Nathan menunggu kedatangan Jovian datang lama sekali. Padahal, Nathan baru menunggu lima belas menit. Tapi, Nathan merasakan bahwa Jovian datang begitu lama.
Selang beberapa lama Jovian masuk ke rumah Nathan dengan terburu-buru. Ia masih belum mengganti pakaiannya. Nathan yakin jika sang sekretaris belum sempat memasuki rumahnya.
"Ada apa pak? Kenapa bapak panggil saya?" Tanya Jovian penasaran.
"Perusahaan memiliki banyak sekali masalah dan kamu tidak tahu?"
"Masalah? Saya sebelum pulang, saya tak menemukan masalah sedikitpun pak. Bahkan saya mengecek beberapa karyawan, mereka bekerja dengan baik."
"Bekerja dengan baik? Kamu yakin itu? Baik apanya! Bagaimana mungkin kita tidak menyadari bahwa ada tikus berdasi di perusahaan kita?"
"Tikus berdasi? Maksud Anda tikus? Tapi tidak mungkin perusahaan kita sampai ada tikus,Pak. Saya yakin para OB sudah membersihkan semua tempat sampai ke segala penjuru."
"Tolol. Aku malu memiliki sekretaris sepertimu! Dimana otak yang katanya jenius itu, Jovian?"
"Otak saya masih ditempatnya kok Pak. Belum bergeser sedikitpun."
Nathan menggebrak mejanya kesal. Ia benar-benar malu memiliki sekretaris yang kelewat polos menjurus ke tolol ini.
"Maksud saya koruptor!" Ucap Nathan.
"Koruptor? Bagaimana bisa perusahaan kita terdapat koruptor,Pak? Bagaimana bisa bapak tahu secepat ini?"
"Saya baru saja mengecek semua laporan pemasukan dan pengeluaran perusahaan. Tapi, pengeluaran terlihat tak masuk akal. Bagaimana mungkin perusahaan berbelanja sebanyak satu triliun? Untuk apa saja uang sebanyak itu untuk berbelanja. Padahal semua kebutuhan perusahaan sudah tercukupi sejak bulan lalu? Lalu, jika tidak dikorupsi, saya belum melihat semua barang yang telah dibeli. Satupun aku tak melihatnya sama sekali."
"Aduh Pak. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena saya tidak menyadari semua itu. Saya janji, saya akan segera mencari pelaku yang telah memasukkan uang perusahaan ke kantongnya sendiri. Tapi, sepertinya orang ini bermain dengan sangat rapi Pak. Sampai kita tak menyadari sama sekali akan kecurangannya."
"Benar. Ia terlihat seperti bukan karyawan biasa. Saya yakin pasti ada orang lain yang membantunya. Saya yanin sekali itu. Pasti dibalik tikus kecil itu ada orang yang membantunya dari belakang. Menurutmu siapa yang melakukannya."
"Maaf Pak. Saya tidak tahu sama sekali. Tapi saya masih bisa menduga-duga. Sepertinya, orang yang saya curigai adalah pimpinan pengurus keuangan, Andrew. Karena saya lihat, dia tidak masuk selama seminggu tanpa keterangan. Saya fikir, dia yang telah melakukannya. Bisa saja, dia kabur setelah mengambil uang sebanyak itu."
Nathan mengangguk setuju. Ia juga melihat bahwa gerak gerik karyawan itu terlihat mencurigakan. Jika biasanya Andrew akan menyapanya dengan raut ceria di wajahnya, beberapa terakhir ia memasang raut tegang walaupun masih menyapanya. Dugaan Nathan jadi semakin kuat jika itu adalah Andrew.
***
Jovian baru saja pulang dari rumahnya. Setelah mereka baru saja membahas tentang permasalahan perusahaan yang cukup rumit sehingga membuat kepala mereka sampai mau pecah. Katakanlah, mereka berlebihan. Tapi memang seperti itu. Walaupun menurut Nathan itu jumlah yang cukup kecil, tapi tetap saja, satu triliun bisa menggaji karyawan-karyawannya selama sebulan yang tersebar ke segala penjuru.
Devan baru saja tertidur. Setelah ia menceritakan apa yang baru saja dialaminya. Ia kembali bercerita mengenai ibunya. Nathan hanya terus meng-iyakan perkataan putra kecilnya. Ia tak mau jika putranya kembali marah akibat perkataannya dibantah.
Nathan menghela nafas lelah. Ia kira hari ini tidak akan menjadi hari yang melelahkan. Nyatanya, sekarang tubuhnya sudah remuk redam karena bekerja terlalu lama. Memikirkannya saja sudah membuat tubuhnya semakin lelah.
Nathan menolehkan kepalanya ke arah pintu saat mendengar ketukan sepatu yang menggema di rumah besarnya. Orang itu, tanpa sopan santun memasuki rumahnya dengan santai. Hal itu membuat Nathan semakin jengah dengan wanita itu.
Nathan merolingkan bola matanya malas saat wanita itu duduk di depannya. Menatapnya saja sudah membuatnya muak. Jadi, ia memilih mengalihkan pandangannya kemana saja asal tak mengarahkan matanya pada wanita itu.
"Kamu kenapa si? Kamu selalu terlihat risih kalau sedang melihatku? Apa aku kurang cantik malam ini?" Tanya wanita itu, Wilda.
"Bukan tidak cantik,Wilda. Tapi, bisakah kamu bersikap sopan saat memasuki rumah saya? Memangnya kamu siapa sampai berbuat seenaknya seperti itu?" Jawab Nathan kesal.
"Aku ini calonmu. Kamu lupa? Bahwa ayahmu yang menyuruhku untuk mendekatimu. Bisakah kamu bersikap lembut kepadaku? Jangan kaku begitu!"
"Calon? Kamu menganggap dirimu sendiri sebagai calonku? Maaf aku tidak mau. Mengenai ayah, aku juga tidak perduli. Sekalipun ayah, dia sudah menyesali semuanya. Jadi, kamu bisa pergi dari kehidupanku sekarang juga!"
"Aku tidak mau. Seorang Wilda, tidak akan menyerah begitu saja jika belum mendapatkan apa yang dia mau. Dan sekarang aku menginginkan dirimu! Jadi, aku tidak akan pergi sebelum aku mendapatkan apa yang aku inginkan!"
"Dasar kepala! Segala di dunia ini, banyak sekali yang tidak harus kamu dapatkan, Wilda. Termasuk aku. Maaf, aku tidak tertarik sedikitpun kepadamu. Jadi, kamu tidak perlu bersusah payah untuk terus mengejarku!"
"Aku keras kepala karena kamu, Nathan. Apa karena kamu belum bisa melupakan mendiang istri kamu? Memangnya sebagus apa sih, istri kamu itu. Bahkan kecantikannya bisa terkalahkan olehku!"
"Jangan bicara yang macam-macam pada istriku! Sekarang kamu pulang, atau aku akan memanggilkan penjafa agar bisa menyeretmu pulang!"
Wilda hanya mendengus kesal. Kemudian, ia meninggalkan Nathan dengan perasaan dongkol. Sia-sia ia sudah berdandan secantik mungkin. Tetap saja, Nathan masih tak sudi menatap wajahnya walaupun hanya satu detik. Menyebalkan sekali.
***
Devan tidur dengan gusar. Ia mimpi buruk. Keringat dingin terus mengalir membasahi tubuh kecilnya. Ia terus bergerak brutal sampai ranjangnya sedikit berdecit. Sesekali ia menggumamkan kalimat yang tak begitu jelas. Sampai puncak mimpi yang menakjubkan itu, Devan akhirnya terbangun.
"PAPAAAAAA!!! HIKSSS PAAPAAA!!!"
Nathan tentu saja kaget. Setelah mengusir wanita itu, ia baru saja ingin menuju ke alam mimpi. Dengan sigap, Nathan segera berlari ke arah kamar sang anak.
Nathan panik, melihat anaknya berteriak begitu keras sembari memanggil namanya. Ia langsung memeluk tubuh kecil itu yang sudah dibanjiri oleh keringat dingin.
"Kamu kenapa,hm? Mimpi buruk ya? Minum dulu." Ucap Nathan sembari memberikan segelas susu yang belum sempat Devan minum.
"I-iya Pa. Devan takut sekali. Tadi Devan dikejar-kejar monster jahat. Tapi saat di tengah perjalanan, ada mama. Dia mau nyelamatin Devan, tapi monster itu semakin marah. Lalu, monster itu tiba-tiba makan mama. Devan takut sekali Papa. Devan panggil Papa, tapi Papa nggak datang-datang."
"Sudah. Lupakan semua ya. Itu kan cuma mimpi. Nanti, Papa akan membunuh monster jahat itu, supaya dia tidak menyakiti Devan dan Mama, oke? Sekarang kamu tidur lagi. Mau Papa temani?"
Devan hanya mengangguk. Kemudian menyamankan pelukannya pada tubuh sang ayah. Ia menduselkan kepalanya pada dada sang sang ayah, masih merasa takut jika monster jahat itu kembali mengejarnya.
Ini hari kedua Clara bekerja. Ia harus membiasakan diri ia bisa membantu Audrey dengan maksimal. Ia harus membalas semua kebaikan yang telah Alvin dan Audrey lakukan kepadanya."Clara, bisakah kamu mengantarkan makanan ke alamat ini? Aku ada clien hari ini. Jadi aku tidak bisa mengantarnya." Ucap Audrey merasa bersalah."Baik, aku bisa. Hitung-hitung menambah pengalaman. Sepertinya aku sudah mulai menghafal tempat disini. Hehe.""Kamu memang gadis yang bisa diandalkan." *** Clara menyusuri jalanan dengan mengayuh sepedanya. Ia menikmati hari yang masih pagi. Jalanan kota masih terasa lelang, mungkin karena masih terlalu pagi. Udara disini belum terlalu berpolusi. Clara jadi ingin menghirup dengan rakus
Devan menatap temannya dengan raut wajah sedih. Ia melihat temannya sedang dijemput oleh mamanya. Temannya tampak begitu bahagia. Devan jadi ingin merasakannya. Ia belum pernah dijemput oleh mamanya. Mamanya meninggalkan Devan ketika ia masih berusia tiga tahun, sebelum Devan memasuki taman kanak-kanak. Devan melihat bi Inah yang menatapnya dengan mata sayu. Seandainya bi Inah adalah mamanya. Pasti Devan akan merasa sangat bahagia. Tapi, Devan harus segera bangun dari mimpinya. Devan harus menjalani kehidupan yang nyata. Bukan sebuah bayangan saja. Devan menyipitkan bola matanya pelan. Ia melihat sosok sangayah yang menunggu kedatangannya. Tak biasanya sang ayah sampai menyempatkan diri seperti ini. Apa perkataannya kemarin membuat fikiran sang ayah berbeda? Entahlah. Yang penting, hati Devan begitu bahagia hari ini. T
Devan telah diam. Mungkin terlalu lelah karena banyak berbicara. Ia juga merutuki dirinya sendiri karena ia tak bisa bercerita yang bisa membuat mamanya terlihat senang. Ia menolehkan kepalanya keluar, melihat kendaraan yang berlalu lalang melintasi jalan raya. Seperti mobil milik ayahnya. Dengan hati berbunga-bunga. Devan melihat tangan kecilnya yang masih menggenggam tangan sang mama. Ia tak menyangka bahwa mama sedekat ini dengannya. Ia berharap ia bisa terus bersama dengan mamanya."Pa, mama ikut kita pulang ya? Aku mau sama mama terus." Ucap Devan kepada Nathan."Jangan sekarang ya sayang." Jawab Nathan lembut. Clara hanya tersenyum canggung. Apa-apaan anak ini? Mengapa ia dengan seenaknya menyuruh ia agar pulang bersama. Hei. Mereka hanya orang asing yang tidak sengaja bertemu.
Clara memasuki rumah Nathan dengan canggung. Rumah Nathan begitu mewah. Walaupun rumahnya yang dulu bisa dibilang mewah, namun tak lebih mewah dari Nathan. Kalah jauh. Devan menarik tangan Clara dengan kencang. Ia tak sabar untuk kembali bercerita dengan Clara. Ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Kata papanya, nanti mama Clara akan segera pulang. Jadi, ia harus memiliki waktu sebaik mungkin dengan Clara. Ia tak boleh menjadi anak cengeng seperti tadi. Ia harus menjadi laki-laki seperti superhero."Mama, Mama kangen tidak dengan rumah ini? Devan rasanya kesepian kalau tidak ada Mama. Biasanya, Devan selalu main bareng sama Mama waktu Papa kerja. Jadi, Devan tidak merasa kesepian karena ada Mama. Soalnya, Papa sibuk sekali. Papa kadang sehari penuh bekerja terus. Devan sampai kebosanan menunggu Papa. Paling Devan sama Bi Inah. Tapi, main
Nathan panik. Pasalnya pria paruh baya yang biasa disebut ayahnya itu tiba-tiba tak sadarkan diri. Dia tahu apa penyebabnya. Pasti karena sang ayah melihat kedatangan Clara yang notabene sangat mirip dengan mendiang istrinya. Ia segera membopong tubuh besar sang ayah ke sofa terdekatnya. Tak masalah, Nathan cukup kuat untuk membawa tubuh besar itu. Clara pun sama. Ia ikut-ikutan panik seperti Nathan. Ia tak menyangka jika kedatangannya bisa membuat pria baruh baya itu sampai syok berat. Clara khawatir jika pria itu menderita penyakit jantung. Berakhir ia yang disalahkan kemudian dimasukkan ke dalam sel. Clara jadi bergedik sendiri membayangkannya. Semoga saja hal itu tak terjadi. Ia tak mau membusuk di dalam penjara akibat hal yang bukan kesalahannya. ***&n
Clara menatap langit-langit kamarnya sembari memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kejadian tadi siang benar-benar membuatnya bingung. Entah kenapa, hatinya mengatakan bahwa ia ingin sekali bersama mereka. Pak Nathan dan anaknya. Saat melihat tatapan sendu mereka ketika ia bergegas untuk pulang, hati Clara merasa terenyuh. Apakah mereka berdua begitu merindukan orang yang dicintainya itu? Clara menghela nafas pelan. Kenapa ia repot-repot memikirkan mereka? Bukankah mereka hanyalah orang asing yang baru saja masuk ke dalam kehidupannya. Lagi pula ia juga tidak suka jika terus disaut pautkan dengan mendiang istri Pak Nathan. Ia malu, jika harus dipanggil mama oleh anak itu. Bagaimana reaksi orang-orang jika dirinya yang baru berusia tujuh belas tahun sudah memiliki buah hati? Bahkan ia belum memiliki suami. CEKLEK!  
Clara menjalani pagi ini dengan penuh semangat. Ia berharap, hari ini bisa lebih baij daripada kemarin dan nasib baik akan menimpanya hari ini. Bukan nasib buruk seperti yang ia alami beberapa hari terakhir. Ia juga harus menebus kesalahannya pada Audrey dan Alvin karena telah membuat mereka cemas kemarin."Kak, nanti Clara yang antar pesanan lagi ya?" Ucap Clara pada Audrey."Tidak usah. Nanti kakak suruh yang lain saja. Kakak takut kalau kamu menghilang lagi. Kamu tahu sendirikan bagaimana Kak Alvin kalau sudah marah seperti apa? Kakak tidak mau dimarahi lagi." Jawab Audrey."Tapi Kak, aku tidak akan mengulanginya seperti kemarin. Kan kemarin aku sudah menjelaskan semuanya kalau ada kecelakaan kecil. Hari ini aku akan berhati-hati kok. Kakak jangan khawatir.""Tapi,Dek. Kakak masih khawatir kalau kejadian itu terulang lagi.""Aku akan membawa
Nathan menggeram kesal saat melihat wajah yang ada di depannya. Orang di depannya adalah Andrew. Pelaku korupsi yang menyebabkan perusahaannya rugi besar. Ia ingin sekali menelan bulat-bulat sosok yang telah membuat otaknya pening akhir-akhir ini. Sedangkan Andrew hanya bisa menundukkan kepalanya merasa bersalah. Benar, ini memang kesalahannya. Jadi, wajar jika Nathan menjadi semarah ini. Namun, sebisa mungkin Andrew menutupi semua kejahatannya. Ia tak mau jika orang yang ada di belakangnya diketahui Nathan begitu saja. "Andrew, jelaskan apa maksudmu melakukan semua ini?" Tanya Nathan tegas. "Maksudnya apa Pak? Saya tidak faham ke arah mana Anda berbicara." Jawab Andrew berusaha sesantai mungkin. "Jangan pura-pura berlagak bodoh. Saya mengetahui semua kelakuan busukmu! Kamu tahu? Akibat dari ulahmu, saya banyak mengal
Clara pusing. Ia mengelus perutnya yang membesar. Ia terus mengomeli anak-anaknya yang berlari kesana kemari tak tentu arah. Rey dan Raka, si kembar berusia lima tahun yang masih Nakal-nakalnya. Clara sampai tidak tahu bagaimana mengatasi mereka. Bi Inah sedang pulang kampung, jadi tidak ada seorang pun yang menjaga Clara untuk menjaga anak-anaknya."Rey. Jangan lari-lari. Nanti terjatuh.""Raka. Jangan sentuh benda itu! Itu berbahaya, nanti pecah!""Rey! Mama bilang jangan lari-lari. Ya Tuhan, kenapa mereka bandel sekali." Nathan mendudukkan dirinya sendiri pada sofa miliknya. Ia terlanjur kesal dengan kedua putranya. Entah aoa kesalahannya sampai ia memiliki anak senakal ini. Padahal seingatnya, ia adalah seorang anak yang penurut saat kecil. Ia jadi berfikir, apa Nathan sewaktu kecil memang senakal ini?"Istirahatlah. Kamu pasti l
Tiga bulan sudah berlalu. Perut Clara mulai menyembul di balik bajunya. Tubuh Clara juga semakin berisi. Pipinya yang bulat semakin bulat karena ia banyak sekali makan. Nathan jadi sering mencubit pipinya sampai memerah saking gemasnya. Hal itu membuat Clara jadi kesal sendiri. Devan menatap Clara yang masih menikmati camilannya. Ia melihat banyak sekali bungkus yang berserakan di depan Clara. Itu merupakan cemilannya. Tega sekali dia memakan milik Devan. Akan tetapi, Devan berusaha menerima. Ia harus mengingat perkataaUcapathan. Bahwa ia harus menuruti perkataan Clara. Kata Nathan, ini adalah salah satu cara untuk belajar menjadi kakak yang baik. Devan mendekati Clara kemudian duduk di sebelah Clara. Ia menatap Clara yang masih tidak memperdulikan keberadaan Devan. Clara masih terlalu fokus dengan makanannya. Lama menatap Clara makan, membuat Devan ikin mencicipinya juga. Namu
Clara memasuki rumahnya dengan lesu. Ia masih belum menerima sepenuhnya bayi yang di kandungannya. Clara sudah berusaha, namun apalah daya. Hatinya belum ikhlas sepenuhnya. Bahkan ia melewati Devan begitu saja ketika anak itu hendak menyapanya. Ia tidak menggubris sama sekali akan keberadaan Devan. Devan merasa ada yang janggal. Ia menatap sang ayah guna meminta penjelasan. Sang ayah hanya tersenyum kemudian mengelus rambut Devan lembut. "Mama sedang capek. Makanya tidak sempat menyapa Devan. Devan tidak apa-apa kan?" Ucap Nathan berusaha menghibur Devan. "Tidak apa-apa, Papa. Devan hanya bingung saja. Tidak biasanya Mama seperti itu. Apa Mama capek sekali sampau tidak memperdulikan Devan sama sekali?" "Iya. Mama capek sekali. Apalagi sekarang ada dedek bayi." "Dedek bayi? Dedek bayi siapa? Aku tidak melihat dedek ba
Clara menatap Wilda tidak suka. Sebenarnya siapa yang salah di sini? Kenapa dia malah menatapnya seperti itu? Bukankah seharusnya Clara yang merasa kesal karena suaminya telah di ganggu olehnya? Ia merutuki wanita yang tidak tahu diri itu. Kenapa dia masih bisa berkeliaran bebas di sini? Seharusnya ia sudah membusuk di penjara."Kenapa menatapku seperti itu? Kamu tidak suka? Aku tidak perduli. Kamu yang salah kenapa kamu yang kesal?" Ucap Clara kesal."Kamu yang salah! Kamu yang telah memasuki ke kehidupan kami tiba-tiba. Seandainya kamu tidak datang mungkin semuanya akan baik-baik saja. Karena kamu, hidupku menjadi hancur." Jawab Clara."Baik-baik saja? Maksudmu, kamu akan tetap mengejar-ngejar Nathan kemudian mengincar harta yang dimiliki oleh Nathan kan?""Tutup mulutmu bocah!""Kenapa? Apa yang aku katakan benar. Ah iya. Pentindak kriminal sepertimi sehar
Clara ikut dengan Nathan ke kantor. Tiap tahu kenapa, ia selalu menempel dengan Nathan. Ia tidak mau berpisah sedetik pum dengan Nathan. Ia harus mengikuti kemanapun Nathan pergi. Nathan terheran-heran. Ada apa dengan istri kecilnya ini? Kenapa jadi manja sekali? Bahkan, tingkat kemanjaannya melebihi Devan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa saat Clara merengek supaya bisa ikut dengannya. Nathan hanya bisa mengelus dadanya sabar saat tingkah Clara semakin menjadi-jadi. Seperti sekarang. Clara mengusir siapapun wanita yang ingin menemui Nathan. Sekalipun itu hanya karyawan maupun cleaning service. Clara akan mengusir mereka dengan cepat. Nathan hanya memijit pelipisnya pelan. Ia pening memikirkan tingkah sang istri. Istrinya ini terlihat begitu aneh. Clara yang biasanya tenang kini menjadi Clara yang yang emosional. Berubah seratus delapan puluh derajat.
Jovian kesal bukan main. Setelah ia menuntaskan semuanya, ia tidak menerima kabar dari Nathan sama sekali. Untung saja ia berhasil menuntaskannya tanpa jejak. Ia mensyukuri otak cerdasnya yang bisa di andalkan. Seandainya tindakannya di ketahui oleh aparat kepolisian, bisa habis ia karena telah menembak seseorang tanpa izin. Memangnya dia harus izin kemana? Jovian hanya mengirimkan Edgar ke luar negeri saat dirinya belum sadar. Ia menyuruh bawahannya untuk menemani raga Edgar sampai sana. Ia juga memerintahkan bawahannya, supaya Edgar di operasi untuk menghilangkan ingatannya. Ia tidak mau membunuh makhluk itu. Walaupun ia pria berdarah dingin, ia tidak mau mengotori tangan sucinya akibat membunuh Edgar. Jovian memasuki rumahnya dengan lesu. Ia lelah sekali karena mengurus semuanya sendirian. Ia tidak menyangka jika Nathan tega membiarkannya mengurus semuanya sendirian. Mentang-men
Clara dan Nathan memasuki rumah mereka dengan pelan. Mereka khawatir jika ada yang terganggu oleh kedatangan mereka. Clara menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Suasananya tampak begitu sepi. Mungkin penghuni rumahnya sudah memasuki ke alam mimpinya masing-masing. Clara menghela nafas berat. Ia harus segera mengistirahatkan tubuhnya yang masih terlalu lemas. Ia ingin segera meraih mimpinya seperti yang lain. Namun, impiannya sirna saat mendapati gundukan selimut yang memenuhi tempat tidurnya dan Nathan. Clara tahu siapa sang pelaku. Biasanya, ia akan merasa biasa saja melihat tingkah Devan yang seperti ini. Entah kenapa hari ini Clara merasa sedikit kesal. Mungkin karena ia kelelahan. Ia membalikkan badan Nathan kemudian menatapnya tajam."Kak, pindahkan Devan dari dari kamar kita. Aku tidak mau jika kita harus berbagi ranjang dengan dia." Uc
Nathan memasuki ruangan Clara dengan hati-hati. Takut jika sang penghuni sedang tertidur. Namun, ia bisa melihat sosok laki-laki yang sedang berada di samping Clara. Ia tahu siapa laki-laki itu. Dia adalah Rafa. Nathan segera menyingkirkan Rafa dari tempat duduknya. Sontak, Rafa langsung jatuh tersungkur jatuh ke lantai akibat tenaga Nathan yang tidak main-main. Rafa menatap Nathan sengit. Baru saja ia memuji Nathan di depan Clara. Sekarang malah mempermalukannya begitu saja."Aduh, Pak. Jika ingin duduk tinggal katakan saja. Jangan seenaknya menyingkirkan saya begitu saja. Memangnya saja barang yang bisa di lempar begitu saja!" Ucap Rafa kesal."Itu memang pantas untukmu. Lagipula wajahmu itu mirip dengan sempak milik Kak Nathan. Ah, bahkan lebih bagusan milik Kak Nathan." Bukan Nathan yang menjawab, tapi Clara."Sudahlah. Lebih baik aku pergi daripada
Clara mendengus kesal saat mendapati wajah suaminya di mana-mana. Kemanapun ia mengalihkan channel, maka wajah suaminya akan terpampang begitu saja. Ia heran, kenapa Nathan bisa seterkenal itu? Setelah ini, ia akan terpampang di televisi. Ia tidak sabar untuk menjadi terkenal. Ah tidak. Jika di fikir-fikir. Menjadi terkenal bukanlah hal yang mudah. Privasinya akan menjadi konsumsi publik. Seperti sekarang, hubungannya dengan Nathan harus menjadi konsumsi semua orang. Clara bosan. Jika setiap channel berisi tentang suaminya, untuk apa dia menonton televisi. Lebih baik ia mematikannya sekarang juga. Ia lebih suka menatap sang suami di dunia nyata bukan dalam layar kaca. Clara mendengus pelan. Kenapa tak seorang pum yang mengunjunginya. Apakah mereka tidak tahu jika Clara bisa saja mati kebosanan sekarang. Kenapa mereka tidak peka sama sekali sih? &