungnya masih berdetak begitu cepat, saking terkejutnya.
"Jadi begini. Gadis yang dilihat ayah bukanlah mendiang istri saya. Dia bernama Clara. Usianya masih tujuh belas tahun. Saya bertemu dengannya tadi pagi. Awalnya saya juga sangat syok saat pertama kali melihatnya. Namun, setelah diamati, gadis itu berbeda. Dia terlihat lebih pendek dan muda daripada mendiang istri saya. Makanya saya baru tahu, ternyata Devan terus saja menanyakan perihal mamanya karena bertemu dengan gadis itu. Karena sekilas, gadis itu begitu mirip dengan mendiang istri saya. Mungkin jika orang itu tidak teliti, orang itu akan menyangka bahwa dia adalah mendiang istri saya." Jelas Nathan panjang lebar.
"Ha? Bagaimana bisa. Apakah gadis itu memiliki hubungan darah dengan istri kamu? Sampai-sampai dia bisa mirip sekali dengannya?"
"Tidak tahu. Sepertinya tidak. Karena sebelumnya Emilia belum pernah bercerita bahwa dia memiliki saudara yang begitu mirip dengannya. Nanti Nathan akan mencari tahu."
"Lalu dimana gadis itu? Apakah sudah pergi?"
"Dia sudah pulang. Ia tak mau membuat dua kakaknya khawatir."
"Lalu, kamu tidak mengantarkannya pulang?"
"Bagaimana mungkin aku bisa mengantarkan gadis itu jika Ayah saja tepar seperti ini? Aku tak ingin berita bermunculan karena ada kakek tua yang meninggal dunia akibat ditinggalkan oleh anaknya untuk mengantarkan seorang gadis."
Dimas menggeplak kepala Nathan dengan kesal. Kenapa anak laki-lakinya yang satu ini begitu menyebalkan. Apakah sifatnya menurun kepada sang anak. Entahlah, jika ia tidak mengingat bahwa umurnya senja, maka tak segan ia ingin segera membanting Nathan hingga tulang anak itu remuk redam.
***
Clara memasuki apartemen dengan perasaan was-was. Ia sudah mengganti bajunya sebelum pulang. Nathan meminjami baju wanita entah milik siapa agar ia tidak menanggung malu ketika perjalanan pulang. Clara jadi merasa Anggun menjadi semakin anggun saat memakai baju ini.
Ia kesana kemari mencari keberadaan Alvin dan Audrey. Tak lama kemudian terdengar suara keras dari arah balkon apartemennya. Dengan segera Clara menuju ke arah sumber suara itu. Semoga dugaannya salah.
Benar saja. Clara melihat jika Alvin dan Audrey sedang beradu mulut. Ia jadi merasa begitu bersalah. Mungkin jika ia membawa ponselnya hal ini tak akan terjadi. Ia merutuki sendiri semua kecerobohannya.
"Kak Alvin, Kak Audrey udah." Cicit Clara kecil.
Yang disebutkan namanya segera menolehkan kepalanya ke arah sumber suara. Akhirnya, orang yang sejak tadi diperdebatkan kembali ke apartemen mereka. Hal-hal buruk yang mereka duga-duga tak terjadi sama sekali. Pasalnya Clara terlihat baik-baik saja.
"Darimana saja kamu?" Tanya Alvin dingin.
Clara sedikit terkejut mendengar perkataan Alvin yang terdengar begitu dingin dan menakutkan. Sebelumnya Alvin selalu berbicara hangat terhadapnya.
"Maaf." Lirih Clara.
"Aku tidak butuh permintaan maaf Clara! Aku butuh penjelasan."
"Maaf kak. Clara tidak akan mengulanginya lagi."
"Sekali lagi aku butuh penjelasan Clara! Bukan permintaan maaf."
"Kak Alvin jan-jangan marah." Ucap Clara dengan nada bergetar.
Alvin menghela nafasnya pelan. Ia harus meredamkan emosinya. Ia tak mau jika emosinya bisa menyakiti perasaan adiknya.
"Kakak tidak marah Clara. Kakak hanya khawatir. Asal kamu tahu Kakak sama Kak Audrey dari tadi uring-uringan karena kamu tidak pulang-pulang. Kamu tahu bagaimana takutnya kami? Kami akan merasa bersalah sekali jika terjadi sesuatu denganmu Clara." Jelas Alvin.
Audrey hanya menganggukkan kepalanya. Ia belum berani membuka suara disini. Bagaimanapun ia adalah orang yang patut disalahkan disini.
"Maaf kak. Tadi, saat aku ingin mengantarkan pesanan. Tiba-tiba saja, ada anak kecil yang tiba-tiba saja melintas di depanku. Jadi, aku berusaha menghindar. Tapi, malah aku yang terperosok ke selokan. Kemudian ayahnya mau mengantarkan aku pulang. Tapi saat perjalanan pulang, anaknya memintaku untuk ikut dengannya dengan kencang sekali. Aku tidak tega jika membiarkan dia terus menangis seperti itu." Jelas Clara panjang lebar.
"Baiklah. Kakak maafin kamu. Lain kali jangan diulangi ya. Dan Audrey, maaf ya, aku terlalu emosi." Ucap Alvin
"Tidak apa-apa, Mas. Aku maklum kok."
Alvin tersenyum lega. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia harus belajar kembali bagaimana cara mengontrol emosinya.
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Devan bosan. Ia menggulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Ia begitu kebosanan. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Hari libur seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Bukan malah menjadikannya mati kebosanan. Ia melihat sang ayah yang sedang asik membaca buku tebal dengan kacamata tebalnya. Sang ayah terlihat begitu asik membaca buku tebal itu. Devan jadi penasaran, memangnya apa isi dalam buku itu? Sampai-sampao ayahnya suka sekali membaca bucu sejenisnya. Dengan segera ia bangkit dari sofa tempat ia tiduri. Ia segera menghampiri sang ayah yang masih memfokuskan pandangannya pada buku tebal miliknya. Kemudian, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang ayah. Mata besarnya melirik buku yang masih di pegang sang ayah. Devan mengernyit heran. Tidak ada yang menarik dari buku ini. Hanya tulisan-tulisan kecil yang begitu banyak sampai Devan tak begitu mengerti apa isi dari buku tersebut. Tidak s
Devan terlihat bersemangat sekali. Ia tak sabar untuk segera menemui Clara. Ia bahkan mau membersihkan dirinya sendiri tanpa disuruh. Katanya ia harus terlihat tampan, rapi, dan wangi saat menemui Clara. Ia tidak mau terlihat buluk di depan Clara. Nathan hanya terkekeh pelan melihat tingkah laku sang anak. Kehadiran Clara membuat hidup Devan berubah seratus delapan puluh derajat. Ia terlihat memancarkan sebuah kebahagiaan setelah ia bertemu dengan sosok yang begitu mirip dengan mendiang istrinya itu. "Devan? Sudah siap?" Tanya Nathan. Devan hanya mengangguk semangat. Kemudian meraih tangan besar sang ayah lalu menuntunnya ke arah mobil hitam milik sang ayah. Ia bahkan dengan tak sabaran menyuruh ayahnya untuk segera membuka pintu mobil. Nathan hanya bisa menuruti semua perintah a
Clara menghembuskan nafasnya lelah. Mengapa Pak Nathan lama sekali? Perutnya sudah lama sekali meminta diisi. Cacing-cacing di perutnya sudah konser sampai suaranya begitu keras. Bunyi bel apartemen berbunyi. Clara segera menuju ke arah sumber suara. Ia yakin sekali bahwa itu adalah Nathan. Ia tak sabar untuk melahap makanan yang ia bawa. Clara tersenyum lebar saat melihat barang bawaan Nathan. Itu pasti pesanannya. Ia tak sabar merasakan betapa nikmatnya pizza yang sudah lama Clara tak bisa menikmatinya itu. Ia bahkan dengansembrono menarik tangan Nathan masuk ke dalam apartemennya. Mengabaikan Devan yang masih menatap keduanya bingung. Devan melongo. Kenapa mamanya tak menyambutnya sama sekali? Devan mendengus kesal. Mungkin karena mama lebih merindukan papa daripada dia.
Tak terasa, beberapa waktu tela berlalu. Nathan masih asik mengamati interaksi antara Clara dengan sang anak. Ia tak menyangka jika mereka bisa seakrab ini dalam waktu dekat. Apakah mereka terlibat dalam hubungan batin? Entahlah, Nathan sendiri bingung memikirkannya. Clara tertawa lebar. Bermain dengan Devan tak seburuk yang ia kira. Devan seakan menjadi cahayanya setelah beberapa terakhir kehidupannya terasa redup. Devan menjadi penghibur tersendiri bagi Clara. Selang beberapa lama, Devan menguap lebar. Ini sudah menunjukkan pukul dua belas. Biasanya Devan sudah tidur siang. Karena itu, Devan sudah mengantuk. Ia membutuhkan tidur siang."Devan mengantuk? Pulang yuk. Kamu harus tidur sekarang." Ucap Nathan pada sang putra."Tidak mau Papa. Devan masih mau main sama Mama. Nanti di rumah Devan bisa keb
Devan senang sekali karena siang ini ia dijemput oleh seseorang yang tak pernah terbayangkan bahwa ia akan dijemput oleh orang itu. Itu adalah kakeknya, ia terlihat menunggu Devan di depan gerbang dengan bersedekap dada. Saat melihat kedatangan sang cucu, Dimas langsung merenggangkan tangannya. Pertanda ingin dipeluk. Devan segera mempercepat langkah kakinya. Ia tak sabar untuk memeluk kakeknya. Ia bahkan beberapa kali sempat tersandung kakinya sendiri namun tak ia hiraukan. Ia tetap menatap lurus ke depan, memuju sang kakek. Dimas memeluk tubuh kecil itu ketika sudah sampai di didepannya. Ia beberapa kalo menggoyangkan tubuh mungil itu ke kanan dan ke kiri. Gemas sekali."Tumben kakek yang jemput Devan? Biasanya, Bi Inah yang selalu menjemput Devan." Ucap Devan bingung."Bi Inah sedang kembal
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &